Arsip Tag: banjarnegara

Haryati: “Desa Kami Semakin Perhatikan Kesejahteraan Buruh Tani”

“Buruh tani adalah salah satu aset sumber daya manusia (SDM) di Desa Karangkemiri, jadi sangat penting untuk diberdayakan. Selain buruh tani, SDM di Desa kami sangat kaya, apalagi perempuannya, sangat aktif dan produktif” (Haryati, warga Desa Karangkemiri)

Dengan percaya diri, Haryati memaparkan perubahan-perubahan yang terjadi di desanya. Haryati merupakan salah satu perwakilan kelompok perempuan Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Salah satu SDM yang ada di Karangkemiri adalah buruh tani.

Masyarakat di Desa Karangkemiri memang sebagian besar berprofesi sebagai buruh tani, terutama kaum perempuan. Pada waktu musim tanam hampir setiap hari mereka menjadi buruh tanam. Terkadang petani juga sampai kesulitan mencari buruh tanam. Kenapa? Karena waktu bercocok tanam tiba berersamaan. Petani terkadang juga kesulitan mencari kuli, karena kebanyakan masyarakat lebih suka bekerja di depot pasir.

Selama ini, penghasilan dari buruh tani belum mampu sejahterakan keluarga. Tugas buruh tani di antaranya adalah pembuatan lahan, menanam, penataan pupuk dan matun hingga panen. Untuk buruh tanam dan kuli pacul, upah yang didapat berkisar kurang lebih 25.000-30.000 rupiah. Ini berlaku sampai setengah hari. Apabila waktu kerja sampai sore maka mendapat tambahan sesuai dengan jam kerjanya.

Haryati memaparkan perubahan yang terjadi di desanya dalam workshop refleksi pembelajaran perencanaan apresiatif desa, atas kerjasama Dispermades Banjarnegara dan Infest Yogyakarta

Menurut Haryati, meskipun mampu mengurangi angka pengangguran, namun upah buruh tani kurang mensejahterakan keluarga. Termasuk bagi buruh tani saat musim panen tiba, khususnya untuk panen padi. Apabila petani mendapat hasil panen 1 ton, maka buruh tani mendapat 1 kwintal dari hasil buruhnya.

“Sehingga dalam RPJMDesa Perubahan, Pemdes dan warga sekarang telah memasukkan program pembinaan dan pemberdayaan khusus bagi para buruh tani. Buruh tani sebelumnya belum menjadi penerima manfaat pembangunan, namun sekarang sudah mulai masuk,” ungkap Haryati di depan para warga dari desa lain serta sejumlah stakeholder satuan kerja pemerintahan daerah (SKPD) di Kabupaten Banjarnegara, di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dispermades).

Apa yang diungkapkannya hanya salah satu perubahan yang terjadi di desanya setelah Pemdes dan warga mengikuti sekolah desa. Dalam forum refleksi pembelajaran, selain perubahan yang terjadi di desa, Haryati pun dengan fasih menceritakan tentang aset dan potensi yang ada di desanya.

Kekayaan Aset dan Potensi Desa Karangkemiri

Desa Karangkemiri merupakan salah satu bagian daerah Minapolitan di antara 7 Kecamatan di wilayah Kabupaten Banjarnegara. Masyarakat Karangkemiri sebagian besar bermata pencaharian sebagai Petani. Ada pula sebagian masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, buruh bangunan, PNS, dan pekerja tambang pasir di Waduk Mrica.

Desa Karangkemiri juga dikeliligi oleh Waduk Mrica dan mempunyai dua buah jembatan. Jembatan yang satu menghubungkan kadus I dan kadus II. Jembatan yang kedua sebagai penghubung antar desa yang sering disebut dengan nama Jembatan Paris. Selain sebagai penghubung juga digunakan sebagai tempat wisata bagi anak-anak muda untuk melakukan selfi.

“Jembatan ini secara fisik bukan milik Desa Karangkemiri, tetapi masih milik PT Indonesia Power kondisi jembatan juga sering berlubang karena kayunya cepat rapuh sehingga sering dilakukan adanya perbaikan,” papar Haryati.

Desa Karangkemiri terdiri dari 2 Kepala Dusun (Kadus), 4 RW dan 20 RT. Saat ini jumlah Kepala Keluarga (KK)-nya adalah 936 KK. Sementara jumlah total penduduk adalah 2.980 jiwa, laki-laki adalah 1.552 dan perempuan 1.428. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Karangermiri adalah petani, mayoritas penduduknya hidup bercocok tanam, jenis-jenis pertanian yang ada di desa kami adalah padi, jagung, kacang tanah, pepaya,dan singkong serta berbagai macam sayuran seperti kacang panjang, cabe, kangkung dan beragam sayuran dan buah lainnya. Masyarakat Desa Karangkemiri termasuk berpenghasilan cukup. Akan tetapi karenya belum adanya irigasi menjadikan masalah kesulitan air bagi para petani bila memasuki musim kemarau. Budaya tanam di Desa kami juga belum teratur.

Perikanan

Di desa Karangkemiri terdapat banyak sekali kolam. Kolam-kolam tersebut diisi berbagai macam ikan seperti ikan mujahir, wader, tawes, gurameh, lele, malem dan lain-lain. Dengan adanya budidaya ikan, bisa meningkatkan pendapatan keluarga, bisa juga untuk dikonsumsi. Akan tetapi banyak juga kendalanya, salah satunya saat musim kemarau karena pengairan atau irigasi kurang memadai. Sehingga banyak sekali kolam yang kering.

Usaha Canthir dan kripik singkong

Menurut Haryati, usaha pembuatan cantir saat ini sedang lesu, karena bahan bakunya susah didapat. Warga harus mendatangkan dari desa lain, karena Desa Karangkemiri yang dulu merupakan sentra penghasil singkong, kini sudah beralih fungsi lahan menjadi pertanian padi. Di samping itu, pada saat musim hujan seperti terkendala mutu bagi hasil produksi. Mengapa? karena apabila dalam penjemurannya panasnya kurang maksimal, maka akan menurunkan mutu produk tersebut.

“Harapannya ke depannya ada rekayasa alat yang dapat mengatasi hal tersebut, khususnya untuk usaha penjemuran.”

Waduk Mrica : “Waduk Besar Jenderal Sudirman”

Desa Karangkemiri adalah sebuah desa yang dikeliligi oleh Waduk Mrica, dan sebagian besar masyarakat Karangkemiri mengambil nilai manfaat dari Waduk tersebut. Di antaranya adalah adanya Depot Pasir, Perikanan dan Pertanian. Di Waduk Mrica tersebut juga membentang sebuah jembatan yang menghubungkan Kadus I dan Kadus II dan kami namakan Jembatan Paris.

“Jika kita berada ditengah-tengah jembatan, terpangpanglah sebuah pemandangan yang sangat indah dan menakjubkan, untuk itu kita berkeinginan menjadikan Jembatan Paris sebagai Jembatan Wisata atau Desa Wisata Alam dari Desa Karangkemiri,” jelasnya.

Akan tetapi, kesadaran masyarakat akan kebersihan dan kesehatan masih sangat kurang dalam penjagaan. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat yang membuang sampah dan limbah ke area Waduk Mrica. Termasuk pembuangan BAB skala besar atau bisa dikatakan jumbleng atau MCK terbesar dan terlebar se-Asia Tenggara.

Sebenarnya, banyak sekali potensi yang dapat dikembangkan dari Waduk Mrica, seperti pariwisata, depot pasir, bata merah, sarana outbond, dan wisata perahu tongkang. Di samping itu, desa juga perlu mengadakan pelatihan keterampilan membuat bata merah untuk memanfaatkan sedimen dan pelu mensosilisasikan kepada masyarakat agar tidak membuang limbah kewaduk. Untuk itu desa perlu membuat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah skala desa dan jamban komunal. Sehingga untuk mengembangkan potensi dari Waduk Mrica, perlu mencari investor baik dari dalam desa maupun luar untuk dapat mengembangkan potensi tersebut.

Perajin Gajah mina (Kalamence)

Produk yang satu ini benar-benar merupakan ciri khas dari produk UMKM di Desa Karangkemiri. Karena memang hanya di wilayah Desa Karangkemiri yang menghasilkan sekaligus mengolah hasil tangkapan gajah mina (mence) ini. Kendala yang dihadapi perajin selama ini adalah ketergantungan pada pasang surutnya air waduk. Selain itu juga hasil tangkapan yang satu juga terbilang sebagai hasil tangkapan musiman. Di samping itu, untuk memasarkan produk, warga juga terkadang mengalami hambatan. Salah satunay adalah belum ada wadah atau tempat pemasaran khusus bagi produk tersebut pada saat produksi melimpah.

