Arsip Tag: gentansari

Gunakan Cara Berpikir Kritis, Perempuan Desa Mulai Mengorganisir Diri

Orang miskin ada karena ada orang yang kaya
Orang miskin ada karena dia malas
Orang miskin ada karena sudah keturunan
Orang miskin ada karena tidak ada lapangan kerja
…..dst

Kita akan menemukan beragam jawaban dalam menjawab “mengapa ada orang miskin?”. Kendati demikian, jawaban dengan menyalahkan manusianya masih merupakan jawaban paling banyak dibanding menyalahkan pemerintah atau kebijakan sebagai akar permasalahan di masyarakat. Begitu pun yang terjadi ketika para perempuan di desa Gentansari, Gumelem Kulon, dan Jatilawang secara bersama-sama menganalisa penyebab terjadinya kemiskinan di desanya. Para perempuan di Kabupaten Banjarnegara ini adalah mereka yang baru tergabung dalam organisasi perempuan di desanya. Seperti “Nirasari” di desa Gumelem Kulon, “Giri Tampomas” di desa Gentansari, serta “Raga Jambangan” di desa Jatilawang, tengah belajar bersama dengan Infest Yogyakarta tentang pengorganisasian komunitas, pada Jumat-Sabtu (13-14/5/16) lalu.

Perempuan Pembaharu Desa

Mulai Mengenal Kesadaran Kritis

Awalnya, jarang yang melihat kemiskinan sebagai kesalahan kebijakan atau sistemnya. Hingga mereka mulai diperkenalkan dengan cara pandang kritis. Para perempuan ini pun secara pelahan mulai diajak berpikir dan berkesadaran kritis. Singkatnya, berawal dari cara pandang mereka dalam menjawab “mengapa ada orang miskin?” telah mengantarkannya pada teori 3 bentuk kesadaran, yaitu naif, kritis, dan magis yang merupakan hasil pemikiran Paulo Freire.

Bagi akademisi, Paulo Freire tentunya bukan sosok yang asing. Namun bagi para perempuan ini, Paulo Freire merupakan sosok asing dan baru saat itu mereka kenal. Proses bagaimana secara pelahan para perempuan ini memahami suatu persoalan secara kritis menjadi sesuatu yang penting. Pengalaman mereka sebagai anak perempuan, isteri, serta sebagai ibu dan perempuan dalam komunitasnya, membuat cara pandang mereka tidak terlepas dari refleksi tentang siapa diri mereka. Termasuk pertanyaan mereka mana yang harus didahulukan, apakah naif dulu, kritis dulu atau mungkin magis?.

Kesadaran magis adalah kesadaran yang melihat terjadinya suatu persoalan karena sesuatu di luar kekuatan manusia. Langkah yang diambil biasanya hanya mendoakan dan memberikan bantuan kebaikan. Sementara kesadaran naif yakni kesadaran yang lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar permasalahan di masyarakat. Langkah yang diambil biasanya dengan menyalahkan orang yang punya masalah atau menyalahkan korbannya. Mengapa ada jurang pemisah yang lebar antara yang miskin dan kaya? Dalam kerangka kesadaran naif, hal ini karena kesalahan orang miskin itu sendiri yang bodoh dan malas bekerja. Orang dengan tipe kesadaran naif, bisa jadi juga tidak memahami kerangka sistem, tapi bedanya dengan kesadaran magis, dia selalu menimpakan setiap permasalahan ke persoalan pribadi.

Sedangkan kesadaran kritis, justru melihat kalau sistem dan strukturlah yang menjadi sumber masalah. Maka dalam pandangan ini, masyarakat harus dididik untuk menemukan keterkaitan antar setiap sistem, menemukan celanya, lalu berusaha membangun ruang baru yang lebih mengembangkan potensi masyarakat. Kesadaran ini, akan berusaha menghapuskan ketidakadilan dalam sistem. Sementara kesadaran magis, yakni suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Misalnya, seseorang yang memandang kemiskinan tanpa tahu menghubungkannya dengan faktor budaya ataupun politik. Kalau orang tersebut mencoba memecahkan masalah kemiskinan maka dia tidak akan melihatnya dalam kerangka system. Bahkan pemecahan masalahanya sering kali tidak memiliki keterkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi ; akibat ketidakmampuannya menghubungkan satu factor dengan factor yang lain dalam kerangka sistem. Tanpa ada upaya untuk memahami benang merah dari setiap permasalahan, orang dengan tipe seperti ini cenderung dogmatik terhadap yang akan dikatakan kepadanya.

Peta paradigma yang dijelaskan oleh Freire, akan membentuk cara berpikir, cara menanggapi dan menyelesaikan masalah. Termasuk kebiasaan dalam penentuan visi dan misi sebuah organisasi, lahir dari salah satu model berpikir yang telah dijelaskan Paulo Freire ini.

Jangkau, Dampingi, dan Libatkan

Proses memahami cara pandang magis, naif, dan kritis akhirnya mengantarkan para perempuan ini tentang apa yang ingin mereka perjuangkan di organisasinya. Termasuk bagaimana melakukan pengorganisasian komunitasnya. Dalam proses ini, para perempuan ini juga kembali diajak memahami tentang pengorganisasian komunitas berdasarkan pengalamannya masing-masing. Sampai akhirnya sang fasilitator, Maesur Zaki, mulai memaparkan pengertian pengorganisasian komunitas secara lengkap. Yaitu, suatu proses yang dikerjakan secara sengaja, terukur dan terus menerus untuk memperjuangkan kepentingan bersama komunitas tertentu dalam masyarakat berbasis kekuatan bersama dengan mendorong terjadinya perubahan di tingkat komunitas, masyarakat maupun kebijakan.

