Arsip Tag: MAVC HIVOS

Inisiatif Masyarakat Sipil Perkuat Transparansi dan Akuntabilitas: Tingkat Desa hingga Nasional

“Nilai pertanggungjawaban tidak semata berada pada akses informasi, melainkan pada serangkaian tindakan responsif dan proaktif.”
(Fox, 2007)

Kalimat Jonathan Fox yang saya kutip ini terkait gagasannya tentang pendekatan integrasi vertikal. Integrasi Vertikal merupakan salah satu pendekatan yang dipakai untuk mengetahui respon pemerintah terhadap inisiasi kelompok masyarakat sipil dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Selama ini, akses informasi memang diyakini bermanfaat bagi warga untuk memengaruhi kebijakan pada setiap level pemerintahan dan memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan negara. Namun dalam konteks keterbukaan informasi publik di Indonesia, implementasi UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik masih menghadapi beragam tantangan.

Di lain sisi, ragam pendekatan dan metode penguatan yang diupayakan oleh kelompok masyarakat sipil perlu direfleksikan untuk menemukan catatan dan pembelajaran strategis. Inisiatif ini menyasar beragam sektor, tingkat dan cakupan geografis. Contoh pembelajaran dari kelompok masyarakat sipil serta bagaimana respon pemerintah terhadap upaya mereka, ini bisa dilihat dari hasil riset pembelajaran yang ditulis oleh Irsyadul Ibad dari Institute of Education Development, Social, Religious, and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta, tentang “Respon Pemerintah terhadap Inisiatif Transparansi dan Akuntabiltas yang Didorong oleh Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia”.

Dengan memakai pendekatan integrasi vertikal, riset pembelajaran ini ingin melihat respon pemerintah terhadap inisiatif transparansi dan akuntabilitas yang digagas oleh kelompok masyarakat sipil melalui pendekatan integerasi vertikal. Inisiatif tersebut dilakukan secara sendiri oleh masyarakat sipil maupun secara berjejaring. Inisiatif tersebut juga telah menghasilkan pembelajaran dan perubahan untuk menjawab kebutuhan warga. Ragam pendekatan diujicoba oleh kelompok masyarakat sipil, baik di tingkat desa, kabupaten, hingga nasional.

Pendekatan integrasi vertikal melihat bahwa inisiatif pada level yang tunggal (seperti sub nasional, nasional atau internasional saja) dalam upaya memperkuat tranparansi dan akuntabilitas kini tidak lagi sepenuhnya relevan (Fox, 2001). Fox juga mengkritisi kecenderungan gerakan masyarakat sipil untuk menyelesaikan gejala yang tampak (simptom) tinimbang akar persoalan pada konteks transparansi dan akuntabilitas dengan mempertimbangkan kekuasaan (baca: power) yang bertingkat dan terhubung. Fox ingin melihat pertanggungjawaban sebagai sesuatu yang substantif dan tidak semata menghasilkan keterbukaan prosedural (2007); serta mengukur efektivitas inisiatif dalam jaringan dalam level bertingkat dalam isu transparansi dan akuntabilitas (2016). Meski demikian, Fox (2007) melihat kontribusi akses pada informasi terhadap akuntabilitas pada aspek lainnya. Hal ini tidak lepas dari semakin baiknya kapasitas warga untuk menilai, mengevaluasi dan menggugat pelaksanaan mandat pelayanan sebagai implikasi dari keterbukaan.

Pada konteks isu Desa, ragam inisiasi ini di antaranya dilakukan Infest Yogyakarta dan Combine Resource Institution (CRI). Memperkuat transparansi dan akuntabilitas diinisiasi Infest melalui penguatan akses kelompok marjinal pada informasi dan pengambilan keputusan di Desa. Infest juga mengembangkan pendekatan yang dapat secara substantif meningkatkan transparansi dan akuntabilitas desa bagi warga. Infest memandang pendekatan yang semata mengarah pada pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat sepenuhnya menjawab kebutuhan perubahan di desa, terutama pada persoalan akses pada pengambilan keputusan di tingkat desa. Sementara upaya memperkuat transparansi dan akuntabilitas diinisiasi CRI melalui “Lumbung Komunitas”, yaitu sebuah program pengembangan sistem informasi untuk pengelolaan sumber daya/aset berbasis komunitas.

