Arsip Tag: Kemandirian

Produksi Konsumsi: Praktik Kemandirian Desa Wulungsari

Oleh: M. Affandi

Pada Rezim Orde Baru, pengaturan desa melalui pemberlakuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa memunculkan tiga dampak: pertama, hilangnya konsep pemerintahan lokal yang berasaskan tradisi masyarakat; kedua, pemerintahan desa telah melahirkan konflik kultural dan struktural dalam masyarakat lokal; ketiga, lenyapnya sumber-sumber produksi-konsumsi masyarakat lokal akibat meluasnya pembangunan.

Terkait dengan poin ketiga, banyak desa kehilangan sumber daya alam yang sebelumnya telah berperan penting sebagai basis penyedia pangannya. Hal ini juga membawa dampak serius lain, berupa terlemparnya masyarakat desa menjadi konsumen pasif di dalam rezim pasar yang baru. Dampak ini belum termasuk nilai pengetahuan yang lenyap.

Kini, saat peluang untuk menata kembali desa menjadi satu komunitas yang otonom dihadirkan lewat berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagian besar desa mulai berbenah melawan kejahatan kapitalisme pasar. Harapan idealnya ialah ekonomi uang dapat diminalisir. Sehingga, pranata sosial yang berlaku tidak sepenuhnya tergantung pada otoritas pasar.

Warga di Dusun Kemranggen, Wulungsari,memanfaatkan lahan di sekeliling rumah dengan menanam sayur mayur dan membuat kolam ikan. Mereka melakukan praktik kemandirian pangan sejak 2012 (Fatah Sururi/ Infest)

Warga di Dusun Kemranggen, Wulungsari,memanfaatkan lahan di sekeliling rumah dengan menanam sayur mayur dan membuat kolam ikan. Mereka melakukan praktik kemandirian pangan sejak 2012 (Fatah Sururi/ Infest)

Potret demikian salah satunya dapat ditemukan di Desa Wulungsari, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo. Desa yang terdiri dari empat dusun ini terus bergiat membangun desanya menjadi desa mandiri. Mereka memproduksi apa yang mereka konsumsi. Dusun Blindeng misalnya, telah berhasil menjadi dusun apotek hidup dan mandiri di bidang kesehatan. Lahan-lahan yang ada di sekitar rumah disulap warga menjadi hamparan hijau yang terisi dengan tanaman obat-obatan. Menurut salah satu warga, Surono, salah satu tanaman obat yang mereka tanam adalah jahe merah. Dengan tanaman tersebut, kini tidak ada lagi pekarangan yang menganggur dan hasil jualnya lumayan membantu perekonomian rumah tangga.

Tuk Angger Blindeng

Surono, Kepala Dusun Blindeng, menjelaskan cara kerja bak penampungan mata air Tuk Angger di Blindeng, Wulungsari. Dari bak ini air akan disalurkan ke rumah-rumah warga dengan pipa. (Fatah Sururi/ Infest)

Kini, warga tidak tergantung lagi dengan obat-obatan yang dijual di warung ataupun yang diproduksi oleh industri kesehatan lainnya. Di sisi lain, satu catatan yang menarik ialah warga Blindeng saat ini mulai kembali kepada metode pengobatan organik yang menurut mereka lebih baik dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dan yang tak kalah penting, praktik ini telah berhasil merevitalisasi pengetahuan lokal di bidang kesehatan dan agronomi yang sempat lenyap. Keberhasilan ini tentunya tidak datang secara tiba-tiba. Warga harus berjuang selama dua tahun, tepatnya dari sejak tahun 2013. Surono menceritakan bahwa apa yang diraih oleh Dusun Blindeng saat ini merupakan suatu proses panjang yang tidak hanya membutuhkan pengetahuan, tetapi juga keyakinan serta kerja kolektif.

Berbeda dengan Blindeng, Dusun Kacepit juga mempunyai cerita menarik. Dusun ini telah berhasil mengelola dan mengorganisasi lahan pekarangan dan pertanian yang ada menjadi kantung pangan dalam bidang peternakan yaitu budidaya ikan. Dengan demikian, untuk konsumsi protein dan kalsium, warga tidak lagi harus membeli. Menurut Aji, Kaur Kesra Desa Wulungsari bahwa praktik ini telah dimulai jauh sebelum UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan.

“Kami awalnya melihat potensi air yang melimpah di desa kami, lalu kami berpikir pada tahun 2012, yang paling tepat adalah memanfaatkannya untuk pengembangan budidaya ikan tawar,” terangnya, Senin (17/8)

Cerita Dusun Kemeranggen juga tidak kalah hebat. Dusun ini telah mengubah lahan-lahan pekarangan menjadi sentra produksi pangan yaitu sayur mayur. Kondisi tersebut berhasil menghantarkan mereka sebagai dusun penghasil sayur mayur terbesar di Wulungsari. Sehingga, setiap rumah tangga di dusun ini tidak lagi mengeluarkan anggaran untuk konsumsi sayuran. Bahkan, selain sayur mayur, warga Kemeranggen juga meniru pengalaman Blindeng dengan menanam tanaman obat-obatan.

