Arsip Tag: Partisipatif

Dinsos Banjarnegara: Data Partisipatif Sangat Membantu Proses Validasi Data Kemiskinan

“Data-data yang dihasilkan Tim Pembaharu Desa (TPD) semoga dapat membantu tugas-tugas kami (Dinsos) dalam proses validasi data untuk program-program Dinsos”

(Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Banjarnegara)  

Data-data partisipatif yang dimaksud adalah data-data yang dihasilkan oleh pemerintah desa (Pemdes) bersama warganya. Pendataan partisipatif tersebut digerakkan oleh Tim Pembaharu Desa (TPD) dengan merangkul warga yang lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan partisipatif.

Haryati, perwakilan TPD Karangkemiri, memaparkan pembelajaran dan perubahan yang terjadi di desanya.

Cerita perubahan, pembelajaran dan data hasil kerja keras TPD dipaparkan dalam acara “Workshop Refleksi Pembelajaran Perencanaan Apresiatif Desa” di Aula Dispermades pada Rabu (13/12/17). Acara ini merupakan salah satu momen penting dimana warga dan Pemdes membagi cerita dan melakukan refleksi dari sekian pembelajaran yang telah dilakukan sejak Mei-Desember 2017. Melalui Sekolah Pembaharuan Desa, program kerjasama Dispermades dan Infest Yogyakarta ini menjadi inspirasi desa-desa lain untuk menerapkan perencanaan apresiatif desa.

Menurut Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinsos Banjarnegara, data-data tersebut akan sangat membantu dalam proses validasi data yang digunakan oleh Dinsos untuk Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan bagi anggota keluarga RTS diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Soleh, perwakilan TPD Pringamba, memaparkan perubahan di desanya.

“Apalagi tadi TPD dari Karangkemiri juga menyebutkan tentang data difabel di desa, ini bisa diajukan kepada Dinsos untuk ditindaklanjuti sebagai penerima bantuan. Jadi programnya sudah ada yang menyasar difabel, dan dengan adanya data partisipatif dari warga, ini akan sangat membantu validasi data untuk program Dinsos,” ungkap Hayati. Begitu pun, lanjut Hariyanti, untuk program-program Dinsos lainnya seperti pelatihan-pelatihan untuk kelompok perempuan dan marjinal dapat diajukan sesuai dengan prioritas hasil pendataan warga tersebut.

Selain dari Dinsos, sambutan baik juga diungkapkan oleh Dwi Yudianti dari Seksi Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banjarnegara, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kecamatan Sigaluh, Pemerintah Kecamatan Sigaluh, Tim Ahli (TA), Tim Pendamping Desa (PD), serta Tim Pendamping Lokal Desa (PLD) Kabupaten Banjarnegara. Menurut mereka, pembelajaran-pembelajaran dan praktik baik melalui pendekatan Perencanaan Apresiatif Desa (PAD) sangat penting direplikasi di desa-desa lainnya.

Proses pengorganisasian masyarakat yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta atas kerjasama Dispermades, ini juga memberikan inspirasi tersendiri bagi tim pendamping desa di Kabupaten Banjarnegara. Seperti diungkapkan oleh Suyatno, Tim Ahli (TA), praktik pengorganisasian masyarakat ini juga mulai diterapkan di desa lain oleh tim pendamping desa dan lokal desa. Strategi ini dilakukan agar pendamping desa tidak hanya fokus pada persoalan administrasi semata.

TPD Siap Berbagi Pengetahuan dan Pembelajaran ke Desa Lain

Sementara itu, Tim Pembaharu Desa (TPD) dari Karangkemiri dan Pringamba mengaku siap berbagi pengetahuan dan pembelajarannya ke desa-desa lainnya. Kendati demikian, TPD juga sadar bahwa yang terpenting pasca program adalah bagaimana agar mereka tetap aktif dan kritis mengawal semua tahapan pembangunan desa mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban.

Data-data yang telah dihasilkan secara partisipatif menjadi rujukan dalam proses mengawal pembangunan di desanya. Data-data tersebut di antaranya adalah data kewenangan desa, data kesejahteraan desa, data aset dan potensi desa, data survei layanan publik, serta data usulan kelompok marjinal. Selain itu juga data-data tersebut dimanfaatkan guna memperbaiki layanan publik di desa.

Kini data-data tersebut telah dimanfaatkan untuk proses review RPJMDesa dan RKPDesa Perubahan. Sehingga, saat ini dalam dokumen perencanaan yang baru telah muncul program atau kegiatan berdasarkan prioritas hasil data-data tersebut. Seperti di Desa Karangkemiri, saat ini telah ada program dan kegiatan yang menyasar kelompok marjinal khususnya anak putus sekolah, difabel, dan perempuan kepala keluarga miskin.

