Arsip Tag: APBDesa

Dinsos Banjarnegara: Data Partisipatif Sangat Membantu Proses Validasi Data Kemiskinan

“Data-data yang dihasilkan Tim Pembaharu Desa (TPD) semoga dapat membantu tugas-tugas kami (Dinsos) dalam proses validasi data untuk program-program Dinsos”

(Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinas Sosial (Dinsos) Kabupaten Banjarnegara)  

Data-data partisipatif yang dimaksud adalah data-data yang dihasilkan oleh pemerintah desa (Pemdes) bersama warganya. Pendataan partisipatif tersebut digerakkan oleh Tim Pembaharu Desa (TPD) dengan merangkul warga yang lebih banyak lagi untuk terlibat dalam proses pendataan partisipatif.

Haryati, perwakilan TPD Karangkemiri, memaparkan pembelajaran dan perubahan yang terjadi di desanya.

Cerita perubahan, pembelajaran dan data hasil kerja keras TPD dipaparkan dalam acara “Workshop Refleksi Pembelajaran Perencanaan Apresiatif Desa” di Aula Dispermades pada Rabu (13/12/17). Acara ini merupakan salah satu momen penting dimana warga dan Pemdes membagi cerita dan melakukan refleksi dari sekian pembelajaran yang telah dilakukan sejak Mei-Desember 2017. Melalui Sekolah Pembaharuan Desa, program kerjasama Dispermades dan Infest Yogyakarta ini menjadi inspirasi desa-desa lain untuk menerapkan perencanaan apresiatif desa.

Menurut Hayati, Kasubag Perencanaan dan Keuangan Dinsos Banjarnegara, data-data tersebut akan sangat membantu dalam proses validasi data yang digunakan oleh Dinsos untuk Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dan bagi anggota keluarga RTS diwajibkan melaksanakan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan.

Soleh, perwakilan TPD Pringamba, memaparkan perubahan di desanya.

“Apalagi tadi TPD dari Karangkemiri juga menyebutkan tentang data difabel di desa, ini bisa diajukan kepada Dinsos untuk ditindaklanjuti sebagai penerima bantuan. Jadi programnya sudah ada yang menyasar difabel, dan dengan adanya data partisipatif dari warga, ini akan sangat membantu validasi data untuk program Dinsos,” ungkap Hayati. Begitu pun, lanjut Hariyanti, untuk program-program Dinsos lainnya seperti pelatihan-pelatihan untuk kelompok perempuan dan marjinal dapat diajukan sesuai dengan prioritas hasil pendataan warga tersebut.

Selain dari Dinsos, sambutan baik juga diungkapkan oleh Dwi Yudianti dari Seksi Sosial Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banjarnegara, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kecamatan Sigaluh, Pemerintah Kecamatan Sigaluh, Tim Ahli (TA), Tim Pendamping Desa (PD), serta Tim Pendamping Lokal Desa (PLD) Kabupaten Banjarnegara. Menurut mereka, pembelajaran-pembelajaran dan praktik baik melalui pendekatan Perencanaan Apresiatif Desa (PAD) sangat penting direplikasi di desa-desa lainnya.

Proses pengorganisasian masyarakat yang dilakukan oleh Infest Yogyakarta atas kerjasama Dispermades, ini juga memberikan inspirasi tersendiri bagi tim pendamping desa di Kabupaten Banjarnegara. Seperti diungkapkan oleh Suyatno, Tim Ahli (TA), praktik pengorganisasian masyarakat ini juga mulai diterapkan di desa lain oleh tim pendamping desa dan lokal desa. Strategi ini dilakukan agar pendamping desa tidak hanya fokus pada persoalan administrasi semata.

TPD Siap Berbagi Pengetahuan dan Pembelajaran ke Desa Lain

Sementara itu, Tim Pembaharu Desa (TPD) dari Karangkemiri dan Pringamba mengaku siap berbagi pengetahuan dan pembelajarannya ke desa-desa lainnya. Kendati demikian, TPD juga sadar bahwa yang terpenting pasca program adalah bagaimana agar mereka tetap aktif dan kritis mengawal semua tahapan pembangunan desa mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban.

Data-data yang telah dihasilkan secara partisipatif menjadi rujukan dalam proses mengawal pembangunan di desanya. Data-data tersebut di antaranya adalah data kewenangan desa, data kesejahteraan desa, data aset dan potensi desa, data survei layanan publik, serta data usulan kelompok marjinal. Selain itu juga data-data tersebut dimanfaatkan guna memperbaiki layanan publik di desa.