Para perempuan yang baru tergabung dalam sebuah organisasi ini tidak puas hanya dengan memahami pengertian pengorganisasian masyarakat. Hingga tak sabar ingin mengetahui bagaimana cara melakukannya. Melalui proses analisa menyelesaikan persoalan, akhirnya membawa mereka pada tahap cara mengorganisir komunitas. Dimulai dari proses “menyatukan” dengan cara mengajak masyarakat, lalu “menggerakkan” dengan mengadakan pertemuan atau kegiatan di desa, lalu “memusyawarahkan” atau menyepakati secara bersama-sama, hingga terjadi perubahan dalam bentuk kebijakan atau aturan yang kemudian membentuk sistem. Adapun teknik pengorganisasiannya di antaranya dimulai dengan menjangkau, mendampingi dan mengajak masyarakat, serta melibatkan masyarakat itu sendiri hingga terjadi perubahan yang diinginkan bersama. Karena inti dari pengorganisasian adalah perubahan itu sendiri.

Mengawal Isu Penting

Dari proses tersebut, para perempuan ini kemudian sudah mulai berpikir dan merencanakan tentang apa yang sebenarnya ingin mereka perjuangkan. Atau setidaknya, dalam satu tahun ini isu apa yang ingin mereka kawal. Setiap desa memiliki isu pentingnya sendiri. Meskipun ada beberapa isu yang sama pentingnya untuk segera dikawal. Yaitu isu tentang rendahnya pendidikan dan maraknya pernikahan dini.

“Kami ingin memperjuangkan nasib para Penderes dan keluarganya agar mendapatkan perhatian dari pemerintah, salah satunya untuk jaminan kesehatan mereka,” demikian ibu Tursiyem, Ketua Organisasi Perempuan Nirasari, desa Gumelem Kulon pernah mengungkapkan kegelisahannya tentang nasib para Penderes di desanya.

Beberapa kali melakukan pemetaan sosial telah memberikan pengalaman tersendiri bagi para perempuan di desa. Salah satunya di Gumelem Kulon seperti yang dilakukan oleh ibu Tursiyem dan perempuan Gumelem Kulon lainnya. Dimulai dari pemetaan aset dan potensi, kesejahteraan berdasarkan indikator lokal, survei perbaikan layanan publik, hingga penggalian usulan kelompok marginal.

Pengalaman melakukan pemetaan tidak sekadar mengetahui berapa banyak aset dan potensi yang dimiliki desanya. Namun lebih dari itu adalah pengalamannya sebagai ibu rumah tangga yang selama ini lebih banyak diam di rumah dan di dusunnya, kini benar-benar mengetahui bagaimana kondisi masyarakat di semua dusun yang ada di desa Gumelem Kulon. Termasuk kondisi para penderes dan keluarganya yang masih sangat memprihatinkan.

Penderes adalah profesi yang banyak digeluti warga di desa Gumelem Kulon. Profesi yang retan kecelakaan ini bahkan sering memakan korban hingga meninggal dunia maupun cacat fisik. Berdasarkan pemetaan kesejahteraan berdasarkan indikator lokal yang dilakukan kelompok perempuan di Gumelem Kulon, kini pemerintah desa (Pemdes) telah mengetahui berapa jumah para penderes di desanya serta bagaimana kondisi mereka.

Dengan memanfaatkan hasil pendataan kelompok perempuan, pemerintah desa (Pemdes) Gumelem Kulon bersama kelompok perempuan mulai memperjuangkan agar para Penders dan keluarganya menerima jaminan sosial di bidang kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan pendataan kesejahteraan yang dilakukan kelompok perempuan pada tahun 2015, kini Pemdes menginisiasi terbentuknya Asosiasi Penderes di desanya dan sedang dalam proses memperjuangkan nasib mereka agar menjadi penerima manfaat dari program JKN. Begitu pun dengan para perempuan di desa Gentansari dan Jatilawang, sudah mulai menentukan isu penting di desanya yang akan dikawal oleh organisasi peremmpuan di desanya.

Kendati demikian proses penyadaran dengan memperkenalkan cara pandang kritis ini, hanya langkah awal bagi para perempuan di desa sebelum mengorganisir komunitasnya melalui organisasi perempuan di desanya. Sehingga masih memerlukan rangkaian proses belajar lainnya dalam mengelola organisasi. [Alimah]

Musdes Gentansari

Data Kesejahteraan Lokal untuk Perbaikan RPJMDesa Gentansari

Sore itu (27/10), sekelompok perempuan perwakilan kelompok perempuan “Giri Tampomas” masih bercerita tentang pengalaman melakukan pendataan kesejahteraan lokal di Balai Desa Gentansari. Mereka juga masih membawa rekap hasil pendataan kesejahteraan yang telah dilakukan di desanya. Perwakilan kelomok perempuan, Sri Utami, mengaku sempat kaget karena hasil pendataannya di luar dugaan.

Musdes Gentansari

Kelompok Perempuan Gentansari, berdiskusi tentang proses dan hasil pemetaan kesejahteraan lokal.