Kolaborasi Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil

Berdasarkan pembelajaran Infest Yogyakarta maupun CRI, kunci keberhasilan dari inisiasi yang dilakukan keduanya adalah melakukan kolaborasi dengan pemerintah desa dan organisasi masyarakat sipil. Seperti yang dilakukan oleh Infest Yogykarta dari salah satu medan percontohan Infest Yogyakarta, proses kolaborasi yang cukup intensif adalah di Kabupaten Wonosobo. Menurut Irsyadul Ibad dalam riset pembelajarannya (2017), pendekatan yang dipilih dalam upaya ini adalah kolaborasi konstruktif bersama dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Respon baik di tingkat Kabupaten mempermudah proses pelaksanaan inisiatif di tingkat desa dan kecamatan.

Pada tingkat desa, dukungan pemerintah kabupaten mendorong desa untuk membuka ruang merespon inisiatif tersebut. Meski demikian, respon beragam muncul dari desa dengan keragaman kepemimpinan dan kapasitas desa. Respon beragam ini muncul mengingat kepemimpinan dan terbukanya ruang partisipasi masyarakat desa untuk mengawasi proses pemerintahan desa sejak perencanaan hingga pelaksanaan dan pelaporan. Pertama, desa dengan kepemimpinan yang terbuka merespon baik inisiatif dengan membuka peluang implementasi menyeluruh dari proses-proses inisiatif ini. Kedua, pada desa dengan kepemimpinan yang tertutup, respon menjadi beragam. Sementara pada tingkat nasional, upaya advokasi dilakukan dengan menggandeng kelembagaan Open Government Indonesia.

Proses kolaborasi bersama pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil juga dilakukan oleh CRI dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas di Kabupaten Gunungkidul sejak tahun 2012-2017. Proses tersebut tidak lepas dari peran pelbagai pihak khususnya organisasi masyarakat sipil dan pemerintah di pelbagai level. Kolaborasi tersebut juga menjadi kunci keberhasilan terhadap penerapan penguatan transparansi dan akuntabilitas di Gunungkidul.

Solusi Kreatif dan Canggih

Dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas, proses penerapan inisiasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, mengembangkan pendekatan yang tidak semata memanfaatkan teknolongi informasi dan komunikasi (TIK), namun juga mengombinasikan pendekatan TIK dan Non TIK. Berdasarkan pembelajaran Infest, pendekatan yang semata mengarah pada pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat sepenuhnya menjawab kebutuhan perubahan di desa terutama pada persoalan akses pada pengambilan keputusan di tingkat desa.

Selain upaya yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, sejumlah kelompok masyarakat sipil lainnya dari beragam jenjang, isu, dan sektor lainnya juga menginisiasi solusi-solusi yang kreatif dan canggih dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas desa. Beberapa di antaranya adalah Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) dan para mitranya yang mengembangkan sebuah platform advokasi, yang dirancang untuk memberi para korban semua suara dalam melobi tindakan nyata dalam keadilan transnasional. Platform ini menggabungkan poling warga dan testimoni video untuk mempromosikan keadilan dan rekonsiliasi. Selain itu juga ada Open Data Labs Jakarta, lalu ada Sinergantara di Jawa Barat dengan program pemanfaatkan ICT untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa.

Ada juga PRAKARSA dengan program “Pemerintah Terbuka: Menilai Pemanfaatan e-planning dan e-budgeting Pemerintah Daerah di Indonesia”. Juga KOTA KITA dengan programnya untuk meningkatkan transparansi, inklusivitas and dampak penganggaran partisipatif di Indonesia. Serta beragam inisiasi memperkuat transparansi dan akuntabilitas dari sejumlah beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya seperti PATTIRO di Bandung, Big (Bandung Institute of Governance Studies), CIPG, WYDII (Women Youth and Development Institute of Indonesia), Sloka Institute, Transparency internasional Indonesia (TII), Save the Children, WIKIMEDIA Indonesia, dan ICW (Indonesia Corruption Watch).

Lembaga-lembaga masyarakat sipil tersebut merupakan lembaga mitra Making All Voices Count (MAVC) HIVOS Southeast Asia. MAVC HIVOS berfokus pada perhatian global tentang solusi-solusi kreatif dan canggih, misalnya penggunaan teknologi bergerak dan web, guna meyakini bahwa semua suara di kalangan warga didengarkan dan bahwa pemerintah memiliki kapasitas dan intensif untuk merespon suara-suara tersebut. MAVC berusaha merebut momen ini untuk memperkuat komitmen kami bagi terdorongnya transparansi, pemberantasan korupsi dan memperkuat warga Negara.