Kini data-data tersebut telah dimanfaatkan untuk proses review RPJMDesa dan RKPDesa Perubahan. Sehingga, saat ini dalam dokumen perencanaan yang baru telah muncul program atau kegiatan berdasarkan prioritas hasil data-data tersebut. Seperti di Desa Karangkemiri, saat ini telah ada program dan kegiatan yang menyasar kelompok marjinal khususnya anak putus sekolah, difabel, dan perempuan kepala keluarga miskin.

Pentingnya berbagi pengetahuan dan pembelajaran ke desa lain, juga diungkapkan oleh Wigati Sutopo, Tim Ahli (TA). Menurutnya, sayang sekali jika pembelajaran baik dari perencanaan apresiatif desa (PAD) ini hanya diterapkan di beberapa desa saja. Sehingga penting untuk disebar luaskan ke desa-desa lain, salah satunya dengan memberdayakan pendamping desa dan lokal desa yang ada di Kabupaten Banjarnegara.

====

*Penulis adalah gender specialist Infest Yogyakarta.

Kades Pringamba: “Kami yakin data yang kami hasilkan sendiri”

“Kami yakin dengan data yang kami hasilkan sendiri, karena kami terlibat melakukan semua prosesnya bersama warga”

(Karno, Kades Pringamba, Kec. Sigaluh, Kab. Banjarnegara)

Dengan tegas dan percaya diri, Kades Pringamba mengungkapkan pengalamannya selama melakukan pendataan kesejahteraan dari rumah ke rumah. Pendataan kesejahteraan yang dilakukan di tiap kepala keluarga (KK), tentu saja berbeda dengan pendataan yang dilakukan berbasis RT atau sampel dari keseluruhan jumlah penduduk. Karena dalam satu rumah, bisa jadi ada dua atau lebih jumlah KK. Sehingga, dalam proses pendataan ini dibutuhkan tim yang tidak sedikit. Karena proses pendataan partisipasi yang dilakukan bersama warga, maka membuat prosesnya lebih ringan. Pemdes dan warga juga memiliki rasa percaya diri, rasa memiliki terhadap data yang begitu kuat. Karena dalam setiap tahapan prosesnya, mereka telah dilibatkan dan data yang dihasilkan pun menjadi milik mereka yang kapanpun dapat diperbaiki jika terjadi kekeliruan.

Desa Pringamba merupakan salah satu Desa di Kabupaten Banjarnegara, yang tahun ini tengah mengupayakan perencanaan yang apresiatif di desanya. Selain Pringamba, tahun ini juga ada Desa Karangkemiri di Kecamatan Wanadadi. Tentu saja, setiap perubahan membutuhkan tahapan kegiatan yang tidak singkat. Apalagi dalam prosesnya dibutuhkan partisipasi warga di desa. Sejak pertengahan tahun 2017, Pemerintah Desa (Pemdes) bersama warga Pringamba pun mulai bekerja keras untuk melakukan perubahan di desanya. Perubahan tersebut dimulai dengan melakukan perubahan perencanaan pembangunan di desanya. Perencanaan pembangunan desa yang sebelumnya berbasis masalah, kini mulai diubah menjadi perencanaan pembangunan yang berbasis aset dan data-data usulan kelompok marginal. Beberapa bulan sebelum melakukan perubahan dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDesa), Rencana Kerja Pembangunan Jangka Menengah Desa (RKPDesa), dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), Pemdes bersama warganya telah bekerja keras menghasilkan data-data partisipatif sebagai bahan review RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa.

Perubahan: Sulit di Awal, Gaduh di Pertengahan, dan Hebat di akhir

Salah satu warga yang sedang melakukan rekap data survei perbaikan layanan publik.

Apa yang diungkapkan Kades Pringamba, merupakan pengalamannya yang secara langsung terlibat dalam proses pendataan kesejahteraan yang dilakukan di desanya bersama warga. Keterlibatan Pemdes dan warga dalam proses pendataan juga dilakukan di Desa Karangkemiri. Selain data kesejahteraan, Pemdes dan warga juga secara partisipatif telah menghasilkan data kewenangan desa, data aset dan potensi desa, data kesejahteraan lokal, data prioritas perbaikan layanan publik dasar di desa, serta data usulan kelompok marginal. Berdasarkan data-data partisipatif yang mereka hasilkan sendiri, akhirnya mampu memunculkan usulan program maupun kegiatan yang dikompilasi dalam 4 bidang, yaitu pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat.