Pendataan kesejahteraan lokal di Desa Gentansari dilakukan secara partisipatif oleh kelompok perempuan. Keterlibatan kelompok perempuan dan masyarakat dalam pemetaan kesejahteraan lokal dimulai dari persiapan pendataan hingga penyusunan dokumen rekomendasi perencanaan. Proses persiapan meliputi penentuan indikator lokal. Pembuatan format sensus hingga menyepakati indikator lokal bersama warga. Setelah itu, proses sensus dimulai. Data hasil sensus kemudian di tabulasi atau proses entri data. Hasilnya kemudian dipublikasikan dan dilakukan review hasil. Hasil dari sensus kesejahteraan lokal ialah menyusun dokumen rekomendasi rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa) berdasarkan data kesejahteraan lokal.

Selain dilakukan oleh warga sendiri, pendataan juga berbasis jumlah Kepala Keluarga (KK), hal ini tentunya berbeda dengan pendataan yang selama ini dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut Supriyono, Kades Gentansari, hasil pendataan yang telah dilakukan kelompok perempuan telah menunjukkan kondisi kesejahteraan warga yang sebenarnya. Dia juga mengungkapkan bahwa hasil pendataan yang dilakukan kelompok perempuan akan dimanfaatkan oleh desa.

“Hasil pendataan kesejahteraan oleh kelompok perempuan jelas akan dimanfaatkan untuk data desa dan perbaikan RPJMDesa,” ujar Supriyono.

Sekarang masukan kelompok perempuan sudah mulai dilaksanakan pada program jambanisasi dan program rumah sehat. Namun Desa Gentansari juga akan segera melakukan perbaikan RPJMDesa yang sudah disusunnya. Hal ini Supriyono karena dalam proses penyusunan RPJMDesa sebelumnya masih banyak kekurangan. Termasuk mengakomodir usulan-usulan dari kelompok perempuan.

“Saya akui, ada semangat tersendiri dari kelompok perempuan terutama untuk kegiatan-kegiatan di desa. Jelas ada hasilnya, termasuk proses pendataan. Jadi akan kami libatkan kelompok perempuan lebih jauh dan usulan-usulannya akan diakomodir,” tegasnya.

Menuliskan indikator kesejahteraan lokal

Pelatihan Pemetaan Kesejahteraan Lokal di Gentansari

Pelatihan pemetaan kesejahteraan lokal di Desa Gentansari digelar selama dua hari, (16-17/9/2015). Kader Pembaharu Desa Gentansari belajar tentang pentingnya data kesejahteraan lokal sebagai basis data perencanaan desa. Mereka juga mengindetifikasi jenis data dan pendataan serta menyepakati indikator kesejahteraan lokal di Gentansari.

Pelatihan Kesejahteraan lokal di Gentansari

“Sampai Kapan Pun Data Kemiskinan Tidak akan Valid”

Kalimat tersebut terlontar dari seorang peserta Sekolah Perempuan saat belajar bersama Infest Yogyakarta membahas pemetaan kesejahteraan di desa Gentansari, (16/9/2015). Dia adalah Habib Hasmi, perwakilan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Gentansari. Sekilas, pernyataannya terkesan pesimistis dan kecewa dengan pendataan kemiskinan yang selama ini dilakukan di desanya. Namun bukan tanpa alasan, dia menyatakan hal tersebut setelah bersama-sama tim Infest melakukan identifikasi terkait pendataan yang pernah dilakukan di desanya, baik pendataan yang dilakukan oleh desa maupun lembaga dari luar desa.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, peserta yang terdiri dari perwakilan peserta Sekolah Perempuan, perangkat pemerintahan desa, maupun kelembagaan yang ada di desa, baru menyadari bahwa selama ini pendataan yang dilakukan di desa ternyata belum valid. Baik pendataan ekonomi, kemiskinan, dan pendataan-pendataan rutin yang dilakukan desa setiap tahunnya.

Mereka juga menyadari bahwa selama ini desa tidak pernah memiliki data hasil pendataan yang telah mereka kerjakan. Selama ini, jika ada pendataan di desa yang diselenggarakan lembaga lain, maka desa hanya sebagai petugas sensus, tetapi pengolahan data dilakukan di luar desa. Desa juga tidak memanfaatkan data tersebut, karena desa memang tidak memiliki arsip data tersebut. Selain itu, kekurangan dari sensus yang pernah dilakukan di desa, pendataan dilakukan bukan untuk semua penduduk namun hanya sampling saja, atau maksimal separuh dari seluruh jumlah warga bahkan rumah tangga. Sehingga hasilnya belum bisa dinilai valid.

Identifikasi Pendataan di desa

Identifikasi pendataan yang dilakukan lembaga luar desa di desa

Sementara, jika pendataan dilakukan oleh desa, hasil datanya masih umum. Data diperbaharui setahun sekali untuk kepentingan laporan. Sehingga, setelah bersama-sama melakukan identifikasi, peserta baru menyadari bahwa data yang dihasilkan dari pendataan di desa baik yang dilakukan oleh desa maupun lembaga lain, ternyata belum valid.

Pendataan yang dilakukan Desa

Pendataan yang dilakukan desa

Habib Hasmi juga menambahkan rasa kecewanya, tentang data nasional atau daerah yang sering menyebutkan bahwa kemiskinan menurun. Padahal faktanya, data rumah tangga miskin di desa bertambah.

