Arsip Tag: Kemendesa

KPK: Desa Jangan Takut Pengawasan Dana Desa oleh Polri

“KPK juga sedang mengembangkan kapasitas dan pendidikan bagi Polri. Karena terkadang mereka baca data, tapi belum tentu mampu memahami apa yang dibaca dan maksud penggunaannya.”

(Benidictus Siumlala MS, perwakilan dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK)

Masih ingat nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Polri dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), juga Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa)? Tepatnya pada 20 Oktober 2017 mengenai pengawasan dana desa.

Dalam nota kesepahaman tersebut, diatur kerja sama terkait pencegahan, pengawasan, dan penanganan permasalahan dana desa. Acara penandatanganan MoU itu dihadiri oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Mendes Eko Putro Sandjojo, beserta jajaran di masing-masing lembaga.

Dalam perkembangannya, pengawasan yang dilakukan Polri di tingkat desa menjadi momok tersendiri. Apalagi ruang gerak Pemdes yang merasa terawasi dalam mengelola keuangan desanya. Termasuk ketika desa tiba-tiba didatangi pihak kepolisian dengan meminta data-data keuangan.

Tema mengenai pengelolaan dana desa juga mengemuka dalam diskusi terbuka bertema “Menembus Keumuman: Inovasi Penguatan Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan”. Diskusi ini diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta, pada Sabtu (10/3/18) di Jogja Nasional Musium (JNM) dalam rangkaian acara Jagongan Media Rakyat (JMR) 2018.

Diskusi terbuka yang difasilitasi oleh Irsyadul Ibad (Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta), ini menghadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diwakili oleh Benidictus Siumlala MS (Beni) dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK. Selain KPK, hadir juga Simon Edward perwakilan dari Ditjen PKP Kemendesa PDT dan Transmigrasi, juga Irma Nurul Fastikah perwakilan dari Pemkab Wonosobo, Dulrohim sebagai Kades Ngadikerso di Kabupaten Wonosobo, serta Saptoyo, pewakilan dari Staf Ahli Bupati Gunung Kidul.

Terkait pengawasan dana desa yang dilakukan oleh Polri di tingkat desa, KPK menyarankan agar Pemdes tidak perlu khawatir. Alasannya karena sampai saat ini keterbatasan jumlah Babinkamtibmas di desa yang belum sebanding dengan jumlah desa di seluruh Indonesia. Hal yang juga penting adalah minimnya kapasitas Babinkamtibmas dalam mengawal pengelolaan dana desa.

“Pembahasan yang menarik adalah tentang soal ketatnya pengawasan, sekadar info, dari semua desa, hanya ada lima puluh ribuan Babinkamtibmas. Itu kalau dihitung rangkap, tidak sebanding jumlah desa. Jadi sebenarnya polisi masih kurang. Jadi tidak perlu takut. Kita juga menanggapi MoU antara Kapolri dan Kementrian Desa. Kita juga sedang mengembangkan kapasitas dan pendidikan Polri. Karena terkadang mereka baca data, tapi belum tentu mampu memahami apa yang dibaca dan maksud penggunaannya,” jelas Beni di depan seluruh peserta diskusi dan narasumber lainnya.

Beni juga menambahkan, soal transparansi, KPK saat ini sedang mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Peran masyarakat mulai dari pembuatan regulasi sampai pengawasan. Jadi beragam stakeholder dilibatkanm baik dari layanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat desa (PMD), maupun komunitas. Hal ini seperti yang sedang diterapkan di Riau. Karena selama ini baik dari Pemdes maupun komunitas, biasanya ada semacam gap dan rasa curiga.

Jadi bagaimana caranya agar pemerintah dan komunitas saling berpikiran negatif, maka perlu melibatkan keduanya untuk mengikis anggapan negatif dari masing-masing pihak dan menurunkan ego mereka. Kegiatan edukasi tentang pengawasan dana desa ini salah satunya dilakukan sosialisasi tentang pengawasan dana desa. Tujuan sosialisasi agar masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya, bahwa ada kewajiban pemerintah desa dan juga komunitas.

Open Data Keuangan Permudah Akses Masyarakat

Terkait kecurigaan warga kepada pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa, hal ini juga dirasakan oleh Pemdes di Kabupaten Wonosobo. Namun, setelah Kabupaten Wonosobo menerapkan open data keuangan desa, rasa saling curiga mulai terkikis. Karena dengan open data keuangan desa, bukan hanya pemerintah desa dan kabupaten yang mampu mengakses, namun juga masyarakat secara umum.

