“Di desa itu, kita tidak bisa mudah menilai seseorang sudah sejahtera atau belum. Terkadang meskipun rumahnya kelihatan bagus, bisa jadi secara ekonomi tidak mampu. Justru rumah yang besar itu dulunya adalah orang menengah ke bawah. Mereka mampu membuat rumah besar dan megah saat masih menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Tapi itu dulu, kondisi sekarang sudah berbeda. Setelah pulang menjadi TKW mereka bingung mau usaha apa, tabungan habis, lahan tidak punya, dan kerja serabutan.”
Seorang pemuda Desa Pringamba bernama Rusli (28), dengan tegas mengungkapkan pengalamannya selama melakukan pemetaan partisipatif di desanya. Termasuk pendataaan kesejahteraan berdasarkan indikator lokal desa. Pendataan yang dalam setiap tahapannya dilakukan secara partisipatif, termasuk saat persiapan merumuskan indikator utama dan sub-indikator sebuah kepala keluarga (KK) disebut kaya, sedang, miskin, atau sangat miskin. Warga dan Pemdes yang terbiasa menjadi petugas sensus, kini terlibat di semua tahapan pendataan. Kini mereka memiliki data yang mereka hasilkan sendiri, bukan lagi data milik supradesa.
Kondisi mantan TKI yang diceritakan Rusli mengingatkan saya pada mantan TKI di desa-desa lain di Banjarnegara. Di Desa Gentansari misalnya, pada tahun 2015, kelompok perempuan mengungkap bahwa selama pendataan kemiskinan di desanya, TKI tidak pernah masuk dalam kolom profesi. Termasuk kondisi rumah besar dan terlihat megah, namun untuk makan sehari-hari penghuninya sering berhutang kesana-kemari. Kondisi para matan TKI ini memang tidak banyak diketahui selain tetangga ataupun warga sekitarnya. Kondisi mereka juga mengingatkan saya akan desa kelahiran saya serta desa-desa lainnya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
Sejarah TKI sendiri menurut Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sudah ada di tahun 1890-an. Seingat saya, tahun 1990-an, TKI di Desa saya pada umumnya ditempatkan di negara-negara Timur Tengah. Ekspektasi saya saat itu, para orang tua yang menjadi TKI tahun 1990-an kelak akan mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi, serta bekerja dengan pilihan bidang yang cukup beragam.
Sayangnya, tidak semua orang tua yang menjadi TKI di tahun 1990-an bernasib baik, apalagi sampai memiliki usaha sendiri setelah tidak lagi bekerja sebagai TKI. Di desa-desa di Kabupaten Cirebon, anak-anak muda pada umumnya telah memiliki impiannya sendiri setelah lulus SMA. Yaitu menjadi TKI, namun tentu saja pilihan negara tujuan mereka berbeda, keahlian berbeda, dan tentu saja berpengaruh pada pilihan bidang pekerjaannya nanti. Kini pilihannya lebih banyak di Hongkong, Taiwan, Korea, dan Jepang. Ketrampilan mereka pun beragam, tidak sekadar pekerja rumah tangga (PRT). Negara-negara tersebut memiliki kebijakan tentang hak-hak tenaga kerja yang berbeda dengan di Timur Tengah. Saat ini akses informasi juga lebih mudah dibandingkan dulu ketika akses informasi masih sangat dibatasi.
TKI Adalah Aset
Bicara TKI saat ini, siapapun sepakat bahwa mereka kini lebih terdidik, ketrampilan beragam, dan ditempatkan di negara tujuan yang juga beragam. Sayangnya setalah mereka tidak lagi menjadi TKI, tidak banyak dari mereka yang memiliki konsep matang dan strategi mengelola usaha setelah tidak lagi menjadi TKI. Kalaupun pada umumnya mereka tidak sampai berpikir soal usaha, setidaknya dari pemerintah termasuk Pemdes memiliki strategi kolaborasi memberdayakan mereka.
Memang tidak semua TKI dan banyak pula yang sudah berhasil memiliki usaha setelah tidak lagi menjadi TKI. Tapi, yang masih bingung mau ngapaian juga tidak sedikit. Termasuk pemuda di desa saya, pada umumnya riwayat hidup mereka seperti ini: Di usia lulus SMA, mereka berangkat menjadi TKI di Taiwan. Satu kali berangkat, saat pulang ke desa akan menikah. Lalu berangkat lagi, isteri dan rumah besarnya ditinggal. Tidak heran, di desa saya banyak ibu-ibu muda tajir karena suami mereka “korea-an” atau “taiwan-an”, demikian istilah yang umum digunakan. Jadi kalau dulu banyak suami dan anak ditinggal istri menjadi TKI, sekarang lebih banyak istri dan anak ditinggal suami mereka menjadi TKI. Namun, keberadaan para ibu muda ini juga masih belum dinilai sebagai kekuatan. Desa masih belum mampu memberdayakan keberadaan mereka. Hingga di satu masa dimana para TKI tersebut sudah habis masa kontrak atau usia yang tidak memungkinkan, mereka tidak lagi memiliki tabungan dan alternatif usaha, mereka bingung. Mereka merasa sangat berat untuk pulang karena tidak ada jaringan pertemanan atau pilihan kerja atau usaha sendiri.
