Arsip Tag: ekonomi desa

Ahmad Erani Yustika

Desa, Tanah, dan Pasar

Oleh: Ahmad Erani Yustika

Harian Kompas telah mengoyak empat isu strategis terkait desa dalam sebulan terakhir. Pertama, penguasaan lahan di desa sudah tidak dalam genggaman warga desa, tetapi dikuasai pemodal kakap di luar desa (kota). Kedua, desa telah menjadi pasar barang/jasa yang mengalir dari kota (juga komoditas impor) sehingga mekanisme pengisapan ekonomi terus terjadi. Ketiga, rantai distribusi/logistik yang amat panjang dianggap pemicu tingginya harga pangan, sehingga koperasi dan/atau badan usaha milik desa (BUMDes) diharapkan punya daya memperpendek rantai tersebut agar inflasi pangan bisa dikendalikan. Keempat, rasio gini di desa turun drastis setahun terakhir ini dari 0,32 (September 2014) menjadi 0,27 (September 2015).

Sebagian menduga penurunan ini karena terjadi pemiskinan massal sehingga yang berlangsung di desa adalah “pemerataan kemiskinan”. Sebetulnya keempat isu itu saling bertautan dan punya daya pukul mematikan jika tak diurus sejak sekarang.

Penguasaan sumber daya

Belakangan ini teori ekonomi yang mengupas soal faktor produksi digeser pemaknaannya dengan menyatakan tak penting siapa yang memilikinya. Bahkan, bila dikuasai pelaku ekonomi asing pun juga tak masalah, sepanjang bisa menciptakan lapangan kerja, memproduksi barang/jasa, dan seterusnya.

Faktanya, penguasaan faktor produksi tersebut, khususnya lahan dan modal, menjadi jangkar paling dalam bagi penciptaan ketimpangan (pendapatan) yang akut. Ragam kebijakan yang diluncurkan untuk mengatasi ketimpangan tak bertenaga karena tak menyentuh perkara penguasaan sumber daya itu. Bahkan, ketimpangan dalam 10 tahun terakhir melaju cepat seiring dengan pemburukan pemerataan distribusi sumber daya ekonomi.

Oleh karena itu, penguasaan sumber daya di tangan kaum tunalahan atau tunamodal merupakan agenda serius yang mesti diperjuangkan. Kenyataan inilah yang enggan dijangkau sehingga dengan kepastian yang tinggi tanah di desa sudah berpindah tangan dan dikuasai sekelompok tuan tanah (baru).

Jika kemudian penguasaan lahan di desa (juga sumber daya ekonomi lainnya) tak lagi di tangan warga desa (petani), maka hal itu tidaklah mengejutkan karena prosesnya dibiarkan terus terjadi, bahkan difasilitasi. Ini berbeda sekali dengan konstruksi para pendiri bangsa yang mendesain Pasal 33 UUD 1945, di mana perekonomian diwujudkan dalam semangat kolektivitas dan tidak dibiarkan sumber daya dikuasai oleh orang per orang dalam jumlah yang sangat besar.

Hal itu dipertegas dengan hadirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 5 Tahun 1960, yang memberi makna “sosial” terhadap sumber daya tanah. Oleh karena itu, distribusi penguasaan tanah tak boleh dibiarkan semata karena kalkulasi ekonomi dengan menumpang mekanisme pasar, tetapi harus lebih banyak menafkahi aspek sosial (keadilan). Problem inilah yang terjadi saat ini, di mana Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA tak lagi dijadikan sandaran dalam mendesain konsepsi hak kepemilikan dan alokasi penguasaan lahan (tanah).

Harapan kembali mengalir ketika program reforma agraria yang digelindingkan saat ini hendak dijadikan satu paket dengan pembangunan desa. Penguasaan lahan di desa harus dihentikan dan didistribusikan demi menyemai daya hidup warga desa. Politik fiskal yang memberikan desa anggaran dalam jumlah memadai dan terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan syarat perlu, akan tetapi tak mencukupi.

Pada posisi ini, reforma agraria adalah bagian dari syarat cukup (di luar kebijakan keuangan, pertanian, perdagangan, industri, dan lain-lain). Pilihan reforma agraria bukan hanya mendistribusikan lahan yang menganggur atau dikuasai oleh negara (seperti Perhutani), tetapi juga memangkas korporasi swasta yang telah membekap gurita lahan dan sumber daya alam lainnya. Pada level tertentu, dengan bekal UU Desa (UU No 6/2014), desa bahkan memiliki otoritas melakukan reforma agraria skala lokal dan penguasaan lahan bagi kemaslahatan bersama.