Open data keuangan desa merupakan salah satu prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan desa. Kabupaten Wonosobo merupakan daerah model yang menerapkan open data keuangan desa yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta. Seluruh Desa di Kabupaten Wonosobo sudah menerapkan open data keuangan desa. Menurut Irma, Pemkab Wonosobo, dengan menerapkan open data keuangan desa, kini Pemdes bisa secara terbuka memperlihatkan data-data pengelolaan keuangan desanya kepada pengawas dana desa, termasuk kepada Polri yang datang meminta data.

“Kami sudah mengembangkan perencanaan apresiatif desa (PAD) dan warga terlibat dalam setiap tahapan pembagunan desa. Ini menjadi tanggungjawab bersama. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah media atua platform yang mendampingi, jangan sampai ada kecurigaan di antara kita. Kami saat ini menggunakan open data keuangan desa yang bisa diakses oleh siapapun. Jadi desa kini saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam pengelolaan dana desa,” ungkap Irma.

Irma juga menegaskan bahwa, meskipun saat ini penerapan open data telah berjalan, namun proses yang cukup panjang. Penerapan open data yang dinisisiasi oleh Infest Yogyakarta jgua tidak terlepas dari sejumlah tantangan, apalagi Pemdes sebelumnya telah menggunakan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). Sehingga dalam prosesnya juga pernah terjadi penolakan yang dilakukan oleh sejumlah desa. Namun open data melalui aplikasi “mitradesa” bukanlah sebuah perangkat yang tidak bisa diubah. Karena dalam pelaksanaannya, Pemkab Wonosobo dan Infest Yogyakarta sangat mengapresiasi setiap perubahan yang diusulkan sesuai usulan Pemkab dan Pemdes.

“Karena selama ini mereka memang menggunakan aplikasi Siskeudes. Sedangkam kami (Pemkab wonosobo) memiliki komitmen agar laproan semua desa dapat diakses bukan hanya pemerintah kabupaten dan desa, namun warga juga mampu mengaksesnya. Ternyata dengan open data keuangan melalui aplikasi mitradesa, kini warga mampu mengakses laporan keuangan desa,” jelas Irma.

Selain pembelajaran dari Wonosobo, pembelajaran penting lainnya juga bisa diketahui dari pemaparan Saptoyo, Staf Ahli Bupati. Salah satu pembelajaran yang disampaikan Saptoyo adalah penerapan Sistem Informasi Desa (SID) di Kabupaten Gunung Kidul. SID di Gunung Kidul dikembangkan oleh Combine Resource Institute (CRI). SID dalam perkembangannya telah banyak menciptakan perubahan, baik di tingkat Desa maupun Kabupaten. Kini SID juga telah diterapkan di sejumlah daerah baik Jawa maupun luar Jawa.

Menurut Irsyadul Ibad, selaku fasilitator diskusi, pembelajaran di Kabupaten Wonosobo maupun Kabupaten Gunung Kidul merupakan bagian dari beragamnya inovasi mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Inovasi ini dilakukan bersama dengan organisasi atau kelompok masyarakat sipil, misalnya berupa penerapan sistem informasi desa (SID) di Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta) dan open data keuangan desa di Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah). Beberapa desa juga menciptakan inovasi sendiri untuk memperkuat desanya, mulai dari pembangunan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), penguatan kelompok perempuan dan sebagainya.

Ruang inovasi tersebut berhasil memunculkan praktik baik dan ragam pembelajaran. Hal positif tersebut perlu diapresiasi oleh pemerintah di pelbagai tingkat. Selain itu, pembelajaran tersebut perlu diarusutamakan sehingga bisa mendorong desa lain untuk belajar. Ragam pembelajaran tersebut juga perlu disampaikan kepada pengambil kebijakan di tingkat nasional untuk memberikan wawasan baru dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan desa. [Alimah]

Cegah Korupsi Dana Desa, Latih Pemdes Saja Tidak Cukup

Awal pekan ini Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali merilis data korupsi dana desa. Kasus tindak pidana korupsi di desa kian meningkat, bahkan sampai dua kali lipat per tahun pada kurun waktu 1025 hingga 2017.