Semua aset dan potensi desa yang sudah disebutkan di artikel ini hanyalah beberapa dari begitu banyaknya aset dan potensi di Desa Karangkemiri. Semua data-data aset dan potensi tersebut sudah terdata dalam dokumen aset dan potensi Desa Karangkemiri. Data tersebut merupakan salah-satu data yang dihasilkan secara partisipatif oleh Pemdes dan warga. Data-data partisipatif lainnya di antaranya adalah data kesejahteraan desa, data kewenangan desa, data prioritas perbaikan layanan publik, dan data usulan kelompok marjinal.

====

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Dinsos Banjarnegara: Data Partisipatif Sangat Membantu Proses Validasi Data Kemiskinan

“Data-data yang dihasilkan Tim Pembaharu Desa (TPD) semoga dapat membantu tugas-tugas kami (Dinsos) dalam proses validasi data untuk program-program Dinsos”

(Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Banjarnegara)  

Data-data partisipatif yang dimaksud adalah data-data yang dihasilkan oleh pemerintah desa (Pemdes) bersama warganya. Pendataan partisipatif tersebut digerakkan oleh Tim Pembaharu Desa (TPD) dengan merangkul warga yang lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan partisipatif.

Haryati, perwakilan TPD Karangkemiri, memaparkan pembelajaran dan perubahan yang terjadi di desanya.

Cerita perubahan, pembelajaran dan data hasil kerja keras TPD dipaparkan dalam acara “Workshop Refleksi Pembelajaran Perencanaan Apresiatif Desa” di Aula Dispermades pada Rabu (13/12/17). Acara ini merupakan salah satu momen penting dimana warga dan Pemdes membagi cerita dan melakukan refleksi dari sekian pembelajaran yang telah dilakukan sejak Mei-Desember 2017. Melalui Sekolah Pembaharuan Desa, program kerjasama Dispermades dan Infest Yogyakarta ini menjadi inspirasi desa-desa lain untuk menerapkan perencanaan apresiatif desa.

Menurut Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinsos Banjarnegara, data-data tersebut akan sangat membantu dalam proses validasi data yang digunakan oleh Dinsos untuk Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan bagi anggota keluarga RTS diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Soleh, perwakilan TPD Pringamba, memaparkan perubahan di desanya.

“Apalagi tadi TPD dari Karangkemiri juga menyebutkan tentang data difabel di desa, ini bisa diajukan kepada Dinsos untuk ditindaklanjuti sebagai penerima bantuan. Jadi programnya sudah ada yang menyasar difabel, dan dengan adanya data partisipatif dari warga, ini akan sangat membantu validasi data untuk program Dinsos,” ungkap Hayati. Begitu pun, lanjut Hariyanti, untuk program-program Dinsos lainnya seperti pelatihan-pelatihan untuk kelompok perempuan dan marjinal dapat diajukan sesuai dengan prioritas hasil pendataan warga tersebut.

Selain dari Dinsos, sambutan baik juga diungkapkan oleh Dwi Yudianti dari Seksi Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banjarnegara, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kecamatan Sigaluh, Pemerintah Kecamatan Sigaluh, Tim Ahli (TA), Tim Pendamping Desa (PD), serta Tim Pendamping Lokal Desa (PLD) Kabupaten Banjarnegara. Menurut mereka, pembelajaran-pembelajaran dan praktik baik melalui pendekatan Perencanaan Apresiatif Desa (PAD) sangat penting direplikasi di desa-desa lainnya.

Proses pengorganisasian masyarakat yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta atas kerjasama Dispermades, ini juga memberikan inspirasi tersendiri bagi tim pendamping desa di Kabupaten Banjarnegara. Seperti diungkapkan oleh Suyatno, Tim Ahli (TA), praktik pengorganisasian masyarakat ini juga mulai diterapkan di desa lain oleh tim pendamping desa dan lokal desa. Strategi ini dilakukan agar pendamping desa tidak hanya fokus pada persoalan administrasi semata.

TPD Siap Berbagi Pengetahuan dan Pembelajaran ke Desa Lain

Sementara itu, Tim Pembaharu Desa (TPD) dari Karangkemiri dan Pringamba mengaku siap berbagi pengetahuan dan pembelajarannya ke desa-desa lainnya. Kendati demikian, TPD juga sadar bahwa yang terpenting pasca program adalah bagaimana agar mereka tetap aktif dan kritis mengawal semua tahapan pembangunan desa mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban.

Data-data yang telah dihasilkan secara partisipatif menjadi rujukan dalam proses mengawal pembangunan di desanya. Data-data tersebut di antaranya adalah data kewenangan desa, data kesejahteraan desa, data aset dan potensi desa, data survei layanan publik, serta data usulan kelompok marjinal. Selain itu juga data-data tersebut dimanfaatkan guna memperbaiki layanan publik di desa.

Kini data-data tersebut telah dimanfaatkan untuk proses review RPJMDesa dan RKPDesa Perubahan. Sehingga, saat ini dalam dokumen perencanaan yang baru telah muncul program atau kegiatan berdasarkan prioritas hasil data-data tersebut. Seperti di Desa Karangkemiri, saat ini telah ada program dan kegiatan yang menyasar kelompok marjinal khususnya anak putus sekolah, difabel, dan perempuan kepala keluarga miskin.

Pentingnya berbagi pengetahuan dan pembelajaran ke desa lain, juga diungkapkan oleh Wigati Sutopo, Tim Ahli (TA). Menurutnya, sayang sekali jika pembelajaran baik dari perencanaan apresiatif desa (PAD) ini hanya diterapkan di beberapa desa saja. Sehingga penting untuk disebar luaskan ke desa-desa lain, salah satunya dengan memberdayakan pendamping desa dan lokal desa yang ada di Kabupaten Banjarnegara.

====

*Penulis adalah gender specialist Infest Yogyakarta.

Kades Pringamba: “Kami yakin data yang kami hasilkan sendiri”

“Kami yakin dengan data yang kami hasilkan sendiri, karena kami terlibat melakukan semua prosesnya bersama warga”

(Karno, Kades Pringamba, Kec. Sigaluh, Kab. Banjarnegara)

Dengan tegas dan percaya diri, Kades Pringamba mengungkapkan pengalamannya selama melakukan pendataan kesejahteraan dari rumah ke rumah. Pendataan kesejahteraan yang dilakukan di tiap kepala keluarga (KK), tentu saja berbeda dengan pendataan yang dilakukan berbasis RT atau sampel dari keseluruhan jumlah penduduk. Karena dalam satu rumah, bisa jadi ada dua atau lebih jumlah KK. Sehingga, dalam proses pendataan ini dibutuhkan tim yang tidak sedikit. Karena proses pendataan partisipasi yang dilakukan bersama warga, maka membuat prosesnya lebih ringan. Pemdes dan warga juga memiliki rasa percaya diri, rasa memiliki terhadap data yang begitu kuat. Karena dalam setiap tahapan prosesnya, mereka telah dilibatkan dan data yang dihasilkan pun menjadi milik mereka yang kapanpun dapat diperbaiki jika terjadi kekeliruan.

Desa Pringamba merupakan salah satu Desa di Kabupaten Banjarnegara, yang tahun ini tengah mengupayakan perencanaan yang apresiatif di desanya. Selain Pringamba, tahun ini juga ada Desa Karangkemiri di Kecamatan Wanadadi. Tentu saja, setiap perubahan membutuhkan tahapan kegiatan yang tidak singkat. Apalagi dalam prosesnya dibutuhkan partisipasi warga di desa. Sejak pertengahan tahun 2017, Pemerintah Desa (Pemdes) bersama warga Pringamba pun mulai bekerja keras untuk melakukan perubahan di desanya. Perubahan tersebut dimulai dengan melakukan perubahan perencanaan pembangunan di desanya. Perencanaan pembangunan desa yang sebelumnya berbasis masalah, kini mulai diubah menjadi perencanaan pembangunan yang berbasis aset dan data-data usulan kelompok marginal. Beberapa bulan sebelum melakukan perubahan dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa), Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Desa (RKPDesa), dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), Pemdes bersama warganya telah bekerja keras menghasilkan data-data partisipatif sebagai bahan review RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa.

Perubahan: Sulit di Awal, Gaduh di Pertengahan, dan Hebat di akhir

Salah satu warga yang sedang melakukan rekap data survei perbaikan layanan publik.

