Arsip Tag: Karangkemiri

Haryati: “Desa Kami Semakin Perhatikan Kesejahteraan Buruh Tani”

“Buruh tani adalah salah satu aset sumber daya manusia (SDM) di Desa Karangkemiri, jadi sangat penting untuk diberdayakan. Selain buruh tani, SDM di Desa kami sangat kaya, apalagi perempuannya, sangat aktif dan produktif” (Haryati, warga Desa Karangkemiri)

Dengan percaya diri, Haryati memaparkan perubahan-perubahan yang terjadi di desanya. Haryati merupakan salah satu perwakilan kelompok perempuan Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Salah satu SDM yang ada di Karangkemiri adalah buruh tani.

Masyarakat di Desa Karangkemiri memang sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani, terutama kaum perempuan. Pada waktu musim tanam hampir setiap hari mereka menjadi buruh tanam. Terkadang petani juga sampai kesulitan mencari buruh tanam. Kenapa? Karena waktu bercocok tanam tiba berersamaan. Petani terkadang juga kesulitan mencari kuli, karena kebanyakan masyarakat lebih suka bekerja di depot pasir.

Selama ini, penghasilan dari buruh tani belum mampu sejahterakan keluarga. Tugas buruh tani di antaranya adalah pembuatan lahan, menanam, penataan pupuk dan matun hingga panen. Untuk buruh tanam dan kuli pacul, upah yang didapat berkisar kurang lebih 25.000-30.000 rupiah. Ini berlaku sampai setengah hari. Apabila waktu kerja sampai sore maka mendapat tambahan sesuai dengan jam kerjanya.

Haryati memaparkan perubahan yang terjadi di desanya dalam workshop refleksi pembelajaran perencanaan apresiatif desa, atas kerjasama Dispermades Banjarnegara dan Infest Yogyakarta

Menurut Haryati, meskipun mampu mengurangi angka pengangguran, namun upah buruh tani kurang mensejahterakan keluarga. Termasuk bagi buruh tani saat musim panen tiba, khususnya untuk panen padi. Apabila petani mendapat hasil panen 1 ton, maka buruh tani mendapat 1 kwintal dari hasil buruhnya.

“Sehingga dalam RPJMDesa Perubahan, Pemdes dan warga sekarang telah memasukkan program pembinaan dan pemberdayaan khusus bagi para buruh tani. Buruh tani sebelumnya belum menjadi penerima manfaat pembangunan, namun sekarang sudah mulai masuk,” ungkap Haryati di depan para warga dari desa lain serta sejumlah stakeholder satuan kerja pemerintahan daerah (SKPD) di Kabupaten Banjarnegara, di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermades).

Apa yang diungkapkannya hanya salah satu perubahan yang terjadi di desanya setelah Pemdes dan warga mengikuti sekolah desa. Dalam forum refleksi pembelajaran, selain perubahan yang terjadi di desa, Haryati pun dengan fasih menceritakan tentang aset dan potensi yang ada di desanya.

Kekayaan Aset dan Potensi Desa Karangkemiri

Desa Karangkemiri merupakan salah satu bagian daerah Minapolitan di antara 7 Kecamatan di wilayah Kabupaten Banjarnegara. Masyarakat Karangkemiri sebagian besar bermata pencaharian sebagai Petani. Ada pula sebagian masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, buruh bangunan, PNS, dan pekerja tambang pasir di Waduk Mrica.

Desa Karangkemiri juga dikeliligi oleh Waduk Mrica dan mempunyai dua buah jembatan. Jembatan yang satu menghubungkan kadus I dan kadus II. Jembatan yang kedua sebagai penghubung antar desa yang sering disebut dengan nama Jembatan Paris. Selain sebagai penghubung juga digunakan sebagai tempat wisata bagi anak-anak muda untuk melakukan selfi.

“Jembatan ini secara fisik bukan milik Desa Karangkemiri, tetapi masih milik PT Indonesia Power kondisi jembatan juga sering berlubang karena kayunya cepat rapuh sehingga sering dilakukan adanya perbaikan,” papar Haryati.

Desa Karangkemiri terdiri dari 2 Kepala Dusun (Kadus), 4 RW dan 20 RT. Saat ini jumlah Kepala Keluarga (KK)-nya adalah 936 KK. Sementara jumlah total penduduk adalah 2.980 jiwa, laki-laki adalah 1.552 dan perempuan 1.428. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Karangermiri adalah petani, mayoritas penduduknya hidup bercocok tanam, jenis-jenis pertanian yang ada di desa kami adalah padi, jagung, kacang tanah, pepaya,dan singkong serta berbagai macam sayuran seperti kacang panjang, cabe, kangkung dan beragam sayuran dan buah lainnya. Masyarakat Desa Karangkemiri termasuk berpenghasilan cukup. Akan tetapi karenya belum adanya irigasi menjadikan masalah kesulitan air bagi para petani bila memasuki musim kemarau. Budaya tanam di Desa kami juga belum teratur.

Perikanan

Di desa Karangkemiri terdapat banyak sekali kolam. Kolam-kolam tersebut diisi berbagai macam ikan seperti ikan mujahir, wader, tawes, gurameh, lele, malem dan lain-lain. Dengan adanya budidaya ikan, bisa meningkatkan pendapatan keluarga, bisa juga untuk dikonsumsi. Akan tetapi banyak juga kendalanya, salah satunya saat musim kemarau karena pengairan atau irigasi kurang memadai. Sehingga banyak sekali kolam yang kering.

Usaha Canthir dan kripik singkong

Menurut Haryati, usaha pembuatan cantir saat ini sedang lesu, karena bahan bakunya susah didapat. Warga harus mendatangkan dari desa lain, karena Desa Karangkemiri yang dulu merupakan sentra penghasil singkong, kini sudah beralih fungsi lahan menjadi pertanian padi. Di samping itu, pada saat musim hujan seperti terkendala mutu bagi hasil produksi. Mengapa? karena apabila dalam penjemurannya panasnya kurang maksimal, maka akan menurunkan mutu produk tersebut.

“Harapannya ke depannya ada rekayasa alat yang dapat mengatasi hal tersebut, khususnya untuk usaha penjemuran.”

Waduk Mrica : “Waduk Besar Jenderal Sudirman”

Desa Karangkemiri adalah sebuah desa yang dikeliligi oleh Waduk Mrica, dan sebagian besar masyarakat Karangkemiri mengambil nilai manfaat dari Waduk tersebut. Di antaranya adalah adanya Depot Pasir, Perikanan dan Pertanian. Di Waduk Mrica tersebut juga membentang sebuah jembatan yang menghubungkan Kadus I dan Kadus II dan kami namakan Jembatan Paris.

“Jika kita berada ditengah-tengah jembatan, terpangpanglah sebuah pemandangan yang sangat indah dan menakjubkan, untuk itu kita berkeinginan menjadikan Jembatan Paris sebagai Jembatan Wisata atau Desa Wisata Alam dari Desa Karangkemiri,” jelasnya.

Akan tetapi, kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kesehatan masih sangat kurang dalam penjagaan. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat yang membuang sampah dan limbah ke area Waduk Mrica. Termasuk pembuangan BAB skala besar atau bisa dikatakan jumbleng atau MCK terbesar dan terlebar se-Asia Tenggara.

Sebenarnya, banyak sekali potensi yang dapat dikembangkan dari Waduk Mrica, seperti pariwisata, depot pasir, bata merah, sarana outbond, dan wisata perahu tongkang. Di samping itu, desa juga perlu mengadakan pelatihan keterampilan membuat bata merah untuk memanfaatkan sedimen dan pelu mensosilisasikan kepada masyarakat agar tidak membuang limbah kewaduk. Untuk itu desa perlu membuat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah skala desa dan jamban komunal. Sehingga untuk mengembangkan potensi dari Waduk Mrica, perlu mencari investor baik dari dalam desa maupun luar untuk dapat mengembangkan potensi tersebut.

Perajin Gajah mina (Kalamence)

Produk yang satu ini benar-benar merupakan ciri khas dari produk UMKM di Desa Karangkemiri. Karena memang hanya di wilayah Desa Karangkemiri yang menghasilkan sekaligus mengolah hasil tangkapan gajah mina (mence) ini. Kendala yang dihadapi perajin selama ini adalah ketergantungan pada pasang surutnya air waduk. Selain itu juga hasil tangkapan yang satu juga terbilang sebagai hasil tangkapan musiman. Di samping itu, untuk memasarkan produk, warga juga terkadang mengalami hambatan. Salah satunay adalah belum ada wadah atau tempat pemasaran khusus bagi produk tersebut pada saat produksi melimpah.

Semua aset dan potensi desa yang sudah disebutkan di artikel ini hanyalah beberapa dari begitu banyaknya aset dan potensi di Desa Karangkemiri. Semua data-data aset dan potensi tersebut sudah terdata dalam dokumen aset dan potensi Desa Karangkemiri. Data tersebut merupakan salah-satu data yang dihasilkan secara partisipatif oleh Pemdes dan warga. Data-data partisipatif lainnya di antaranya adalah data kesejahteraan desa, data kewenangan desa, data prioritas perbaikan layanan publik, dan data usulan kelompok marjinal.

====

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Dinsos Banjarnegara: Data Partisipatif Sangat Membantu Proses Validasi Data Kemiskinan

“Data-data yang dihasilkan Tim Pembaharu Desa (TPD) semoga dapat membantu tugas-tugas kami (Dinsos) dalam proses validasi data untuk program-program Dinsos”

(Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Banjarnegara)  

Data-data partisipatif yang dimaksud adalah data-data yang dihasilkan oleh pemerintah desa (Pemdes) bersama warganya. Pendataan partisipatif tersebut digerakkan oleh Tim Pembaharu Desa (TPD) dengan merangkul warga yang lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan partisipatif.

Haryati, perwakilan TPD Karangkemiri, memaparkan pembelajaran dan perubahan yang terjadi di desanya.

Cerita perubahan, pembelajaran dan data hasil kerja keras TPD dipaparkan dalam acara “Workshop Refleksi Pembelajaran Perencanaan Apresiatif Desa” di Aula Dispermades pada Rabu (13/12/17). Acara ini merupakan salah satu momen penting dimana warga dan Pemdes membagi cerita dan melakukan refleksi dari sekian pembelajaran yang telah dilakukan sejak Mei-Desember 2017. Melalui Sekolah Pembaharuan Desa, program kerjasama Dispermades dan Infest Yogyakarta ini menjadi inspirasi desa-desa lain untuk menerapkan perencanaan apresiatif desa.

Menurut Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinsos Banjarnegara, data-data tersebut akan sangat membantu dalam proses validasi data yang digunakan oleh Dinsos untuk Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan bagi anggota keluarga RTS diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Soleh, perwakilan TPD Pringamba, memaparkan perubahan di desanya.

“Apalagi tadi TPD dari Karangkemiri juga menyebutkan tentang data difabel di desa, ini bisa diajukan kepada Dinsos untuk ditindaklanjuti sebagai penerima bantuan. Jadi programnya sudah ada yang menyasar difabel, dan dengan adanya data partisipatif dari warga, ini akan sangat membantu validasi data untuk program Dinsos,” ungkap Hayati. Begitu pun, lanjut Hariyanti, untuk program-program Dinsos lainnya seperti pelatihan-pelatihan untuk kelompok perempuan dan marjinal dapat diajukan sesuai dengan prioritas hasil pendataan warga tersebut.

Selain dari Dinsos, sambutan baik juga diungkapkan oleh Dwi Yudianti dari Seksi Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banjarnegara, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kecamatan Sigaluh, Pemerintah Kecamatan Sigaluh, Tim Ahli (TA), Tim Pendamping Desa (PD), serta Tim Pendamping Lokal Desa (PLD) Kabupaten Banjarnegara. Menurut mereka, pembelajaran-pembelajaran dan praktik baik melalui pendekatan Perencanaan Apresiatif Desa (PAD) sangat penting direplikasi di desa-desa lainnya.

Proses pengorganisasian masyarakat yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta atas kerjasama Dispermades, ini juga memberikan inspirasi tersendiri bagi tim pendamping desa di Kabupaten Banjarnegara. Seperti diungkapkan oleh Suyatno, Tim Ahli (TA), praktik pengorganisasian masyarakat ini juga mulai diterapkan di desa lain oleh tim pendamping desa dan lokal desa. Strategi ini dilakukan agar pendamping desa tidak hanya fokus pada persoalan administrasi semata.

TPD Siap Berbagi Pengetahuan dan Pembelajaran ke Desa Lain

Sementara itu, Tim Pembaharu Desa (TPD) dari Karangkemiri dan Pringamba mengaku siap berbagi pengetahuan dan pembelajarannya ke desa-desa lainnya. Kendati demikian, TPD juga sadar bahwa yang terpenting pasca program adalah bagaimana agar mereka tetap aktif dan kritis mengawal semua tahapan pembangunan desa mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban.

Data-data yang telah dihasilkan secara partisipatif menjadi rujukan dalam proses mengawal pembangunan di desanya. Data-data tersebut di antaranya adalah data kewenangan desa, data kesejahteraan desa, data aset dan potensi desa, data survei layanan publik, serta data usulan kelompok marjinal. Selain itu juga data-data tersebut dimanfaatkan guna memperbaiki layanan publik di desa.

Kini data-data tersebut telah dimanfaatkan untuk proses review RPJMDesa dan RKPDesa Perubahan. Sehingga, saat ini dalam dokumen perencanaan yang baru telah muncul program atau kegiatan berdasarkan prioritas hasil data-data tersebut. Seperti di Desa Karangkemiri, saat ini telah ada program dan kegiatan yang menyasar kelompok marjinal khususnya anak putus sekolah, difabel, dan perempuan kepala keluarga miskin.

Pentingnya berbagi pengetahuan dan pembelajaran ke desa lain, juga diungkapkan oleh Wigati Sutopo, Tim Ahli (TA). Menurutnya, sayang sekali jika pembelajaran baik dari perencanaan apresiatif desa (PAD) ini hanya diterapkan di beberapa desa saja. Sehingga penting untuk disebar luaskan ke desa-desa lain, salah satunya dengan memberdayakan pendamping desa dan lokal desa yang ada di Kabupaten Banjarnegara.

====

*Penulis adalah gender specialist Infest Yogyakarta.

Kades Pringamba: “Kami yakin data yang kami hasilkan sendiri”

“Kami yakin dengan data yang kami hasilkan sendiri, karena kami terlibat melakukan semua prosesnya bersama warga”

(Karno, Kades Pringamba, Kec. Sigaluh, Kab. Banjarnegara)

Dengan tegas dan percaya diri, Kades Pringamba mengungkapkan pengalamannya selama melakukan pendataan kesejahteraan dari rumah ke rumah. Pendataan kesejahteraan yang dilakukan di tiap kepala keluarga (KK), tentu saja berbeda dengan pendataan yang dilakukan berbasis RT atau sampel dari keseluruhan jumlah penduduk. Karena dalam satu rumah, bisa jadi ada dua atau lebih jumlah KK. Sehingga, dalam proses pendataan ini dibutuhkan tim yang tidak sedikit. Karena proses pendataan partisipasi yang dilakukan bersama warga, maka membuat prosesnya lebih ringan. Pemdes dan warga juga memiliki rasa percaya diri, rasa memiliki terhadap data yang begitu kuat. Karena dalam setiap tahapan prosesnya, mereka telah dilibatkan dan data yang dihasilkan pun menjadi milik mereka yang kapanpun dapat diperbaiki jika terjadi kekeliruan.

Desa Pringamba merupakan salah satu Desa di Kabupaten Banjarnegara, yang tahun ini tengah mengupayakan perencanaan yang apresiatif di desanya. Selain Pringamba, tahun ini juga ada Desa Karangkemiri di Kecamatan Wanadadi. Tentu saja, setiap perubahan membutuhkan tahapan kegiatan yang tidak singkat. Apalagi dalam prosesnya dibutuhkan partisipasi warga di desa. Sejak pertengahan tahun 2017, Pemerintah Desa (Pemdes) bersama warga Pringamba pun mulai bekerja keras untuk melakukan perubahan di desanya. Perubahan tersebut dimulai dengan melakukan perubahan perencanaan pembangunan di desanya. Perencanaan pembangunan desa yang sebelumnya berbasis masalah, kini mulai diubah menjadi perencanaan pembangunan yang berbasis aset dan data-data usulan kelompok marginal. Beberapa bulan sebelum melakukan perubahan dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa), Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Desa (RKPDesa), dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), Pemdes bersama warganya telah bekerja keras menghasilkan data-data partisipatif sebagai bahan review RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa.

Perubahan: Sulit di Awal, Gaduh di Pertengahan, dan Hebat di akhir

Salah satu warga yang sedang melakukan rekap data survei perbaikan layanan publik.

Apa yang diungkapkan Kades Pringamba, merupakan pengalamannya yang secara langsung terlibat dalam proses pendataan kesejahteraan yang dilakukan di desanya bersama warga. Keterlibatan Pemdes dan warga dalam proses pendataan juga dilakukan di Desa Karangkemiri. Selain data kesejahteraan, Pemdes dan warga juga secara partisipatif telah menghasilkan data kewenangan desa, data aset dan potensi desa, data kesejahteraan lokal, data prioritas perbaikan layanan publik dasar di desa, serta data usulan kelompok marginal. Berdasarkan data-data partisipatif yang mereka hasilkan sendiri, akhirnya mampu memunculkan usulan program maupun kegiatan yang dikompilasi dalam 4 bidang, yaitu pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.

Masing-masing desa memiliki pengalamannya sendiri terkait tantangan saat melakukan pendataan. Termasuk pada tahap awal proses fasilitasi survei layanan publik partisipatif, serta pemetaan sosial lainnya, tidak jarang Pemdes dan warga di hampir semua desa dampingan merasa tidak memiliki kapasitas menghasilkan data sendiri. Mana mungkin kami menghasilkan data sendiri? Apalagi merumuskan semua prosesnya mulai dari perencanaan, pelaksanaan survei sampai laporan pertanggungjawaban bersama warga? Merumuskan instrumen sendiri? Bagaimana caranya? Sedangkan selama ini warga jarang dilibatkan, bahkan data pun selama ini hanya milik supradesa, data kemiskinan milik BPS, apalagi data survei perbaikan layanan publik dasar seperti prioritas untuk kesehatan, pendidikan, dan sejumlah prioritas usulan lainnya? Begitulah, namun keinginan untuk berubah dan mau belajar tanpa sadar telah mengubah cara pandang mereka, mereka pun kian optimistis, bukan hanya Pemdes, warga yang telibat dalam setiap tahapannya, pun mulai merasa “diwongke”, dimanusiakan.

Memperkuat kapasitas warga dan pemdes untuk menghasilkan perencanaan apresiatif desa (PAD) bukan sekadar seremonial satu dua hari jadi lalu pulang. Lebih dari itu, perlu hadir di tengah mereka, di tengah lingkungannya, mendengarkan dan menjadi teman belajar, intens komunikasi bisa berminggu-minggu dan berbulan-bulan, selain itu juga terus memastikan bagaimana mereka mengatasi tantangan, capaian, serta strategi yang mereka terapkan sendiri, dan sejumlah hal-hal lain yang terkesan sepele namun penting. Jangan sampai pengetahuan dan pembelajaran hanya berhenti di satu dua orang, lalu usai menjadi sekadar pengetahuan yang entah benar-benar dipahami atau tidak.

Data hasil analisa prioritas perbaikan layanan publik ini pun hasil kerja keras warga dan Pemdes. Ini hanya secuil dari sekian data yang yang telah warga dan Pemdes hasilkan, mulai dari data kesejahteraan lokal, data dan Perdes Kewenangan, data aset dan potensi desa, dan data usulan kelompok marginal. Tapi menghasilkan data bukanlah tahap akhir, karena setelah melalui tahap pemetaan sosial, kini saatnya mereka memanfaatkan data-datanya sebagai bahan rujukan RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa. Setelah masuk dalam dokumen-dokumen penting tersebut, pun masih ada proses lain yaitu mengawal proses pelaksanaan pembangunannya secara aktif dan kritis. Perubahan di sejumlah desa dampingan Infest Yogyakarta yang paling terlihat adalah bagaimana pembangunan di semua bidang mulai menyasar kelompok-kelompok marginal. Di antaranya, desa mulai menganggarkan tunjangan hari tua untuk semua Lansia miskin di desanya, mengaggarkan program untuk kaum difabel, tidak sekadar memberikan bantuan instan, namun memastikan penyembuhannya hingga memberdayakannya di desa.

=============

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Tidak Semua Warga Miskin Butuh Bantuan Langsung Tunai

“Meskipun tidak mampu secara ekonomi, ternyata tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang secara langsung. Kaum Lansia yang saya survei, mereka membutuhkan posyandu Lansia. Lalu ada juga warga yang membutuhkan kartu jaminan kesehatan. Sementara kaum difabel membutuhkan ketrampilan.”

(Mugiono, warga Pringamba, 20/10/17)

Mugiono (30 tahun) pernah memiliki pandangan bahwa warga miskin di desanya mungkin hanya butuh bantuan uang tunai. Jika tidak, mungkin butuh semacam bantuan langsung lainnya seperti bahan pokok dan lainnya. Kalaupun usulan mereka berupa kegiatan, mungkin hanya kegiatan pembangunan insfrastruktur (fisik) saja. Karena pada kenyataannya, selama ini menurutnya, warga hanya mengetahui kegiatan pembangunan fisik.

Selain Mugiono, warga pada umumnya juga memiliki pandangan yang sama. Tidak heran, sebelum mereka melakukan survei, tantangan mereka adalah ketika warga menanyakan “akan ada bantuan apa lagi?”. Namun kini dia baru memahami bahwa tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang atau bantuan langsung tunai. Karena ternyata, bantuan selain bentuk uang tunai juga dapat meringankan beban mereka, seperti akses mereka pada pelayanan publik dasar, seperti jaminan kesehatan, pembekalan ketrampilan, layanan yang bersifat administrasi, serta jasa publik lainnya.

Mugiono merupakan salah satu warga Pringamba, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara. Beberapa minggu lalu, dia bersama tim penggali usulan kelompok marginal telah mendatangi rumah-rumah warga. Tentunya bukan semua warga di desa dia datangi rumahnya, namun warga yang termasuk dalam kelompok marginal di desanya. Mereka adalah keluarga yang masuk dalam daftar rumah tangga miskin, perempuan miskin kepala keluarga, kelompok difabel, Lansia, anak-anak dari keluarga miskin, pemuda putus sekolah karena tidak ada biaya, dan orang-orang yang selama ini tidak menerima pelayanan publik di desanya.

Menggali Usulan Kelompok Marginal Secara Partisipatif

Sebelum melakukan wawancara, Mugiono dan tim penggali usulan kelompok marginal telah memetakan kelompok marginal di desanya. Hasil pemetaan tersebut kemudian dimusyawarahkan untuk segera dibentuk tim yang akan melakukan penggalian usulan ke rumah warga. Hasil data usulan kelompok marginal tersebut kemudian dikompilasikan menjadi empat bidang pembangunan desa, yaitu bidang pembangunan infrastruktur, pemerintahan desa, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Usulan-usulan yang masuk dalam empat bidang itu pun kemudian dianalisa hingga masuk dalam program maupun kegiatan yang diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan di desanya.

Tim Pembaharu Desa (TPD) Pringamba sedang melakukan rekap hasil survei secara manual. (20/10/17)

Penggalian usulan kelompok marginal juga dilakukan di Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Penggalian usulan kelompok marginal dilakukan secara partisipatif, baik oleh Perangkat Pemerintahan Desa, Kelembagaan Desa, maupun warga biasa yang tidak masuk dalam struktur pemerintahan desa. Mereka tergabung dalam Tim Pembaharu Desa (TPD) sekitar 50 orang tim inti, mereka terbagi dalam 5 tim yaitu tim yang melakukan pemetaan kewenangan desa, pemetaan aset dan potensi desa, tim survei layanan publik dasar, tim pemetaan kesejahteraan lokal desa, dan tim penggali usulan kelompok marginal.

Dalam proses pemetaan sosial, TPD inti yang berjumlah 50 orang itu kemudian merangkul warga di luar tim lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan. Apa yang mereka lakukan merupakan salah satu upaya mewujudkan perencanaan apresiative desa. Sehingga, dalam proses penyusunan RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa mereka berbasis aset dan data usulan kelompok marginal.

===============

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.