Pentingnya berbagi pengetahuan dan pembelajaran ke desa lain, juga diungkapkan oleh Wigati Sutopo, Tim Ahli (TA). Menurutnya, sayang sekali jika pembelajaran baik dari perencanaan apresiatif desa (PAD) ini hanya diterapkan di beberapa desa saja. Sehingga penting untuk disebar luaskan ke desa-desa lain, salah satunya dengan memberdayakan pendamping desa dan lokal desa yang ada di Kabupaten Banjarnegara.

====

*Penulis adalah gender specialist Infest Yogyakarta.

Ilustrasi Musyawarah

Dokumen RPJMDesa yang Partisipatif

Oleh: Diaz Alauddin*

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) adalah dokumen penting dan bermanfaat bagi masyarakat desa. Dokumen inilah yang menuntun perkembangan pembangunan suatu desa untuk 6 (enam) tahun ke depan. Apalagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Kedua peraturan tersebut menjadi landasan bagi pemerintahan desa untuk menentukan segala kewenangannya dalam mengatur dan membangun desa.

Hadirnya UU Desa, membuat Desa menjadi daerah otonomi ke-3 setelah Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten yang berhak menentukan kebijakan sendiri terhadap wilayahnya. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pun bisa dianggap sebagai Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR)-nya, yang dapat menentukan akan disetujui atau tidaknya rencana pembangunan yang diajukan Pemerintah Desa, mengawasi penggunaan Dana Desa (DD), dan meminta pertanggung jawaban atas pembangunan yang ada.

Secara bersama, Pemerintah Desa dan BPD juga dapat membuat kebijakan, atau Peraturan Desa (Perdes) sendiri agar dapat mengatur jalannya pemerintahan desa. Namun tetap dengan ketentuan ‘tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dan tidak boleh merugikan kepentingan umum’. Ketentuan lain juga disebutkan bahwa Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan.

Lantas bagaimana dengan Dokumen RPJMDesa? Sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Permendagri 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, rencana pembangunan selama enam tahun pun harus dibuat Perdesnya. Peraturan tentang RPJMDesa inilah yang menjadi dasar penyusunan dan pelaksanaan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa) setiap tahun.

Oleh karena itu, dokumen RPJMDesa harus disusun secara partisipatif, sesuai dengan kronologis, dan sistematis. Sehingga mempunyai arah serta tujuan pembangunan yang jelas, bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan, aman, damai, tentram dan tentunya agar dapat mengurangi angka kemiskinan di desa.

Partisipatif di sini juga menandakan bahwa masyarakat turut membantu membangun desa, mencoba mencari solusi secara bersama terhadap permasalahan yang ada di dalam desa. Melihat kronologi dari masalah tersebut, dan mencoba menyelesaikan masalah tersebut dengan melihat potensi yang ada dan dengan cara yang sistematis.

Untungnya Permendagri 114 ini jauh lebih baik daripada isi dari Permendagri sebelumnya, yaitu Permendagri No. 66 Tahun 2007. Isi Permendagri 114 menjelaskan lebih detail tentang bagaimana proses, susunan dan alur pembuatan RPJMDesa dan RKPDesa.

Alur Penyusunan RPJMDesa

Penyusunan Dokumen RPJMDesa harus sudah dibuat dalam 3 bulan pertama sejak pelantikan Kepala Desa. Berawal dari surat keputusan Kepala Desa untuk membentuk tim penyusun yang berjumlah 7 atau 9 atau 11 orang agar dapat menghindari dead lock, kebuntuan dalam mengambil keputusan.

Langkah pertama yang tim lakukan adalah penggalian potensi desa. Mencari data riil tentang keadaan desa, baik dilihat dari Sumber Daya Manusia, Alam, Pembangunan dan Infrastruktur, serta Sumber Daya Sosial dan Budaya. Data yang nyata sesuai kondisi lapangan dibutuhkan agar dalam penyusunan nantinya menjadi lebih mudah dan dapat menentukan arah pembangunan yang sesuai dengan potensi desa dan visi misi dari kepala desa. Tidak lupa dilakukan penggalian gagasan dari masyarakat.

