Arsip Tag: Merdesa

Desa Sebagai Pintu Utama Pencegahan Trafficking

Perlindungan buruh migran dari hulu penting dibicarakan. Sebab, desa merupakan gerbang pertama migrasi ke luar negeri.

Dalam kelas tematik “Perlindungan buruh Buruh Migran dari Hulu” di Jambore Desa 2015, dipantik oleh Diana Kamila dari Mitra Wacana dan Harianto, Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Sementara itu, peserta diskusi hampir seluruhnya mengaku pernah bekerja keluar negeri.

Menurut Diana, desa bisa menjadi pintu utama dalam mencegah traficking jika hal-hal menyangkut buruh migran bisa ditangani secara serius. Ia menjelaskan bahwa Trafficking biasanya terkena bujuk rayu dari calo tak bertanggung jawab yang memberi iming-iming ke luar negeri.

“Salah seorang ibu pernah bekerja di Saudi Arabia menyatakan jika semula dirinya membayangkan bekerja pada suatu keluarga, tetapi ketika sampai disana, ia harus melayani empat keluarga,” ujar Diana.

Banyak buruh migran perempuan yang bekerja di diluar negeri bekerja di sektor domestik rumah tangga. Ketiadaan lapangan pekerjaan di Indonesia membuat mereka harus bekerja ke luar daerahnya. Perempuan dianggap lebih mudah mencari pekerjaan (dampak kebijakan PRT- migrant domestik worker) karena dianggap tidak banyak menuntut. Padahal menurut Harinto, buruh migran yang bekerja di sektor rumah tangga memiliki resiko tinggi.

“Buruh migran yang bekerja di luar negeri biasanya mengalami potongan gaji sampai 12 bulan dan 40% migran mengalami potongan berulang,” ujar Harianto.

Edi Wahyono, peserta asal Borobudur menceritakan temuan kasus di desanya. Pada tahun 2002 seorang warga desa diduga melakukan kongkalikong dengan memalsukan identitasnya untuk bekerja keluar negeri. Nama di KTP berbeda dengan di paspor, tetapi tidak diketahui asal-usul pihak yang diberangkatkan.

“Apakah korban menganti nama atas kemawuannya sendiri? Atau orang lain? Bisa dilakukan pengecekan di data paspor. Apabila tidak ada ini menjadi indikasi Tindak Pidana perdagangan orang (TPPO) atau trafficking,” ujar Harianto.

Dari berbagai persoalan perlindungan buruh migran dari hulu, diskusi ini menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain:

  1. Pendataan buruh migran dari desa

  2. Informasi dari desa termasuk sosialisasi, pengetahuan tentang negara tujuan, penguatan mental terhadap pekerja, dan menolak calo

  3. Penanganan kasus berbasis desa

  4. Pemberdayaan calon dan purna TKI

  5. Desa perlu memiliki Perdes tentang perlindungan hak buruh migran.

    Ini menjadi catatan bersama dalam mengawal implementasi UU Desa yang menekankan partisipasi seluruh pihak. [Noya]

*Sumber berita dari majalah MERDESA: edisi 3 tahun 2016

Desa Inklusi, Pemenuhan Layanan Setara untuk Semua Golongan

Istilah inklusi saat ini sering sekali kita dengar salah satunya adalah desa inklusi. Banyak program-program yang berkaitan dengan desa inklusi. Salah satunya oleh program PEDULI disabilitas dari Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Manusia dan Kebudayaan RI. Di beberapa daerah di Indonesia, sebagain respon adanya UU Desa dan memenuhi mandat dari Ratifikasi Konvensi Hak Penyadang Disabilitas dengan UU nomor 19 Tahun 2011. Persoalannya kemudian masih terjadi kerancuan tentang konsep insklusfitas yang akan diterapkan pada suatu desa. Hal ini terjadi tidak hanya pada masyarakat awam tapi kepada pemangku kebijakan dan penyadang disabilitas itu sendiri. Kebanyakan orang memandang inklusi hanya tentang pemberian layanan kepada penyadang disabilitas saja padahal tidak. Konsep Inklusi sebenarnya bisa dipahami sebagai “pengakuan dan penghargaan atas keberagaman”.

Masyarakat inklusi adalah masyarakat yang mampu menerima berbagai bentuk keberagaman dan mampu mengakomodasinya ke dalam berbagai tatanan maupun insfrastruktur yang ada pada masyarakat itu sendiri. Keberagaman disini meliputi : agama, budaya, bahasa, gender, ras, suku bangsa, strata ekonomi, termasuk perbedaan fisik/mental atau disebut disabilitas. Apabila keragaman ini mampu diterima dengan baik dan dianggap sesuatu yang wajar maka masyarakat akan membangun sistem layanan, interaksi dan fasilitas yang memudahkan bagai semua orang termasuk orang-orang yang mempuyai hambatan dan kebutuhan khusus.

Makna Desa Inklusi

Desa Inklusi dapat dimaknai sebagai; (1) Desa yang mampu menerima keberagaman secara positif; (2) Desa yang mampu memberikan layanan dan ruang yang aksesibel untuk semua orang; (3) Desa yang memberikan ruang gerak, berkembang dan berpartisipasi aktif sesuai dengan kebutuhananya berdasarkan keragaman dan kerberbedaan; (4) Desa yang mendorong masyarakatnya untuk positif dan berkontirbusi dalam pembangunan sesuai dengan kemampuanya berdasarkan keragaman yang ada ada; (5) Desa tempat dimana semua orang tanpa terkecuali merasakan keamanan, kenyamanan dan perlindungan yang sama.