Apa yang diungkapkan Kades Pringamba, merupakan pengalamannya yang secara langsung terlibat dalam proses pendataan kesejahteraan yang dilakukan di desanya bersama warga. Keterlibatan Pemdes dan warga dalam proses pendataan juga dilakukan di Desa Karangkemiri. Selain data kesejahteraan, Pemdes dan warga juga secara partisipatif telah menghasilkan data kewenangan desa, data aset dan potensi desa, data kesejahteraan lokal, data prioritas perbaikan layanan publik dasar di desa, serta data usulan kelompok marginal. Berdasarkan data-data partisipatif yang mereka hasilkan sendiri, akhirnya mampu memunculkan usulan program maupun kegiatan yang dikompilasi dalam 4 bidang, yaitu pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.

Masing-masing desa memiliki pengalamannya sendiri terkait tantangan saat melakukan pendataan. Termasuk pada tahap awal proses fasilitasi survei layanan publik partisipatif, serta pemetaan sosial lainnya, tidak jarang Pemdes dan warga di hampir semua desa dampingan merasa tidak memiliki kapasitas menghasilkan data sendiri. Mana mungkin kami menghasilkan data sendiri? Apalagi merumuskan semua prosesnya mulai dari perencanaan, pelaksanaan survei sampai laporan pertanggungjawaban bersama warga? Merumuskan instrumen sendiri? Bagaimana caranya? Sedangkan selama ini warga jarang dilibatkan, bahkan data pun selama ini hanya milik supradesa, data kemiskinan milik BPS, apalagi data survei perbaikan layanan publik dasar seperti prioritas untuk kesehatan, pendidikan, dan sejumlah prioritas usulan lainnya? Begitulah, namun keinginan untuk berubah dan mau belajar tanpa sadar telah mengubah cara pandang mereka, mereka pun kian optimistis, bukan hanya Pemdes, warga yang telibat dalam setiap tahapannya, pun mulai merasa “diwongke”, dimanusiakan.

Memperkuat kapasitas warga dan pemdes untuk menghasilkan perencanaan apresiatif desa (PAD) bukan sekadar seremonial satu dua hari jadi lalu pulang. Lebih dari itu, perlu hadir di tengah mereka, di tengah lingkungannya, mendengarkan dan menjadi teman belajar, intens komunikasi bisa berminggu-minggu dan berbulan-bulan, selain itu juga terus memastikan bagaimana mereka mengatasi tantangan, capaian, serta strategi yang mereka terapkan sendiri, dan sejumlah hal-hal lain yang terkesan sepele namun penting. Jangan sampai pengetahuan dan pembelajaran hanya berhenti di satu dua orang, lalu usai menjadi sekadar pengetahuan yang entah benar-benar dipahami atau tidak.

Data hasil analisa prioritas perbaikan layanan publik ini pun hasil kerja keras warga dan Pemdes. Ini hanya secuil dari sekian data yang yang telah warga dan Pemdes hasilkan, mulai dari data kesejahteraan lokal, data dan Perdes Kewenangan, data aset dan potensi desa, dan data usulan kelompok marginal. Tapi menghasilkan data bukanlah tahap akhir, karena setelah melalui tahap pemetaan sosial, kini saatnya mereka memanfaatkan data-datanya sebagai bahan rujukan RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa. Setelah masuk dalam dokumen-dokumen penting tersebut, pun masih ada proses lain yaitu mengawal proses pelaksanaan pembangunannya secara aktif dan kritis. Perubahan di sejumlah desa dampingan Infest Yogyakarta yang paling terlihat adalah bagaimana pembangunan di semua bidang mulai menyasar kelompok-kelompok marginal. Di antaranya, desa mulai menganggarkan tunjangan hari tua untuk semua Lansia miskin di desanya, mengaggarkan program untuk kaum difabel, tidak sekadar memberikan bantuan instan, namun memastikan penyembuhannya hingga memberdayakannya di desa.

=============

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Tidak Semua Warga Miskin Butuh Bantuan Langsung Tunai

“Meskipun tidak mampu secara ekonomi, ternyata tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang secara langsung. Kaum Lansia yang saya survei, mereka membutuhkan posyandu Lansia. Lalu ada juga warga yang membutuhkan kartu jaminan kesehatan. Sementara kaum difabel membutuhkan ketrampilan.”

(Mugiono, warga Pringamba, 20/10/17)

Mugiono (30 tahun) pernah memiliki pandangan bahwa warga miskin di desanya mungkin hanya butuh bantuan uang tunai. Jika tidak, mungkin butuh semacam bantuan langsung lainnya seperti bahan pokok dan lainnya. Kalaupun usulan mereka berupa kegiatan, mungkin hanya kegiatan pembangunan insfrastruktur (fisik) saja. Karena pada kenyataannya, selama ini menurutnya, warga hanya mengetahui kegiatan pembangunan fisik.

Selain Mugiono, warga pada umumnya juga memiliki pandangan yang sama. Tidak heran, sebelum mereka melakukan survei, tantangan mereka adalah ketika warga menanyakan “akan ada bantuan apa lagi?”. Namun kini dia baru memahami bahwa tidak semua warga miskin membutuhkan bantuan uang atau bantuan langsung tunai. Karena ternyata, bantuan selain bentuk uang tunai juga dapat meringankan beban mereka, seperti akses mereka pada pelayanan publik dasar, seperti jaminan kesehatan, pembekalan ketrampilan, layanan yang bersifat administrasi, serta jasa publik lainnya.

Mugiono merupakan salah satu warga Pringamba, Kecamatan Sigaluh, Kabupaten Banjarnegara. Beberapa minggu lalu, dia bersama tim penggali usulan kelompok marginal telah mendatangi rumah-rumah warga. Tentunya bukan semua warga di desa dia datangi rumahnya, namun warga yang termasuk dalam kelompok marginal di desanya. Mereka adalah keluarga yang masuk dalam daftar rumah tangga miskin, perempuan miskin kepala keluarga, kelompok difabel, Lansia, anak-anak dari keluarga miskin, pemuda putus sekolah karena tidak ada biaya, dan orang-orang yang selama ini tidak menerima pelayanan publik di desanya.

Menggali Usulan Kelompok Marginal Secara Partisipatif

Sebelum melakukan wawancara, Mugiono dan tim penggali usulan kelompok marginal telah memetakan kelompok marginal di desanya. Hasil pemetaan tersebut kemudian dimusyawarahkan untuk segera dibentuk tim yang akan melakukan penggalian usulan ke rumah warga. Hasil data usulan kelompok marginal tersebut kemudian dikompilasikan menjadi empat bidang pembangunan desa, yaitu bidang pembangunan infrastruktur, pemerintahan desa, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Usulan-usulan yang masuk dalam empat bidang itu pun kemudian dianalisa hingga masuk dalam program maupun kegiatan yang diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan di desanya.

Tim Pembaharu Desa (TPD) Pringamba sedang melakukan rekap hasil survei secara manual. (20/10/17)

Penggalian usulan kelompok marginal juga dilakukan di Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara. Penggalian usulan kelompok marginal dilakukan secara partisipatif, baik oleh Perangkat Pemerintahan Desa, Kelembagaan Desa, maupun warga biasa yang tidak masuk dalam struktur pemerintahan desa. Mereka tergabung dalam Tim Pembaharu Desa (TPD) sekitar 50 orang tim inti, mereka terbagi dalam 5 tim yaitu tim yang melakukan pemetaan kewenangan desa, pemetaan aset dan potensi desa, tim survei layanan publik dasar, tim pemetaan kesejahteraan lokal desa, dan tim penggali usulan kelompok marginal.

Dalam proses pemetaan sosial, TPD inti yang berjumlah 50 orang itu kemudian merangkul warga di luar tim lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan. Apa yang mereka lakukan merupakan salah satu upaya mewujudkan perencanaan apresiative desa. Sehingga, dalam proses penyusunan RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa mereka berbasis aset dan data usulan kelompok marginal.

===============

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Perempuan Desa dan Keresahannya pada Praktik Pernikahan Dini

Mana dulu yang harus diutamakan? Melakukan upaya pencegahan terhadap anak putus sekolah terlebih dahulu atau mencegah praktik pernikahan dini?

Untuk kali ke sekian, pertanyaan tersebut muncul saat para ibu di desa tengah berkumpul. Kendati demikian mereka tidak sekadar berkumpul, namun menyengaja berkumpul dan merencanakan sesuatu. Mereka berkumpul dalam rangka berbagi gagasan dan pengalaman masing-masing. Salah satunya berbagi gagasan dalam merumuskan strategi isu penting di desanya. Ada para perempuan yang tergabung dalam organisasi perempuan “Raga Jambangan” dari desa Jatilawang, juga para perempuan dari organisasi perempuan “Sidaluhur Sejati” dari desa Gumelem Kulon, serta para perempuan dari organisasi perempuan “Giri Tampomas” dari desa Gentansari.

