Rencana Kementerian Perdagangan sebanyak 2,37 juta ton menjadi ancaman tersendiri bagi para petani garam lokal. Apalagi ketika panen raya, harapan para petani garam untuk menikmati hasilnya pupus karena garam mereka tak laku. Karena konsumen lebih memilih garam impor yang keluar bertepatan dengan panen garam mereka. Sekian petani di Cirebon misalnya, penurnan harga garam terjun bebas pun belum tentu ada pembelinya. Begitu pun di sejumlah daerah penghasil garam di Indonesia.
Indonesia punya lahan luas sepanjang pesisir (99,093 kilometer) dan sejumlah alasan lain mengapa masyarakat menyayangkan impor garam. Baru-baru ini, ratusan mahasiswa dan petani garam di Pamekasan juga berunjuk rasa ke kantor DPRD Pamekasan, Jumat (9/2/2018). Aksi mereka terkait Rencana Kementerian Perdagangan sebanyak 2,37 juta ton. Mereka juga beralasan bahwa stok garam masih melimpah.
Impor garam sudah berlangsung sejak tahun 1990. Impor juga salah satu upaya pemerintah dalam mencukupi kebutuhan nasional. Apalagi memproduksi garam berkualitas tinggi untuk industri jelas butuh waktu berbulan-bulan. Tentu ini sulit dipenuhi oleh petani yang punya banyak keterbatasan; mulai dari modal, teknologi, hingga saluran distribusi. Terlebih petani acap kali membutuhkan uang tunai untuk mencukupi kebutuhan. Karena itu, petani pada umumnya memproduksi hanya dalam hitungan hari dan menghasilkan garam kualitas rendah.
Menurut Suhardi Jayadi, Konsultan The Institute dor Democracy Education, impor mencerminkan kegagalan pemerintah dalam industrialisasi garam rakyat. Mengingat hampir 20 tahun, kebijakan dan program yang ada belum memungkinkan adanya jaminan kesediaan garam tanpa impor. Dalam opininya tentang “Hambarnya Kehidupan Petani Garam” (Kompas, 5/4/2018), swasembada garam adalah suatu keniscayaan dan merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkan. Artinya, pemerintah perlu melakukan investasi dalam memperkuat industri garam rakyat dan tidak cukup atau sekadar memberikan bantuan modal yang terbatas melalui program garam untuk rakyat.
Ada dua kebijakan yang dapat dibangun. Pertama, mendirikan badan layanan umum yang khusus membiayai kebutuhan investasi garam di tingkat petani: mulai dari pembukaan lahan hingga pengolahan pasca panen dengan kandungan NaCI tinggi, magnesium rendah, dan kadar air rendah.
Kedua, mengorganisasi petani garam dalam suatu kelembagaan koperasi atau pun perusahaan sebagai entitas bisnis, mengingat untuk memproduksi garam brekualitas dibutuhkan lahan yag luas, fasilitas pengolahan berskala besar, dan dukungan teknologi serta manajemen usaha yang profesional. Dengan begitu, kepastian garam dari sisi kuantitas, kualitas, dan kontinuitas dapat terjamin.
Pada dasarnya tidak sulit bagi pemerintah jika benar-benar ingin merealisasikan terwujudnya swasemembada garam nasional. Jika tidak direalisasikan, publik akan menilai bahwa pemerintah sesungguhnya memang tidak ingin ada swasembada garam untuk kesejahteraan petaninya.[]
Sumber gambar: klik here