Sehingga bisa dikatakan desa inklusi bukanlah desa yang dikhususkan untuk para penyadang disabilitas tapi desa yang menyediakan layanan khusus untuk penyandang disabilitas. Roh dari inklusi adalah mendorong pemenuhan hak yang sama dengan layanan yang setara kepada semua orang termasuk penyadang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan hamil dan serta semua masyarakat yang menjadi bagian dari desa. Pada konsep inklusivitas tidak bisa dipisahkan dengan pembuat kebijakan, bagaiamana para pembuat kebijakan mampu membuat kebijakan dan pelayanan yang sesaui dengan konsep “layanan yang setara”.

Memastikan Sistem Informasi dan Data Desa yang Akurat

Konsep ini menjadi penting, karena layanan yang sama pada semua masyarakat dikhawatirkan malah menyingkirkan masyarakat minoritas yang mempunyai hambatan dalam mengakses layanan publik. Oleh karena itu penting bagi penmbuat kebijakan untuk membuat langkah-langkah afirmasi untuk mewudjukan hal tersebut. Langkah-langkah afirmasi dapat dilakukan dengan memastikan sistem informasi dan data desa yang akurat, memberikan penguman secara terbuka, mendata ke rumah-rumah warga bahkan mendorong pelayanan langsung ke rumah bagi mereka yang tidak mampu keluar rumah karena hambatan moblitas seperti kelumpuhan.

Selain itu bisa dengan menjamin partisipasi aktif golongan yang sangat miskin maupun penyandang disabilitas dalam kegiatan BUMDesa. Pendikan usia dini di desa juga bisa menjadi inklusi dengan memberikan intensif kepada guru-guru PAUD yang bersedia menerima anak dengan HIV/AIDS, penyadang disabilitas, maupun kaum minoritas lain. Lebih jauh desa bisa menyediakan penerjamah bagi apabila warga akan melaksanakan kepengurusan kependudukan dari level desa sampai kabupaten. Untuk dapat dapat terwujudkan desa inklusi tersebut tentu saja harus ada dukungan dan komitmen dari semua pihak. (Berasil Sasongko)

*Artikel ini disarikan dari laporan mendalam berjudul “DESA INKLUSI: KONSEP DAN IMPLEMENTASI” dalam majalah “MERDESA: edisi 3 tahun 2016”, diterbitkan oleh Infest Yogyakarta.

Merdesa Edisi II: Mengeja Pengelolaan Keuangan Desa

Merdesa Edisi II Mengeja Pengelolaan Keuangan Desa

Satu tahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diimplementasikan. Dalam kurun waktu itu, banyak energi dan perhatian dicurahkan untuk urusan pengelolaan keuangan. Mulai tahun ini, sebagai bagian dari amanat UU Desa, pemerintah menyalurkan dana desa. Alokasi anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ini sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa di 434 kabupaten/kota di Indonesia.

Namun demikian, tata kelola keuangan desa tidak berhenti pada urusan uang. Dasar dari asas subsidiaritas ialah pengakuan kewenangan desa oleh negara untuk mengelola urusannya sendiri, termasuk pengelolaan anggaran. Tentu, muara yang dituju ialah kesejahteraan rakyat.

Tata kelola keuangan desa terkait mulai dari perencanaan hingga penganggaran, ketersediaan regulasi dan kualitas sumber daya manusia. Tulisan Darwanto berjudul “Mengukur Akuntabilitas Keuangan Desa” menegaskan tiga prinsip pengelolaan keuangan desa yang tak dapat dipisahkan: transparansi-partisipasi-dan akuntabilitas. Akuntabilitas bisa dilihat secara administratif dan substantif. Administratif menunjukkan sistem pengelolaan keuangan desa sesuai dengan prosedur yang ada. Sementara, substantif menegaskan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, dan realisasi.

Akuntabilitas dapat terwujud apabila didukung oleh dua unsur, transparansi dan partisipasi. Tulisan Sinam M Sutarno berjudul “Dari Desa Wujudkan Indonesia Bersih”, menujukkan pentingnya partisipasi masyarakat. Peran aktif masyarakat dalam pengawasan menjawab keraguan desa dalam mengelola keuangan. Hal tersebut menegaskan, sebagai subjek pembangunan dan berdaulat, desa mampu mewujudkan tata kelola keuangan yang berorientasi kepada kesejahteraan.

Pentingnya pengawasan dan partisipasi masyarakat juga muncul dalam wawancara dua tokoh: Johan Budi SP dan Ahmad Erani Yustika. Keduanya bersepakat bahwa partisipasi masyarakat dan pengawasan mutlak dilakukan, selain kemampuan tata kelola. Tidak sedikit desa ataupun supradesa yang ketakutan untuk mengelola dana desa yang bersumber dari APBN. Padahal, sebagai wujud dari asas subsidiaritas, dana desa merupakan hak desa yang harus dikelola untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.

Tak lupa, kabar inovasi dari desa yang bisa menjadi pembelajaran bagi para pembaca. Desa-desa mulai bergerak untuk memahami pengelolaan keuangan desa yang transparan, akuntabel, partisipatif dan disiplin anggaran. Sehingga, optimisme untuk mewujudkan desa yang berdaya, mandiri dan berdaulat terus menggelora. Terakhir, kami berharap Merdesa mampu menjadi ruang dialog dan berbagi pengetahuan. Selamat membaca

Salam Merdesa.