Masing-masing desa memiliki pengalamannya sendiri terkait tantangan saat melakukan pendataan. Termasuk pada tahap awal proses fasilitasi survei layanan publik partisipatif, serta pemetaan sosial lainnya, tidak jarang Pemdes dan warga di hampir semua desa dampingan merasa tidak memiliki kapasitas menghasilkan data sendiri. Mana mungkin kami menghasilkan data sendiri? Apalagi merumuskan semua prosesnya mulai dari perencanaan, pelaksanaan survei sampai laporan pertanggungjawaban bersama warga? Merumuskan instrumen sendiri? Bagaimana caranya? Sedangkan selama ini warga jarang dilibatkan, bahkan data pun selama ini hanya milik supradesa, data kemiskinan milik BPS, apalagi data survei perbaikan layanan publik dasar seperti prioritas untuk kesehatan, pendidikan, dan sejumlah prioritas usulan lainnya? Begitulah, namun keinginan untuk berubah dan mau belajar tanpa sadar telah mengubah cara pandang mereka, mereka pun kian optimistis, bukan hanya Pemdes, warga yang telibat dalam setiap tahapannya, pun mulai merasa “diwongke”, dimanusiakan.

Memperkuat kapasitas warga dan pemdes untuk menghasilkan perencanaan apresiatif desa (PAD) bukan sekadar seremonial satu dua hari jadi lalu pulang. Lebih dari itu, perlu hadir di tengah mereka, di tengah lingkungannya, mendengarkan dan menjadi teman belajar, intens komunikasi bisa berminggu-minggu dan berbulan-bulan, selain itu juga terus memastikan bagaimana mereka mengatasi tantangan, capaian, serta strategi yang mereka terapkan sendiri, dan sejumlah hal-hal lain yang terkesan sepele namun penting. Jangan sampai pengetahuan dan pembelajaran hanya berhenti di satu dua orang, lalu usai menjadi sekadar pengetahuan yang entah benar-benar dipahami atau tidak.

Data hasil analisa prioritas perbaikan layanan publik ini pun hasil kerja keras warga dan Pemdes. Ini hanya secuil dari sekian data yang yang telah warga dan Pemdes hasilkan, mulai dari data kesejahteraan lokal, data dan Perdes Kewenangan, data aset dan potensi desa, dan data usulan kelompok marginal. Tapi menghasilkan data bukanlah tahap akhir, karena setelah melalui tahap pemetaan sosial, kini saatnya mereka memanfaatkan data-datanya sebagai bahan rujukan RPJMDesa, RKPDesa, dan APBDesa. Setelah masuk dalam dokumen-dokumen penting tersebut, pun masih ada proses lain yaitu mengawal proses pelaksanaan pembangunannya secara aktif dan kritis. Perubahan di sejumlah desa dampingan Infest Yogyakarta yang paling terlihat adalah bagaimana pembangunan di semua bidang mulai menyasar kelompok-kelompok marginal. Di antaranya, desa mulai menganggarkan tunjangan hari tua untuk semua Lansia miskin di desanya, mengaggarkan program untuk kaum difabel, tidak sekadar memberikan bantuan instan, namun memastikan penyembuhannya hingga memberdayakannya di desa.

=============

*Tulisan ini berdasarkan pengalaman pembelajaran Alimah Fauzan, gender specialist Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta ) selama melakukan pengorganisasian Perencaaan Apresiative Desa (PAD) di Kabupaten Banjarnegara. PAD merupakan salah satu tahapan kegiatan yang diselenggarakan Infest Yogyakarta atas kerjasama Pemkab Banjarnegara. Keterangan dalam tulisan ini berdasarkan informasi pembelajaran dan pengalaman bersama warga di desa dampingan.

Kantor Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar (Azis/rakyat sulsel)

Baru Tiga Tahun, Sudah Berani Pasang Papan Pengumuman APBDesa

Abd Rahman Bunga, Kepala Dusun Pa’battoang, Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, punya andil dalam pemekaran Desa Kalukubodo dari Desa Bonto Marannu. Rahman masih ingat saat dirinya didatangi warganya yang mengadu atau minta mengurus sesuatu di kantor Desa Bonto Marannu. Dia harus menampung dulu segala urusan warga lalu mendatangi Kepala Desa (Kades). Lalu harus menumpuh perjalanan sekitar 1 kilometer.

“Jauh kasihan, 1 kilometer dari sini untuk ketemu Kepala Desa. Hampir semua kebutuhan masyarakat dititip ke saya sebagai kepala dusun. Nanti saya sampaikan ke Kedes. Persoalan KTP (Kartu Tanda Penduduk, KK (Kartu Keluarga) atau apa saja, ” cerita Rahman di rumahnya di Dusun Pa’battoang, Rabu, 2 Desember 2015.