Sementara menurut Sri Utami, salah satu peserta Sekolah Perempuan, warga yang bekerja sebagai buruh migran selama ini tidak pernah terdata sebagai pekerjaan dalam proses pendataan nasional. Padahal warga di Gentansari ada yang menjadi buruh migran.
Proses pelatihan pemetaan kesejahteraan lokal 12011230_10204971015978738_5508996526724508601_n

Dalam proses pelatihan pemetaan kesejahteraan yang difasilitasi oleh Frisca Arita Nilawati, di hari pertama peserta mulai memahami betapa pentingnya melakukan pendataan berdasarkan indikator lokal. Dari proses pembelajaran tersebut, peserta pun mulai menyadari betapa pentingnya pendataan kesejahteraan berdasarkan indikator lokal yang telah disepakati bersama di desa. Sehingga rasa kecewa dan pesimistis seperti yang diungkapkan Habib Hasmi, tidak akan terjadi lagi jika indikator kesejahteraan di desa Gentansari tidak disamaratakan dengan desa-desa lain di Indonesia.

Dalam pemetaan kesejahteraan lokal, desa merumuskan atau mendefinisikan sendiri tentang kesejahteraan beserta dengan indikatornya untuk melihat kondisi desanya.  Selain itu juga untuk memahami suara masyarakat baik laki-laki dan perempuan tentang masalah yang dihadapi dan mengakomodasikan dalam perumusan kebijakan di desa. Pemetaan kesejahteraan di desa juga sebagai salah satu media diagnosis kesejahteraan dan strategi penanggulangannya. Warga juga tidak perlu meragukannya atau khawatir jika data yang telah mereka lakukan tidak diterima. Karena sudah jelas proses pemetaan kesejahteraan lokal ini ada ada dasar hukumnya, yaitu UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Serta Pasal 6 ayat 2, Permendagri No 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa. Juga Pasal 8, Permendesa No 1 Tahun 2015 Tentang Kewenangan Desa. [Alimah]

Pemda Kabupaten Banjarnegara Siap Kawal Pemetaan Kesejahteraan

Banjarnegara – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjarnegara menyatakan komitmennya untuk mengawal proses pemetaan kesejahteraan yang akan dilaksanakan di Desa Gumelem Kulon, Gentansari, dan Jatilawang.

Menurut Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (KPMD) Banjarnegara, Imam Purwadi, sumber daya manusia (SDM) di desa saat ini benar-benar membutuhkan pendampingan termasuk dalam proses menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa).

Diskusi Tim Infest Yogyakarta dengan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Kabupaten Banjarnegara, (7/9/2015)

Diskusi Tim Infest Yogyakarta dengan Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) Kabupaten Banjarnegara, (7/9/2015)

“Untuk menyusun RPJMDesa, perangkat desa di kabupaten Banjarnegara masih banyak yang belum mumpuni, termasuk tidak didukungnya data kemiskinan yang valid. Dari program yang pernah ada di desa, transfer knowledge-nya juga masih belum sampai sehingga di desa memang membutuhkan pendampingan,” ungkap Imam Purwadi dalam pertemuan bersama Infest Yogyakarta terkait rencana pelaksanaan pemetaan kesejahteraan, di kantor KPMD, pada Senin (7/9/15).

Dalam pertemuan itu, Infest menawarkan rencana pemetaan kesejahteraan di tiga desa tersebut. Rencana tersebut mengacu pada hasil Musyawarah Desa (Musdes) yang diusulkan peserta Sekolah Perempuan di desa Gumelem Kulon, Gentansari, dan Jatilwang, pada Jumat-Minggu (28-30/8/2015). Dalam Musdes juga terungkap beberapa persoalan mendasar terkait dengan data kemiskinan dan pelayanan dasar terhadap masyarakat miskin, seperti akurasi data kemiskinan di tingkat desa yang masih diragukan. Salah satu pemerintah desa (Pemdes) mengakui bahwa masih banyak keluarga miskin yang belum terdaftar sebagai keluarga miskin. Termasuk survei terakhir yang dilakukan pada tahun 2012 menggunakan standar BPS dan dilakukan oleh pihak dari luar desa. Diperkirakan terdapat pelbagai kesalahan dalam pendataan tersebut.

“Infest ingin menawarkan bagaimana memetakan kesejahteraan itu berdasarkan indikator lokal. Jadi kesepakatan indikatornya yang menentukan warga sendiri, karena jika berdasarkan indikator nasional seringnya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat setempat,” papar Frisca Arita Nilawati, Manajer Program untuk Implementasi Undang-Undang Desa yang dilaksanakan oleh Infest Yogyakarta.

Mengutamakan Aksi Kelompok Perempuan

Mengacu pada Musdes, maka peserta Sekolah Perempuan (SP) bersama pemerintahan desa merencanakan adanya perbaikan akses masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan. Upaya ini diterjemahkan dengan mengupayakan keangggotaan masyarakat miskin dalam layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah satunya, melalui perbaikan akurasi data. Untuk itu, SP akan menjadi motor penggerak dalam pelaksanaan survei kesejahteraan di tingkat lokal desa bersama dengan pemerintahan desa.

Keterlibatan kelompok perempuan ini juga menunjukkan konsep “Kepemimpinan Perempuan” yang mengutamakan aksi kelompok perempuan untuk perbaikan pelayanan di tingkat desa.  Mulai dari proses penyiapan data hingga pada proses penguatan akses masyarakat miskin terhadap jaminan sosial yang disediakan pemerintah. Hal ini dikarenakan penyelenggaraan pelayanan terhadap masyarakat miskin di desa masih menemukan banyak persoalan, salah satunya akurasi data kemiskinan.