Ketiga desa yang sudah disebutkan tadi adalah desa-desa yang ada di wilayah kabupaten Banjarnegara. Masing-masing organisasi perempuan ini baru berdiri di tahun 2015. Desa Gumelem Kulon ada di Kecamatan Susukan. Desa Jatilawang, ada di Kecamatan Wanayasa. Desa Gentansari, ada di Kecamatan Pagedongan. Para perempuan ini juga bukan kumpulan ibu-ibu yang tidak memiliki kesibukan, karena pada dasarnya tidak ada perempuan (khususnya yang perempuan berumah tangga) yang tidak memiliki kesibukan. Selalu saja ada kesibukan, bahkan bisa jadi kesibukan mereka melebihi jam kerja para suaminya. Apalagi jika ibu rumah tangga sekaligus aktifis sosial di desanya.

Isu jaminan kesehatan hingga perkawinan pada usia anak

Kembali lagi ke para ibu yang tengah resah dengan sejumlah persoalan di desanya.  Merumuskan jalan keluar atas permasalahan yang tejadi di desanya, seharusnya menjadi hal yang mudah ketika dirumuskan bersama-sama. Namun tidak demikian dengan para ibu ini. Karena di titik tertentu, mereka sendiri merasa heran bahkan “greget” kenapa masalah tersebut sulit sekali dicegah. Jangankan mereka yang hanya sebuah komunitas kecil dan baru lahir, pemerintah desa yang mengaku “telah berupaya semaksimal mungkin”, pun tetap belum berhasil setidaknya mengurangi angka pernikahan dini.

Yah, sebenarnya kegelisahan para ibu ini tidak sebatas isu pernikahan usia anak atau yang lebih dikenal pernikahan dini. Namun juga isu jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi warga miskin di desanya, isu pendidikan, isu kenakalan remaja, isu pernikahan dini dan sejumlah isu lainnya. Namun, mereka juga dengan sangat menyadari kapasitas dirinya. Dengan segala keterbatasan kapasitas dan waktu yang telah terbagi dengan kesibukan lain di luar organisasi. Hingga pada akhirnya mereka menyepakati ada dua isu penting yang akan mereka kawal selama tahun 2016.

Isu pertama adalah isu pelaksanaan pembangunan di desanya. Mereka sepakat untuk mengawal pembangunan di desanya, bukan hanya pada tahap perencanaan namun juga penganggaran, pelaksanaan, evaluasi, hingga pertanggungjawaban program pembangunan desa. Sementara isu kedua yang akan dikawal organisasi perempuan ini adalah isu penting yang selama ini berdampak pada kelompok marginal (terpinggirkan), baik kaum perempuan, difabel, lansia, maupun keluarga miskin lainnya sebagai korban atau pihak yang dirugikan.

Selain mengawal pembangunan di desanya, organisasi perempuan di desa Gumelem Kulon telah sepakat mengawal isu jaminan kesehatan bagi kelompok marginal. Mereka bahkan telah bergerak melakukan advokasi jaminan kesehatan, salah satunya bagi para petani penderes di desanya. Informasi perkembangan advokasi mereka dapat dilihat dalam laman Sekolah Desa. Sementara organisasi perempuan di desa Jatilawang dan Gentansari sepakat mengawal isu pernikahan dini. Di desa Jatilawang, sebenarnya persoalan yang juga sangat penting dikawal adalah persoalan anak putus sekolah. Karena tingkat pendidikan warga di desanya masih sangat rendah.

Menurut Tursiyah, salah satu pengurus organisasi Raga Jambangan, minat orangtua untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Pada umumnya,  orangtua di desa Jatilawang sudah cukup puas menyekolahkan anaknya sampai sekolah dasar (SD). Alasannya beragam, namun yang paling kuat adalah soal pola pikir tentang korelasi pendidikan dengan kesejahteraan. Seperti yang paling sering dilontarkan para orangtua di antaranya seperti: “percuma menyekolahkan anak tinggi-tinggi, toh akhirnya menikah/toh akhirnya menjadi petani”. Kebanyakan orangtua tidak berminat menyekolahkan anaknya pada tingkat SLTP. Cukup dengan lulusan SD, karena ijazah tidak digunakan untuk pendaftaran kerja sebagai buruh tani.

Tursiyah pernah menyaksikan ketika ada seorang bapak yang datang ke rumah untuk mendaftarkan nikah putrinya yang kelahirannya tahun 2001, lulus SD didaftarkan nikah. Banyak hal yang sudah saya sampaikan berharap agar membatalkan rencana menikahkan anaknya di usia dini, tetapi hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, dan mengatakan bahwa pendidikan tidak penting. Banyak keluarga yang bahkan rela hanya dinikahsirikan karena belum cukup usia secara Undang-Undang pernihakan. Mereka seringkali mengangkat mitos “Perawan Tua” untuk anaknya usia 15 tahun ke atas yang belum menikah.

Sampai saat ini, menurutnya banyak sekali terjadi kecurangan dengan memalsukan usia agar mereka dapat menikah secara resmi. Meski usia mereka belum sesuai dengan ketentuan undang-undang, namun perubahan data usia tetap dilakukan baik dari tingkat desa atau pun kecamatan dengan menambahkan umur pada syarat dan prasyarat pernikahan.

Pemahaman orangtua di Jatilawang, pendidikan ya untuk mencari kerja. Sementara yang dimaksud mereka dengan pekerjaan adalah pekerjaan nenek moyang, yaitu bertani. Bagi mereka, bekerja sebagai petani tidak membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi. Cukup lulus sekolah dasar dan tak perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi anak laki-laki akan menjadi petani. Sementara bagi anak perempuan, akan segera dinikahkan dan membantu suami mengurus rumah tangga sekaligus membantu bertani. Sehingga tidak heran jika di desa Jatilawang banyak sekali pasangan suami isteri yang telah memiliki anak di usia yang masih sangat muda. Bahkan pernah ada satu anak perempuan yang belum genap 14 tahun, dinikahkan dengan lelaki dari luar desa Jatilawang. Tidak sampai satu minggu setelah pernikahan mereka, suaminya diketahui telah beristeri. Akhirnya si anak perempuan yang telah menjadi isteri ini menuntut cerai dan kini statusnya menjadi janda di usia yang belum genap 14 tahun.

Pada tahap menentukan isu penting yang akan dikawal, para ibu di organisasi perempuan ini pada dasarnya faham dan sadar isu pendidikan dan pernikahan dini sama pentingnya. Namun, mana dulu yang akan dikawal? Mulai mengawal isu pendidikan dengan mengurangi angka anak putus sekolah? Atau dimulai dengan mengawal isu pernikahan dini terlebih dahulu? Jangan tanya tentang dampak negatif dari pernikahan dini khususnya bagi perempuan, sejatinya mereka sudah faham. Mereka mendengar dampak pernikahan dini dari bidan desa, sosialisasi yang pernah dilakukan di desa, serta media. Hanya saja, para ibu ini masih membutuhkan strategi yang tepat untuk mencegah praktik pernikahan dini di desanya. Karena sampai saat ini, mereka menilai bahwa sejumlah upaya yang sudah dilakukan ternyata belum berdampak apapun. Ya, pernikahan di usia anak tetap terjadi dan tingkat pendidikan anak-anak di desanya masih tetap rendah.

Strategi pencegahan: melibatkan banyak pihak, termasuk remaja

“Pendidikan Yes! Pernikahan Dini No!”,
“Tunjukin Prestasi Dini, Bukan Nikah Dini!”,
“Katresnan Iku Ngajeni”, dll.

Jargon-jargon tersebut dirangkai secara khusus oleh para remaja dalam rangka kampanye untuk mencegah pernikahan dini. Melalui media-media kreatif, para remaja tersebut merangkai jargon dengan istilah yang mereka rangkai sendiri. Para remaja ini bukan hanya terlibat sebagai objek kampanye, namun juga subjek kampanye. Mereka sendiri yang menciptakan bagaiman bentuk kampanye yang akan dilakukan. Sebelumnya, puluhan remaja tersebut dilatih sebagai pendidik sebaya dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan pernikahan dini yang diselenggarakan oleh Rifka Anisa.