Kantor Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar (Azis/rakyat sulsel)

Kantor Desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar (Azis/rakyat sulsel)

Dari persoalan akses dan pelayanan ini lah, Rahman bersama beberapa tokoh masyarakat Desa Kalukubodo berinisiatif memekarkan Desa Bonto Marunnu agar pusat pelayanan berada di desanya. Salah satu pemrakarsa pemekaran desa, yang kini menjadi Kades Kalukubodo, Gaffar Rate, mengatakan tujuan pemekaran itu adalah bagaimana pembangunan desa bisa merata, yang tidak melulu berada di desa Bonto Marannu.

“Pembangunan saat Kades dulu bukannya tidak ada pemerataan. Mungkin inilah persoalannya, dana ADD (Anggaran Dana Desa) tidak seberapa. Pada saat proses pembangunan otomatis di desa induk menjadi prioritas. Jadi kurang tersentuh disini, walau tersentuh kurang memenuhi, ” kata Gaffar.

Keinginan itu rupanya sejalan dengan program pemekaran desa Bupati Takalar saat itu, Ibrahim Rewa yang menargetkan 100 desa di kabupaten ini. Klop sudah. Pemekaran pun terwujudkan. Desa Kalukubodo tercatat sebagai desa yang ke 100 dan terbuntut untuk saat ini. Sementara Desa Bonto Marannu sudah terpecah menjadi lima desa. Pada Juni 2012, Gaffar Rate terpilih menjadi Kades Kalukubodo. Selain baru berdiri, desa yang memiliki tiga dusun, yakni Dusun Pa’battoang, Dusun Bilayya dan Dusun Kalukubodo, menjadi salah satu dari 15 Desa Mandiri di Takalar.

“Saya tidak tahu, mengapa desa kami langsung mendapat predikat Desa Mandiri, padahal baru saja berdiri, ” kata Rahman, walau diakuinya bila salah satu indikatornya karena di desa itu punya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Daya Guna yang bergerak dibidang pelayanan air bersih. Mirip Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Transparansi Anggaran

Dua tahun berdirinya desa yang berada di pinggir laut ini, seperti terjadi lompatan yang luar biasa dilakukan oleh Kades dan perangkatnya, yang mungkin melampaui desa-desa lama, utamanya desa tetangga dan desa induk. Yakni pengelolaan keuangan desa secara transparan dan keterbukaan informasi kepada warga.

Papan APBDes Kalukubodo

Papan APBDesa Kalukubodo

Bentuk transparansinya pun sangat sederhana. Gaffar beserta pegawainya hanya memajang item-item Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) di dinding kantor desa, tak ubahnya papan informasi di perkantoran. Item-item itu terjabarkan dalam anggaran Pendapatan, anggaran Belanja, dan anggaran Pembiayaan Desa.

“Kami menyusun sesuai format dalam UU Nomor 4 Tahun 2014, ” Gaffar mengatakan sudah sepantasnya desa transparan, mulai dari anggaran hingga informasi penting untuk warga. Apa lagi, kata dia, amanah dalam Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, punya kewenanan seperti itu. “Sejak berdiri saya memang sudah punya keinginan untuk seperti itu. Saya terinspirasi setelah ikut kegiatan-kegiatan organisasi Karang Taruna dulu, ” kata Gaffar di kantornya, Selasa, 1 Desember 2015, lalu.

Dia juga bercerita bila pernah mencalonkan diri menjadi calon Kades pada Pemilihan Kepala Desa Bonto Marannu, dengan visi-misi transparansi desa. Hanya saja tidak terpilih. “Tujuan saya ingin pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat terpenuhi, dan juga merata tentunya, ” Membangun sistem keuangan yang transparan bagi Gaffar sepertinya tidak ada kendala yang berarti, apa lagi format dan aturannya sudah ada di UU Desa Tahun 2014. Bupati Takalar Burhanuddin Baharuddin juga selalu mengdengung-dengungkan transparansi anggaran kepada aparat desa.

Papan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) di dinding kantor desa Kalukubodo, Kecamatan Galesong Selatan. Semua program dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes) dituangkan di APBDesa itu. Dana APBDesa 2014-2015 Desa Kalukubodo totalnya Rp 411.019.000. Anggaran itu berasal dari Dana Desa (DD) sebesar Rp 289.420.000 dan Anggaran Dana Desa (ADD) sebanyak Rp 121.599.000.

“Anggaran ini tidak semua cair, hingga saat ini (Desember), baru 40 persen yang cair. Mungkin awal 2016 semua sudah cair. Untuk pencairan kami harus memasukan pertanggungjawaban keuangan yang sudah diterima sebelumnya, ” kata dia.