Salah satu contoh persoalan pelayanan terhadap masyarakat miskin di tingkat desa adalah pembagian beras untuk masyarakat miskin (Raskin) yang diterapkan secara merata. Setiap orang di desa memperoleh beras untuk warga miskin akibat tidak validnya data kemiskinan yang dimiliki oleh desa. Selain itu juga jaminan sosial lain seperti pendidikan dan kesehatan. Akses masyarakat –terutama masyarakat miskin– terhadap layanan kesehatan menjadi salah satu persoalan lainnya. Masyarakat miskin banyak mengalami persoalan kesehatan, namun minim penanganan akibat kurangnya pengetahuan tentang layanan kesehatan yang disediakan pemerintah dalam bentuk jaminan kesehatan.

Terkait tindak lanjut dari pertemuan antara Infest Yogyakarta dengan KPMD, Imam Purwadi mengusulkan bahwa KPMD akan memfasilitasi pertemuan dengan pemerintahan desa dan kelompok perempuan dari tiga desa tersebut. Pertemuan dirancang untuk mendiskusikan rencana persiapan pelaksanaan pemetaan kesejahteraan. Harapannya, hasil data kesejahteraan tiga desa ini menjadi sumber pembelajaran kabupaten dalam penanggulangan kemiskinan. [Alimah]

Menulis Hal Sederhana hingga Kompleksnya Persoalan Desa

Oleh Alimah

Sejumlah orang bertanya, bagaimana perempuan di Sekolah Perempuan mampu menuliskan tentang desanya dalam waktu singkat? Pertanyaan tersebut muncul setelah laman ini mengangkat berita berjudul “Kala Perempuan Menulis Desanya”. Mungkin dalam pikiran mereka ada yang meragukan ibu-ibu di desa begitu cepat mengungkapkan isi pikiran mereka tentang desa melalui tulisan. Apalagi ibu-ibu dan bapak-bapak di desa itu rata-rata lulusan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan yang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) bisa dihitung jari. Apalagi yang lulusan perguruan tinggi. Di salah satu desa, lulusan perguruan tinggi hanya bidan desa yang juga menjadi peserta Sekolah Perempuan. Ada beberapa guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan pengampu di Pos PAUD. Mereka pun paling banyak lulusan SD dan SMP.

Lalu, apa yang membuat mereka bisa menulis dalam waktu singkat? Tulisan yang dimaksud di sini bukan sekadar tulisan ala kadarnya. Lebih dari itu, kumpulan kalimat mereka mengandung kepentingan untuk sebuah perubahan yang lebih baik bagi desanya terutama keberpihakan mereka pada kelompok perempuan, anak, dan kelompok yang selama ini terpinggirkan dalam proses pembangunan di desanya.

Tidak Singkat, Ada Tahapannya

Dalam prosesnya, tulisan yang mereka goreskan sebenarnya tidak bisa disebut singkat. Membangkitkan tentang pentingnya menulis bagi mereka serta teknik menulisnya mungkin bisa disebut singkat, namun bagaimana kemudian mereka mampu menuliskan gagasan tentang desanya itulah yang saya sebut tidak singkat. Apalagi menulis dengan perspektif dan keberpihakan tertentu.

Begini, saya ingin cerita bahwa sebelum mereka berada dalam satu ruangan selama beberapa jam belajar teknik menulis, mereka juga telah mengikuti serangkaian kegiatan di kelas maupun di luar kelas Sekolah Perempuan yang telah diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta sejak awal Maret 2015.

Rangkaian kegiatan Sekolah Perempuan baik di kelas maupun di luar kelas tersebut di antaranya adalah: Belajar bersama tentang gender Dasar bersama Mukhotib MD. Selain itu, peserta Sekolah Perempuan juga belajar dan membedah bersama Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya posisi perempuan dalam pembangunan desa. Mereka juga diajak untuk mengidentifikasi mimpi perubahan di desanya, tahapan apa yang harus dilakukan, peluang dan tantangannya.

Dilanjutkan dengan belajar pemetaan aset dan potensi desa. Peserta Sekolah Perempuan yang sebagian besar ibu-ibu ini berkolaborasi dengan pemerintah desa (Pemdes)  mengidentifikasi aset dan potensi desanya. Mereka melakukan wawancara mendalam berdasarkan instrumen yang sudah disepakati. Dari proses tersebut, mereka mulai mengetahui betapa kaya dan beragam aset di desanya, baik itu aset sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), kelembagaan, keuangan, sosial, fisik/infrastruktur, dan spiritual-budaya.

Dalam proses pemetaan tersebut, mereka tidak hanya mengetahui aset dan potensi yang ada di desanya. Ada pembelajaran penting saat mereka berkeliling desa. Melihat setiap sudut dan perubahan-perubahannya. Atau, saat mereka mendapatkan informasi dari para narasumber yang mereka wawancarai. Secara pelahan, pikiran mereka menangkap beragam informasi dan pengalaman dari beberapa pihak.

Hingga tiba pada tahap dimana mereka harus mulai menarasikan data aset dan potensi yang telah mereka miliki. Pengetahuan dan informasi tentang aset dan potensi desa sudah didapat dan dicatat dalam tabel, berikut keterangan dari narasumber. Mereka pun telah membuat peta aset dan potensi desa. Namun dokumen tersebut belum mengungkap secara detail tentang kondisi, perubahan, sejarah, harapan dan kebutuhan warga. Untuk mengungkap informasi, pengetahuan serta pengalaman, maka pada  7-8 Agustus 2015, peserta Sekolah Perempuan mulai belajar penulisan naratif bersama Yudi Setiyadi, pegiat jurnalisme warga dari Komunitas Pena Desa.

Tahapan Menulis Aset dan Potensi Desa

1) Memberikan Motivasi Pentingnya Menulis

Dalam prosesnya, mungkin benar jika ada yang berpikir bahwa tidak mudah membuat para ibu di desa itu agar mau menulis tentang aset dan potensi desanya. Namun kita juga tidak bisa berpikir bahwa itu sulit. Selalu ada strategi. Salah satu yang dilakukan dalam proses menulis ini ialah bagaimana agar peserta memiliki pemahaman bahwa menulis itu penting lalu termotivasi.

Sang fasilitator yang memang memiliki latar belakang sebagai jurnalis warga dengan pengalaman menulis dari nol, pun mulai bercerita bagaimana dia mampu menulis di Komunitas Pena Desa sebagai salah satu komunitas dari desa yang tergabung untuk belajar menulis dan berbagi tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi.  Termasuk menjawab pertanyaan yang sering muncul dari peserta ketika akan membahas “menulis” adalah untuk apa kita menulis?

2) Memulai “mengatakan” dan “melukiskan” sesuatu yang sederhana dan dekat

Tahapan berikutnya adalah peserta mulai diajak “mengatakan” dan “melukiskan” sesuatu yang sederhana dan dekat dengan kehidupan mereka dalam bentuk tulisan. Contohnya ketika mereka mengatakan “panci” maka bisa dilukiskan “ibu-ibu akan membawa sayur, masak, api dan lain-lain.” Itu merupakan penggambaran dari sebuah panci. Setelah menemukan gambaran besar, maka dari situ bisa melukiskan lebih detail tentang panci.

Dari proses ini, peserta pun mulai diajak menuliskan tentang sesuatu yang sederhana dan dekat dengan mereka. Contohnya hasil tulisan Tri Hariyani, salah satuu peserta Sekolah Perempuan dari desa Jatilawang yang telah “mengatakan” dan “melukiskan” tentang Pasar di desanya dalam bentuk tulisan yang bisa dilihat berikut ini:

MENGATAKAN   

  • Los-los Kios
  • Penjual
  • Pembeli
  • Jual Beli
  • Penjual pakaian, sayuran, bumbu dapur, perabotan dapur, ikan, berbagai macam lauk lauk.
  • Petani menjual sayur
  • Jatilawang memiliki 2 pasar yang berdekatan:
    1) Pasar induk
    2) Pasar Sayur

MELUKISKAN

  • Pasar Induk memiliki lokasi yang lebih luas. Berisi los-los kios. Diisi oleh berbagai macam penjual, ada penjual pakaian, sayuran, bumbu dapur.
  • Pasar sayur lebih banyak digunakan oleh petani yang menjual dagangannya pada pedagang.
  • Pasar ini terletak di desa Sibebek, Jatilawang.
  • Pasar ini setiap hari ada kegiatan jual beli, tetapi perdagangan yang besar terjadi setiap hari Pon dan Paing. Di desa ini masih menggunakan Kalender Jawa, terdiri dari 5 hari, Paing, Pon, Wage, Kliwon, dan Manis.
  • Jika hari Pon, maka warga dari berbagai desa di sekitar pasar akan datang berbelanja, begitu juga pedagang datang dari berbagai desa, bahkan dari lain kota.
  • Ketika hari pasaran (Pon) aktifitas sudah terjadi sejak jam 5 pagi, dan jam 10 pagi biasanya aktifitas sudah sepi dan berkurang.
  • Kondisi pasar untuk saat ini masih cukup baik. Tetapi tidak ada fasilitas WC, hanya ada bangunan WC yang tidak difungsikan, sudah rusak dan tidak terawat.

3) Mengembangkan paragraf narasi dengan menjawab pertanyaan “5 W + 1 H”

Berangkat dari data yang sudah dimiliki, maka sang fasilitator pun mengajak peserta untuk menarasikan data aset dan potensi mulai dari pertanyaan-pertanyaan kunci yang telah mereka miliki. Dari sini, peserta pun mulai diperkenalkan dengan teknis dasar jurnalistik, yaitu 5 W dan 1 H, atau singkatan dari What (Apa), When (Kapan), Where (Dimana), Who (Siapa), Why (Mengapa) dan How (Bagaimana). Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan muncul dalam sebuah cerita karena menulis hampir sama dengan menceritakan.

4) Lengkapi tulisan dengan menarasikan tentang “Peluang”dan “Strategi”

Selanjutnya, melengkapi data dengan tulisan tentang “Peluang” dan “Strategi”. Maka peserta pun diberi pemahaman bahwa sebuah aset bisa menjadi sebuah potensi atau malah menjadi masalah bagi desa. Aset yang ada di desa merupakan aset milik masyarakat yang semuanya tidak hanya miliki pemerintah desa saja. Pasar Desa dan Gunung Tampomas misalnya, merupakan contoh aset yang bisa menjadi potensi/peluang atau malah bisa jadi masalah. Bagaimana cara menekan aset yang mungkin bisa menjadi masalah maka dibutuhkan strategi yang bijak dan tepat, sehingga aset itu akan bermanfaat dan memberi keuntungan untuk desanya. Dari ide dari gagasan atau usulan dari masyarakat tentang aset desa ini bisa juga menjadi strategi dalam penanganan masalah yang ada di desa.