Pelatihan bagi pendidik sebaya tersebut merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Rifka Annisa sebagai upaya pencegahan pernikahan dini. Kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk edukasi pendampingan rekan-rekan secara komunitas. Dengan cara seperti inilah dipandang mampu untuk menekan timbulnya remaja yang salah dalam pergaulannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Manajer Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa, Thanthowi, saat berbagi pembelajaran dan pengalaman pendampingan mengawal isu “pernikahan dini” di kantor Infest Yogyakarta pada Senin (6 Juni 2016).

Menurut Thanthowi, kekerasan terhadap anak dan meningkatnya praktik pernikahan dini bersumber pada latar belakang remaja yang kurang perhatian dari keluarga, dan pendampingan pribadi. Meningkatnya angka pernikahan dini dikarenakan maraknya kasus sex bebas di kalangan remaja. Kondisi seperti ini dipicu karena pergaulan yang salah. Maka LSM Rifka Annisa dalam kesempatan ini melaksanakan kegiatan life in bersama remaja lainnya dari provinsi Daerah Istimewa Aceh, Makasar, serta DIY dan di Dusun Nglegi, Patuk, Gunungkidul sebagai tuan rumahnya. Harapannya upaya tersebut ke depan akan menekan angka pernikahan dini yang dipicu oleh pergaulan remaja  yang salah.

Upaya pencegahan pernikahan dini yang dilakukan Rifka Annisa menggunakan pendekatan ekologi (ecological framework). Sehingga dalam proses pencegahannya, intervensi yang dilakukan bukan hanya pada pihak orangtua dan pemangku kebijakan, namun juga anak-anak. Mulai dari level individu, keluarga, komunitas, instansi dan kebijakan pemerintah. Pengalaman Rifka Annisa di Kabupaten Gunung Kidul, diawali dengan adanya MoU di level kecamatan. Berbekal MoU tersebut, Rifka Annisa kemudian mulai bergerak melibatkan masyarakat dari berbagai instansi baik di tingkat desa/pedukuhan, KUA, Puskesmas/PLKB, PKK, Ormas, Penyuluh Agama, Rifka Annisa sendiri, Muspika, Polsek, dan pihak sekolah. Masing-masing instansi tersebut saling berbagi peran sesuai dengan kapasitasnya.

Adapun rangkaian kegiatan yang telah ditentukan sesuai dengan kapasitas masing-masing instansi, di antaranya seperti di tingkat desa/pedukuhan, kepala dukuh membuat “DEKLARASI DUKUH” untuk menyepakati bersama melakukan pencegahan pernikahan usia anak. Selain itu juga melakukan penyadaran ke warga, screening administrasi perkawinan, melakukan kegiatan konseling bagi keluarga, serta anak yang mau menikah. Di tingakat KUA, dilakukan pendidikan pra nikah  dan kursus calon manten, konseling bagi keluarga, anak yang mau menikah, dan penyadaran ke warga. Di tingkat Puskesmas/PLKB, dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi (Kespro), TT Caten, serta konseling perencanaan keluarga. Di tingkat komunitas seperti PKK, organisasi masyarakat (Ormas), dan penyuluh agama, dilakukan pendidikan ke masyarakat terkait dampak pernikahan usia dini. Sementara peran Rifka Annisa sendiri menyelenggarakan pendidikan ke masyarakat, dan membangun komunitas-komunitas community based organization (CBO). Di tingkat Muspika, dilakuakan koordinasi, monitoring dan penyediaan kebijakan. Di tingkat Polsek, dilakukan sosialisasi UUPKDRT, layanan hukum perempuan dan anak korban kekerasan. Sedangkan tingkat sekolah, dilakukan penyuluhan dan pembinaan melalui berbagai kegiatan di sekolah.

Rangkaian kegiatan yang diinisiasi oleh Rifka Annisa dan digerakkan oleh banyak stakeholder, kini telah berhasil mengurangi praktik pernikahan dini. Bahkan kecamatan Gedangsari, salah satu kecamatan di Gunung Kidul kemudian memberi penghargaan pada desa yang telah berhasil mengurangi angka pernikahan dini melalui penghargaan atau award “Nikah Dininya NOL”. Tentunya bagi para RT- RW dan Dukuh atau Lurah ini merupakan kebanggaan tersendiri dalam memimpin masyarakatnya.

Belajar dari apa yang sudah dilakukan oleh Rifka Annisa, bahwa kunci keberhasilan mencegah praktik pernikahan dini di antaranya komitmen dari semua stakeholder, dukungan anggaran dari masing-masing sektor, danya koordinasi, monitoring dan evaluasi, apresiasi yang diberikan ke Dukuh yang berhasil menurunkan angka pernikahan dini. Kendati demikian, dalam proses pelaksanaannya ada saja tantangan. Tantangan tersebut di antaranya adalah pencitraan desa, solusi pernikahan bagi korban Kelahiran Tidak Dikehendaki (KTD), memastikan konseling bagi anak yang mengajukan dispensasi kawin, serta mutasi pemerintah.

Dari proses tersebut, semoga informasi ini menjadi pembelajaran penting bagi para perempuan di desa yang tergabung dalam sebuah komunitas yang peduli pada isu penting di desanya, khususnya upaya mencegah pernikahan di usia anak. Dari rangkaian kegiatan yang dilakukan sejumlah stakeholder, yang juga jarang dilakukan adalah adanya “Deklarasi Dukuh”. Adanya “Deklarasi Dukuh” kemudian memunculkan kesadaran baru di masyarakat tentang dampak perkawinan pada usia anak, serta kesadaran orang tua akan pentingnya pengasuhan dan pendidikan anak, upaya pencegahan dari masyarakat dan stakeholder semakin intens, sehingga berhasil menurunkan angka perkawinan pada usia anak.

[Alimah]

 

Perempuan Desa Gumelem Kulon Advokasi Jaminan Kesehatan Petani Penderes Berbasis Data Kesejahteraan Lokal

Dari sekitar 2.800 Petani Penderes di Gumelem Kulon, 74 di antaranya telah terdaftar sebagai penerima bantuan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda).

Nasib para petani penderes masih menjadi perhatian khusus para perempuan yang tergabung dalam organisasi perempuan Sidaluhur Sejati di desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegera. Advokasi jaminan kesehatan bagi para penderes merupakan salah satu upaya mereka untuk mengurangi angka kemiskinan di desanya. Advokasi yang mereka lakukan ini berbasis data kesejahteraan lokal, yaitu data yang telah dihasilkan para perempuan di desa selama mengikuti Sekolah Perempuan yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta. Data-data tersebut di antaranya data aset dan potensi, prioritas layanan publik, usulan kelompok marginal, dan data kesejahteraan berdasarkan indikator lokal.

Data-data yang dihasilkan para perempuan Gumelem Kulon tidak hanya dimanfaatkan pemerintah desa (Pemdes) Gumelem Kulon sebagai rujukan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa). Namun juga digunakan sebagai data penerima bantuan, seperti data kesejahteraan lokal sebagai data utama untuk program bantuan jaminan kesehatan bagi para Petani Penderes. Munculnya 74 nama petani penderes yang terdaftar sebagai penerima bantuan Jamkesda, tidak berarti perjuangan para perempuan ini selesai. Pentingnya terus mengawal proses jaminan kesehatan bagi para penderes ini juga menjadi pembahasan dalam pertemuan rutin organisasi perempuan Sidaluhur Sejati, pada Rabu (25/052016) lalu.

Mengapa Penderes?

307160GulaPara penderes di desa Gumelem Kulon sebagian besar adalah buruh penderes, sebutan penyadap nira dan petani gula kelapa. Dalam menjalankan profesinya, mereka bukan saja harus berhadapan dengan ulah para tengkulak, namun juga bertaruh nyawa, khususnya saat musim hujan. Sebagian Pekerjaan ini tidak mengenal hari libur karena terlambat beberapa jam saja, nira tidak lagi bisa diolah menjadi gula. Kalaupun dipaksakan dimasak, nira masam ini hanya akan menjadi gula gemblung (gila). Gula gemblung adalah sebutan larutan kental nira yang tidak bisa kering dan dicetak menjadi gula. Gula gemblung adalah musibah bagi para penderes karena harganya sangat rendah.

Untuk mendapatkan gula berkualitas bagus, seorang penderes harus segera memasak nira yang disadapnya. Dulu mereka melakukannya dengan tungku besar dan kayu bakar. Sekarang mereka melakukannya diatas tungku khusus dengan serbuk kayu (gergajian) atau merang (kulit padi) yang dipadatkan. Gergajian dan merang sangat mudah didapatkan dari pabrik pemotongan kayu atau “rice mill” yang ada di kampungku atau kampung sebelah.

