Arsip Tag: Badan Permusyawaratan

Ilustasi BPD

Kewenangan Badan Permusyawaratan Desa

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang dipilih dan ditetapkan secara demokratis. Masa keanggotaan BPD selama enam tahun terhitung sejak pengucapan sumpah/janji. Anggota BPD dapat dipilih kembali untuk masa keanggotaan paling banyak tiga kali baikk secara berturut-turut atau tidak (pasal 56).

Badan Permusyawaratan Desa menjadi badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Bersama pemerintah desa, BPD turut memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa. Hal itu menjadi bagian untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.

Musyawarah Desa menjadi forum untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal-hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintaha dan pembangunan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh BPD dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa.

Struktur BPD

Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah gasal. Pada pasal 58 ayat 1, jumlah anggota BPD paling sedikit lima orang dan paling banyak sembilan orang dengna memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan keuangan Desa. Peresmian anggota BPD ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Pimpinan BPD terbagi atas satu orang ketua, satu orang wakil ketua, dan satu orang sekretaris. Susunan pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung melalui rapat BPD yang diadakan secara khusus. Untuk pertama kali, penyelenggaraan rapat BPD dipimpin oleh anggota tertua dan dibantu oleh anggota termuda.

Fungsi dan kewenangan BPD

Pada pasal 55 UU Nomor 6 Tahun 2015 BPD mempunyai fungsi untuk:

  1. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
  2. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
  3. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa

sementara pada pasal 61 disebutkan hak BPD antara lain:

  1. mengawasi dan meminta keterangan tentang penyeenggaraan Pemerintahan Desa kepada pemerintah Desa;
  2. menyatakan pendapatan atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan
  3. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Disusul pada pasal 62, anggota BPD berhak untuk :

  1. mengajukan usul rancangan Peraturan Desa;
  2. mengajukan pertanyaan;
  3. menyampaikan usul dan/atau pendapat;
  4. memilih dan dipilih; dan
  5. mendapat tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pada masa akhir jabatan Kepala Desa, BPD bertugas untuk memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Desa tentang berakhirnya masa jabatan enam bulan sebelumnya. Kemudian, BPD berhak untuk membentuk panitia pemilihan Kepala Desa yang bersifat mandiri dan tidak berpihak. Panitia ini terdiri dari unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan dan tokoh masyarakat Desa.

Mengingat kedudukan, kewenangan, dan Keuangan Desa yang semakin kuat, penyelenggaraan Pemerintahan Desa diharapkan lebih akuntabel yang didukung dengan sistem pengawasan dan keseimbangan antara Pemerintah Desa dan lembaga Desa. Lembaga Desa, khususnya BPD yang dalam kedudukannya mempunyai fungsi penting dalam menyiapkan kebijakan Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, harus mempunyai visi dan misi yang sama.

Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan, BPD berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain BPD, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan Peraturan Desa.

Sekolah Perempuan Infest Yogyakarta

“Oh, Ternyata Perempuan Bisa Menjadi Anggota BPD?”

Kegagapan perempuan tidak terlepas dari kapasitas mereka dalam pembangunan desa. Kegagapan ini juga menentukan sikap mereka yang begitu hati-hati dalam memutuskan sesuatu di luar persoalan program kerja organisasi yang sudah ditetapkan. Seperti yang dirasakan kelompok perempuan di tiga desa di Kabupaten Banjarnegara yakni Gumelem Kulon, Gentansari, dan Jatilawang.

Pertanyaan yang dijadikan judul tersebut diungkapkan salah satu peserta Sekolah Perempuan yang sebelumnya mengaku tidak begitu paham tentang proses pembangunan desa. Namun, pertanyaan tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) itu tiba-tiba muncul karena mereka tidak pernah menyangka bahwa perempuan juga bisa menjadi anggota BPD. Hal tersebut terungkap saat peserta Sekolah Perempuan belajar tentang posisi perempuan dalam pembangunan desa. Tema tersebut menjadi satu bagian dari proses pembahasan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tentang

Membedah UU Desa adalah salah satu metode belajar di Sekolah Perempuan yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta. Sekolah Perempuan dilaksanakan di tiga desa di Kabupaten Banjarnegara dan tiga desa di Kabupaten Poso.

Dari refleksi belajar bersama para kader Pembaharuan Desa di masing-masing desa, para perempuan masih gagap mengidentifikasi di ruang mana dan pada posisi apa mereka harus terlibat dalam pembangunan di desanya. Termasuk mereka yang selama ini aktif atau setidaknya namanya terdaftar dalam salah satu struktur organisasi perempuan seperti PKK dan kelompok wanita tani (KWT).

Kegagapan perempuan tidak terlepas dari kapasitas mereka dalam pembangunan desa. Kegagapan ini juga menentukan sikap mereka yang begitu hati-hati dalam memutuskan sesuatu di luar persoalan program kerja organisasi yang sudah ditetapkan. Seperti yang dirasakan kelompok perempuan di tiga desa di Kabupaten Banjarnegara yakni Gumelem Kulon, Gentansari, dan Jatilawang.

Selama ini pemahaman mereka dalam proses pembangunan desa hanya sebatas mengusulkan program atau kegiatan dalam Musyawarah Desa (Musdes). Sementara, untuk pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa dilakukan oleh perangkat desa dan BPD. Selama ini, mereka akan memilih pasrah ketika harus menerima kenyataan bahwa usulan atau masukan mereka tidak masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) maupun Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDesa). Sehingga, mereka akan mengungkapkan kekalahan mereka dengan, “kami hanya menerima mandat dari desa.”

Kata “Desa” yang mereka maksud adalah perangkat desa atau lebih jelasnya ditujukan kepada Kepala Desa (Kades). Kini, kelompok perempuan desa menyadari bahwa mereka ternyata keterlibatan mereka dalam pembangunan di desa dijamin oleh undang-undang. Termasuk keterwakilan perempuan dalam BPD maupun peran-peran dalam pembangunan di desa. Perempuan memiliki posisi yang sama dengan laki-laki.

Akses dan ruang ini akan memberikan perubahan baik pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Dengan bekal pengetahuan dan keterampilan ini perempuan akan berusaha mencari jalan keluar lewat usaha, berorganisasi dan berpartisipasi dalam pembangunan di desanya. Karena perempuan juga memiliki potensi sebagai pemimpin. Dengan prasyarat, mereka mendapatkan fasilitas, ruang, serta kesempatan yang memadai untuk berekspresi. Ruang itu harus diciptakan.

Peningkatan kapasitas kepemimpinan perempuan melalui kegiatan Sekolah Perempuan merupakan salah satu upaya menciptakan kesempatan tersebut. Konsep Sekolah Perempuan yang diterapkan di tiga desa ini tidak hanya dilakukan di kelas tetapi juga luar kelas.

Pada tiga bulan pertama, pelaksanaan Sekolah Perempuan dilakukan di dalam kelas. Sebelum membedah posisi perempuan dalam pembangunan desa, peserta belajar tentang gender dasar sebagai bagian dari penguatan kapasitas. Harapannya, mereka mulai memiliki perspektif gender dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi.

Kemudian, di pertemuan berikutnya, saatnya membuka wacana mereka tentang isu-isu kritis yang termuat dalam UU Desa. Harapannya, kelak mereka mampu melakukan pemantauan dan pengawasan pembangunan desa, memastikan kegiatan pembangunan di desa berjalan dengan baik. Caranya, perempuan menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan desa serta berpartisipasi aktif dalam Musdes. [Alimah]