Item-item APBDesa itu terjabarkan tiga bagian besar, yakni Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. Pada bagian Pendapatan disebutkan Pendapatan Asli Desa (PAD), namun PAD yang meliputi hasil usaha, swadaya partisipasi dan gotong royong serta pendapatan lain, belum ada. Namun, BUMDes yang mengelola instalasi air sumur bor berpotensi untuk dijadikan pendapatan. “Tahun depan kami akan masukan sebagai PAD kita, ” kata Gaffar, sambil menjelaskan bila BUMDes Daya Guna ini punya pelanggan sekitar 200 kepala rumah tangga.

Ada enam sumber pendapatan yang dirumuskan dalam Pendapatan Transfer, yakni DD yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), ADD yang disalurkan melalui Pemerintah Kabupaten Takalar. Empat lainnya, yakni hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten, bantuan keuangan, bantuan provinsi dan bantuan kabupaten. Hanya saja, pos anggaran ini masih kosong.

Gaffar menjelaskan secara garis besar alokasi dana DD diperuntukan untuk pembangunan fisik sementara dana dari ADD dialokasikan untuk dana rutin, seperti gaji Kades, aparat desa, dan Badan Permusyawaratan Desa. Juga operasional kantor.

Untuk tahun ini, APBDesa difokuskan pada pembangunan fisik di beberapa titik di tiga dusun desa Kalukubodo.”Tahun ini kita fokuskan untuk pembangunan fisik, pendidikan, dan keagamaan, ” kata Gaffar.

Pembangunan itu meliputi pembangunan drainase, penanggulangan abrasi pantai, pembangunan dekker, pembangunan Talaud, pengadaan jamban keluarga, pembangunan gedung Pendidikan Anak Usia Dini (PUAD) dan pembangunan lantai masjid.

Pembangunan dianggap paling penting di desa ini adalah pembangunan bronjong untuk mengatasi abrasi pantai, maklum di desa terletak di pinggir laut yang 70 persen warga berprofesi sebagai nelayan dan bermukim di pinggir pantai. Bila musim hujan kadang air pasang hingga ke rumah-rumah warga.

Di desa ini juga hanya dusun Pa’battoang dan dusun Bilayya yang dilintasi pantai. Namun pembangunan brojong itu tahun ini tidak serempak dua dusun. “Tahun ini kita fokus di Pa’battoang. Tahun depan di dusun Pa’bilaya. Agar pembangunan merata dan tidak ada kecemburuan sosial antar warga dusun, ” kata Gaffar.

Menurut Gaffar semua pembangunan fisik itu pada dasarnya mendesak dan penting dilakukan. Seperti pembangunan drainase, tahun ini difokuskan di muara air dan drainase sepanjang 140 meter di dusun Pa’battoang. Kemudian pembangunan tahap II dilanjutkan tahun depan yang arah ke dusun-dusun. Untuk pembangunan PUAD, perencanaan bagunan semi permanen awalnya berada di dekat rumah Gaffar. Namun setelah konsultasi, pembangunan dialihkan ke samping kantor desa.

“Proyek ini dipindahkan ke samping kantor. Kebetulan tanah aset desa cukup lapang. Tahun depan akan dibangun secara permanen. Jadi, anggaran untuk PUAD tahun ini dialihkan ke pembangunan drainase, ” Gaffar bercerita dengan disahkan UU Desa, apa yang ingin dikerja sudah bisa tanpa menunggu waktu yang cukup lama.

Dia membandingkan dengan pengelolaan desa kebanyakan saat ini yang diajukan ke pemerintah Kabupaten dan Provinsi dan menuggu lama dan faktor kedekatan dengan aparat diatasnya ikut mempengaruhi. “Dulu lama, kalau pun ada (program disetujui) biasa lama. Perlu dijemput, diikuti. Dibagi-bagi dan orang berlomba-lomba, siapa yang dekat dia yang dapat, ” bebernya.

Peserta berdiskusi menentukan jenis-jenis informasi

Kepala Desa Kalukubodo bersama warga saat pelatihan Keterbukaan Informasi bersama Infest Yogyakarta, (Agustus 2015).

Dengan transparan, pengelola desa juga bisa menjawab isu-isu yang beredar selama ini, bahwa tiap desa akan mendapatkan anggaran Rp1,4 miliar lebih. Padahal tidak ada. “Jangan sampai masyarakat beranggapan ada anggaran bermiliaran sementara pembangunan sedikit. Karena itulah yang selalu kita inginkan tranparan ke masyarakat, ” kata Gaffar.