Pon atau legi adalah saat yang ditunggu semua penderes. Inilah saat ketika mereka mendapatkan uang tunai dari penjualan gulanya. Bisa dipastikan pada hari pasaran ini, warung, pasar, dan kios di kampung kecilku ramai oleh para penderes dan keluarganya yang sedang berbelanja kebutuhan sehari-hari

Menurut Tursiyem, salah satu pengurus organisasi perempuan Sidaluhur Sejati, petani penderes kelapa merupakan salah satu aset desa sekaligus tantangan bagi desa. Berdasarkan hasil survei para ibu ini, ada sekitar 2.800 petani penderes di desanya yang memanfaatkan nira dari 60.077 pohon kelapa. Sehingga sangat penting bagi desa memperhatikan nasib mereka untuk mendapat jaminan sosial kesehatan.

Pentingnya Verifikasi Data Penerima Bantuan

10405505_10204288981648306_1717391380318259393_n-Copy1

Advokasi berbasis data kesejahteraan yang dilakukan para perempuan ini, mendapatkan dukungan baik dari Pemdes maupun Pemda dalam hal ini dari Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (KPMD) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banjarnegara.

“Ternyata perempuan lebih teliti. Dari wilayah kami, 812 Hektar, ada 62 RT dan 11 RW, para ibu ini jalan kaki dari rumah ke rumah untuk melakukan pendataan. Kami cukup bangga dengan adanya Sekolah Perempuan di tahun 2015, saya yakin dan percaya, nantinya bisa membantu pendataan. Karena selama ini data dari BPS tahun 2011 (Badan Pusat Statistik) jauh dari kefalidan. Sehingga harapannya data hasil ibu-ibu ini bisa dijadikan data baku (ditetapkan Perdes) untuk program-program desa,” ungkap Arief Machbub, Kades Gumelem Kulon.

Kades Gumelem Kulon juga menambahkan bahwa masih banyak para petani penderes yang masih bekerja di usia 50 tahun ke atas. Para penderes ini beresiko jatuh hingga menyebabkan cacat bahkan meninggal dunia. Di tahun 2016 awal, bahkan sudah ada tiga orang meninggal dunia karena jatuh dari pohon kelapa. 1 kasus di RW 4, RW 6, di RW 9, sehingga terkait jaminan kesehatan. Namun dari sekitar 2.800-an penderes, yang baru terdaftar hanya 74 penderes. Hal ini menurut Kades Gumelem Kulon, karena terbatasnya kuota penerima bantuan.

Upaya advokasi yang dilakukan organisasi perempuan Sidaluhur Sejati akan terus dilakukan. Salah satu tahapan yang dilakukan adalah dengan melakukan verifikasi data penerima bantuan iuran (PBI) yang dimiliki oleh desa maupun Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banjarnegera. Dalam proses verifikasi tersebut akan diketahui apakah data PBI yang sudah ada sesuai dengan data kesejahteraan lokal. Jika tidak sesuai, maka Pemdes perlu melakukan perbaikan dan menetapan data penerima PBI yang sesuai dengan data kesejahteraan lokal desa melalui kesepakatan Musyawarah Desa (Musdes). [Alimah]

Gunakan Cara Berpikir Kritis, Perempuan Desa Mulai Mengorganisir Diri

Orang miskin ada karena ada orang yang kaya
Orang miskin ada karena dia malas
Orang miskin ada karena sudah keturunan
Orang miskin ada karena tidak ada lapangan kerja
…..dst

Kita akan menemukan beragam jawaban dalam menjawab “mengapa ada orang miskin?”. Kendati demikian, jawaban dengan menyalahkan manusianya masih merupakan jawaban paling banyak dibanding menyalahkan pemerintah atau kebijakan sebagai akar permasalahan di masyarakat. Begitu pun yang terjadi ketika para perempuan di desa Gentansari, Gumelem Kulon, dan Jatilawang secara bersama-sama menganalisa penyebab terjadinya kemiskinan di desanya. Para perempuan di Kabupaten Banjarnegara ini adalah mereka yang baru tergabung dalam organisasi perempuan di desanya. Seperti “Nirasari” di desa Gumelem Kulon, “Giri Tampomas” di desa Gentansari, serta “Raga Jambangan” di desa Jatilawang, tengah belajar bersama dengan Infest Yogyakarta tentang pengorganisasian komunitas, pada Jumat-Sabtu (13-14/5/16) lalu.

Perempuan Pembaharu Desa

Mulai Mengenal Kesadaran Kritis

Awalnya, jarang yang melihat kemiskinan sebagai kesalahan kebijakan atau sistemnya. Hingga mereka mulai diperkenalkan dengan cara pandang kritis. Para perempuan ini pun secara pelahan mulai diajak berpikir dan berkesadaran kritis. Singkatnya, berawal dari cara pandang mereka dalam menjawab “mengapa ada orang miskin?” telah mengantarkannya pada teori 3 bentuk kesadaran, yaitu naif, kritis, dan magis yang merupakan hasil pemikiran Paulo Freire.

Bagi akademisi, Paulo Freire tentunya bukan sosok yang asing. Namun bagi para perempuan ini, Paulo Freire merupakan sosok asing dan baru saat itu mereka kenal. Proses bagaimana secara pelahan para perempuan ini memahami suatu persoalan secara kritis menjadi sesuatu yang penting. Pengalaman mereka sebagai anak perempuan, isteri, serta sebagai ibu dan perempuan dalam komunitasnya, membuat cara pandang mereka tidak terlepas dari refleksi tentang siapa diri mereka. Termasuk pertanyaan mereka mana yang harus didahulukan, apakah naif dulu, kritis dulu atau mungkin magis?.

Kesadaran magis adalah kesadaran yang melihat terjadinya suatu persoalan karena sesuatu di luar kekuatan manusia. Langkah yang diambil biasanya hanya mendoakan dan memberikan bantuan kebaikan. Sementara kesadaran naif yakni kesadaran yang lebih melihat “aspek manusia” sebagai akar permasalahan di masyarakat. Langkah yang diambil biasanya dengan menyalahkan orang yang punya masalah atau menyalahkan korbannya. Mengapa ada jurang pemisah yang lebar antara yang miskin dan kaya? Dalam kerangka kesadaran naif, hal ini karena kesalahan orang miskin itu sendiri yang bodoh dan malas bekerja. Orang dengan tipe kesadaran naif, bisa jadi juga tidak memahami kerangka sistem, tapi bedanya dengan kesadaran magis, dia selalu menimpakan setiap permasalahan ke persoalan pribadi.

Sedangkan kesadaran kritis, justru melihat kalau sistem dan strukturlah yang menjadi sumber masalah. Maka dalam pandangan ini, masyarakat harus dididik untuk menemukan keterkaitan antar setiap sistem, menemukan celanya, lalu berusaha membangun ruang baru yang lebih mengembangkan potensi masyarakat. Kesadaran ini, akan berusaha menghapuskan ketidakadilan dalam sistem. Sementara kesadaran magis, yakni suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya. Misalnya, seseorang yang memandang kemiskinan tanpa tahu menghubungkannya dengan faktor budaya ataupun politik. Kalau orang tersebut mencoba memecahkan masalah kemiskinan maka dia tidak akan melihatnya dalam kerangka system. Bahkan pemecahan masalahanya sering kali tidak memiliki keterkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi ; akibat ketidakmampuannya menghubungkan satu factor dengan factor yang lain dalam kerangka sistem. Tanpa ada upaya untuk memahami benang merah dari setiap permasalahan, orang dengan tipe seperti ini cenderung dogmatik terhadap yang akan dikatakan kepadanya.

Peta paradigma yang dijelaskan oleh Freire, akan membentuk cara berpikir, cara menanggapi dan menyelesaikan masalah. Termasuk kebiasaan dalam penentuan visi dan misi sebuah organisasi, lahir dari salah satu model berpikir yang telah dijelaskan Paulo Freire ini.

Jangkau, Dampingi, dan Libatkan

Proses memahami cara pandang magis, naif, dan kritis akhirnya mengantarkan para perempuan ini tentang apa yang ingin mereka perjuangkan di organisasinya. Termasuk bagaimana melakukan pengorganisasian komunitasnya. Dalam proses ini, para perempuan ini juga kembali diajak memahami tentang pengorganisasian komunitas berdasarkan pengalamannya masing-masing. Sampai akhirnya sang fasilitator, Maesur Zaki, mulai memaparkan pengertian pengorganisasian komunitas secara lengkap. Yaitu, suatu proses yang dikerjakan secara sengaja, terukur dan terus menerus untuk memperjuangkan kepentingan bersama komunitas tertentu dalam masyarakat berbasis kekuatan bersama dengan mendorong terjadinya perubahan di tingkat komunitas, masyarakat maupun kebijakan.