Menurut wakil koordinator ICW Agus Sunaryanto, melalui KOMPAS (6/2/18), pemerintah memang telah berupaya mencegah penyalahgunaan dana desa. Korupsi dana desa meningkat dari 17 kasus pada 2015 menjadi 41 kasus (2016) dan 96 kasus (2017). Dari total 154 kasus korupsi itu, ada 127 kasus yg melibatkan anggaran desa. Objek anggaran meliputi: alokasi dana desa, dana desa, dan kas desa.

Kasus-kasus korupsi itu melibatkan melibatkan 112 kepala desa (Kades), dan 32 anggota perangkat desa, dan 3 anggota keluarga. Jumlah kerugian negara pada 2015-2017 akibat kasus itu diperhitungkan mencapai Rp 47 miliar.

Libatkan Warga pada Semua Tahapan Pembangunan

Program peningkatan kapasitas perangkat desa terus dilakukan sejak 2015. Menurut Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri Nata Irawan mengatakan, penyalahgunaan dana desa sebagian besar terkait dengan persoalan sumber daya manusia. Oleh karena itu, dari target 220.000 perangkat desa, pemerintah sudah melatih 150.000.

Sayangnya, memperkuat kapasitas Pemdes dan perangkatnya saja tidaklah cukup. Berdasarkan pengalaman pembelajaran Sekolah Desa, penguatan kapasitas pemerintah desa dan perangkatnya saja tidaklah cukup. Masyarakat juga perlu disadarkan tentang pentingnya terlibat dalam setiap tahapan pembangunan di desa, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan pertanggungjawaban.

Penguatan kapasitas pembangunan desa bagi warga, di antaranya bisa dilakukan kepada perwakilan kelembagaan yang ada di desa baik formal maupun informal. Hal ini penting dilakukan dengan melibatkan pendamping desa dan pendamping lokal desa. Khususnya pengawasan yang dilakukan masyarakat terkait mekanisme pencairan anggaran yang berpotensi digunakan untuk kepentingan politik. Peranan masyarakat dalam mengawasi perencanaan dan penggunaan dana desa perlu lebih transparan. Sehingga diharapkan dapat menghindari terjadinya penyelewengan yang memiliki konsekwensi hukum terhadap mereka.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, masyarakat berhak mendapat informasi dan terlibat dalam perencanaan hingga implementasi dana desa. Pengawasan yang melibatkan masyarakat juga diperlukan untuk memperkuat kesadaran dan komitmen pemerintah desa, transparan dan akuntabel.[]

sumber gambar: danadesa

 

Pemuda Desa Tegal Arum Kelola Kebun Hingga BUMDesa

“Satu tahun lalu, tanah ini ditemukan oleh Tim Pembaharu Desa (TPD) yang memetakan aset dan potensi desanya. Saat itu tanah seluas 1 Ha ini hanya berupa semak belukar. Kemudian terbentuklah sekelompok pemuda yang ingin mewujudkan “go green” di desa dengan mengelola aset ini. Sekarang tanaman cabenya sudah berbunga, dan tinggal menunggu panen.”

(Rohmad Annas, Kades Tegal Arum)

Masih ingat tim pembaharu desa (TPD) Tegal Arum, Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Propinsi Jambi? Di laman ini saya beberapa kali menuliskan kisah mereka serta kolaborasi mereka bersama kelompok perempuan dalam mengelola kebun tanaman obat keluarga (Toga) di desanya. Pemuda penggerak desa (PPD) ini sangat kreatif, kritis dan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan di desanya. TPD sendiri merupakan tim yang dibentuk secara partisipatif dalam mewujudkan perencanaan apresiatif desa (PAD).

Tahun 2016-2017, TPD dibentuk dan menghasilkan data-data partisipatif yang sangat dibutuhkan dalam proses perencanaan pembangunan desanya. Mereka terdiri dari berbagai kelompok di desa, termasuk kelompok pemuda dan perempuan di desanya. TPD terbagi dalam 5 tim, yaitu tim aset dan potensi desa yang telah menghasilkan data aset dan potensi desanya. Lalu, ada tim kewenangan desa yang menghasilkan data dan Perdes Kewenangan Desa. Selain itu ada tim kesejahteraan lokal yang telah menghasilkan data kesejahteraan lokal desanya, serta tim penggali usulan kelompok marjinal dan tim survei perbaikan layanan publik. Kedua tim tersebut telah menghasilkan data usulan kelompok marjinal dan data prioritas layanan publik.