Sehingga, dalam tahapan menarasikan aset dan potensi desa, penting juga peserta Sekolah Perempuan memahami pentingnya menulis tentang aset dan pontensi desanya dengan menjelaskan tentang peluang dan strateginya.

5) Praktik Menarasikan Aset dan Potensi Desa secara lengkap

Setelah melalui tahapan 1 sampai 4, tahapan yang paling penting adalah praktik menarasikan aset dan potensi desa secara lengkap. Salah satu contoh tulisan peserta Sekolah Perempuan dari desa Jatilawang adalah ibu Tri Haryani, telah melalui tahapan 1 dan 4 tentang pasar di desanya. Berikut adalah contoh lengkap hasil tulisan ibu Tri Haryani yang menulis tentang desanya. Dalam aset dan potensi desa, pasar bisa masuk dalam kategori aset “fisik/infrastruktur” yang dimiliki desa, bisa juga masuk dalam aset “keuangan” desa karena di dalamnya terjadi sirkulasi keuangan desa. Dalam tulisannya, dia memberi judul “Pasar Sibebek”.


 

PASAR SIBEBEK

Jatilawang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Wanayasa Kabupaten Banjarnegara. Merupakan daerah dataran tinggi pegunungan sehingga bersuhu dingin. Letaknya berada di sebelah utara Kota Banjarnegara kurang lebih berjarak 42 Km dari pusat kota. UPTD Wilayah 3 Memiliki 5 Pasar, yaitu Karangkobar, Kalibening, Batur, Pagentan dan Jatilawang termasuk di dalamnya.

Jatilawang memiliki 2 pasar yaitu pasar sayur dan pasar induk. Jarak kedua pasar tersebut berdekatan, Pasar sayur terletak di sebelah utara pasar induk kurang lebih berjarak 50 M. Bisa dibilang pasar ini merupakan pusat perekonomian desa Jatilawang dan desa sekitarnya. Karena di sinilah pusat terjalinya transaksi jual beli antara petani dan pedagang serta pedagang dan pembeli eceran dan bisa dijadikan barometer perekonomian serta pertanian karena ramai dan sepinya pasar dipengaruhi juga oleh perekonomian masyarakat serta baik buruknya hasil dan harga pertanian.

Pasar sayur Jatilawang memiliki luas 2.500 M2 dan dibangun sekitar tahun 2007 berupa dua los pasar. Aktifitas yang ramai terjadi ketika hari pahing dan pon. Karena di desa ini masih menggunakan Kalender Jawa yang terdiri dari 5 hari, yaitu Manis, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon. Selain hari Pahing dan Pon pasar ini sepi bahkan sama sekali tidak terjadi transaksi jual beli. Di pasar ini hanya menjual hasil pertanian. Harga pasar cenderung lebih murah dari pada harga di Pasar Induk karena barang dibawa oleh petani dan langsung bisa dibilang menjadi pusat grosir sayur mayor.

Harga antara satu jenis sayur antara pedagang yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda bergantung kemampuan menawarkan barang dagangannya dan kemampuan si pembeli dalam menawar barang. Dari jam 4 pagi, Pasar ini sudah mulai ramai dan biasanya jam 10.00 pasar ini mulai sepi. Saat ini pasar sayur belum memiliki fasilitas WC ataupun air bersih dan masih memerlukan pembangunan pagar pasar tendon sebelah timur dan perbaikan selokan pasar.

Pasar induk Jatilawang memiliki luas 1.604 M2. Pasar ini pernah mengalami kebakaran sekitar tahun 198. Pasar ini sudah mengalami 4 kali tahap pembangunan. Pertama dibangun sekitar tahun 1996, kemudian tahun 1998 tahun 2000 dan terakhir sekitar tahun 2003. Saat ini pasar induk memiliki sekitar 20 Kios, 7 Los, 206 Lapak. Pedagang yang menempati los hanya 158 pedagang yang lainnya berjualan di luar pasar.

Seperti halnya pasar sayur, pasar induk juga ramai ketika hari Paing dan Pon, tetapi yang terbesar ketka pon. Jumlah pedagang bisa mencapai 200 lebih. Pedagang yang dating mayoritas dari lain daerah seperti Karangkobar, Kalibening, Batur, bahkan dari Pekalongan hanya sebagian kecil yang berasal dari desa Jatilawang. Aktifitas di pasar ini sudah mulai ramai sekitar jam 04.30. Pembeli yang datang tidak hanya dari desa Jatilawang tetapi juga dari desa-desa di sekitar. Di sini barang yang diperjualbelikan lebih bermacam-macam. Hampir semua kebutuhan sembako ada di sini. Sekitar pukul 10.00 aktifitas dipasar ini sudah mulai berkurang.

Saat ini pasar induk belum memiliki fasilitas WC dan air bersih, hanya ada bangunan WC yang rusak dan tidak terpakai yang berdekatan dengan kantor pasar. Masih perlu ada perbaikan selokan, karena ketika musim hujan pasar sebelah utara licin dan digenangi air serta lumpur.

