Tidak Semua Warga Miskin Butuh Bantuan Langsung Tunai

“Meskipun tidak mampu secara ekonomi, ternyata tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang secara langsung. Kaum Lansia yang saya survei, mereka membutuhkan posyandu Lansia. Lalu ada juga warga yang membutuhkan kartu jaminan kesehatan. Sementara kaum difabel membutuhkan ketrampilan.”

(Mugiono, warga Pringamba, 20/10/17)

Mugiono (30 tahun) pernah memiliki pandangan bahwa warga miskin di desanya mungkin hanya butuh bantuan uang tunai. Jika tidak, mungkin butuh semacam bantuan langsung lainnya seperti bahan pokok dan lainnya. Kalaupun usulan mereka berupa kegiatan, mungkin hanya kegiatan pembangunan insfrastruktur (fisik) saja. Karena pada kenyataannya, selama ini menurutnya, warga hanya mengetahui kegiatan pembangunan fisik.

Selain Mugiono, warga pada umumnya juga memiliki pandangan yang sama. Tidak heran, sebelum mereka melakukan survei, tantangan mereka adalah ketika warga menanyakan “akan ada bantuan apa lagi?”. Namun kini dia baru memahami bahwa tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang atau bantuan langsung tunai. Karena ternyata, bantuan selain bentuk uang tunai juga dapat meringankan beban mereka, seperti akses mereka pada pelayanan publik dasar, seperti jaminan kesehatan, pembekalan ketrampilan, layanan yang bersifat administrasi, serta jasa publik lainnya.

Mugiono merupakan salah satu warga Pringamba, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara. Beberapa minggu lalu, dia bersama tim penggali usulan kelompok marginal telah mendatangi rumah-rumah warga. Tentunya bukan semua warga di desa dia datangi rumahnya, namun warga yang termasuk dalam kelompok marginal di desanya. Mereka adalah keluarga yang masuk dalam daftar rumah tangga miskin, perempuan miskin kepala keluarga, kelompok difabel, Lansia, anak-anak dari keluarga miskin, pemuda putus sekolah karena tidak ada biaya, dan orang-orang yang selama ini tidak menerima pelayanan publik di desanya.

Menggali Usulan Kelompok Marginal Secara Partisipatif

Sebelum melakukan wawancara, Mugiono dan tim penggali usulan kelompok marginal telah memetakan kelompok marginal di desanya. Hasil pemetaan tersebut kemudian dimusyawarahkan untuk segera dibentuk tim yang akan melakukan penggalian usulan ke rumah warga. Hasil data usulan kelompok marginal tersebut kemudian dikompilasikan menjadi empat bidang pembangunan desa, yaitu bidang pembangunan infrastruktur, pemerintahan desa, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Usulan-usulan yang masuk dalam empat bidang itu pun kemudian dianalisa hingga masuk dalam program maupun kegiatan yang diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan di desanya.

Tim Pembaharu Desa (TPD) Pringamba sedang melakukan rekap hasil survei secara manual. (20/10/17)

Penggalian usulan kelompok marginal juga dilakukan di Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Penggalian usulan kelompok marginal dilakukan secara partisipatif, baik oleh Perangkat Pemerintahan Desa, Kelembagaan Desa, maupun warga biasa yang tidak masuk dalam struktur pemerintahan desa. Mereka tergabung dalam Tim Pembaharu Desa (TPD) sekitar 50 orang tim inti, mereka terbagi dalam 5 tim yaitu tim yang melakukan pemetaan kewenangan desa, pemetaan aset dan potensi desa, tim survei layanan publik dasar, tim pemetaan kesejahteraan lokal desa, dan tim penggali usulan kelompok marginal.

Dalam proses pemetaan sosial, TPD inti yang berjumlah 50 orang itu kemudian merangkul warga di luar tim lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan. Apa yang mereka lakukan merupakan salah satu upaya mewujudkan perencanaan apresiative desa. Sehingga, dalam proses penyusunan RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa mereka berbasis aset dan data usulan kelompok marginal.

===============

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *