Arsip Tag: Implementasi UU Desa

Tidak Semua Warga Miskin Butuh Bantuan Langsung Tunai

“Meskipun tidak mampu secara ekonomi, ternyata tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang secara langsung. Kaum Lansia yang saya survei, mereka membutuhkan posyandu Lansia. Lalu ada juga warga yang membutuhkan kartu jaminan kesehatan. Sementara kaum difabel membutuhkan ketrampilan.”

(Mugiono, warga Pringamba, 20/10/17)

Mugiono (30 tahun) pernah memiliki pandangan bahwa warga miskin di desanya mungkin hanya butuh bantuan uang tunai. Jika tidak, mungkin butuh semacam bantuan langsung lainnya seperti bahan pokok dan lainnya. Kalaupun usulan mereka berupa kegiatan, mungkin hanya kegiatan pembangunan insfrastruktur (fisik) saja. Karena pada kenyataannya, selama ini menurutnya, warga hanya mengetahui kegiatan pembangunan fisik.

Selain Mugiono, warga pada umumnya juga memiliki pandangan yang sama. Tidak heran, sebelum mereka melakukan survei, tantangan mereka adalah ketika warga menanyakan “akan ada bantuan apa lagi?”. Namun kini dia baru memahami bahwa tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang atau bantuan langsung tunai. Karena ternyata, bantuan selain bentuk uang tunai juga dapat meringankan beban mereka, seperti akses mereka pada pelayanan publik dasar, seperti jaminan kesehatan, pembekalan ketrampilan, layanan yang bersifat administrasi, serta jasa publik lainnya.

Mugiono merupakan salah satu warga Pringamba, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara. Beberapa minggu lalu, dia bersama tim penggali usulan kelompok marginal telah mendatangi rumah-rumah warga. Tentunya bukan semua warga di desa dia datangi rumahnya, namun warga yang termasuk dalam kelompok marginal di desanya. Mereka adalah keluarga yang masuk dalam daftar rumah tangga miskin, perempuan miskin kepala keluarga, kelompok difabel, Lansia, anak-anak dari keluarga miskin, pemuda putus sekolah karena tidak ada biaya, dan orang-orang yang selama ini tidak menerima pelayanan publik di desanya.

Menggali Usulan Kelompok Marginal Secara Partisipatif

Sebelum melakukan wawancara, Mugiono dan tim penggali usulan kelompok marginal telah memetakan kelompok marginal di desanya. Hasil pemetaan tersebut kemudian dimusyawarahkan untuk segera dibentuk tim yang akan melakukan penggalian usulan ke rumah warga. Hasil data usulan kelompok marginal tersebut kemudian dikompilasikan menjadi empat bidang pembangunan desa, yaitu bidang pembangunan infrastruktur, pemerintahan desa, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Usulan-usulan yang masuk dalam empat bidang itu pun kemudian dianalisa hingga masuk dalam program maupun kegiatan yang diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan di desanya.

Tim Pembaharu Desa (TPD) Pringamba sedang melakukan rekap hasil survei secara manual. (20/10/17)

Penggalian usulan kelompok marginal juga dilakukan di Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Penggalian usulan kelompok marginal dilakukan secara partisipatif, baik oleh Perangkat Pemerintahan Desa, Kelembagaan Desa, maupun warga biasa yang tidak masuk dalam struktur pemerintahan desa. Mereka tergabung dalam Tim Pembaharu Desa (TPD) sekitar 50 orang tim inti, mereka terbagi dalam 5 tim yaitu tim yang melakukan pemetaan kewenangan desa, pemetaan aset dan potensi desa, tim survei layanan publik dasar, tim pemetaan kesejahteraan lokal desa, dan tim penggali usulan kelompok marginal.

Dalam proses pemetaan sosial, TPD inti yang berjumlah 50 orang itu kemudian merangkul warga di luar tim lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan. Apa yang mereka lakukan merupakan salah satu upaya mewujudkan perencanaan apresiative desa. Sehingga, dalam proses penyusunan RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa mereka berbasis aset dan data usulan kelompok marginal.

===============

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Inisiatif Masyarakat Sipil Perkuat Transparansi dan Akuntabilitas: Tingkat Desa hingga Nasional

“Nilai pertanggungjawaban tidak semata berada pada akses informasi, melainkan pada serangkaian tindakan responsif dan proaktif.”
(Fox, 2007)

Kalimat Jonathan Fox yang saya kutip ini terkait gagasannya tentang pendekatan integrasi vertikal. Integrasi Vertikal merupakan salah satu pendekatan yang dipakai untuk mengetahui respon pemerintah terhadap inisiasi kelompok masyarakat sipil dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Selama ini, akses informasi memang diyakini bermanfaat bagi warga untuk memengaruhi kebijakan pada setiap level pemerintahan dan memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan negara. Namun dalam konteks keterbukaan informasi publik di Indonesia, implementasi UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik masih menghadapi beragam tantangan.

Di lain sisi, ragam pendekatan dan metode penguatan yang diupayakan oleh kelompok masyarakat sipil perlu direfleksikan untuk menemukan catatan dan pembelajaran strategis. Inisiatif ini menyasar beragam sektor, tingkat dan cakupan geografis. Contoh pembelajaran dari kelompok masyarakat sipil serta bagaimana respon pemerintah terhadap upaya mereka, ini bisa dilihat dari hasil riset pembelajaran yang ditulis oleh Irsyadul Ibad dari Institute of Education Development, Social, Religious, and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta, tentang “Respon Pemerintah terhadap Inisiatif Transparansi dan Akuntabiltas yang Didorong oleh Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia”.

Dengan memakai pendekatan integrasi vertikal, riset pembelajaran ini ingin melihat respon pemerintah terhadap inisiatif transparansi dan akuntabilitas yang digagas oleh kelompok masyarakat sipil melalui pendekatan integerasi vertikal. Inisiatif tersebut dilakukan secara sendiri oleh masyarakat sipil maupun secara berjejaring. Inisiatif tersebut juga telah menghasilkan pembelajaran dan perubahan untuk menjawab kebutuhan warga. Ragam pendekatan diujicoba oleh kelompok masyarakat sipil, baik di tingkat desa, kabupaten, hingga nasional.

Pendekatan integrasi vertikal melihat bahwa inisiatif pada level yang tunggal (seperti sub nasional, nasional atau internasional saja) dalam upaya memperkuat tranparansi dan akuntabilitas kini tidak lagi sepenuhnya relevan (Fox, 2001). Fox juga mengkritisi kecenderungan gerakan masyarakat sipil untuk menyelesaikan gejala yang tampak (simptom) tinimbang akar persoalan pada konteks transparansi dan akuntabilitas dengan mempertimbangkan kekuasaan (baca: power) yang bertingkat dan terhubung. Fox ingin melihat pertanggungjawaban sebagai sesuatu yang substantif dan tidak semata menghasilkan keterbukaan prosedural (2007); serta mengukur efektivitas inisiatif dalam jaringan dalam level bertingkat dalam isu transparansi dan akuntabilitas (2016). Meski demikian, Fox (2007) melihat kontribusi akses pada informasi terhadap akuntabilitas pada aspek lainnya. Hal ini tidak lepas dari semakin baiknya kapasitas warga untuk menilai, mengevaluasi dan menggugat pelaksanaan mandat pelayanan sebagai implikasi dari keterbukaan.

Pada konteks isu Desa, ragam inisiasi ini di antaranya dilakukan Infest Yogyakarta dan Combine Resource Institution (CRI). Memperkuat transparansi dan akuntabilitas diinisiasi Infest melalui penguatan akses kelompok marjinal pada informasi dan pengambilan keputusan di Desa. Infest juga mengembangkan pendekatan yang dapat secara substantif meningkatkan transparansi dan akuntabilitas desa bagi warga. Infest memandang pendekatan yang semata mengarah pada pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat sepenuhnya menjawab kebutuhan perubahan di desa, terutama pada persoalan akses pada pengambilan keputusan di tingkat desa. Sementara upaya memperkuat transparansi dan akuntabilitas diinisiasi CRI melalui “Lumbung Komunitas”, yaitu sebuah program pengembangan sistem informasi untuk pengelolaan sumber daya/aset berbasis komunitas.

Kolaborasi Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil

Berdasarkan pembelajaran Infest Yogyakarta maupun CRI, kunci keberhasilan dari inisiasi yang dilakukan keduanya adalah melakukan kolaborasi dengan pemerintah desa dan organisasi masyarakat sipil. Seperti yang dilakukan oleh Infest Yogykarta dari salah satu medan percontohan Infest Yogyakarta, proses kolaborasi yang cukup intensif adalah di Kabupaten Wonosobo. Menurut Irsyadul Ibad dalam riset pembelajarannya (2017), pendekatan yang dipilih dalam upaya ini adalah kolaborasi konstruktif bersama dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Respon baik di tingkat Kabupaten mempermudah proses pelaksanaan inisiatif di tingkat desa dan kecamatan.

Pada tingkat desa, dukungan pemerintah kabupaten mendorong desa untuk membuka ruang merespon inisiatif tersebut. Meski demikian, respon beragam muncul dari desa dengan keragaman kepemimpinan dan kapasitas desa. Respon beragam ini muncul mengingat kepemimpinan dan terbukanya ruang partisipasi masyarakat desa untuk mengawasi proses pemerintahan desa sejak perencanaan hingga pelaksanaan dan pelaporan. Pertama, desa dengan kepemimpinan yang terbuka merespon baik inisiatif dengan membuka peluang implementasi menyeluruh dari proses-proses inisiatif ini. Kedua, pada desa dengan kepemimpinan yang tertutup, respon menjadi beragam. Sementara pada tingkat nasional, upaya advokasi dilakukan dengan menggandeng kelembagaan Open Government Indonesia.

Proses kolaborasi bersama pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil juga dilakukan oleh CRI dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas di Kabupaten Gunungkidul sejak tahun 2012-2017. Proses tersebut tidak lepas dari peran pelbagai pihak khususnya organisasi masyarakat sipil dan pemerintah di pelbagai level. Kolaborasi tersebut juga menjadi kunci keberhasilan terhadap penerapan penguatan transparansi dan akuntabilitas di Gunungkidul.

Solusi Kreatif dan Canggih

Dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas, proses penerapan inisiasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, mengembangkan pendekatan yang tidak semata memanfaatkan teknolongi informasi dan komunikasi (TIK), namun juga mengombinasikan pendekatan TIK dan Non TIK. Berdasarkan pembelajaran Infest, pendekatan yang semata mengarah pada pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat sepenuhnya menjawab kebutuhan perubahan di desa terutama pada persoalan akses pada pengambilan keputusan di tingkat desa.

Selain upaya yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, sejumlah kelompok masyarakat sipil lainnya dari beragam jenjang, isu, dan sektor lainnya juga menginisiasi solusi-solusi yang kreatif dan canggih dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas desa. Beberapa di antaranya adalah Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) dan para mitranya yang mengembangkan sebuah platform advokasi, yang dirancang untuk memberi para korban semua suara dalam melobi tindakan nyata dalam keadilan transnasional. Platform ini menggabungkan poling warga dan testimoni video untuk mempromosikan keadilan dan rekonsiliasi. Selain itu juga ada Open Data Labs Jakarta, lalu ada Sinergantara di Jawa Barat dengan program pemanfaatkan ICT untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa.

Ada juga PRAKARSA dengan program “Pemerintah Terbuka: Menilai Pemanfaatan e-planning dan e-budgeting Pemerintah Daerah di Indonesia”. Juga KOTA KITA dengan programnya untuk meningkatkan transparansi, inklusivitas and dampak penganggaran partisipatif di Indonesia. Serta beragam inisiasi memperkuat transparansi dan akuntabilitas dari sejumlah beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya seperti PATTIRO di Bandung, Big (Bandung Institute of Governance Studies), CIPG, WYDII (Women Youth and Development Institute of Indonesia), Sloka Institute, Transparency internasional Indonesia (TII), Save the Children, WIKIMEDIA Indonesia, dan ICW (Indonesia Corruption Watch).

Lembaga-lembaga masyarakat sipil tersebut merupakan lembaga mitra Making All Voices Count (MAVC) HIVOS Southeast Asia. MAVC HIVOS berfokus pada perhatian global tentang solusi-solusi kreatif dan canggih, misalnya penggunaan teknologi bergerak dan web, guna meyakini bahwa semua suara di kalangan warga didengarkan dan bahwa pemerintah memiliki kapasitas dan intensif untuk merespon suara-suara tersebut. MAVC berusaha merebut momen ini untuk memperkuat komitmen kami bagi terdorongnya transparansi, pemberantasan korupsi dan memperkuat warga Negara.

Dalam sebuah National Learning Event “Transforming the relationship between citizens and government”, pada Kamis (12/10/2017), Ria Ernunsari, MAVC Country Developer Indonesia-Pakistan, di Indonesia, menjelaskan bahwa MAVC telah mendukung 18 organisasi untuk mengerjakan 20 projects, yang tersebar di 37 kabupaten dan kota serta 258 desa di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali. Tema yang dikerjakan oleh MAVC tersebut dilakukan sejak tahun 2014, terkait dengan peningkatan layanan publik melalui penerapan data terbuka dan pelaksanaan Undang-undang Desa. Secara garis besar, setengah dari para mitra MAVC menggarap isu partisipasi warga dan setengahnya lagi terkait dengan pemerintah yang responsif. Dalam lingkup bidang transparency anda accountability, penggunaan teknologi yang menjadi titik tolak MAVC, dimana MAVC telah mendapati banyak sekali sisi-sisi pembelajaran.

Dalam pernyataannya, Ria Ernunsari juga mengungkapkan bahwa sebagai program yang mengusung teknologi, MAVC menyadari bahwa mereka bekerja di target yang terus bergerak dan kemampuan menembak sasaran terus berubah tempat. Namun, dokumentasi dari pergerakan dan sasaran ini perlu untuk terus dibuat dan bisa diakses oleh siapa saja mengingat pembelajaran soai ini masih sangat minim baik di Indonesia maupun di dunia.

Saya sendiri yang menyaksikan langsung pemaparan hasil pembelajaran dari inisiatif yang sudah dilakukan mitra MAVC, memandang pembelajaran mereka sangat penting dan inspiratif. Apalagi inisiasi yang dalam penerapannya tidak hanya menggunakan pendekatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tapi juga mengombinasikan dengan pendekatan non TIK sebagai bagian dari upaya solutif, kreatif dan canggih. Selain itu juga melalui rangkaian kegiatan penguatan kapasitas masyarakat, berkolaborasi dengan pemerintah dan berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil lainnya.

===
Keterangan Penulis:
Alimah Fauzan adalah Gender Spesialist di Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta). Sumber tulisan ini di antaranya berdasarkan data hasil penelitian Irsyadul Ibad dan tim Infest Yogyakarta tentang “Respon Pemerintah terhadap Inisiatif Transparansi dan Akuntabiltas yang Didorong oleh Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia” serta data yang telah dipresentasikan dalam National Learning Event “Transforming the relationship between citizens and government” yang diselenggarakan oleh Making All Voices Count (MAVC) HIVOS Southeast Asia, di Jakarta (Kamis 12 Oktober 2017).

Pemetaan Partisipatif: Perkuat Swadaya dan Pengetahuan Warga tentang Desanya

“Ternyata dari jawaban warga yang sudah saya survei, semuanya bersedia untuk swadaya dalam pembangungan di desa. Dalam proses wawancara survei, saya memang menerangkan bahwa yang dimaksud kesediaan swadaya itu tidak harus berupa uang. Bisa tenaga atau usulan untuk pembangunan di desa. Mereka juga mulai paham bahwa pembangunan di desa itu tidak hanya pembangunan fisik (infrastruktur), namun juga bisa memberi masukan untuk tata kelola pemerintahan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat di desa.”

(Painah, warga Desa Pringamba, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara).

Di Desa Pringamba, melakukan survei partisipatif untuk perbaikan layanan publik merupakan pengalaman kali pertama dilakukan di desa. Mereka bahkan tidak menyangka bahwa ternyata warga desa bisa terlibat dalam proses survei layanan publik. Bahkan bukan sekadar petugas survei, karena dalam setiap tahapannya mereka terlibat. Mulai dari persiapan survei seperti mengidentifikasi seluruh jenis layanan publik di desanya, mulai dari jasa publik, barang publik, sampai yang bersifat administratif. Selanjutnya, mereka juga tidak menyangka bahwa mereka bisa membuat instrumen survei sendiri, sampai melakukan tahap survei lainnya yang sangat penting untuk dilakukan.

Apa yang diungkapkan ibu Painah, hanya salah satu pengalaman dari sekian pengalaman warga lainnya yang tergabung dalam Tim Pembaharu Desa (TPD). Selainnya, ada pengalaman pemuda desa yang dengan semangatnya melakukan survei layanan publik sampai tengah malam. Cuaca dingin di Desa Pringamba serta jalanan yang tertutupi kabut, tak membuat mereka menyerah. Menurut mereka, banyak warga yang hanya bisa ditemui pada malam hari. Bagi mereka, ini merupakan tantangan demi perbaikan layanan publik di desanya.

Apa yang disampaikan ibu Painah, juga diakui oleh Kepala Desa (Kades) Pringamba, Adipati Karno. Dia mengungkapkan, warga di desanya merupakan warga yang masih memegang teguh proses gotong royong. Gotong royong dalam proses pembangunan desa merupakan tradisi yang masih dilakukan warga di desanya. Kendati demikian, dalam proses penggalian gagasan pembangunan khususnya bagi warga miskin, pada umumnya warga hanya mengetahui pembangunan fisik (insfrastruktur). Namun, dari proses penguatan kapasitas Perencanaan Apresiatif Desa (PAD), ia mengakui bahwa proses ini telah membuka pengetahuan warga tentang pembangunan di desanya. Tantangannya saat ini bagaimana mampu menggali usulan warga yang tidak semata usulan untuk pembangunan fisik, namun juga untuk pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Awalnya Warga Kurang Terbuka

Acara pembukaan pelatihan PAD, sebelum warga terbagi dalam lima kelas pemetaan.

Pada tahap awal mengidentifikasi jenis layanan publik di desanya, pada umumnya warga tidak begitu detail. Hal ini tidak terlepas dari ketidaktahuan mereka terkait layanan publik di desanya. Bukan hanya identifikasi layanan publik yang sudah tersedia di desanya, namun juga terkait layanan publik yang belum tersedia, serta sudah tersedia namun membutuhkan perbaikan dalam pelayanan dan pemeliharaannya. Pada tahap awal, hal ini biasa terjadi di setiap desa, dimana warga kurang mau berbagi informasi atau bisa jadi mereka memang tidak begitu mengetahui layanan publik di desanya. Namun dari proses penguatan kapasitas survei perbaikan layanan publik, mereka akhirnya mulai paham dan semakin terbuka membagi informasi yang terjadi di desanya.

Desa Pringamba merupakan salah satu desa di Kabupaten Banjarnegara yang baru mempraktikan perencanaan apresiatif desa (PAD) di tahun 2017. Selain Pringamba, ada juga Desa Karangkemiri di Kecamatan Wanadadi. Proses penguatan kapasitas PAD dimulai pada 6-7 September 2017. Proses penguatan hanya salah satu tahap kegiatan sebelum warga melakukan rangkaian kegiatan tindak lanjut. Dalam proses perumusan prioritas perbaikan layanan publik, salah satu tahapan yang dilakukan adalah menentukan peringkat prioritas perbaikan. Namun dalam penentuannya dilakukan secara partisipatif antara warga dan seluruh unsur masyarakat di desa. Sehingga, meskipun TPD telah merumuskan jenis layanan publik yang akan disurvei, namun mereka tetap melakukan sosialisasi kepada masyarakat desa melalui proses musyawarah desa (Musdes). Dari proses Musdes kemudian terjadi masukan-masukan dari warga maupun kelembagaan-kelembagaan yang ada di desa.

Tahap simulasi penentuan prioritas layanan publik di desa

Apa yang sudah dirumuskan TPD merupakan layanan publik yang akan diprioritaskan dalam perbaikan layanan. Baik yang bersifat administratif, barang publik maupun layanan publik. Prioritas perbaikan layanan publik yang telah dirumuskan bersama TPD, menjadi dasar dalam penyusunan instrumennya mulai dari kuesioner hingga penyusunan format survei. Tahapan tersebut dilakukan selama dua hari. Selain tim survei layanan publik, TPD juga terbagi dalam lima tim, yaitu tim pemetaan kewenangan desa, pemetaan aset dan potensi desa, penggalian usulan kelompok marginal, pemetaan kesejahteraan berdasarkan indikator lokal desa, serta survei perbaikan layanan publik secara partisipatif. Pelatihan Perencanaan Apresiatif Desa (PAD) atau Apreciative Village Planning (APV) di dua Desa ini merupakan program kerjasama Infest Yogyakarta bersama Pemkab Banjarnegara, dalam hal ini Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermades) Kab. Banjarnegara. Tahapan proses program ini telah dimulai sejak awal tahun 2017.

====

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan,  gender specialist di Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Wonosobo Jadi Daerah Model Percontohan “Open Data Keuangan Desa”

Definisi terbuka tidak sebatas pada penyediaan informasi kepada masyarakat, tetapi juga membuka partisipasi masyarakat untuk menentukan, membantu dan menjadi bagian dari proses pembangunan yang dikelola oleh pemerintah desa.(M. Irsyadul Ibad, Direktur Infest Yogyakarta)

Yogyakarta-Kabupaten Wonosobo menjadi daerah model percontohan data terbuka (open data) keuangan desa. Peluncuran Wonosobo sebagai daerah percontohan, secara resmi akan ditetapkan melalui acara “Peluncuran Kabupaten Wonosobo Sebagai Model Percontohan Open Data Keuangan Desa” sekaligus “Seminar Nasional Data Terbuka dan Partisipasi dalam Pembangunan Desa”. Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Infest Yogyakarta dan Pemkab Wonosobo ini dilaksanakan di Pendopo Wonosobo, pada Selasa (18/7/17).

Proses Panjang Mewujudkan Impian “Open Data Keuangan Desa”

Inisiatif pengembangan open data keuangan desa ini bukanlah sesuatu yang instan. Namun telah dimulai sejak tahun 2014 bersama Infest Yogyakarta. Inisiatif bersama ini telah dirintis sejak 2014, mulai dengan penyehatan perencanaan desa melalui perencanaan apresiatif desa, penguatan kapasitas pelayanan informasi publik dan penguatan tata kelola keuangan desa.

“Open Data” bukan semata pengenalan sistem informasi, tetapi harus melalui sejumlah ragam kegiatan. Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta bersama dengan Pemkab Wonosobo. Mulai dari rangkaian kegiatan “Perencanaan Apresiatif Desa”, “Perbaikan Tata Kelola Pelayanan Informasi Desa”, “Penguatan Tata Kelola Keuangan Desa”, hingga “Open Data Keuangan Desa”.

Menurut Direktur Infest Yogyakarta, M. Irsyadul Ibad, cita-cita bersama dalam rangkaian pelaksanaan program ini adalah untuk terciptanya pemerintahan desa yang terbuka. Definisi terbuka tidak sebatas pada penyediaan informasi kepada masyarakat, tetapi juga membuka partisipasi masyarakat untuk menentukan, membantu dan menjadi bagian dari proses pembangunan yang dikelola oleh pemerintah desa.

“Harapannya, pengalaman dan pembelajaran praktik open data keuangan desa di Wonosobo mampu mempengaruhi kebijakan daerah-daerah selain Wonosobo, baik di tingkat Desa, Kabupaten, hingga di tingkat Nasional,” ungkapnya.

Dalam acara ini juga akan ada rekomendasi perbaikan tata kelola keuangan desa, baik di tingkat Desa, Kabupaten, hingga nasional merespon perkembangan implementasi UU Desa saat ini. Selain itu, tersusunnya rekomendasi perbaikan tata kelola pemerintahan desa dengan semangat data terbuka untuk memperluas akses masyarakat pada pembangunan desa.

Data Terbuka dan Dapat Diakses Siapapun

Saat ini, program ini telah menjangkau seluruh desa (236 desa) di Kabupaten Wonosobo. Program ini turut didukung oleh beberapa Lembaga Donor, seperti MAMPU-AUSAID (2014); Hivos-MAVC (2016-2017) dan Yayasan Tifa (2016-207). Inisiatif ini turut didukung pula oleh beberapa organisasi masyarakat sipil dan komunitas, seperti Medialink Jakarta, dan Yayasan Air Putih. Rangkaian aktivitas penguatan kapasitas yang dilakukan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Wonosobo.

Pada acara peluncuran dan seminar nasional ini juga turut mengundang Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Gubernur Jawa Tengah, Bupati, BAPPEDA, dan Bapermasdes/Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dispermades) dari beberapa kabupaten di Indonesia, desa-desa di Lingkup Jawa Tengah (terutama Wonosobo); serta jaringan organisasi masyarakat sipil yang bekerja pada isu desa, keterbukaan informasi dan open data.

“Yang terpenting, data-data keuangan desa tersebut kemudian dibuka ke publik sebagai informasi yang dapat diakses siapa pun. Teknologi informasi yang disiapkan juga mengakomodir pertukaran dan pemanfaatan data yang tersedia pada platform lainnya,” tegasnya.[] (Alimah)

Ketika Warga Transmigran Mulai Menggali dan Menulis Sejarah Desanya

Sekarang kami mulai paham bahwa dulunya kami (warga transmigran) ini hanya ada 496 kepala keluarga (KK) dari semua pelosok penjuru Jawa. Kami juga kini mengetahui jika dulu para orang tua kami sangat prihatin selama dua tahun. Mereka hanya makan beras dan teri jatah dari pemerintah. Kami juga tahu, dulu ada masalah kelapran pada tahun 1979 karena jatah sudah habis dan tanaman padi puso. Kami juga kini mengetahuai jika dulu para orang tua kami dulu hanya berjalan kaki berpuluh-puluh kilo meter hanya untuk mencari bibit singkong. Kami juga tahu bahwa tidak sedikit para leluhur yang meninggal karena tertimpa pohon, ada juga yang dimakan harimau, dan digigit ular. Dan kini, kami sangat sadar bahwa kami harus lebih menghormati mereka, karena semua yang terbangun saat ini adalah buat kerja keras mereka, para pendahulu kami.

(Rohmad Annas, Kades Tegal Arum, Kec. Rimbo Bujang, Kab. Tebo, Provinsi Jambi, 24/02/17)

Kalimat terahir Kades Tegal Arum, Rohmad Annas secara jelas mengingatkan dirinya, warganya, bahkan semua orang untuk jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kalimat yang sangat akrab bagi masyarakat Indonesia, karena pernah didengungkan oleh Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Kini, kalimat tersebut terus menerus dikutip di banyak pernyataan seseorang untuk mengingatkan betapa pentingnya sejarah. Termasuk bagi warga transmigran yang kini bisa dikatakan telah sukses atau berhasil menaklukan tempat yang awalnya sangat asing bagi mereka. Lalu mengapa masyarakat di desa perlu menelusuri, menggali, hingga menulis sejarah desanya? Karena sejarah adalah aset yang berharga bagi desa dan masyarakatnya. Lebih dari itu, menulis sejarah tidak sekadar mengingat kembali detail waktu kejadian di masa lalu, namun berusaha mencoba menulis sejarah baru.

Apa yang sudah diungkapkan Kades Tegal Arum hanyalah cerita singkat dari sekian banyaknya fakta tentang desanya. Saat saya menyebut mereka telah sukses, bagi saya memang benar mereka telah sukses. Kekuatan memelihara ketekunan mereka tidak hanya berhenti pada satu dua generasi, namun secara terus menerus diwariskan pada anak-anaknya. Mereka adalah para pemuda desa yang tidak mengenal rasa malu atau sungkan untuk berperan di ranah publik maupun domestik. Bahkan peran-peran sosial dapat secara bersamaan mereka lakukan dengan peran-peran lainnya. Seperti yang pernah saya tulis di laman ini tentang Pemuda Penggerak Desa Tegal Arum.

Desa Tegal Arum adalah salah satu desa dampingan Infest Yogyakarta di Kabupaten Tebo yang tengah berupaya mewujudkan perencanaan apresiatif desa dalam proses pembangunan di desanya. Selain Desa Tegal Arum, ada juga Tirta Kencana, dan Desa Teluk Singkawang yang juga tengah menelusuri dan terus menggali potensi desanya. Salah satunya dengan menulis tentang sejarah desanya. Ketiga desa ini sama-sama memiliki aset dan potensi yang bisa jadi baru mereka sadari betapa kayanya mereka. Di Teluk Singkawang misalnya, di sana ada sebuah candi dan sejumlah warisan nenek moyangnya.

Menggali Informasi Langsung dari Pelaku Sejarah

Dalam suatu wawancara yang bertujuan memetakan aset dan potensi desa, salah seorang tim pembaharu desa (TPD) Tegal Arum pernah merasakan kesulitan menjawab pertanyaan warga. Saat itu pertanyaannya adalah tentang batas wilayah. Ini hanya salah satu hal yang kemudian membuat TPD bersama pemerintah desa merasa penting untuk lebih mengenal tentang desanya dengan menelusuri sejarah desanya. Selain kisah dari TPD ini, cerita lain juga muncul dari Kades Tegal Arum, tentang kali pertama dia menyadari tentang pentingnya menggali sejarah desa dan menuliskannya.

“Awalnya, pada suatu sore saat saya silaturrahmi ke tempat mbah Makmur. Di sana saya lihat ada papan berukuran 30 cm persegi dengan tulisan huruf Jawa Aseli. Karena pensaran, akhirnya saya bertanya apa arti dan tujuannya. Beliau menjawab, ini adalah prasati bukti pertma kali kami serombongan setelah 2 minggu di perjalanan akhirnya sampai di sini (di Tebo, Jambi). Dan sore itu, ibarat petunjuk bagi saya sendiri. Malam harinya, seperti biasa kami berkumpul bersama pemuda dan menyampaikan kepada mereka bahwa kita perlu mencari tahu sejarah desa kita, sebelum para pelaku sejarah semuanya tiada,” papar Rohmad Annas pada Kamis (24/02/17).