Dengan adanya papan APBDesa ini, tidak hanya warga, tamu luar yang bertandang ke kantor desa ini pun bisa melihat pajangan proyek dan anggarannya itu. “Warga yang lewat biasa singgah disini atau ada urusannya bisa melihat papan. Sebarkan ke tetangga, ” kata Gaffar. Dengan begitu, tak ada kecemburuan sosial masing-masing dusun, lanjutnya Rahman Bunga yang memangku jabatan Kepala Dusun Pa’battoang sejak 10 tahun lalu menyadari betapa bedanya pengelolaan keuangan desa. Hingga pembangunan bisa dikendali sesuai keinginan warga. “Semua kebutuhan diusulkan di Musrembang lalu masuk RPJMDes dan ter-cover di APBDesa. Transparansinya beda. Pembangunan cukup baik. Alhamdulillah, ” ucapnya.

Sementara Imam Desa Kalukubodo, Haruna Daeng Ngerang juga menyadari dengan adanya papan APBDesa itu memudahkan warga mengetahui jumlah dan laju pembangunan desa. “Disini, tidak ada pembangunan tak diketahui oleh warga, semuanya sudah diketahui, ” kata Haruna di rumahnya. Gaffar mengaku sejumlah Kades pernah singgah melihat langsung papan APBDesanya, sekedar bertanya-tanya atau tergerak ingin melakukannya juga. Namun, kata dia, sepertinya mereka masih gengsi untuk belajar. “Sepertinya mereka masih malu-malu belajar kepada kami, mungkin mereka anggap kami desa baru, ” ujar Gaffar. (Azis Kuba/rakyatulsel.com)


Sumber: rakyatsulsel.com

 

Alur penyusunan APBDesa

Alur Penyusunan APBDesa

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau APBDesa merupakan peraturan desa tentang rencana keuangan desa selama satu tahun. APBDesa disusun oleh sekretaris desa, dibahas dan disepakati bersama BPD dan masyarakat. Pemerintah Kabupaten melalui Kecamatan kemudian melakukan evaluasi terhadap APBDesa yang disusun oleh desa. Terakhir, Kepala Desa menetapkan Perdes APBDesa paling lambat 31 Desember. Berikut infografis alur penyusunan APBDesa;

Alur  penyusunan APBDesa

Pendapatan Desa Gentansari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau yang kerap disebut APBDesa adalah peraturan desa yang memuat rencana keuangan tahunan Pemerintah Desa. Sebelumnya, rencana APBDesa dibahas oleh pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa untuk kemudian ditetapkan oleh Kepala desa. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, disebutkan bahwa APBDesa memuat tiga hal yakni Pendapatan Desa, Belanja Desa dan Pembiayaan Desa.

Pendapatan Desa

Semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam satu tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Ada tiga jenis pendapatan desa yakni pendapatan asli desa, dana transfer dan pendapatan lain-lain:

A. Pendapatan Asli Desa (PAD)

meliputi hasil usaha, hasil aset, swadaya, partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa. Hasil usaha desa dapat merujuk pada Badan Usaha Milik Desa dan tanah kas desa. Sementara hasil aset antara lain tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum, jaringan irigasi.

Ada baiknya, sebelum merancang RAPBDesa, pemerintah desa bersama masyarakat mengidentifikasi aset dan potensi desa. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data tentang potensi penerimaan desa yang diperoleh dari pengelolaan aset dan potensi desa. Sehingga, dalam penyusunan APBDesa bisa didasarkan pada data yang disusun bersama masyarakat.

B. Dana Transfer:

  1. Dana Desa : bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program berbasis desa secara merata dan berkeadilan
  2. Bagi hasil pajak dan retribusi dari Daerah Kabupaten/Kota (paling sedikit 10 persen dari pajak dan retribusi daerah)
  3. Alokasi Dana Desa (paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran APBD setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus)
  4. Bantuan Keuangan dari APBD Provinsi
  5. Bantuan Keuangan dari APBD Kabupaten/Kota

C. Pendapatan lain-lain:

Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat dan Pendapatan lain-lain yang sah

Belanja Desa

Meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja Desa dipergunakan dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan desa. Klasifikasi Belanja Desa terdiri atas kelompok:
1. Penyelenggaraan pemerintahan Desa
2. Pelaksanaan pembangunan Desa
3. Pembinaan kemasyarakatan Desa
4. Pemberdayaan masyarakat Desa
5. Belanja tak terduga

Kelompok belanja di atas dibagi dalam kegiatan sesuai dengan kebutuhan desa yang dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RPKDesa). Di masing-masing kegiatan tersebut kemudian diperinci berdasarkan jenis belanja, antara lain:
a. belanja pegawai
b. belanja barang dan jasa
c. belanja modal

Pembiayaan Desa

meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan Desa terdiri atas kelompok:

  1. penerimaan pembiayaan: Sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa tahun sebelumnya), pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan.
  2. pengeluaran pembiayaan: pembentukan dana cadangan dan penyertaan modal desa.