Para perempuan yang baru tergabung dalam sebuah organisasi ini tidak puas hanya dengan memahami pengertian pengorganisasian masyarakat. Hingga tak sabar ingin mengetahui bagaimana cara melakukannya. Melalui proses analisa menyelesaikan persoalan, akhirnya membawa mereka pada tahap cara mengorganisir komunitas. Dimulai dari proses “menyatukan” dengan cara mengajak masyarakat, lalu “menggerakkan” dengan mengadakan pertemuan atau kegiatan di desa, lalu “memusyawarahkan” atau menyepakati secara bersama-sama, hingga terjadi perubahan dalam bentuk kebijakan atau aturan yang kemudian membentuk sistem. Adapun teknik pengorganisasiannya di antaranya dimulai dengan menjangkau, mendampingi dan mengajak masyarakat, serta melibatkan masyarakat itu sendiri hingga terjadi perubahan yang diinginkan bersama. Karena inti dari pengorganisasian adalah perubahan itu sendiri.

Mengawal Isu Penting

Dari proses tersebut, para perempuan ini kemudian sudah mulai berpikir dan merencanakan tentang apa yang sebenarnya ingin mereka perjuangkan. Atau setidaknya, dalam satu tahun ini isu apa yang ingin mereka kawal. Setiap desa memiliki isu pentingnya sendiri. Meskipun ada beberapa isu yang sama pentingnya untuk segera dikawal. Yaitu isu tentang rendahnya pendidikan dan maraknya pernikahan dini.

“Kami ingin memperjuangkan nasib para Penderes dan keluarganya agar mendapatkan perhatian dari pemerintah, salah satunya untuk jaminan kesehatan mereka,” demikian ibu Tursiyem, Ketua Organisasi Perempuan Nirasari, desa Gumelem Kulon pernah mengungkapkan kegelisahannya tentang nasib para Penderes di desanya.

Beberapa kali melakukan pemetaan sosial telah memberikan pengalaman tersendiri bagi para perempuan di desa. Salah satunya di Gumelem Kulon seperti yang dilakukan oleh ibu Tursiyem dan perempuan Gumelem Kulon lainnya. Dimulai dari pemetaan aset dan potensi, kesejahteraan berdasarkan indikator lokal, survei perbaikan layanan publik, hingga penggalian usulan kelompok marginal.

Pengalaman melakukan pemetaan tidak sekadar mengetahui berapa banyak aset dan potensi yang dimiliki desanya. Namun lebih dari itu adalah pengalamannya sebagai ibu rumah tangga yang selama ini lebih banyak diam di rumah dan di dusunnya, kini benar-benar mengetahui bagaimana kondisi masyarakat di semua dusun yang ada di desa Gumelem Kulon. Termasuk kondisi para penderes dan keluarganya yang masih sangat memprihatinkan.

Penderes adalah profesi yang banyak digeluti warga di desa Gumelem Kulon. Profesi yang retan kecelakaan ini bahkan sering memakan korban hingga meninggal dunia maupun cacat fisik. Berdasarkan pemetaan kesejahteraan berdasarkan indikator lokal yang dilakukan kelompok perempuan di Gumelem Kulon, kini pemerintah desa (Pemdes) telah mengetahui berapa jumah para penderes di desanya serta bagaimana kondisi mereka.

Dengan memanfaatkan hasil pendataan kelompok perempuan, pemerintah desa (Pemdes) Gumelem Kulon bersama kelompok perempuan mulai memperjuangkan agar para Penders dan keluarganya menerima jaminan sosial di bidang kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Berdasarkan pendataan kesejahteraan yang dilakukan kelompok perempuan pada tahun 2015, kini Pemdes menginisiasi terbentuknya Asosiasi Penderes di desanya dan sedang dalam proses memperjuangkan nasib mereka agar menjadi penerima manfaat dari program JKN. Begitu pun dengan para perempuan di desa Gentansari dan Jatilawang, sudah mulai menentukan isu penting di desanya yang akan dikawal oleh organisasi peremmpuan di desanya.

Kendati demikian proses penyadaran dengan memperkenalkan cara pandang kritis ini, hanya langkah awal bagi para perempuan di desa sebelum mengorganisir komunitasnya melalui organisasi perempuan di desanya. Sehingga masih memerlukan rangkaian proses belajar lainnya dalam mengelola organisasi. [Alimah]

Kader Pembaharu Desa Gumelem Kulon

Perempuan Dilibatkan Susun Anggaran di Banjarnegara

Banjarnegara – Keberadaan Sekolah Perempuan di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara, mampu meyakinkan Arif Machbub, lurah desa tersebut untuk lebih memfokuskan anggaran pada perbaikan fasilitas umum di kawasan perbukitan. “Menurut saya itu kunci suksesnya pembangunan desa ini,” kata dia kepada Tempo awal Desember lalu.

Bagi peminat wisata budaya, Gumelem Kulon sudah tak asing lagi. Desa ini terkenal memiliki kelompok perajin batik tulis khas Banjarnegara. Gumelem juga punya agenda tahunan, pergelaran Seni Tradisional Bareng Jazz bertajuk “Gumelem Etnic Carnival.” Meskipun bertabur potensi wisata, Arif mengaku sulit mengelola perekonomian desanya yang berpenduduk 10.414 orang. “Sekitar 2/3 wilayah Gumelem Kulon ada di perbukitan. Di sana ada ribuan warga miskin dengan fasilitas umum sangat minim.”

Namun berkat survei dari Sekolah Perempuan, Arif kini punya panduan yang jelas dalam membangun desa. Ia tak lagi berpedoman pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat, dari 2.845 keluarga di Gumelem Kulon, sekitar 1.008 berstatus miskin.

Survei Sekolah Perempuan justru menemukan ada 1.500-an keluarga miskin di Gumelem Kulon. Survei itu juga mencatat ada 40 persen warga Desa Gumelem Kulon berstatus miskin dan sangat miskin. Mayoritas mereka bermukim di kawasan lereng dan puncak bukit yang terisolasi oleh jalan dan jembatan rusak.

Dari survei itu juga, Arif memperoleh data baru: ada 60 difabel da 103 janda miskin yang memerlukan bantuan khusus di Desa Gumelem Kulon. Selama ini, kata dia tak adadata itu dalam arsip-arsip milik pemerintah. “Pantas, banyak yang protes soal pembagian raskin,” kata Arif.

Survei yang digelar sejak Oktober hingga awal Desember 2015 tersebut merupakan salah satu program Sekolah Perempuan di Gumelem Kulon. Ada 17 ibu rumah tangga yang mengikuti sekolah ini sejak Februari lalu inisiator pembentukan sekolah itu adalah para aktivis Infest, lembaga pendamping desa asal Yogyakarta.

Survei itu menanggalkan indikator kemiskinan milik BPS yang berjumlah 14 item. Para ibu Sekolah Perempuan Gumelem Kulon menggantinya dengan 28 indikator. “Survei BPS mengukur kondisi ekonomi d setiap rumah, tapi faktanya satu rumah bisa dihuni dua hingga empat keluarga,” kata Tursiyem, salah satu peserta sekolah.

Tursiyem mengimbuhkan, kini hasil survei itu sedang dalam tahap finalisasi untuk diolah menjadi data situasi penduduk terbaru di desanya. Mereka hanya dibayar Rp 1.000 untuk setiap data satu keluarga. “Total biaya survei Rp 10 jutaan, baru bisa ditutupi dengan anggaran desa pada 2016,” kata ibu rumah tangga 32 tahun itu.

Peserta Sekolah Perempuan, Lilis Yuniarti, menemukan mayoritas anak perempuan di sana hanya bersekolah sampai SMP. Kasus ini memicu bsarnya angka pernikahan dini. “Sebab kalau mau sekolah SMA harus turun bukit pakai ojek. Biayanya Rp 25 ribu sekali jalan,” kata dia.

Manajer Program Desa Infest Yogyakarta, Frisca Arita Nilawati berpendapat kunci keberhasilan implementasi Undang-Undang Desa ada pada penguatan partisipasi warga dan kalangan marginal. “Selama ini masalah pembangunan hanya milik elit lokal,” ucap dia.