Dalam sebuah National Learning Event “Transforming the relationship between citizens and government”, pada Kamis (12/10/2017), Ria Ernunsari, MAVC Country Developer Indonesia-Pakistan, di Indonesia, menjelaskan bahwa MAVC telah mendukung 18 organisasi untuk mengerjakan 20 projects, yang tersebar di 37 kabupaten dan kota serta 258 desa di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali. Tema yang dikerjakan oleh MAVC tersebut dilakukan sejak tahun 2014, terkait dengan peningkatan layanan publik melalui penerapan data terbuka dan pelaksanaan Undang-undang Desa. Secara garis besar, setengah dari para mitra MAVC menggarap isu partisipasi warga dan setengahnya lagi terkait dengan pemerintah yang responsif. Dalam lingkup bidang transparency anda accountability, penggunaan teknologi yang menjadi titik tolak MAVC, dimana MAVC telah mendapati banyak sekali sisi-sisi pembelajaran.

Dalam pernyataannya, Ria Ernunsari juga mengungkapkan bahwa sebagai program yang mengusung teknologi, MAVC menyadari bahwa mereka bekerja di target yang terus bergerak dan kemampuan menembak sasaran terus berubah tempat. Namun, dokumentasi dari pergerakan dan sasaran ini perlu untuk terus dibuat dan bisa diakses oleh siapa saja mengingat pembelajaran soai ini masih sangat minim baik di Indonesia maupun di dunia.

Saya sendiri yang menyaksikan langsung pemaparan hasil pembelajaran dari inisiatif yang sudah dilakukan mitra MAVC, memandang pembelajaran mereka sangat penting dan inspiratif. Apalagi inisiasi yang dalam penerapannya tidak hanya menggunakan pendekatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tapi juga mengombinasikan dengan pendekatan non TIK sebagai bagian dari upaya solutif, kreatif dan canggih. Selain itu juga melalui rangkaian kegiatan penguatan kapasitas masyarakat, berkolaborasi dengan pemerintah dan berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil lainnya.

===
Keterangan Penulis:
Alimah Fauzan adalah Gender Spesialist di Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta). Sumber tulisan ini di antaranya berdasarkan data hasil penelitian Irsyadul Ibad dan tim Infest Yogyakarta tentang “Respon Pemerintah terhadap Inisiatif Transparansi dan Akuntabiltas yang Didorong oleh Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia” serta data yang telah dipresentasikan dalam National Learning Event “Transforming the relationship between citizens and government” yang diselenggarakan oleh Making All Voices Count (MAVC) HIVOS Southeast Asia, di Jakarta (Kamis 12 Oktober 2017).

Sungaiku Sayang, Sungaiku Malang

Penambangan emas secara membabi buta menghancurkan semuanya, sungai dikeruk pasirnya sehingga terjadi pendangkalan, tempat bertelur bagi ikan rusak, yang ada hanya gurun pasir di mana-mana. Orang kami menyebut tempat ikan sebagai Lubuk, sudah tidak ada. Belum lagi saat kemarau, tangan-tangan jahil dari warga kami meracuni ikan, yang hampir tiap kemarau tiba selalu hal yang sama mereka lakukan, lalu kapan ikan akan berkembang. Namun setelah pemetaan aset dan potensi desa, kami mulai berbenah, salah satunya dengan pelibatan dan penguatan lembaga adat di desa kami.

Ditulis oleh Agus Hariyanto*

Sungai adalah sumber kehudipan bagi berbagai jenis biota air tawar yang ada di dalamnya, kelestarian ekosistem air akan sangat berpengaruh bagi kehidupan hewan air dan masyarakat pemanfaat hasil dari air. Desa kami dilintasi sungai terbesar dan terpanjang di Kecamatan Rimbo Bujang, yang menurut para pendahulu kami diberi Nama “Sungai Alai”. Sungai ini berhulu diperbatasan Provinsi Sumatera Barat membelah kecamatan Rimbo Ulu, Kecamatan Rimbo Bujang, Kecamatan Rimbo Ilir dan berhilir di Kecamatan Tebo Tengah (yang merupakan Ibu Kota kabupaten Tebo).

