Wonosobo – Dalam rangka mewujudkan cita-cita terbangunnya desa yang otonom dan mandiri, sesuai amanat Undang-undang Desa, kini desa dihadapkan dengan berbagai pekerjaan rumah yang baru. Diantaranya desa dituntut untuk mampu menyediakan basis data yang akurat sebagai bahan pokok untuk menyusun rencana pembangunan desa.
Untuk mendapatkan data yang akurat, dibutuhkan suatu metode yang mampu mendorong terjadinya “keterlibatan warga secara penuh” atau pendekatan perencanaan “partisipatif’”. Dengan metode ini, setidaknya bukan hanya proses keterlibatan warga yang dapat dicapai, tetapi juga diyakini dapat membuka peluang ruang dialog yang lebih demokratis. Dialog dapat terjadi antar sesama warga maupun antar perangkat pemerintah desa. Dengan demikian, proses menjadi subjek dalam perencanaan pembangunan desa menjadi terwujud.
Fenomena penyelesaian pekerjaan rumah ini dapat dilihat dari sebuah kesibukan yang terjadi di Desa Wulungsari, Kecamatan Selomerto. Jumat (31/7/2015), para tim Pembaharu Desa bersama perangkat desa Wulungsari terlihat sibuk mempersiapkan “temu warga”. Pertemuan itu bertujuan untuk menggali indikator kesejahteraan lokal yang akan dilaksanakan pada Sabtu (1/8/2015).

Warga sedang menggali Indikator Kesejahteraan Lokal Di Balai Desa Wulung Sari, Wonosobo (Foto Oleh Fandi)
Persiapan dilakukan di Balai Desa Wulungsari dan dihadiri oleh perwakilan tim Pembaharu Desa, perangkat pemerintah desa dan Infest Yogyakarta. Dalam pertemuan persiapan yang dihadiri oleh delapan orang tersebut, Kepala Desa Wulungsari menyatakan bahwa “temu warga” selain akan melibatkan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Ketua RT, RW dan BPD, kelompok Rumah Tangga Miskin (RTM) juga akan diprioritaskan untuk hadir. Bahkan untuk mencapai prioritas tersebut, pemerintah desa memberikan undangan kepada 30 RTM. Alasannya, agar pertemuan penggalian indikator kesejahteraan lokal yang akan diselenggarakan dapat menghasilkan data baru yang lebih baik dan bermanfaat, khususnya bagi RTM.
Tiba pada hari pelaksanaanya (1/8/2015). “Temu warga” yang dipandu oleh Anggi dari tim Pembaharu Desa ini, mampu menggerakkan dan mendorong peserta yang hadir terlibat secara aktif untuk menggali serta menemukan delapan indikator kesejahteraan lokal. Indikator tersebut antara lain: pendapatan, kepemilikan lahan, kepemilikan alat transportasi, pendidikan, pekerjaan, kepemilikan rumah, kesehatan dan kepemilikan alat transportasi. Selanjutnya, “temu warga” juga bersepakat bahwa stratifikasi sosial yang ada di Wulungsari terbagi menjadi empat golongan, yakni: sangat miskin, miskin, sedang dan kaya.
Yang terlupakan dan tantangan
Minimnya waktu dan faktor kealpaan dari fasilitator untuk melakukan pendalaman terhadap indikator kesejahteraan yang ditemukan saat kegiatan “temu warga” telah menyebabkan indikator yang terpilih menjadi tidak mendalam. Diantaranya tidak munculnya sub-sub indikator. Hal ini tentunya akan berakibat pada data yang akan didapatkan saat kegiatan pendataan lapangan menjadi tidak akurat dan dangkal. Untuk memecahkan persoalan tersebut, para tim Pembaharu Desa dan perangkat pemerintah desa menyepakati untuk melakukan pertemuan lanjutan yang diagendakan pada Selasa (4/8/2015). Dalam pertemuan lanjutan juga akan mengagendakan “validasi” indikator yang sudah ditemukan sekaligus membahas persiapan perencanaan pendataan ke lapangan.
Dalam pertemuan lanjutan yang dilaksanakan di balai desa ini, selain menggali sub-indikator juga ditemukan kembali dua indikator kesejahteraan lokal yang baru. Dengan demikian, keseluruhan indikator kesejahteraan lokal desa Wulungsari berjumlah sepuluh, yakni: kepemilikan rumah, kepemilikan lahan, pendapatan, kepemilikan alat transportasi, pendidikan, kesehatan, tanggung jawab sosial, sandang, pangan dan kepemilikan alat komunikasi.
“Setelah tahap validasi, rencananya tim Pembaharu Desa akan melakukan pertemuan persiapan penyusunan format pendataan dan pematangan tim lapangan,” ungkap Anggi.