Jumat (20/2/2015), digelar diskusi Undang-undang (UU) Desa, di Gedung Pascasarjana Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta. Diskusi kali ini dihadiri oleh para pegiat lembaga swadaya masyarakat, praktisi, dan akademisi dari STPMD APMD. Menurut Farid Hadi selaku moderator, diskusi ini sebagai bentuk pengawalan pelaksanaan UU nomor 60/2014 tentang desa.
“Ini juga atas usulan teman-teman, bagaimana kalau kita melakukan suatu diskusi yang santai, nyaman, sebagai bagian dari pencerahan dan sebagai ruang konfirmasi. Teman-teman kita, tahu semangatnya waktu mengawal lahirnya UU Desa juga luar biasa,” terang Farid.
Selain itu, diskusi kali ini juga dilatarbelakangi telah ditetapkannya beberapa produk hukum turunan dari UU Desa seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen). Hingga saat ini, pemerintahan Joko Widodo telah menetapkan PP nomor 43/2015 tentang Peraturan Pelaksanaan UU nomor 6/2014 tentang Desa dan PP nomor 60/2015 tentang Anggaran Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sementara, dua kementerian yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDT) pun telah mengeluarkan Permen sebagai pedoman pelaksanaan UU Desa. Kemendagri telah menetapkan empat permen yakni permendagri nomor 111/2014, 112/2014, 113/2014, dan 113/2014, masing-masing berisi tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, Pemilihan Kepala Desa, Pengelolaan Keuangan Desa, dan Pedoman Pembangunan Desa. Sementara, Kementerian Desa dan PDT juga telah mengeluarkan tiga Permendes yakni nomor 1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Desa; nomor 2/2015 tentang Pedoman Tata Tertiba dan Mekanisme Musdes; dan, nomor 3/2015 tentang Pendampingan Desa.
Terbitnya peraturan turunan di satu sisi dapat dipahami sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam pelaksanaan UU Desa. Namun, di sisi lain, peraturan yang muncul yakni PP dan Permen juga menimbulkan kebingungan di tingkat desa, khususnya para perangkat desa. Salah satunya disampaikan Suharyanto, pengajar STPMD yang mengisahkan kebingungan perangkat desa di Donokerto, Turi, Sleman tentang pembagian penghasilan tetap (Siltap) dan struktur organisasi kerja (STOK) perangkat desa.
Akhir-akhir ini, isu penghasilan perangkat desa sedang menghangat. Di Magelang, para Kepala Desa meminta implementasi UU Desa ditunda. Para Kepala Desa khawatir, pelaksanaan UU Desa berpotensi mengurangi gaji mereka. “Termasuk tanah lungguh yang hasilnya masuk Anggaran Penerimaan dan Belanja Desa (APBDes) dan keluarnya tidak sepenuhnya. Jadi, PP 43 ini kaya anti-klimaks dari euphoria UU 6/2014,” terang Haryanto.
Menurut Sutoro Eko selaku Tim Ahli Pansus UU Desa yang diperlukan sekarang adalah mendorong kepala desa untuk melakukan peninjauan kembali (judicial review) terhadap pasal-pasal di PP yang inkonsisten. Salah satunya, pasal 83 dalam PP 43 yang menerangkan tentang Penghasilan Kepala Desa yang hanya bersumber dari ADD. Sementara, dalam padal 66 UU Desa, selain dari ADD, Kepala dan Perangkat Desa juga menerima penghasilan dari APBDes dan sumber lain yang sah. (Sofwan)