Sayangnya, di banyak desa, angka TKI yang begitu banyak ini masih belum dinilai sebagai peluang. Termasuk di desa yang berpuluh tahun memiliki warga sebagai TKI, namun belum ada satu pun kebijakan untuk memberdayakan mereka. Atau, setidaknya berkolaborasi membangun dan mengelola sebuah usaha bersama dengan modal bersama TKI. Atau ada juga upaya strategi menabung. Menurut Cederroth (1995) tentang “Survival and Profit in Rural Java: The Case of an East Java Villages” yang pernah dikutip oleh Abdul Hakim (2011) dalam penelitiannya yang juga dilakukan di salah satu Desa di Kabupaten Cirebon tentang “Strategi Kelangsungan Hidup Para Perempuan Buruh Migran”. Pemanfaatan tabungan adalah salah satu alternatif strategi bertahan hidup. Bahwa, ketika TKI kembali ke kampung halaman, maka mereka akan kembali memulai usaha baru atau bekerja di desa.
Status sosial lambat laun meredup seiring menurunnya penghasilan mereka di desa. Perubahan lain yang dihasilkan dari migrasi yakni pergeseran status pekerjaan misalnya dari buruh tani menjadi petani penggarap, pedagang atau usaha mandiri lainnya. Untuk menjaga kelangsungan hidup, mereka melakukan berbagai strategi antara lain: pemanfaatan jaringan sosial, mobilisasi anak perempuan, membatasi jumlah anak, menabung, produksi subsistensi dan penghasilan tambahan, menekan biaya hidup, dan pemanfaatan pinjaman. Semakin kuat tekanan ekonomi, maka semakin banyak jenis strategi yang dilakukan. Pada umumnya, strategi yang mereka lakukan, apapun jenisnya, bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup mereka setelah tidak lagi menjadi TKW.
Inisiasi dengan beragam strategi menjaga kelangsungan hidup dan masa depan mantan TKI dan keluarganya, seharusnya bukan lagi menjadi urusan individu maupun kelompok tertentu. Namun, pemerintah khususnya Pemdes sudah memiliki inisiasi mengembangkan peluang tersebut, bahwa SDM mantan TKI sebagai sebuah kekuatan (aset) di desanya. Seperti mendirikan dan mengelola usaha bersama keluarga TKI di desa. Namun hal terpenting adalah merangkul mereka, menumbuhkan kepercayaan TKI dan keluarganya, serta bekerjasama dengan beragam stakeholder.
Upaya mengembangkan aset SDM mantan TKI bukan hanya bertujuan jangka pendek, tapi jangka panjang, terutama setelah TKI tidak lagi bekerja di luar negeri. Dengan adanya modal dan pengelolaan bersama antara keluarga TKI dan pengambil kebijakan di tingkat lokal, diharapkan dapat membantu para TKI khususnya perempuan mantan TKW untuk kembali menjalani kehidupan di kampung halaman.
Saat ini, tentu saja sudah banyak program pemerintah yang memberdayakan purna TKI. Pemdes yang sudah sukses memberdayakan mereka juga tidak sedikit. Tapi masih banyak juga Desa-desa yang belum mampu menangkap peluang keberadaan TKI dan purna TKI sebagai aset SDM. Sehingga belum banyak desa-desa yang mampu memberdayakan mereka atau bekerjasama membangun dan mengelola usaha bersama. Dengan angka migrasi tinggi, menginisiasi membangun dan mengelola usaha bersama TKI, maupun memberdayakan mantan TKI, diharapkan dapat mengurangi angka migrasi. Lebih dari itu, mereka yang sudah tidak lagi menjadi TKI memiliki pilihan usaha bersama di desanya, serta memiliki soft skill tertentu untuk melanjutkan masa depannya dan keluarganya.
====
Keterangan Penulis: Alimah Fauzan adalah Gender Specialist Infest Yogyakarta.
Ping-balik: Rumahnya Besar, Apakah Dia Orang Kaya? Belum Tentu! – My Last Paragraph