Kemranggen 2

Warga di Dusun Kemranggen, Wulungsari, Selomerto, Wonosobo telah lama memenuhi kebutuhan sayur mayur mandiri dari pot dan polibag di sekitar rumah. (Fatah Sururi/ Infest)

Yang terakhir ialah Dusun Depok. Jika dusun-dusun lainnya memiliki ciri tersendiri dalam usaha mandirinya, Depok juga demikian. Dusun ini terkenal dengan sebutan dusun penghasil buah-buahan, khususnya straberi. Kondisi ini didukung oleh letaknya yang strategis berada di dataran yang lebih tinggi. Selain strawberi, Depok juga dikenal sebagai penghasil tanaman obat yang bernama Purwaceng.

Secara khusus, warga desa Wulungsari dengan keragaman potensi yang ada, kini tidak lagi harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap dusun juga menjadi modal bagi mereka untuk dipertukarkan menjadi semangat yang baru dalam membangun desa.

Yang Menarik dari Blindeng

Diantara empat dusun yang ada di Wulungsari, Blindeng merupkan dusun yang dapat dikatakan bebas dari pengaruh korporasi air. Pasalnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air, hanya warga Dusun Blindeng yang tidak menggunakan jasa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Cerita ini dapat ditelusuri lewat penuturan Surono, Kepala Dusun Blindeng. Ia menceritakan Blindeng memiliki sumber mata air yang disebut sebagai Tuk Angger. Mata air tersebut telah dikelola oleh leluhur mereka dari sejak tahun 1950 untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Dengan metode pipanisasi, mereka mengalirkannya ke bak penampung di pinggir dusun. Selanjutnya, dari bak penampung air didistribusikan ke setiap rumah tangga.

Surono

Surono, Kepala Dusun Blindeng, Wulungsari, dan Anggi, warga Kacepit, Wulungsari, bercerita tentang mekanisme pengelolaan air Tuk Angger di desanya. Sebagian hasil iuran perawatan pipa air telah digunakan menjadi peralatan hajatan kampung seperti tenda, kursi, dan meja seperti tampak pada gambar. (Fatah Sururi/ Infest)

Untuk pemeliharaan dan perawatan pipa, warga bersepakat untuk mengumpulkan iuran tiga ribu rupiah per bulan. Kini, dari hasil iuran yang tersimpan, dusun yang berpenduduk 75 Kepala Keluarga (KK) tersebut berhasil memiliki kas hingga puluhan juta rupiah. Dana kas itu selanjutnya digunakan untuk membeli beberapa peralatan seperti: kursi, tenda, dan lain-lain yang menjadi asset dusun. Aset ini dapat digunakan secara gratis bagi setiap KK yang membutuhkan untuk keperluan pernikahan, khitanan, berkabung, dsb.

Praktik keberhasilan ini selanjutnya mempengaruhi dusun lain untuk sama-sama memanfaatkan sumber mata air yang tersedia. Salah satunya adalah Dusun Kacepit. Rencananya, pada 2016, Kacepit juga akan menyusul Blindeng dalam praktik pengelolaan pemenuhan kebutuhan air.

Catatan atas Keberhasilan dan Keberlanjutan

Di saat sebagian besar desa di Indonesia sedang mencari strategi untuk membangun pola produksi-konsumsi yang mandiri agar tidak terlempar jauh ke dalam pasar, sangat menarik jika melihat apa yang telah dilakukan oleh warga desa Wulungsari.

Namun, yang perlu digarisbawahi adalah: Pertama, bagaimana pengetahuan yang telah terbangun tersebut dapat dipraktikkan di tempat yang lain? Kedua, perlu juga menambahkan bahwa dibutuhkan satu strategi yang tepat untuk melindungi sumber daya yang ada, misalnya potensi dari praktik eksploitasi dan kerusakan lingkungan terhadap sumber air yang tersedia dan sumber daya alam lainnya yang bermanfaat bagi kehidupan warga.

Ketiga, perlu satu pemahaman bahwa praktik pengalaman ini tidak dimaknai dengan semangat yang developmentalisme, tetapi dengan suatu pendekatan kritis yang syarat akan nilai-nilai anti-kapitalisme. Dengan demikian, ekonomi uang dalam kehidupan masyarakat desa dapat diminimalisir sekecil mungkin.

Keempat, Bagaimana praktik ini jika dihadapkan dengan fakta bahwa tidak semua warga desa memiliki sumberdaya agraria yang sama, misalnya lahan atau tanah. Dengan demikian, tidak ada salahnya menilik kembali bahwa untuk memperkecil kesenjangan sosial antar warga desa, juga dibutuhkan suatu program distribusi lahan untuk kelas sosial yang minim akses atas lahan.