Ilustrasi Musyawarah

Ilustrasi Musyawarah. Sumber

Di sinilah pentingnya partisipasi masyarakat untuk ikut dalam menentukan rencana pembangunan enam tahun ke depan. Dalam penggalian gagasan, masyarakat perlu untuk mengeluarkan segala unek-unek yang dihadapi, lengkap dengan lokasi, waktu, penyebab, besaran dampak serta jumlah terdampaknya. Tidak lupa, warga juga perlu untuk menjelaskan hal apa yang pernah dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini penting supaya dalam penggalian gagasan, seluruh masyarakat dapat secara bersama-sama menentukan harapan dan strategi yang perlu dilakukan kedepannya, menghindari kesalahan, dan tidak terulang kembali, serta melihat potensi yang ada di dalam desa. Dokumen-dokumen penelitian dan perencanaan yang sudah ada pun bisa digunakan dalam memperkuat hasil penggalian gagasan.

Sudah menjadi rahasia umum saat proses pembuatan Dokumen RPJMDesa yang difasilitasi PNPM, justru lebih banyak program PNPM yang masuk dalam perencanaan. Sehingga tidak bisa dikatakan partisipatif yang murni.

Kedua, selain penggalian gagasan, tim juga harus mengumpulkan informasi dan memilah arah kebijakan pembangunan kota/kabupaten yang berhubungan dengan desa. Penyesuaian ini dilakukan melalui pengkajian dokumen RPJM Kota/Kabupaten, Rencana Strategis dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), Rencana Tata Ruang Wilayah baik umum ataupun rinci milik Kota/Kab (RTRW), juga Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan. Bisa juga dengan melihat Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas – Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) yang sudah jelas besaran dan peruntukkan pembangunannya.

Intruksi yang ada dalam Permendagri 114, ‘penyesuaian’ berfungsi untuk memercepat respon pemerintah pada tingkatan yang lebih tinggi, dalam membantu pembangunan desa. Namun pada kenyataannya di lapangan, untuk mendapatkan Renstra, ataupun Rencana Kerja SKPD sangat sulit. Rahasia umum kedua yang juga bisa kita ketahui, bahwa dokumen renstra dan renja SKPD adalah rencana proyek kue pembangunan yang sering digunakan untuk menjadi bahan lobi dan nego. Dengan kata lain, ‘mungkin’ para SKPD enggan untuk memberikannya karena sama-sama ingin mencicipi manisnya kue pembangunan. Padahal semua dokumen yang sudah disebutkan adalah dokumen negara yang sifatnya umum, dan pemerintah desa berhak untuk mendapatkannya, sesuai dengan amanat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi.

Setelah disesuaikan ‘seadanya’, hasil tersebut dan dikelompokkan ke dalam empat bidang, yaitu: bidang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan desa, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat, dengan format yang sudah ada dalam lampiran permendagri 114. Kemudian hasil rekap dan berita acaranya diserahkan kepada kepala desa, lalu diteruskan pada BPD untuk segera ditindaklanjuti dengan mengadakan musyawarah desa. Musyawarah bertujuan untuk menentukan prioritas rencana kegiatan 6 tahun, apa keperluan yang mendesak dan mana yang bisa dijalankan di tahun-tahun berikutnya.

Dengan adanya kesepakatan musyawarah yang dibuktikan dengan berita acara, tim kemudian mulai untuk menyusun rancangan RPJMDesa. Setelah rancangan itu dibuat, kemudian dikoreksi oleh Kepala Desa. Hasil koreksi dan tidak lupa berita acaranya selanjutnya diberikan pada BPD.

Tugas BPD kini mengundang seluruh perwakilan masyarakat untuk segera menghadiri Musyawarah Desa untuk Perencanaan Pembangunan Desa atau yang biasa disebut Musrenbang Desa. Dalam musrenbang, BPD berhak menanyakan maksud dan tujuan pembangunan 6 tahun ke depan, dan kemudian menentukan apakah disetujui atau tidak rencana tersebut. Apabila BPD tidak setuju, maka kepala desa bersama tim di wajibkan untuk merevisi ulang rancangan tersebut. Sedangkan apabila disetujui dan dibuktikan dengan adanya berita acara, maka rancangan tersebut sudah sah menjadi Dokumen RPJM Des.

Langkah terakhir adalah dengan membuat dan mengesahkan Perdes yang mengatur rencana kegatan pembangunan 6 tahun tersebut, bukan dokumen RPJM-nya. Untuk kemudian setiap tahunnya diadakan rapat penentuan Anggaran dan Rencana Kerja Pembangunan.

