
Dunia pendidikan di desa Jatilawang masih sangat memprihatinkan. Hal tersebut terkait dengan masih sangat rendahnya minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan karena banyak alasan, di antaranya adalah opini masyarakat bahwa “percuma menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, toh akhirnya menikah/toh akhirnya menjadi petani”
Di desa JAtilawang terdapat 4 PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), 2 TK (Taman Kanak-Kanak), 4 SD (Sekolah Dasar), dan 1 Madrasah Tsanawiyah (MTs). Sedangkan untuk tingkat STLA masih dalam gagasan. Kondisi tempat-tempat pendidikan tersebut ada yang layak dan ada pula yang tidak layak. Salah satunya adalah keberadaan PAUD Fathammubina yang letaknya tepat di samping Balai Desa Jatilawang. Ruangannya sangat sempit, sementara siswa yang belajar di situ ada 20 siswa. Sehingga tidak nyaman dan efektif tentunya. Selain itu, ada SD Negeri Jatilawang yang terdiri atas SD 1, SD 2, SD 3 dan SD 4 Jatilawang. Berbeda dengan SD 1,2, dan 3, SD 4 pada tahun 2014 dan membuka satu kelas lagi di tahun 2015, yaitu kelas 4. Sedangkan untuk kelas 5 dan 6 mereka melanjutkan di SD 1 atau SD 3 yang jaraknya kurang lebih 7 Km dari dusun.
Di desa Jatilawang juga terdapat MTs Ma’arif Jatilawang yang muridnya tidak hanya dari desa Jatilawang, tetapi juga dari luar di sekitar Desa Jatilawang. Tetapi yang akan kita temui justru kebanyakan siswa berasal dari desa lain, hanya beberapa berasal dari desa Jatilawang.
Pendidikan di desa Jatilawang sangat memprihatinkan. Selain karena alasan terkait alasan-alasan yang telah ada di atas? bahwa terkait opini-opini bahwa pendidikan untuk mencari kerja, sedangkan kebanyakan pada akhirnya kembali kepada pekerjaan nenek moyangnya, yaitu menjadi petani bagi laki-laki, dan menikah bagi perempuan. Itulah yang menyebabkan tingginya angka pernikahan dini di desa Jatilawang.
Kebanyakan orang tua tidak berminat menyekolahkan anaknya pada tingkat SLTP. Cukup dengan lulusan SD, karena ijazah tidak digunakan untuk pendaftaran kerja sebagai buruh tani. Pernah saya mendengar seseorang menyampaikan hal-hal itu. Miris memang, bahkan suatu ketika ada seorang bapak yang datang ke rumah untuk mendaftarkan nikah putrinya yang kelahirannya tahun 2001, lulus SD didaftarkan nikah. Banyak hal yang sudah saya sampaikan, tetapi hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, dan mengatakan bahwa pendidikan tidak penting.
Banyak keluarga yang bahkan rela hanya dinikahsirikan karena belum cukup usia secara Undang-Undang pernihakan. Mereka seringkali mengangkat mitos “Perawan Tua” untuk anakn usia 15 tahun ke atas yang belum menikah.
Banyak terjadi kecurangan usia agar mereka dapat menikah secara resmi. Meski usia mereka belum cukup. Mudahnya perubahan data usia baik dari tingkat desa atau pun kecamatan dengan menambahkan umur di syarat dan prasyarat pernikahan menjadikan angka pernikahan dini di desa Jatilawang.
* Tulisan ini adalah hasil tulisan tangan Sutriyah, atau biasa disapa Yaya. Dalam tulisan ini, saya hanya membantu mengetikkan tulisan tangannya dan sengaja tidak saya edit edit agar tetap sama seperti aselinya. Yaya adalah salah satu peserta Sekolah Perempuan dari desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara. Ini adalah tulisan pertamanya tentang desanya. Di Sekolah Perempuan yang diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta, salah satu yang dipelajari peserta adalah tentang bagaimana mereka mampu menarasikan pembanguann di desanya, khsusunya aset dan potensi di desanya. Sebelumnya, mereka telah belajar tentang gender dasar, membedah Undang-Undang Desa untuk mengetahui posisi perempuan dalam pembangunan di desanya, Identifikasi mimpi desanya, Identifikasi Aset dan Potensi Desa, Membuat Peta Desa serta rangkaian materi pembelajaran lainnya.