Desa dan pasar

Desa sebagai pasar tentu saja realitas yang tak bisa ditolak. Dalam pengertian tertentu, desa adalah pasar yang besar karena sebagian besar penduduk saat ini masih tinggal di desa, meski dengan proporsi jumlah yang kian mengecil dengan daya beli yang rendah. Meski demikian, nasib paling nahas yang dihadapi desa sekarang adalah tertikam oleh pasar yang dinyatakan dalam abstraksi: “produsen barang primer dan konsumen barang sekunder/tersier”.

Jadi, produsen komoditas primer bukanlah hal buruk karena hal itu bagian dari matra aktivitas ekonomi yang penting. Menjadi persoalan bila komoditas primer itu dijual keluar (kota) untuk diolah kembali dengan nilai tambah yang besar dan dijual balik ke desa. Situasi yang mudah ditebak dari kisah itu adalah penyedotan ekonomi secara sistematis, sehingga hasil penjualan tak cukup untuk mengongkosi kebutuhan hidup. Bahkan, pada produk primer sekalipun banyak petani sudah menjadi konsumen.

Dua isu berikut telah digelindingkan dan hendak dikonversi jadi kebijakan. Pertama, penguasaan dan kepemilikan sumber daya di desa mesti digandakan jadi kegiatan yang mempunyai nilai tambah, yang sering disebut “industrialisasi desa”.

Istilah ini tidak salah, tetapi imajinasi atas model industrialisasi perlu dipetakan dengan baik. Industrialisasi yang memiliki arti transformasi ke aktivitas ekonomi modern dengan induksi modal, teknologi, dan inovasi tak boleh dibiarkan berlalu di atas hamparan kepadatan modal yang berlebih ataupun injeksi teknologi yang asing bagi warga desa.

Perlu dipahami, industrialisasi di sini dimaknai sebagai ikhtiar memuliakan sumber daya ekonomi di desa lewat modal yang ditanggung secara kolektif, memasukkan sebagian besar pelaku ke tengah arena, dan mengerjakan secara bersama. Bila ini yang dijalankan, tidak akan terjadi sebagian (kecil) pelaku ekonomi membajak hasil pembangunan untuk kaumnya sendiri.

Kedua, pasar tak boleh dilepaskan dari aturan main yang dikendalikan oleh desa. Komoditas yang sudah memiliki nilai tambah tersebut selain berfungsi memproteksi sumber daya agar tidak keluar dari desa terlebih dulu, juga memastikan komoditas yang diproduksi dalam kendali mereka dalam distribusinya. Bahkan, distribusi tersebut juga termasuk dalam komoditas yang hendak masuk ke desa.

Banjir komoditas ke desa harus dimaknai sebagai penetrasi barang/jasa yang bukan merupakan kebutuhan, tetapi sebagian besar daftar “keinginan” yang dilesakkan lewat media iklan secara masif. Demikian pula pelaku distribusi itu tidak dalam cengkeraman warga desa sehingga nilai tambah mata rantai tata niaga juga lepas dari mereka. Aturan main ini mesti dibuat secara mikro (level desa/komunitas) dan makro (pemerintah pusat/daerah), khususnya kebijakan perdagangan. Kementerian atau dinas perdagangan jadi titik tumpu regulasi pada level makro.

Lumbung ekonomi desa

Sampai titik ini, agenda penguatan organisasi ekonomi yang kukuh di desa menjadi amat vital. Koperasi merupakan tulang punggung untuk menyulut energi atas kelemahan pelaku ekonomi di desa. Spirit kebersamaan, persaudaraan, dan gotong royong menjadi akar dari gerakan ekonomi ini.

Di masa lalu, sebelum digerus oleh aneka penyimpangan nilai, koperasi jadi penyangga harkat hidup warga desa. Sekarangpun masih banyak koperasi yang berjalan sesuai khitah, sehingga fungsinya berjalan dengan rapi di masyarakat. Di luar itu, UU Desa juga memberikan mandat membentuk BUMDes sebagai penyangga perekonomian desa. BUMDes digagas untuk mengelola sumber daya ekonomi, sekaligus memperkuat watak kolektivitas yang berakar kuat di desa. Sungguhpun begitu, operasi BUMDes tak boleh bertubrukan dengan aktivitas ekonomi yang sudah dijalankan rakyat selama puluhan tahun. Keberadaannya justru harus berpadu dan memperkuat ekonomi rakyat.