Tertulis dalam PP No. 43 tahun 2014 penyusunan RKP Des harus melalui musyawarah desa yang dimulai sejak bulan Juni. Pada bulan selanjutnya, Juli, draft RKP Des sudah mulai dirancang. Hingga akhir September, RKP Des ini dikatakan sah apabila sudah ditetapkan dengan Peraturan Desa (Per Des) sebagai dasar penetapan APB Desa. Selanjutnya di bulan Oktober; Kepala Desa beserta BPD menyepakati Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa. Paling lambat 3 hari setelah kesepakatan, rancangan tersebut disampaikan kepada Bupati, untuk kemudian dilaksanakan evaluasi, apabila tidak disetujui. Setelah ada kesepakatan, bulan Desember akhir APB Des pun sudah dapat ditetapkan.

Kepala Desa kemudian dapat menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APB Desa kepada Bupati/Walikota setiap semester tahun berjalan. Laporan sebagaimana dimaksud untuk semester pertama disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun berjalan. Serta untuk semester kedua disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.

Studi Kasus : RPJM Des Bu Utara dan Masebewa 2016-2021

Dengan saling belajar bersama, Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) mencoba untuk memfasilitasi pembuatan RPJMDesa di Desa Bu Utara Kec. Tanawawo, dan Desa Masebewa Kec. Paga yang ada di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Kegiatan ini dimulai sejak Mei hingga September 2015.

Setelah mendapatkan Surat Keputusan (SK) Kepala Desa, Tim Desa Bu Utara yang berjumlah 9 orang, dan Desa Masebewa yang berjumlah 11 orang, mulai bergerak untuk melakukan pengkajian keadaan desanya masing-masing. Pengkajian keadaan desa menjadi cepat karena sebelumnya sudah bersama-sama membangun Sistem Informasi Desa (SID) dengan menggunakan database survei, yang mencakup hingga lingkup Keluarga, sehingga data riil sudah didapatkan.

Dalam penjaringan gagasan yang dilakukan hingga tingkat Rukun Tetangga pun, antusiasme masyarakat desa dapat dirasakan dengan jelas. Karena mereka merasa terlibat langsung dalam proses perencanaan pembangunan. Warga mengeluarkan segala permasalahan yang ada di desanya, seperti kendala air bersih, jalan rusak, tidak ada jamban, perbaikan sarana-prasarana pendidikan dan kesehatan, hingga yang mencakup urusan seni, olahraga dan keagamaan. Warga juga tidak sungkan dalam memikirkan solusi dan siap berswadaya untuk menjaga dan merawat mata air.

Namun, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diatas, untuk melakukan penyelarasan, pihak desa hanya mendapat Dokumen RTRW dan RKPD belaka. Sedangkan untuk Dokumen milik SKPD nol, tidak didapatkan. Kendala lain juga dialami karena pihak pemerintah merasa kegiatan penyusunn RPJM ini belum diinstruksikan langsung dari pusat, dengan kata lain secara birokratis belum diperintah. Dengan bermodal ‘seadanya’, akhirnya tim tetap melanjutkan kegiatan, dan langkah selanjutnya dilakukan dengan menentukan rencana prioritas dalam 6 tahun kedepan, sejak 2016 hingga 2021.

BPD yang berjumlahkan 5 orang, juga kemudian bersama-sama belajar untuk menggelar persidangan pengesahan dokumen RPJMDesa. Gabriel Mbawa, selaku ketua BPD Desa Bu Utara mengatakan bahwa dengan berjalannya proses pembuatan Dokumen RPJMDesa, baginya ini merupakan yang pertama kali dan membuat ia mengerti apa wewenang dan tugas BPD. Karena menurutnya selama ini penguatan kapasitas mengenai tugas dan fungsi lembaga yang ada di desa, masih terfokus pada urusan administrasi, seperti pelatihan penggunaan komputer, dan lainnya.

“Dengan adanya kegiatan penyusunan ini, kami selaku BPD jadi mengetahui dengan pasti apa wewenang dan fungsi BPD. Kegiatan Musrenbang untuk penyusunan RPJM Des pun ini yang kali pertama diadakan di Desa Bu Utara,” tutup orang yang biasa dipanggil pak Gabi ini.

Hingga akhirnya kemudian dilakukan pengesahan dokumen RPJMDesa Bu Utara 2016-2021 pada tanggal 27 Agustus 2015. Sedangkan untuk Desa Masebewa pembuatan dokumen ini, hanya sampai pada draft RPJM Des saja.