17362678_1386549034700731_574373894546531228_n

Kondisi sungai Alai (foto oleh David)

Dahulunya sungai ini dijadikan sebagai sarana transportasi bagi PT. ALAS, perusahan HPH yang memanfaatkan hasil hutan sebelum dijadikan sebagai tempat transmigrasi bagi orang tua kami. Sungai ini dijadikan oleh perusahan tersebut untuk mengangkut kayu alam dari hulu sungai alai kehilir dengan cara menyatukan kayu LOG menjadi sebuah perahu. Selain itu juga sebagai rumah bagi para pekerja sebelum sampai kesungai besar (Batang Tebo) kemudian ke Sungai Batang Hari hingga sampai ke Soumel pengolah kayu.

“Jangan ditanya soal ikan sungai ini, dahulunya sangat berlimpah,” ungkap Sriyanto, salah seorang eks pekerja PT. ALAS.

“Ketika membawa kayu melalui sungai alai, ikan sering melompat keatas kayu rakitan yang mereka kendarai, tinggal ambil dan dijadikan santapan sehari-hari selama berada diatas kayu rakitan tersebut,” paparnya pelahan.

Bahkan, lanjutnya, masyarakat adat setempat (Suku Anak Dalam) jika mencari ikan tidak menggunakan kail, tetapi hanya menggunakan sebuah rotan yang diberi umpan dengan seekor katak, tinggal tunggu sebentar saat ikan kelihatan akan memakan umpan kemudian mereka menggunakan sebuah tumbak sebagai penangkapnya. “Mudah sekali bukan?”.

Pelibatan dan Pengatan Lembaga Adat

20170214gdfgfg

Kondisi sungai alai

Kini, apa daya, akibat Peti dan ilegal Fishing membuat semuanya hanya menjadi cerita menjelang tidur bagi anak cucu nanti. Penambangan Emas secara membabi buta menghancurkan semuanya, sungai dikeruk pasirnya sehingga terjadi pendangkalan, tempat bertelur bagi ikan rusak, yang ada hanya gurun pasir dimana-mana. Orang kami menyebut tempat ikan sebagai Lubuk, sudah tidak ada. Belum lagi saat kemarau, tangan-tangan jahil dari warga kami meracuni ikan, yang hampir tiap kemarau tiba selalu hal yang sama mereka lakukan, lalu kapan ikan akan berkembang.

Tahun 2016, semenjak ada Tim Pembaharu Desa (TPD) yang memetakan aset dan potensi desa, kami mulai bergerak menyusun strategi pelestarian sungai dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan pelibatan dan penguatan Lembaga Adat. Kami mulai pelajari potensi dan tantangan-tantangannya, berbagai pihak kami ajak musyawarah demi penyelamatan sungai. Maka, kami bentuk lembaga adat yang mengurusi khusus tentang sungai, yang anggotanya adalah para penambang emas tanpa ijin (PETI) dan para Pelaku Ilegal Fishing. Setiap pelanggaran akan dikenakan sanksi adat dan sanksi pidana. Mulai dari sungai-sungai kecil di desa Tirta Kencana untuk tahun 2017, yang diharapkan kedepannya dapat berkembang sampai kepada pelestaraian sungai Alai yang kondisinya sudah cukup parah.

Strateginya adalah pembuatan keramba apung di sepanjang sungai desa Tirta Kencana. Pengawasan dilakukan oleh Pemdes dan Masyarakat, pelaksanaan kegiatan ini dilakukan oleh Lembaga Adat yang membidangi sungai. Berhasilkah program ini, kami sangat optimis jika program ini dilaksanakan dan diawasi secara benar, maka bukan tidak mungkin pasti tercapai.

==========

Keterangan Penulis:

*Catatan pembelajaran ini ditulis oleh Agus Hariyanto, salah satu warga sekaligus Koordinator Tim Pembaharu Desa (TPD) Tirta Kencana, Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi. Agus juga menjadi pendamping lokal Desa Tirta Kencana dalam proses perencanaan apresiatif desa, salah satu kegiatan dari program kerjasama antara Institute for Education Development, Social, and Religious Studies (Infest), Pemdes dan Pemda Tebo. Selain Desa Tirta Kencana juga ada Desa Tegal Arum dan Teluk Singkawang yang didampingi Infest Yogyakarta yang telah membentuk tim pembaharu desa (TPD) untuk Perencanaan Apresiatif Desa (PAD). Program ini didukung oleh Making All Voices Count (MAVC) HIVOS.

Sumber gambar: sungai alai,