Pada konteks desa, dua jalur yang relevan dimasuki oleh BUMDes. Pertama, jadi perekat atas titik kegiatan ekonomi yang telah dijalankan rakyat secara mandiri. Mereka biasanya dikendalai dengan permodalan, bahan baku yang murah, dan distribusi yang lemah. BUMDes memasuki wilayah tersebut, sehingga posisi tawar dan efisiensi aktivitas ekonomi rakyat menjadi lebih bagus. Ini sekaligus menjadi jawaban atas inefisiensi rantai distribusi yang membuat desa selalu memperoleh nisbah ekonomi yang kecil dan konsumen harus membeli dengan harga mahal.

Kedua, BUMDes beroperasi menerjemahkan Pasal 33 UUD 1945 sehingga hanya masuk ke cabang produksi penting dan atau terkait sumber daya alam. Beberapa BUMDes sudah berjalan dengan, misalnya, mengelola sumber daya air yang dikonversi untuk tujuan ekonomi, sebagian lagi murni kepentingan pelayanan publik (menyalurkan air bersih untuk warga desa).

Jika cara-cara semacam itu hidup dan langgeng di desa, maka tak usah cemas dengan paradoks pertumbuhan dan ketimpangan, seperti yang terjadi di kota saat ini. Pola dominasi penguasaan dan kepemilikan (juga ekonomi yang sangat padat modal dan teknologi) di kota telah menjadi sumber peningkatan ketimpangan (pendapatan). Desa harus dijadikan pulau yang kalis dari praktik tersebut.

Jika saat ini ketimpangan pendapatan di desa telah menurun sangat drastis, maka itu harus disambut dengan sukacita, sambil memeriksa kemungkinan terjadinya pemerataan kemiskinan. Jika kemungkinan terburuk itu yang terjadi, tetap saja peluang terbuka lebih lebar untuk memperbaiki di masa depan karena telah tumbuh politik fiskal yang berpihak pada desa (dana desa dan alokasi dana desa). Jika itu diperkaya dengan penguatan ekonomi yang bernilai tambah, pasar yang dikontrol secara efektif, penguasaan sumber daya, dan organisasi/lembaga ekonomi yang mapan, maka lumbung ekonomi desa akan terbangun dan kesejahteraan warga desa akan segera turun dari langit.

AHMAD ERANI YUSTIKA, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi


**Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di Kompas cetak, 18 Februari 2016. Tulisan dimuat kembali untuk tujuan pembelajaran.

BUMDesa

Mengenal BUMDesa

Pengembangan basis ekonomi perdesaan menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Pengembangan basis ekonomi sudah sejak lama dijalankan oleh pemerintah. Beragam program dan cara dilakukan. Akan tetapi, dengan beragam faktor program tidak berhasil. Kuatnya intervensi pemerintah justru menyebabkan hilangnya daya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam menggerakan roda ekonomi.

Pendekatan baru yang diharapkan mampu menstimulasi dan menggerakkan roda perekonomian di perdesaan adalah melalui pendirian kelembagaan ekonomi yang dikelola sepenuhnya oleh desa. Bentuk kelembagaan ekonomi ini dinamakan Badan Usaha Milik Desa atau yang sering disebut BUMDesa.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) merupakan badan usaha yang ada di desa yang dibentuk oleh pemerintah desa dan masyarakat. BUMDesa merupakan usaha milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. BUMDesa harus menjadi instrumen gerakan ekonomi masyarakat yang mendayagunakan potensi dan aset lokal yang dimiliki. Dengan kata lain, BUMDesa merupakan bentuk kelembagaan desa yang memiliki kegiatan usaha ekonomi atau bisnis untuk memperoleh manfaat yang berguna demi kesejahteraan masyarakat desa.

BUMDesa merupakan pilar kegiatan ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial institution). BUMDesa sebagai lembaga sosial harus berpihak pada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial. Sedangkan sebagai lembaga komersial BUM Desa bertujuan mencari keuntungan melalui penawaran sumber daya lokal (barang dan jasa) ke pasar.

Pendirian BUMDesa

Pendirian BUMDesa harus diawali sebagai pola untuk memperkuat ekonomi rakyat desa. Pendirian BUMDesa hendaknya dipahami sebagai peluang baru bagi desa untuk mengembangkan dan mendayagunakan potensi dalam memenuhi kebutuhan warga. Artinya, BUMDesa bertumpu pada potensi dan kebutuhan desa. Pendirian BUMDesa merupakan inisiatif desa, bukan perintah regulasi (aturan) dan pemerintahan supradesa. Sehingga pengelolaannya harus berdasarkan semangat kemandirian desa.

Maksud dari pembentukan BUM Desa sebagaimana dalam dinyatakan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa adalah sebagai upaya menampung seluruh kegiatan bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum yang dikelola oleh Desa dan/atau kerja sama antardesa.

Ciri BUMDesa

Terdapat beberapa ciri utama yang membedakan BUMDesa dengan lembaga ekonomi kemersial lainnya, antara lain:

  1. Badan usaha ini dimiliki oleh desa dan/atau antardesa yang dikelola secara bersama.
  2. Pendirian BUMDesa harus disepakati melalui musyawarah desa.
  3. BUMDesa ditetapkan melalui Peraturan desa dan/atau Peraturan bersama kepala desa untuk BUMDesa bersama antardesa.
  4. Modal usaha bersumber dari desa melalui penyertaan modal desa dan dari masyarakat.
  5. Lembaga usaha di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social institution) dan komersial (commercial Institution).
  6. Bidang usaha yang dijalankan didasarkan pada potensi lokal yang dimiliki.
  7.  Keuntungan yang diperoleh digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan desa.
  8. Pelaksanaan operasionalisasi kegiatan diawasi bersama oleh (pemerintah desa, BPD, dan masyarakat).

Tujuan BUMDesa

BUMDesa hadir sebagai wadah untuk mengorganisasi rakyat desa dan meningkatkan semangat mereka dalam memperkuat dan mengembangkan ekonomi. BUMDesa dapat dijadikan sarana berbagi bagi kelompok-kelompok masyarakat desa untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk sekaligus membahas strategi pengembangan pemasarannya. Sehingga mereka mampu menggali potensi-potensi baik sumber daya manusia dan sumber daya alamnya serta mengembangkan jaringan untuk menjalin koneksi dalam menggerakkan perekonomian rakyat desa.

  1. Pendirian dan pengelolaan BUMDesa merupakan perwujudan dari pengelolaan ekonomi produktif dan/atau pelayanan umum yang bertujuan untuk:
  2. Meningkatkan perekonomian desa;
  3. Mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa;
  4. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa;
  5. Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;
  6. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;
  7. Membuka lapangan kerja;
  8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa; dan
  9. Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan Pendapatan Asli Desa.

Apa saja ruang usaha yang bisa dilakukan oleh BUMDesa?

UU No 6 tahun 2014 pasal 87 ayat 3 menyebutkan BUMDesa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya, BUMDesa dapat menjalankan pelbagai usaha, mulai dari pelayanan jasa, keuangan mikro, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Sebagai contoh, BUMDesa bisa membentuk unit usaha yang bergerak dalam keuangan mikro dengan mengacu secara hukum pada UU Lembaga Keuangan Mikro maupun UU Otoritas Jasa Keuangan.

Prinsip-Prinsip BUM Desa

BUMDesa merupakan sebuah badan usaha yang didirikan oleh pemerintah desa dan masyarakat dengan prinsip-pinsip sebagai berikut:

  1. Terbuka, semua warga masyarakat desa bisa mengakses semua kegiatannya.
  2. Sosial (social interpreunership), tidak semata-mata mencari keuntungan.
  3. Dikelola oleh pihak-pihak yang independen. Pengelola tidak boleh dari unsur pemerintahan desa. Hal ini untuk menghindari adanya kepentingan dengan memanfaatkan jabatan dalam pemerintahan desa. Kecuali untuk jabatan penasehat ex- officio akan dijabat oleh kepala desa.
  4. Tidak boleh mengambil alih kegiatan masyarakat desa yang sudah berjalan tetapi BUMDesa mengonsolidasi untuk meningkatkan kualitas usaha mereka. Salah satu tujuan utama BUMDesa adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan perekonomian desa. Untuk itu perlu dihindari pemilihan usaha BUMDesa yang sekiranya justru akan menurunkan pendapatan masyarakat setempat. Misalnya, unit usaha BUMDesa sebaiknya menghindari pemilihan jenis usaha yang sudah digeluti oleh warga desa.

Prinsip-prinsip pengelolaan BUMDesa penting untuk dielaborasi atau diuraikan agar dipahami dan dipersepsikan dengan cara yang sama. Terdapat 6 prinsip dalam mengelola BUMDesa yaitu:

  1. Kooperatif, semua komponen yang terlibat didalam BUMDesa harus mampu melakukan kerja sama yang baik demi pengembangan dan kelangsungan hidup usahanya.
  2. Partisipatif, semua komponen yang terlibat didalam BUMDesa harus bersedia secara sukarela atau diminta memberikan dukungan dan kontribusi yang dapat mendorong kemajuan usaha BUMDesa.
  3. Emansipatif, semua komponen yang terlibat didalam BUM Desa harus diperlakukan sama tanpa memandang golongan, suku, dan agama.
  4. Transparan, aktivitas yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat umum harus dapat diketahui oleh segenap lapisan masyarakat dengan mudah dan terbuka.
  5. Bertanggungjawab, seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administratif.
  6. Berkelanjutan. Kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUMDesa.

Hal utama yang paling penting dalam upaya penguatan ekonomi desa adalah memperkuat kerja sama, membangun kebersamaan/menjalin kerekatan di semua lapisan masyarakat desa. Sehingga menjadi daya dorong dalam upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan membuka akses pasar.

Lahan Pertanian di Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri

Desa dan Pulau Harapan

Oleh: Ahmad Erani Yustika

Pemerintah telah memberi identitas baru atas pilihan pembangunan ekonomi yang harus diambil. Pada isi Nawacita, sekurangnya tafsir itu terpapar di tiga cita, yakni membangun dari pinggiran, peningkatan produktivitas ekonomi rakyat, dan kemandirian ekonomi.

Jika dibenturkan dengan konsep ekonomi pembangunan, ”Tricita” tersebut berteduh dalam pohon teori ”struktural”. Istilah ”pinggiran” (periphery) adalah frasa populer untuk membenturkan dengan negara/wilayah ”pusat” (center) dalam tradisi Marxianeconomics. Demikian pula, terma ”ekonomi rakyat” dan ”kemandirian ekonomi” lekat dengan konsep yang bersinggungan dengan mazhab tersebut, seperti yang kerap diteriakkan oleh Samir Amin ataupun Fernando Henrique Cardoso (tentu dengan istilah yang tak sepenuhnya persis). Inilah babak baru yang secara sadar diayak pemerintah setelah mengamati secara jeli watak pembangunan (ekonomi) Indonesia sepanjang 70 tahun seusai kemerdekaan.

Pasokan pengetahuan

Salah satu alas pokok yang dipakai untuk menjalankan Tricita di atas adalah Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014. UU ini mendapatkan atensi yang luar biasa dari khalayak karena dipandang sebagai horizon baru pembangunan. Desa diletakkan sebagai pusat arena pembangunan, bukan lagi semata lokus keberadaan sumber daya (ekonomi) yang dengan mudah disedot oleh wilayah lain (kota) untuk beragam kepentingan.

Perhatian menjadi kian luar biasa begitu pemerintah meneruskannya dengan membentuk kementerian yang khusus mengawal urusan desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dengan begitu, urusan desa tak hanya disantuni secara legal (UU), tetapi secara politik dengan lugas afirmasi telah ditunjukkan pemerintah via pembentukan kementerian baru itu (dan dana desa) sehingga pada hari-hari mendatang pusat pertaruhannya adalah bagaimana kekuatan legal dan politik itu menjelma dalam kerja teknokratis di lapangan.

Teknokratisme pembangunan desa itu berdiri tegak di atas tiga pilar (Desa Berdikari). Pertama, mengarusutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan sehingga mereka menjadi subyek-berdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil. Kedua, mendorong geliat ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan partisipan gerakan. Ketiga, mempromosikan pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan komunitas sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan lain-lain.

Menyangkut kapabilitas manusia, penguatan pendidikan (pengetahuan) dan kesehatan merupakan dua pilar pokok yang mesti dibangun. Pendidikan kerap disederhanakan sebagai lama waktu sekolah untuk menunjukkan level keterampilan seseorang. Parameter itu sebagian bisa diterima, tetapi jelas tak menggambarkan seluruh tingkat pengetahuan individu. Di luar sekolah (formal), pilihan lain peningkatan stok pengetahuan adalah penciptaan komunitas belajar dan balai pencerahan dengan basis karakteristik sosial dan budaya setempat.

Pola semacam itu tidak sekadar menambah pengetahuan dan keterampilan (sesuai dengan pilihan hidup yang telah ditetapkan), tetapi juga menegakkan matra komunitas yang menjadi corak hidup warga desa. Berikutnya, perkara kesehatan juga patut menjadi fokus pendalaman kapabilitas karena masih rendahnya daya dukung pada aspek ini. Kenaikan angka ibu yang meninggal saat melahirkan, peningkatan bayi dengan ukuran tubuh tidak normal (stunting), gizi buruk, ketersediaan sanitasi, pasokan air bersih, dan lain-lain masih merupakan kenyataan pahit di pedesaan.

Perlu gerakan masif untuk memperbaiki aspek ini karena jumlahnya sangat banyak dan tersebar secara geografis (yang sebagian sulit dijangkau). Di sini tidak hanya perlu anggaran yang besar, tetapi juga pilihan program yang efektif untuk mengatasinya. Perbaikan kualitas manusia merupakan misi yang harus dimenangi karena hakikat pembangunan tak lain adalah ekspansi kapabilitas manusia.

Lumbung ekonomi rakyat

Kesejahteraan adalah salah isu mendesak di desa mengingat kantong-kantong kemiskinan berada di sana (sekitar 65 persen penduduk miskin berdiam di desa). Urbanisasi masif yang terjadi disebabkan oleh involusi desa tersebut, bukan karena ada tarikan permintaan tenaga kerja di kota. Inilah yang membuat fenomena ”urbanisasi prematur” terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, gerakan lumbung ekonomi rakyat merupakan palang pintu utama untuk mendongkrak kesejahteraan ekonomi tersebut. Pokok soal yang utama adalah membekali aset produktif yang memadai sehingga akses terhadap sumber daya ekonomi menjadi lebih besar.

Lahan Pertanian di Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri

Lahan Pertanian di Kecamatan Giriwoyo, Wonogiri. (Foto: Sofwan)

 

Problemnya, sebagian besar kaum miskin itu tak memiliki aset produktif yang mencukupi (khususnya lahan dan modal). Dengan begitu, kebijakan reformasi agraria (yang juga menjadi salah satu komitmen pemerintah) menjadi sangat strategis diimplementasikan dengan lokus penduduk desa yang tunaaset tersebut, di samping kebijakan drastis terkait akses terhadap modal.

Berikutnya, menempatkan kegiatan ekonomi hanya pada hulu (misalnya produksi komoditas pertanian atau eksplorasi sumber daya alam lain) terbukti hanya meninggalkan desa dalam kubang keterbelakangan. Desa hanya dimanfaatkan sebagai penyedia bahan baku dan pasar bagi komoditas olahan (yang dikerjakan oleh pelaku dan di wilayah yang lain). Situasi ini harus dihentikan sehingga desa tak lagi cuma memperoleh porsi di hulu, tetapi juga memasuki aktivitas di sektor hilir.

Sumber daya ekonomi sebanyak mungkin ditahan desa dan hanya keluar setelah melalui proses penciptaan nilai tambah. Tentu saja proses ini tak mesti bertumpu hanya di satu desa, tetapi bisa pada kawasan pedesaan karena harus disesuaikan dengan skala ekonomi. Intervensi inovasi dan adopsi teknologi menjadi penting agar proses ekonomi pengolahan itu bisa berjalan dengan layak. Jika hal ini berlangsung dengan baik, urbanisasi dapat ditekan dan posisi desa tak lagi inferior.