Koran Tempo, 26 Desember 2015

 

Pelatihan Pemetaan Kesejahteraan di Gumelem KulonPeserta berdiskusi menggali indikator kesejahteraan lokal

Bila Perempuan Belajar Melawan Kemiskinan

Oktober hingga Desember tahun ini adalah masa suram bagi para penderes nira di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Banjarnegara. Getah nira seolah malas menetes, manggar kelapa mengering. “Sore sampai malam hujan lebat, nira menetes sedikit pada pagi hari,” kata Mukhtiono, 44 tahun, kepada Tempo, 5 Desember lalu. Warga Dusun Beji, Desa Gumelem Kulon, ini adalah perajin gula kelapa sejak 25 tahun lalu. Setiap hari, dia rutin memanjat 20 pohon warisan ayahnya.

“Hasilnya, 2,5 kilogram gula kelapa setiap hari. Saya jual ke tengkulak Rp 11 ribu per kilogram. Kalau di pasar, bisa Rp 14 ribu per kilogram,” kata dia. Anaknya tiga, sekolah di SMK, SMP, dan SD.

“Saya rutin ke Jakarta jadi kuli bangunan kalau musim kemarau. Biasanya dua bulan di sana,” kata dia.

Nasib penderes menjadi perhatian peserta Sekolah Perempuan di Desa Gumelem Kulon. Sejak Oktober lalu, mereka mendata warga miskin di desa tersebut. Sekolah itu melibatkan 20 peserta yang diinisiasi LSM Infest Yogyakarta sejak Februari lalu. Tursiyem, salah satu peserta, mengatakan penderes dan kelapa merupakan aset sekaligus masalah. Hasil survei peserta Sekolah Perempuan mencatat, sekitar 2.800 penderes di desanya memanfaatkan nira dari 60.077 pohon kelapa.

“Sebanyak 70 persen Gumelem Kulon perbukitan,” katanya. Migrasi menjadi kuli di Jakarta menjadi alternatif yang dipilih.

Hasil diskusi mereka menyimpulkan kemiskinan para penderes berpangkal pada sistem penjulan yang tidak adil. Mayoritas penderes menjual gula kelapa ke tengkulak karena sulit mengakses pasar. Semakin tinggi rumah penderes di perbukitan, harga gula semakin murah. Peserta lain, Lilis Yu- niarti, mencatat hanya ada lima tengkulak di Desa Gumelem Kulon yang rutin menjual gula kelapa ke berbagai kota di Jawa Tengah. Lilis mengamati tengkulak sengaja membuat para penderes ketergantungan dengan memberikan pinjaman uang tanpa agunan.

“Bisa pinjaman untuk pesta pernikahan, beli tanah, beli sepeda motor, dan lainnya,” kata dia. Karena itu, ada usul membentuk badan usaha milik desa. Lurah Gumelem Kulon, Arif Machbub, setuju dengan usul itu. Tapi perbaikan kerusakan jalan, jembatan, sarana pipa air, dan penahan tebing dari tanah longsor di desanya masih menyerap banyak biaya.

Anggaran pendapatan dan belanja desa tahun depan, yang diperkirakan Rp 1,3 miliar, masih menempatkan perbaikan sarana umum sebagai prioritas. Arif berharap para penderes segera menikmati kemudahan mengakses jalan menuju pasar. Apalagi survei peserta Sekolah Perempuan menyatakan penduduk miskin di perbukitan Gumelem Kulon lebih berharap ada perbaikan jalan ketimbang bantuan tunai.

“Semua jalan dan jembatan di perbukitan harus segera diperbaiki. Kalau masih ada anggaran, kami ingin beli mobil angkutan desa,” kata dia.


Koran Tempo, Kamis 17 Desember 2015, hal 24

 

Mengidentifikasi jenis data dan pendataan dari luar desa

Perempuan yang Menemukan Potensi Desa

Desa merupakan entitas pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan angin segar bagi pembangunan desa yang diharapkan langsung menyentuh pada kebutuhan masyarakat.

Sayangnya, belum semua warga desa sadar, bahwa undang-undang tersebut memberikan ruang bagi setiap warga untuk berperan dalam pembangunan di desanya. Seperti halnya warga Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan.

Bagi mereka, sebagai pembangunan dianggap sebagai sesuatu yang terberi, bukan berangkat dari kebutuhan mereka sendiri. Namun, kenyataan itu sudah berlalu. Kehadiran Sekolah Perempuan Tampomas di desa tersebut setahun silam yang membuka cara pandang warga terhadap pembangunan. Namun, jangan samakan metode di sekolah perempuan ini dengan sekolah konvensional.

Bersama-sama memvisualkan data potensi desa

Para Kader Perempuan Pembaharu Desa bersama-sama menempelkan pemetaan desa.

Di sekolah perempuan, tidak ada guru yang mengendalikan proses belajar. Semua yang hadir memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat. Penggiat Sekolah Perempuan Tampomas, Sri Utami menuturkan, selama ini akses perempuan sangat terbatas dalam perencanaan pembangunan desa. Hanya beberapa saja yang terlibat, itu pun karena kapasitasnya sebagai perangkat desa.

‘’Kalau ibu rumah tangga seperti saya, jarang sekali terlibat rapat-rapat di desa,’’ujarnya. Menurutnya, keberadaan Sekolah Perempuan Tampomas seolah-olah membuka tabir suram itu. Perempuan desa biasa seperti dirinya juga bisa berperan dalam pembangunan desa.

Setelah mengikuti beberapa pertemuan secara klasikal membedah tentang kesetaraan gender, UU tentang Desa dan berbagai permasalahan desa, mereka bersepakat untuk melakukan aksi nyata. ‘’Tahap awal, kami melakukan pendataan untuk memetakan potensi, aset serta permasalahan yang ada di desa kami,’’terang wanita yang bekerja sebagai buruh migran itu. 20 orang anggota Sekolah Perempuan Tampomas langsung terjun ke lingkungan dan melakukan survei pemetaan aset dan potensi desanya.

Data yang terkumpul kemudian dituangkan dalam peta desa dengan cara menempelkan kertas berwarna yang dibentuk menyerupai aset dan potensi desa, antara lain bangunan, rumah ibadah, rumah, sawah, hutan desa, sungai, mata air, dan sebagainya. Mereka menarasikan hasil survei dalam sebuah dokumen. ‘’Rekapitulasi data dan narasinya cukup lama, karena sebagian besar tidak bisa mengoperasikan komputer,’’ujar Sri Utami.

Merangkul Warga

Semua rangkaian kegiatan tersebut mereka lakukan dengan merangkul perangkat pemerintahan desa serta warga yang selama ini tidak menjadi peserta Sekolah Perempuan. Data tersebut lalu disandingkan dengan data milik pemerintah desa. Hasilnya, sangat jauh berbeda karena data yang dimiliki desa jarang diperbarui.

‘’Sedangkan data kami merupakan data terbaru dan hasil wawancara langsung dengan warga,’’paparnya. Peta potensi desa tersebut, lanjut Sri Utami, telah membuka matanya bahwa ternyata masih banyak yang perlu dibenahi. Seperti halnya fasilitas pendidikan anak usia dini yang masih menumpang di kantor desa, potensi desa yang terabaikan, serta permasalahan kelompok masyarakat marjinal.

Kepala Desa Gentansari, Supriyono mengaku, keberadaan Sekolah Perempuan Tampomas memberikan warna baru dalam pembangunan desa. Kaum perempuan yang selama ini terabaikan dan dipandang sebelah mata, rupanya mampu berpartisipasi dalam pembangunan desa.

Ada semangat baru warganya khususnya dari kelompok perempuan yang selaras dengan semangat partisipasi yang diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Desa. ‘’Selama ini hanya yang ada di PKK saja, selebihnya jarang yang aktif,’’terang dia. Menurutnya, peta potensi dan aset desa serta peta kesejahteraan yang disampaikan Sekolah Perempuan Tampomas sangat membantu pihaknya dalam merumuskan kebijakan pembangunan desa.

Pendamping Sekolah Perempuan dari Infest Yogyakarta, Alimah mengungkapkan, Sekolah Perempuan merupakan salah satu program untuk mengoptimalkan peran perempuan dalam pembangunan desa. Di Banjarnegara, program ini dilaksanakan di tiga desa, yakni Desa Jatilawang Kecamatan Wanayasa, Desa Gumelem Kulom Kecamatan Susukan dan Desa Gentansari Kecamatan Pagedongan.

Alimah menambahkan, hasil pemetaan ini menjadi data rujukan sekaligus masukan dalam penyusunan RJMDes dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes). Harapannya, perencanaan desa tidak melulu bicara tentang pembangunan fisik, melainkan perencanaan yang responsif gender dan inklusi sosial serta meningkatkan pelayanan kebutuhan dasar.


Suara Merdeka, 7 Desember 2015