Pembentukan dana cadangan ditetapkan melalui peraturan desa. Dalam penganggaran dana cadangan tidak boleh melebihi tahun akhir masa jabatan Kepala Desa. Peraturan desa tentang dana cadangan sekurang-kurangnya memuat:
a. penetapan tujuan pembentukan dana cadangan;
b. program dan kegiatan yang akan didanai dari dana cadangan;
c. besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan;
d. sumber dana cadangan; dan
e. tahun anggaran pelaksanaan dana cadangan.

Infografis berita keuangan Wonosobo

Setelah Pelatihan, Kader Desa di Wonosobo Usulkan Rekomendasi Perbup

Dua desa di Kabupaten Wonosobo mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan desa yang diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta di Kantor Bupati pada 29 September – 2 Oktober 2015. Kedua desa tersebut ialah Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah dan Desa Lengkong, Kecamatan Garung. Kedua desa ini akan menjadi model desa yang mengimplementasikan pengelolaan keuangan desa yang baik, sehingga bisa menjadi contoh dan teman belajar bagi desa lainnya di Kabupaten Wonosobo.

Proses Pelatihan - Simulasi tata cara pengadaan barang dan jasa yang melibatkan penyedia dari pihak ketiga

Proses Pelatihan – Simulasi tata cara pengadaan barang dan jasa yang melibatkan penyedia dari pihak ketiga

Senada dengan pelatihan di Malang dan Takalar, pelatihan di Wonosobo juga mendorong desa mampu mengelola keuangan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban secara transparan, partisipatif, akuntabel, serta disiplin anggaran. Selain itu, pelatihan selama empat hari ini menjadi bahan rekomendasi penyusunan Peraturan Bupati (Perbup) Wonosobo tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

“Kami sedang berproses menyusun draft Perbup Pengelolaan Keuangan Desa, hasil dari empat hari ini justru akan menjadi rekomendasi bagi kami di bagian Pemerintahan,” tutur Aldhiana Kusumawati (Dina), dari bagian Pemerintahan, Pemkab Wonosobo.

Dokumen APBDesa desa-desa di Wonosobo masih menggunakan format lama, artinya belum secara penuh mengimplementasikan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Hal ini diakui Sukardi, Sekretaris Desa Keseneng. Menurut Sukardi, dalam pelatihan ini banyak hal baru yang diketahui, diantaranya adanya 4 kelompok utama dalam belanja yaitu kelompok penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan desa. Sedangkan dokumen APBDesa tahun 2014 Desa Keseneng masih menggunakan format lama yang terdiri dari 2 kelompok utama dalam belanja yaitu kelompok biaya operasional dan pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya menurut Dina, Pemkab Wonosobo menyadari bahwa perlu adanya tahun transisi bagi desa karena banyak hal baru dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Proses transisi tersebut termasuk penguatan kapasitas desa seperti yang dilakukan empat hari ini untuk mendorong kesiapan desa. Pemkab Wonosobo sudah terlebih dahulu mengeluarkan surat edaran supaya desa segera menyusun APBDesa 2016 tanpa harus menunggu peraturan menteri tentang pengelolaan keuangan desa disahkan.

Draft Perbup Wonosobo tentang Pengelolaan Keuangan Desa diulas bersama peserta dalam pelatihan yang difasilitasi oleh Darwanto, pegiat advokasi anggaran dari Indonesia Budget Center (IBC), Jakarta. Beberapa masukan diantaranya tentang kurang sesuainya kelompok belanja pegawai dan belanja barang/jasa yang mengacu pada Permendagri Nomor 113 Tahun 2014; kurang rincinya tata cara penggunaan dana Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SilPA); dan pengaturan jumlah uang kas di desa. Selanjutnya beberapa masukan dan temuan-temuan dari pemerintahan desa saat pelatihan diserahkan kepada bagian pemerintahan Pemkab Wonosobo sebagai rekomendasi penyusunan Perbup pengelolaan keuangan desa.

Infografis berita keuangan WNSB

Setelah pelatihan ini, peserta berkomitmen untuk mempelajari lagi pengetahuan tentang pengelolaan keuangan desa, mempraktikan pengetahuan yang didapat saat pelatihan. Selain itu, Pemkab Wonosobo akan menyelenggarakan rapat penyusunan Perbup Pengelolaan Keuangan Desa pada 5 Oktober 2015 dengan memasukkan hasil pelatihan ini sebagai rekomendasi. [khay]

Pelatihan Keuangan Desa Malang

Praktik Mengulas dan Simulasi Pelaksanaan APBDesa

Kader Pembaharu Desa dari tiga desa di Malang mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan desa yang diselenggarakan di Kantor Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang (3-6/09/2015). Pelatihan tersebut melibatkan aktor-aktor kunci pengelolaan keuangan desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Bendahara Desa, Kepala Urusan Pembangunan Desa/Kesejahteraan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok PKK, Karang Taruna, Kepala Dusun, Perwakilan Masyarakat, Perwakilan Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten. Pelatihan yang diikuti oleh Desa Tunjungtirto, Kucur dan  Jambearjo ini difasilitasi oleh Darwanto dari Indonesia Budget Center (IBC), Jakarta.

