“KPK juga sedang mengembangkan kapasitas dan pendidikan bagi Polri. Karena terkadang mereka baca data, tapi belum tentu mampu memahami apa yang dibaca dan maksud penggunaannya.”
(Benidictus Siumlala MS, perwakilan dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK)
Masih ingat nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Polri dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), juga Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa)? Tepatnya pada 20 Oktober 2017 mengenai pengawasan dana desa.
Dalam nota kesepahaman tersebut, diatur kerja sama terkait pencegahan, pengawasan, dan penanganan permasalahan dana desa. Acara penandatanganan MoU itu dihadiri oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Mendes Eko Putro Sandjojo, beserta jajaran di masing-masing lembaga.
Dalam perkembangannya, pengawasan yang dilakukan Polri di tingkat desa menjadi momok tersendiri. Apalagi ruang gerak Pemdes yang merasa terawasi dalam mengelola keuangan desanya. Termasuk ketika desa tiba-tiba didatangi pihak kepolisian dengan meminta data-data keuangan.
Tema mengenai pengelolaan dana desa juga mengemuka dalam diskusi terbuka bertema “Menembus Keumuman: Inovasi Penguatan Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan”. Diskusi ini diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta, pada Sabtu (10/3/18) di Jogja Nasional Musium (JNM) dalam rangkaian acara Jagongan Media Rakyat (JMR) 2018.
Diskusi terbuka yang difasilitasi oleh Irsyadul Ibad (Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta), ini menghadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diwakili oleh Benidictus Siumlala MS (Beni) dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK. Selain KPK, hadir juga Simon Edward perwakilan dari Ditjen PKP Kemendesa PDT dan Transmigrasi, juga Irma Nurul Fastikah perwakilan dari Pemkab Wonosobo, Dulrohim sebagai Kades Ngadikerso di Kabupaten Wonosobo, serta Saptoyo, pewakilan dari Staf Ahli Bupati Gunung Kidul.
Terkait pengawasan dana desa yang dilakukan oleh Polri di tingkat desa, KPK menyarankan agar Pemdes tidak perlu khawatir. Alasannya karena sampai saat ini keterbatasan jumlah Babinkamtibmas di desa yang belum sebanding dengan jumlah desa di seluruh Indonesia. Hal yang juga penting adalah minimnya kapasitas Babinkamtibmas dalam mengawal pengelolaan dana desa.
“Pembahasan yang menarik adalah tentang soal ketatnya pengawasan, sekadar info, dari semua desa, hanya ada lima puluh ribuan Babinkamtibmas. Itu kalau dihitung rangkap, tidak sebanding jumlah desa. Jadi sebenarnya polisi masih kurang. Jadi tidak perlu takut. Kita juga menanggapi MoU antara Kapolri dan Kementrian Desa. Kita juga sedang mengembangkan kapasitas dan pendidikan Polri. Karena terkadang mereka baca data, tapi belum tentu mampu memahami apa yang dibaca dan maksud penggunaannya,” jelas Beni di depan seluruh peserta diskusi dan narasumber lainnya.
Beni juga menambahkan, soal transparansi, KPK saat ini sedang mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Peran masyarakat mulai dari pembuatan regulasi sampai pengawasan. Jadi beragam stakeholder dilibatkanm baik dari layanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat desa (PMD), maupun komunitas. Hal ini seperti yang sedang diterapkan di Riau. Karena selama ini baik dari Pemdes maupun komunitas, biasanya ada semacam gap dan rasa curiga.
Jadi bagaimana caranya agar pemerintah dan komunitas saling berpikiran negatif, maka perlu melibatkan keduanya untuk mengikis anggapan negatif dari masing-masing pihak dan menurunkan ego mereka. Kegiatan edukasi tentang pengawasan dana desa ini salah satunya dilakukan sosialisasi tentang pengawasan dana desa. Tujuan sosialisasi agar masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya, bahwa ada kewajiban pemerintah desa dan juga komunitas.