Para pelaku sejarah Desa Tegal Arum

Para pelaku sejarah Desa Tegal Arum

Gayung bersambut, para pemuda desa pun sepakat dengan gagasan Kadesnya. Sejak itu, mereka pun berbagi peran dan segera menyebar menelusuri, menggali, dan mulai menghimpun data-data tentang desanya. Setelah data terkumpul, Pemdes mulai mengumpulkan para pelaku sejarah dengan mengundang mereka untuk menggali lebih jelas lagi kebenaran informasi yang mereka dapatkan. Semacam melakukan verifikasi data-data dari yang telah mereka dapatkan kepada pelaku sejarahnya langsung.

“Hal ini penting kami lakukan agar informasi yang kami terima tidak hanya dari individu-individu tertentu dengan kebenaran sepihak saja. Ini penting bagi kami untuk diwariskan pada generasi berikutnya,” tandasnya.

Hal serupa juga diungkapkan tim pembaharu desa (TPD) Tirta Kencana, Agus Putra Mandala. Pada waktu yang hampir bersamaan, Desa Tirta Kencana juga tengah menggali sejarah desanya. Mengetahui sejarah desa juga menjadi sangat penting karena dalam dokumen RPJMDesa mereka harus memberikan informasi tentang profil desanya.

“Kami undang salah satu tokoh pendiri desa yang waktu itu sebagai pegawai UPT (Transmigrasi) Kemudian kami minta beliau bercerita tentang Desa Tirta Kencana. Dari mulai berdiri sampai luasan tanah “R”, serta rencana apa dari para pendiri yang bisa kami lakukan terhadap mimpi mereka. Dan ternyata, tanah “R” kami sangat luas yg menurut mimpinya pendiri desa akan dijadikan sebagai kantor Kabupaten pemekaran atau setidaknya Bandara,” demikian Agus yang secara pribadi mengaku kaget dengan informasi yang baru diketahuinya.

Tantangan dan Manfaat Menggali Sejarah Desa

Kendati warga baru menyadari tentang betapa pentingnya sejarah desa mereka, namun selama proses penggalian informasi, mereka mengaku tidak mengalami banyak kendala. Seperti yang diungkapkan oleh Ari Rudiyanto, salah satu TPD Tegal Arum.

“Tidak begitu banyak kendala, hanya saja dalam menggali sejarah desa, hanya saja dari mereka (pelaku sejarah) bercerita berdasarkan dari ingatan mereka. Karena faktor usia, maka terkadang ada beberapa peristiwa yang mereka lupa. Sehingga kita kemarin juga harus membuat pertanyaan-pertanyaan untuk memancing daya ingat mereka tentang peristiwa-peristiwa penting yang mereka alami dan saksikan,” ungkap Ari.

Kendala lainnya kemudian adalah bagaimana mereka melalui tahap penulisan dan analisa hasil penggalian data tentang sejarah desanya. Dalam hal ini, bisa jadi mereka membutuhkan penguatan kapasitas tersendisi khusus penulisan sejarah desa. Sehingga data sejarah desa juga akan sangat bermanfaat dalam proses penyusunan dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa). RPJMDesa merupakan  dokumen perencanaan pembangunan yang  berfungsi acuan utama pelaksanaan  pembangunan desa untuk kurun waktu 6 (enam)  tahun. Di mana salah satu langkah dari penyusunan RPJMDesa adalah penggalian databese desa meliputi profile desa, penelusuran sejarah desa, memetakan aset  desa, membangun mimpi desa, strategi  pengembangan aset dan menganalisa,  menyusun program dan kegiatan RPJMDesa.  Selebihnya, sejarah desa akan lebih baik jika ditulis dan dibukukan dan menjadi dokumen penting bagi desa.

=========

Catatan pembelajaran ini ditulis oleh Alimah, Gender Specialist Institute for Education Development, Social, and Religious Studies (Infest).  Desa Tegal Arum, Tirta Kencana dan Teluk Singkawang adalah desa dampingan Infest Yogyakarta yang telah membentuk tim pembaharu desa (TPD) untuk Perencanaan Apresiatif Desa (PAD), salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Tebo dan Pemdes Teluk Singkawang, Tegal Arum, dan Tirta Kencana. Program ini didukung oleh Making All Voices Count (MAVC) HIVOS.