Pelatihan Keuangan Desa Malang

Kader Pembaharu dati tiga desa di Kabupaten Malang, mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan desa di Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari.

Pada pelatihan ini, peserta tidak hanya diajak untuk memahami teknis tata cara pengisian dokumen-dokumen keuangan desa, tetapi juga memahami esensi serta keberpihakan pengelolaan keuangan desa yang terbuka, partisipatif, akuntabel, dan tertib/disiplin anggaran sebagai asas utama pengelolaan keuangan desa. Proses pelatihan ini dilakukan dengan metode paparan materi, diskusi, hingga praktek dan simulasi.

Menurut Muhammad Makhfudz, Sekretaris Desa Jambearjo, selama ini tata kelola keuangan desa yang sudah berjalan dirasa sudah maksimal. Setelah adanya penguatan kapasitas pengelolaan keuangan desa, Ia mengaku semakin tahu kekurangan dalam pelaksanaan keuangan desa.

“Apa yang selama ini kita kerjakan menurut kami sudah maksimal, mungkin karena kurangnya pengetahuan kami tentang pengelolaan keuangan desa. Setelah kami mengikuti pelatihan ini, kami semakin tahu apa yang selama ini keliru kami lakukan,” ungkap Muhammad Makhfudz.

Mengulas dokumen APBDesa
Peserta dibagi dalam tiga kelompok untuk mengulas dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) 2015 dengan cara mempertukarkan dokumen-dokumen APBDesa masing-masing desa yang sudah dicetak. Masing-masing kelompok berperan sebagai pemerintah kabupaten yang mengevaluasi dokumen APBDesa. Beberapa hasil evaluasi APBDesa tersebut, meski masih banyak kesalahan dalam penyusunan dokumen APBDesa, Pemerintah Kabupaten Malang telah memutuskan dokumen tersebut lolos verifikasi. Pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini adalah pemerintah kabupaten perlu banyak belajar lagi tentang struktur APBDesa, supaya tidak terjadi kesalahan pada dokumen perencanaan desa sehingga pembangunan desa lebih terukur dan tepat sasaran. Beberapa kesalahan yang sering terjadi adalah seringnya salah penempatan pos anggaran, kekeliruan atau tertukarnya jenis belanja modal dan belanja barang/jasa.

Simulasi pengajuan dan pembayaran kegiatan
Ketiga kelompok masing-masing diminta memilih salah satu kegiatan yang tercantum dalam dokumen APBDesa. Dalam setiap kelompok ada yang berperan sebagai pelaksana kegiatan, sekretaris desa, kepala desa, bendahara desa, penyedia barang/jasa, dan BPD. Setiap kelompok dibagikan dokumen-dokumen pelaksanaan dan penatausahaan, seperti dokumen Rencana Anggaran dan Biaya (RAB), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Buku Kas Umum, Buku Bantu Pajak, Buku Bantu Bank, Buku Kas Pembantu Kegiatan dan format laporan pelaksana kegiatan (pernyataan tanggung jawab belanja).

Setiap kelompok diberi waktu berdiskusi tentang pemetaan peran dan dokumen yang harus dipegang setiap peran tersebut, sehingga pada simulasi bisa terpetakan/dipahami mengenai siapa melakukan apa, apa saja dokumen yang harus dipegang, cara mengisinya dan sirkulasi setiap dokumen tersebut. Fasilitator mendampinmgi diskusi tersebut dambil mengulas sedikit materi-materi yang sudah disampaikan yang terkait dengan proses simulasi ini.

Setelah proses simulasi tersebut, peserta semakin paham mengenai apa saja tugas dan wewenangnya, dan dokumen-dokumen yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti yang diungkapkan oleh Winarsih, Bendahara Desa Tunjungtirto.

“Saya semakin paham justru setelah simulasi tadi. Saya jadi tahu dokumen apa saja yang harus saya isi, apa saja tugas dan wewenang saya,” ungkap Winarsih.

Hasil pelatihan ini merekomendasikan pemerintah desa mempunyai Standard Operating Procedure (SOP) tentang Pengelolaan Keuangan Desa untuk mempermudah dan menertibkan penatausahaan keuangan desa. [khay]