Memasuki tahun 2018, mereka pun tetap aktif dan produktif menginisiasi beragam kegiatan di desa. Kabar terbaru, mereka telah menginisiasi sebuah kebun sayur mayur yang awalnya hanya lahan yang dipenuhi semak belukar.

Lahan yang kini dimanfaatkan pemuda desa untuk menanam cabe dan tanaman sayur mayur lainnya (foto: Kades Tegal Arum)

Menurut Kepala Desa (Kades) Tegal Arum, Rohmad Annas, lahan yang dipenuhi semak belukar itu ditemukan oleh TPD yang memetakan aset dan potensi desanya pada tahun 2016. Saat itu tanah seluas 1 Ha ini hanya berupa semak belukar. Kemudian terbentuklah sekelompok pemuda yang yang memiliki misi untuk mewujudkan “go green” di desanya. Hingga lahan tersebut kini dikelola oleh pemuda desa sebagai salah satu aset desa yang sangat berpotensi.

Di awal pengelolaannya, para pemuda itu menanam cabai, yang kini sudah mulai berbunga dan tinggal menunggu panen. Menurut Rohmad Annas, apa yang dilakukan para pemuda ini tidak hanya menanam, namun juga mengelola, bagaimana mendapatkan bibit, pupuk dan sekian kebutuhan lainnya.

Wujudkan BUMDesa di Bidang Konveksi, Jasa Transfer Uang, dan Bidang Lainnya

Selain inisiasi pemuda desa dalam mengelola kebun. Tim Pembaharu Desa yang tergabung dalam tim Survei Pelayanan Publik juga memiliki data warga yang kurang mampu. Dari data hasil survei partisipatif tersebut, di antaranya telah mendorong perbaikan layanan publik di desa. Kabar terbaru, warga miskin khususnya dari kelompok perempuan, kini telah mendapatkan pelatihan menjahit.

Setelah kurang lebih 5 bulan mereka telah dibekali ketrampilan, salah satunya melalui pelatihan menjahit. Pemdes dalam hal ini bekerjasama dengan semua lembaga pendidikan di Desa Tegal Arum, serta merangkul semua kelompok di desa. Kekompakan warga ini rencananya akan mendirikan sebuah usaha bersama dalam bidang konveksi. Sehingga kebutuhan warga di desa dalam pembuatan baju, kaos, dan lain-lain dapat dipenuhi oleh desanya sendiri di bawah naungan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).

Meskipun banyak warga yang tidak mengenyam pendidikan menengah atas maupun bangku kuliah, namun mereka semakin semangat dan percaya diri mampu mendapatkan penghsilan dengan keringat mereka sendiri.

BUMDesa di Desa Tegal Arum berdiri tahun 2017. Kini telah mengelola beberapa cabang, termasuk mengelola jasa bagi orang tua di desa yang mau mengirimkan uang ke anaknya di luar kota. Mereka kini tidak perlu lagi berjalan puluhan kilometer, karena BUMDesa kini telah membantu kebutuhan mereka.

Rohmad Annas juga menceritakan aset desanya bukan hanya dari lahan, BUMDesa, namun juga pasar yang telah lama berdiri. Menurutnya, aset yang terdata sudah ratusan juta lebih, dan belum lagi aset-aset lainnya. Tentu itu menjadi sabuah peluang ke depan dan mudah-mudahan kami bisa mengelola dengan baik.

BUMDesa berperan dalam mendukung 60 usaha kecil. Pengelolaannya melalui pendampingan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar dan kemudian pelaku usaha dibantu dalam pemasaran produk. Satu di antara produk unggulannya adalah beras ubi yang merupakan hasil dari pertanian masyarakat kemudian dipasarkan dalam lingkup desa setempat.