*Diaz Alauddin, Pegiat Desa Latung, Kec. Riung Kab. Ngata, Nusa Tenggara Timur, 2015

Sumber gambar

Mengidentifikai jenis-jenis pendataan di desa

Pengelolaan Data Kemiskinan Partisipatif

Roba’ik, seorang Kepala Dusun (Kadus) Wotgalar, Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, mengaku resah menghadapi perubahan sikap warganya. Dia merasa warga di dusunnya sudah mulai tidak percaya lagi padanya. Ketidakpercayaan warga dusun tidak hanya terlihat dari protes terkait program bantuan tetapi juga menolak terlibat dalam kegiatan di dusun dan desa.

“Selain protes, warga juga sering menolak ketika ada kegiatan yang diadakan oleh Kadus,” terang Roba’ik.

Hal tersebut disebabkan bantuan untuk warga yang didasarkan pada data kemiskinan milik pemerintah pusat maupun kabupaten seringkali tidak sesuai dengan kondisi warga yang sebenarnya. Meskipun pemerintah desa telah melakukan perubahan data tiap tahunnya, namun hasilnya tetap sama. Kondisi ini menyebabkan ternjadinya konflik antar warga maupun protes warga kepada pemerintah desa.

Bahkan, kegiatan yang sudah diagendakan tidak jarang menjadi kacau karena warga tak mau terlibat. Hasil pendataan yang tidak valid dan tidak sesuai dengan kondisi warga, berimplikasi terhadap proses pembangunan di desa.

“Bahkan meskipun dari pihak pemerintah desa telah melakukan perbaikan, hasilnya tetap sama tidak ada perubahan. Yang menerima bantuan berdasarkan data lama, jadi orang-orang itu lagi yang mendapat bantuan. Padahal kondisinya telah berubah, apalagi data terakhir yang dipakai merupakan data tahun 2011,” ungkap Roba’ik.

Pentingnya Menyepakati Indikator Lokal

Selama ini data terpadu Indonesia dikelola oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data ini akan digunakan untuk program pemerintah seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dalam proses pelatihan pemetaan kesejahteraan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta di Desa Jatilawang pada Senin-Selasa (12-13/10/15), peserta tidak ragu-ragu mengungkapkan permasalahan di desanya. Difasilitasi oleh Frisca Arita Nilawati, Manajer Program Desa Infest Yogyakarta, mereka mengidentifikasi pendataan yang pernah dilakukan di desanya baik dilakukan oleh desa sendiri maupun lembaga supradesa.

Mengidentifikai jenis-jenis pendataan di desa

Kader Pembaharu Desa Jatilawang, mengidentifikasi jenis pendataan dan indikator kesejahteraan lokal desa.

Dalam proses pembelajaran tersebut, peserta mulai menyadari bahwa salah satu penyebab program bantuan tidak tepat sasaran bermula dari data. Bisa dibayangkan, bagaimana data berdasarkan standar nasional diterapkan di semua desa. Sementara ketika terjadi ketidaksesuaian, warga hanya mampu melakukan protes ke pemerintah desa. Padahal dari proses ini, pemerintah Desa Jatilawang mengaku telah melakukan pembaruan data. Artinya, desa tidak main-main.

Selama ini ketika ada pendataan, maka persepsi warga akan diberi bantuan. Sehingga pendataan apapun, akan diidentikkan dengan pemberian bantuan. Menurut Frisca, pemahaman ini kurang tepat karena berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah desa. Bahkan bisa mengarah pada konflik antar warga. Sehingga penting untuk memberikan pemahaman kepada warga. Selain itu, penting untuk melakukan pendataan yang partisipatif. Salah satunya pendataan berdasarkan indikator lokal yang disepakati bersama warga. Apalagi dengan adanya dana desa, data milik desa ini bisa menjadi dasar perencanaan desa. Sehingga, pembangunan desa bisa dimanfaatkan berdasarkan prioritas kebutuhan desa, inklusif, dan tepat sasaran.

Dalam proses pelatihan ini, peserta yang terdiri dari kelompok perempuan, perwakilan perangkat pemerintahan dan kelembagaan di desa, menyepakati 12 indikator utama. Indikator lokal tersebut terdiri dari indikator pendapatan, pekerjaan, kondisi rumah, lahan, tanggungan, kesehatan, ternak, air bersih, pendidikan, penerangan, kendaraan, dan perhiasan. Indikator utama ini akan disepakati lagi bersama warga dalam musyawarah desa (Musdes). Sehingga bisa jadi indikator tersebut bertambah atau berubah berdasarkan kesepakatan warga, hingga siap dilakukan sensus oleh tim sensus yang juga dipilih oleh warga dari warga. [Alimah]