Pekerjaan rumah setelahnya adalah menyusun organisasi ekonomi di desa. Tentu ini mandat yang rumit, tetapi niscaya harus dijalankan. Organisasi ekonomi yang berbasis persaingan dengan meletakkan individu sebagai pusaran aktivitas ekonomi terbukti menciptakan luka pembangunan, salah satunya berwujud dalam ketimpangan (pendapatan) ekonomi yang makin parah. Realitas itu harus dimaknai sebagai sinyal kebutuhan kembali pada penataan organisasi ekonomi yang menyantuni semangat kolektivitas, pemerataan, dan solidaritas sosial. Apa pun pilihan aktivitas ekonomi yang dikerjakan mesti paralel dengan kebutuhan tersebut agar pembangunan tak menciptakan paradoks: pertumbuhan berbarengan dengan kesenjangan. Konstitusi dengan tepat telah memberikan panduan pada Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Desain Pasal 33 adalah bangun usaha yang bersemangat koperasi. Pengambil kebijakan ekonomi mesti punya keberanian moral untuk menjalankan misi daulat ekonomi rakyat ini.

Menumbuhkan daya hidup

Pembangunan yang secara sengaja meretakkan relasi manusia dan pilihan yang akan diambilnya dipastikan justru menciptakan keterasingan, di samping ketergantungan. Pembangunan menjadi ritus berjarak jika program yang dijalankan tidak menyertakan rakyat sebagai partisipan gerakan, mulai dari perumusan masalah, desain, implementasi, hingga monitoring program. Pembangunan menjadi proses mematikan, bukan menumbuhkan daya hidup rakyat.

Proses itulah yang sebagian terjadi atas kebijakan yang diambil selama ini sehingga terjadi mekanisme keterasingan dan ketergantungan secara sistematis. Dana desa mesti dicegah tidak mengulang pengalaman itu (dan tak seharusnya perhatian hanya fokus pada dana desa) sehingga anggaran yang digelontorkan harus dimaknai sebatas afirmasi pemerintah untuk menjadikan desa sebagai arena pembangunan tanpa merebut hak (warga) desa menyusun masa depannya sendiri. Ruang harus dibuka selebar-lebarnya bagi warga desa untuk menentukan hajat hidupnya lewat program yang digagas secara partisipatoris.

Jika pilihan itu yang diambil, modal (finansial) bukanlah amunisi utama pembangunan. Modal yang terpenting adalah kapabilitas manusia yang telah terberdayakan dan gerak sosial yang emansipatoris. Modal finansial hanyalah instrumen sekunder karena kebutuhan primer adalah manusia tercerahkan dan otentisitas jaringan sosial yang tersambung secara pekat. Proses inilah yang sebetulnya menjadi jantung perubahan paradigma pembangunan agar geraknya tidak ditindih oleh modal finansial yang kemudian justru mengisolasi sebagian (besar) kaum dari berkah pembangunan itu sendiri.

Jika kemudian para pendamping desa diturunkan ke segala penjuru, fungsinya yang pokok adalah menjadi aktor pemberdaya yang menumbuhkan daya hidup warga tersebut, bukan mengambil alih hak warga merumuskan jalan hidupnya. Ujung dari proses ini adalah lenyapnya praktik ekonomi subordinatif yang menempatkan pemilik modal sebagai tuan ekonomi.

Penting pula dipahami bahwa seluruh cakupan di atas harus sensitif terhadap kesinambungan lingkungan dan partisipasi perempuan. Pembangunan yang terlalu memberi bobot pada aspek ekonomi mungkin menjadi eskalator untuk mempercepat pencapaian ketinggian kesejahteraan, tetapi juga punya risiko terhadap destruksi lingkungan. Keduanya tentu tak boleh dikorbankan meski kerap kali tak mudah mencapainya secara bersamaan. Demikian pula, banyak kasus inisiasi pembangunan yang dilakukan dan menyertakan kaum perempuan secara eksesif lebih punya potensi keberhasilan, seperti dalam model pengelolaan lembaga keuangan. Ekspansi kapabilitas manusia/komunitas harus menyasar perempuan sebagai target utama akibat warisan konstruksi sosial yang tak berpihak kepada mereka selama ini.

Pada akhirnya, seluruh urusan ini harus dipayungi oleh kebijakan makroekonomi, politik fiskal, moneter, keuangan, perdagangan, investasi, dan lain sebagainya yang memihak dan menjadikan desa sebagai arus utama pembangunan. Jika kita bisa merawat konsistensi keseluruhan bangunan ini, paras desa akan berubah menjadi pulau-pulau harapan yang laik dijadikan sandaran masa depan.

AHMAD ERANI YUSTIKA Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerin Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi


**Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di Kompas cetak, Selasa, 11 Agustus 2015. Tulisan dimuat kembali untuk tujuan pembelajaran.