Dengan mengadopsi kreasi dari Jawa ubi diolah sedemikian rupa sehingga menjadi beras yang layak konsumsi. Dari alokasi Rp 161 juta ini pun mampu memenuhi kebutuhan tupoksi BUMDesa. Kepala desa Desa Tegal Arum, Rahmat menjelaskan jika pemerintah desa turut serta memantau dan membimbing agar pengelolaannya tepat sasaran. Pengelolaan BUMDesa yang baik akan memberikan banyak faedah dan manfaat bagi masyarakat yang ada di desa tersebut. Sejumlah manfaat ini diperoleh melalui berbagai kreatifitas azas manfaat yang dirumuskan dalam pengelolaan BUMDesa. [Alimah]

 

 

Gerakan Agar Orang Miskin Tidak Mudah Sakit

Pelayanan kesehatan dasar yang paling prinsipil berada di tengah komunitas

Awal tahun ini kembali muncul kabar duka meninggalnya seorang bayi yang baru dilahirkan seberat 2,6 kg, di RSU Aceh Singkil, Aceh. Meninggalnya dikabarkan karena perawat di RSU Aceh Singkil tidak menangani secara profesional. Salah satunya dikarenakan tidak adanya petugas medis (perawat) yang bisa pasang infus bayi. Sebelumnya, kabar kematian seorang anak balita di Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Jateng). Balita Icha Selfia diduga meninggal dunia lantaran ditolak pengobatannya di Puskesmas.

Hati siapa yang tidak perih menyaksikan kematian seorang balita, apalagi diduga karena kelalaian dari pelayanan kesehatan terdekat, atau mungkin karena orang tua yang teledor, pemerintah yang kurang responsif, atau bisa jadi karena tidak adanya kesadaran masyarakat sekitar membantu keluarga bayi. Terlepas bahwa itu sudah takdir Tuhan, seharusnya ada gerakan dari warga sekitar, sebagai upaya dini untuk menolong keluarga si bayi atau siapapun yang tengah menghadapi kondisi kritis.

Berdasarkan pengalaman pendampingan di beberapa desa baik di Jawa maupun luar Jawa, pemerintah desa dan masyarakat pada umumnya masih gagap menghadapi situasi darurat ketika ada warganya yang sakit. Masyarakat juga pada umumnya masih berpikir bahwa pelayanan itu selalu berada di rumah sakit maupun dalam Puskesmas. Padahal, sebenarnya pelayanan kesehatan dasar yang paling prinsipil berada di tengah komunitas. Tidak banyak yang berpikir bahwa pelayanan kesehatan secara tradisional misalnya, bisa diupayakan oleh masyarakat itu sendiri.

Lalu bagaimana caranya warga mampu melindungi dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya? Begitu banyak pembelajaran positif yang telah dilakukan sejumlah komunitas di desa-desa baik Jawa maupun luar Jawa. Pembelajaran ini juga bisa diterapkan di desa-desa lain.

Pengelolaan Pelayanan Kesehatan Berbasis Desa

Saat ini belum semua desa mengenal praktik pengelolaan kesehatan berbasis masyarakat. Pengelolaan kesehatan ini salah satu tujuannya adalah mencoba menemukenali kebutuhan dasar masyarakat tentang kesehatan. Selain itu, membantu masyarakat dalam mengatasi kesulitan memperoleh pelayanan kesehatan dasar, yang setiap saat dibutuhkan. Yang juga sangat penting adalah meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam berpartisipasi dan mengontrol kualitas pelayanan yang diberikan. Baik oleh dokter maupun bidan, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas tetap terjamin. Artinya di sini ada upaya untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat desa.

Meskipun kini sejumlah desa sudah mulai memiliki Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa (PKD) dan Posyandu menjadi otoritas desa, tetapi tidak sepenuhnya menjadi milik desa. Tetap ada pola “urusan bersama” antara desa dengan supra desa untuk mengelola tiga jenis institusi pelayanan kesehatan tersebut. Perencanaan, pengelolaan dan pendanaan atas Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa dan Posyandu merupakan kewenangan desa, sedangkan pembinaan teknis merupakan kewenangan dinas kesehatan.

Peningkatan kesehatan warga tentu tidak cukup hanya dilihat dari sisi kelembagaan itu. Kesehatan berbasis desa mengandung kewenangan, kebijakan, gerakan, kelembagaan, sumberdaya manusia dan pelayanan yang melibatkan aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. Kebijakan desa merupakan pintu masuk dan pengikat bersama pelayanan kesehatan. Praktik pengelolaan pelayanan kesehatan berbasis desa contohnya seperti praktik pembelajaran di desa-desa Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Kupang (Sutoro Eko, 2014).