Open Data Keuangan Permudah Akses Masyarakat
Terkait kecurigaan warga kepada pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa, hal ini juga dirasakan oleh Pemdes di Kabupaten Wonosobo. Namun, setelah Kabupaten Wonosobo menerapkan open data keuangan desa, rasa saling curiga mulai terkikis. Karena dengan open data keuangan desa, bukan hanya pemerintah desa dan kabupaten yang mampu mengakses, namun juga masyarakat secara umum.
Open data keuangan desa merupakan salah satu prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan desa. Kabupaten Wonosobo merupakan daerah model yang menerapkan open data keuangan desa yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta. Seluruh Desa di Kabupaten Wonosobo sudah menerapkan open data keuangan desa. Menurut Irma, Pemkab Wonosobo, dengan menerapkan open data keuangan desa, kini Pemdes bisa secara terbuka memperlihatkan data-data pengelolaan keuangan desanya kepada pengawas dana desa, termasuk kepada Polri yang datang meminta data.
“Kami sudah mengembangkan perencanaan apresiatif desa (PAD) dan warga terlibat dalam setiap tahapan pembagunan desa. Ini menjadi tanggungjawab bersama. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah media atua platform yang mendampingi, jangan sampai ada kecurigaan di antara kita. Kami saat ini menggunakan open data keuangan desa yang bisa diakses oleh siapapun. Jadi desa kini saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam pengelolaan dana desa,” ungkap Irma.
Irma juga menegaskan bahwa, meskipun saat ini penerapan open data telah berjalan, namun proses yang cukup panjang. Penerapan open data yang dinisisiasi oleh Infest Yogyakarta jgua tidak terlepas dari sejumlah tantangan, apalagi Pemdes sebelumnya telah menggunakan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). Sehingga dalam prosesnya juga pernah terjadi penolakan yang dilakukan oleh sejumlah desa. Namun open data melalui aplikasi “mitradesa” bukanlah sebuah perangkat yang tidak bisa diubah. Karena dalam pelaksanaannya, Pemkab Wonosobo dan Infest Yogyakarta sangat mengapresiasi setiap perubahan yang diusulkan sesuai usulan Pemkab dan Pemdes.
“Karena selama ini mereka memang menggunakan aplikasi Siskeudes. Sedangkam kami (Pemkab wonosobo) memiliki komitmen agar laproan semua desa dapat diakses bukan hanya pemerintah kabupaten dan desa, namun warga juga mampu mengaksesnya. Ternyata dengan open data keuangan melalui aplikasi mitradesa, kini warga mampu mengakses laporan keuangan desa,” jelas Irma.
Selain pembelajaran dari Wonosobo, pembelajaran penting lainnya juga bisa diketahui dari pemaparan Saptoyo, Staf Ahli Bupati. Salah satu pembelajaran yang disampaikan Saptoyo adalah penerapan Sistem Informasi Desa (SID) di Kabupaten Gunung Kidul. SID di Gunung Kidul dikembangkan oleh Combine Resource Institute (CRI). SID dalam perkembangannya telah banyak menciptakan perubahan, baik di tingkat Desa maupun Kabupaten. Kini SID juga telah diterapkan di sejumlah daerah baik Jawa maupun luar Jawa.
Menurut Irsyadul Ibad, selaku fasilitator diskusi, pembelajaran di Kabupaten Wonosobo maupun Kabupaten Gunung Kidul merupakan bagian dari beragamnya inovasi mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Inovasi ini dilakukan bersama dengan organisasi atau kelompok masyarakat sipil, misalnya berupa penerapan sistem informasi desa (SID) di Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta) dan open data keuangan desa di Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah). Beberapa desa juga menciptakan inovasi sendiri untuk memperkuat desanya, mulai dari pembangunan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), penguatan kelompok perempuan dan sebagainya.
Ruang inovasi tersebut berhasil memunculkan praktik baik dan ragam pembelajaran. Hal positif tersebut perlu diapresiasi oleh pemerintah di pelbagai tingkat. Selain itu, pembelajaran tersebut perlu diarusutamakan sehingga bisa mendorong desa lain untuk belajar. Ragam pembelajaran tersebut juga perlu disampaikan kepada pengambil kebijakan di tingkat nasional untuk memberikan wawasan baru dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan desa. [Alimah]