Saat ini pasar Jatilawang memiliki 3 Petugas retribusi, yaitu Fendi, Junedi dan Karsono. Dan satu orang petugas kebersihan pasar. Pasar Jatilawang belum memiliki system penjagaan malam. Walaupun sebenarnya agak sering terjadi pembobolan kios. Alasannya karena pedagang tidak mau dan mampu membayar uang keamanan, sebab sebagian besar pada pedagang membawa kembali bisa barang dagangan mereka. Hanya sebagian kecil yang meninggalkan barang dagangannya di kios pasar. Selain itu juga tidak ada anggaran dari Pemda, untuk penjagaan malam. Sebagian besar para pedagang hanya berjualan setiap pon saja. Hanya sebagian kecil yang berjualan setiap paing. Untuk hari-hari biasa hanya ada sekitar 20 an pedagang yang berjualan di depan pasar. Pada hari selain paing dan pon di dalam pasar tidak ada penjual sekali.

Sebenarnya pasar merupakan potensi yang baik untuk membuka peluang usaha bagi masyarakat di sekitar pasar, tetapi sayangnya masih sedikit yang memanfaatkan peluang ini. Jumlah pedagang dari luar lebih banyak dari pada warga lokal. Padahal jika dinilai secara jarak seharusnya masyarakat lokal harusnya memiliki potensi yang lebih dekat dengan pasar lebih meringankan biaya transportasi bahkan bisa sama sekali tidak membutuhkan biaya transportasi. Pedagang lokal bisa datang lebih awal sehingga bisa mendapat pembeli lebih dahulu. Dengan jarak yang dekat pula lebih mengetahui apa yang sedang marak dibutuhkan atau digemari oleh masyarakat. Sangat disayangkan jika peluang yang ada tidak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar pasar. Padahal ini sangat membantu meningkatkan perekonomian. Terutama untuk ibu-ibu rumah tangga atau kaum perempuan yang memiliki keterampilan membuat makanan atau produk lainnya sehingga potensi yang ada pada diri mereka bisa dikembangkan menjadi bentuk usahaa mandiri untuk membantu peningkatan kesejahteraan.

[Baca Juga: Pendidikan dan Pernikahan DiniLadangPabrik Teh: Hidup Segan Mati Tak Mau]

*Penulis adalah Staf Gender Infest Yogyakarta

“Dukuh Iki Langka Pohon, Umah Kabeh lan Padet Penduduke”

gentansari 30 juli

Peserta Sekolah Perempuan bekerjasama membuat peta Aset dan potensi Desa Gentansari, Banjarnegara pada Kamis (30/7) (foto oleh Alimah Fauzan)

Oleh Alimah Fauzan / Staf Gender INFEST

Dukuh iki langka pohon, umah kabeh lan padet penduduke

(Dukuh ini tidak ada pohonnya, rumah semua dan padet penduduknya)

Demikian lontaran Sariyah, salah satu peserta Sekolah Perempuan di Desa Gentansari, Kec. Pagedongan, Banjarnegara, saat meminta saya untuk tidak menempelkan kertas origami yang sudah dibentuk pepohonannya. Menurutnya, di dukuh satu itu memang lebih banyak dipadati rumah-rumah warga dari pada pepohonan. Bahkan di rumahnya pun untuk menanam pohon harus di pot bunga. Tetapi dukuh dengan padat rumah warga hanya ada di satu dukuh. Sementara dukuh-dukuh lainnya, lebih banyak pohon-pohonnya. Ada juga perkebunan salak, pisang, singkong, serta pohon pinus di hutan yang selama ini dikelola Perhutani.

Tidak hanya saya yang jelas-jelas tidak begitu paham sudut-sudut di Desa Gentansari, namun pernyataan Sekdes Gentansari yang saat itu membantu membuat peta, pun dibantahnya. Contohnya, ketika Sekdes mengatakan bahwa masjid di desa tersebut hanya ada empat, Sariyah mengatakan ada delapan. Pernyataannya pun di-iya-kan oleh ibu-ibu dan bapak-bapak yang lain. “Ini baru masjid, belum musala-musala yang lebih banyak dari masjid,” jelasnya.

Saat ini peserta Sekolah Perempuan di desa memang tengah menyelesaikan pemetaan aset dan potensi desanya. Selain membuat peta, sebelumnya mereka telah melakukan identifikasi tujuh kategori aset dan potensi di desanya, seperti sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), infrastruktural, kelembagaan, keuangan, sosial, dan spiritual-budaya. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga akan menarasikan apa yang sudah mereka identifikasi dengan lebih detail. Selanjutnya, mereka akan memasuki tahap pemetaan kesejahteraan yang merupakan salah satu tahapan pemetaan apresiatif sosial desa.

Bagi Sariyah dan beberapa teman di Sekolah Perempuan, berkeliling desa sudah menjadi kebiasaannya. “Jalan-jalan,” demikian istilahnya. Sariyah sungguh sangat jeli dan sensitif pada hal-hal yang bahkan perangkat desa laki-laki pun belum tentu sejeli dia. Dalam proses pembuatan peta, tidak sekadar teknik dan seni membuatnya agar indah. Yang lebih penting adalah saat prosesnya terjadi diskusi, klarifikasi, bahkan bagaimana kelompok perempuan sendiri mampu mengatasi konflik internal seperti perbedaan pendapat dalam proses pembuatannya.

Harapannya, pemetaan sosial yang dilakukan kelompok perempuan tidak hanya aspek infrastruktural, namun juga memperhatikan aspek yang dibutuhkan perempuan-perempuan di desa dan kelompok marginal lainnya. Kelompok-kelompok tersebut yang selama ini tertinggal dalam proses pembangunan desa, terutama bagaimana pelayanan dasar di desa yang menyasar mereka; seperti pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Proses ini diharapkan mampu memberi masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP Desa) yang responsif gender dan inklusi sosial dapat terwujud.