Desa-desa di Sumba Timur telah memiliki Perdes tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Perdes ini mengatur dan mewajibkan semua ibu hamil melahirkan di sarana kesehatan dan anak balita dibawa ke posyandu. Jadwal pemeriksaan rutin juga disepakati bersama masyarakat. Selain itu Perdes ini juga mengatur dan mendorong gerakan warga tentang penyediaan dana sehat ibu melahirkan (Dasolin) yang sewaktu-waktu dapat digunakan jika ada ibu yang melahirkan maupun dalam bentuk tabungan untuk ibu melahirkan (Tabulin).

Di Desa Tana Modu, Sumba Tengah, ada dua kegiatan yang digerakkan desa yaitu gerakan WC sehat, gerakan gizi anak balita, dan pengelolaan air bersih. Sejak tahun 2012 desa membuat seruan pentingnya membangun WC Sehat secara swadaya. Semua lembaga desa termasuk Karang Taruna, LPM, dan PKK, dilibatkan untuk fasilitasi dan memantau jalannya kegiatan. Peran Posandu juga bukan hanya dalam penimbagan bayi, imunisasi dan pemberian makanan tambahan, tetapi mengalani penguatan yang mengarah pada: Pelayanan kesehtan ibu dan anak (KIA), pelayanan keluarga berencana (KB), pelayanan imunisasi, pelayanan gizi, pelayanan penanggulangan diare, gerakan PHBS, pengembangan obat tradisional.

Di Desa Oleominana, Kupang, para kader perempuan melakukan gerakan membentuk jejaring siaga dusun, melakukan survei mawas diri untuk menunjukkan jejaring siaga dusun, melakukan survei mawas diri untuk menunjukkan kualitas keehatan desa, menghimpung dasoli (Dana solidaritas ibu bersalin) dan tabulin (tabungan ibu bersalin). Desa Kasetnana, menghadirkan inovasi dan revitalisasi dan revitalisasi posyandu sebagai pusat informasi dan konseling bagi anak dan perempuan.

Pengembangan Aset Lokal untuk Kesehatan Warga

Di sejumlah desa, praktik pengembangan aset lokal untuk kesehatan warga sebenarnya sudah dilakukan. Biasanya dipelopori oleh kelompok perempuan terutama Kelompok Wanita Tani (KWT), salah satunya melalui program pengembangan tanaman obat keluarga (Toga). Seperti praktik di salah satu Dusun di Ende, Sulawesi Tenggara. Desa tersebut pernah mengalami tingkat gizi buruk yang tinggi.

Upaya mencukupi gizi warga dusun di Ende tersebut adalah melalui penanaman sayur-sayuran. Hasilnya, sayur-sayuran ini kemudian dibagikan ke warga. Dalam jangka waku tiga tahun, sebagian besar warga desa tersebut sudah mulai menanam sayuran. Bahkan sekarang mereka sudah menikmati kelebihan hasil panen. Sayuran dari daerah itu juga sudah mulai dikirim ke daerah-daerah lain. Persoalan gizi mulai bisa diatasi sejalan dengan peningkatan ekonomi. Melalui sebuah program pendampingan, para ibu rumah tangga dan petugas posyandu digerakkan untuk mengolah makanan lokal pengganti nasi. Ternyata mereka sangat mampu. Warga pun berhasil mengolah makanan yang bergizi, yang berasal dari lingkungan mereka sendiri (Erni, MERDESA, 2016).

Mendorong pelayanan kesehatan terutama bagi rakyat miskin harus mengembangkan aset-aset lokal yang ada. Di sinilah pentingnya mengenal potensi lokal yang ada. Masyarakat desa seharusnya dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan mereka untuk kesehatan. Misalnya melalui sektor pertanian, bukan hanya dipandang sebagai sumber pangan atau ekonomi, tetapi juga sumber kesehatan. Padangan seperti ini, akan mengubah cara masyarakat dalam memperlakukan tanaman. Dengan demikian, upaya untuk menjaga masyarakat tidak sakit akan lebih diperhatikan.

Dari pembelajaran desa-desa tersebut, tentu pengembangan kapasitas warga seperti ini jauh lebih baik daripada mengharapkan bantuan dari luar. Khususnya upaya menggerakkan partisipasi aktif warga desa untuk menyejahterakan dirinya sendiri.

===

Keterangan penulis: Alimah Fauzan adalah gender specialist Infest Yogyakarta . Tulisan ini telah dipublikasikan terlebih dahulu di GeoTimes.