Kategori
opini

Prasangka Warga dan Kegagapan Pemerintah Desa

Kenapa Desa kami seperti ini saja tak ada perubahan? Kenapa kelompok perempuan di sana begitu produktif berkarya, namun kami tak memiliki karya apapun? Kenapa di desa kami pemerintah desanya tidak melakukan apapun selain ngurus administrasi? Kenapa desa kami hanya mampu jadi penonton bukan menciptakan pertunjukan kami sendiri, dan sekian kalimat lain mempertanyakan pemeritah desa (Pemdes).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari sejumlah warga dari desa yang berbeda. Mereka bertanya sejak saya sering berbagi informasi pembelajaran Sekolah Desa di sejumlah desa. Sejak itu, curhatan tentang Kades dan perangkat pemerintah desa pun terus bergulir. Tidak sedikit dari apa yang mereka sampaikan tak pernah sampai ke telinga pemerintah desa. Tidak jarang juga yang sudah berusaha menyampaikan atau melakukan kritik, namun ternyata tidak ada respon baik dan tentu saja tidak ada perubahan.

Dari sejumlah warga yang curhat tersebut, beberapa di antaranya berhasil menghubungkan saya untuk berbicara langsung ke salah satu Pemdes. Di balik prasangka warga yang terus bergulir, ternyata ada faktor kegagapan Pemdes dalam menghadapi warganya. Lebih dari itu, ada kegagapan dalam merumuskan program pembangunan baik di Bidang Penyelenggaraan Pemerintah Desa, Pembangunan, Pembinaan, maupun Pemberdayaan.

Kegagapan Pemdes kemudian menutup kemungkinan bahwa ada aset dan potensi yang dimiliki desa dan warganya. Baru-baru ini, untuk kali kedua saya berkunjung ke Dusun Karangdawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Sebuah dusun sunyi dengan infrastruktur yang sangat buruk. Cerita saya tidak selesai pada persoalan insfrastruktur, namun juga kondisi sosial masyarakatnya yang masih memprihatinkan.

Di dusun yang saya maksud, banyak sekali anak-anak putus sekolah. Tidak heran, saat perjalanan menuju dusun tersebut, yang paling sering saya temukan adalah segerombolan anak muda. Mereka sedang nongkrong di pinggir jalan rel kereta api, pacaran di bawah lorong jalan kereta api, nongkrong di jalan dusun, dan sudut lain dusun ini. Tidak masalah jika sekadar nongkrong, namun faktanya memang di sini banyak anak putus sekolah dan menganggur.

Menurut Farida Mahri, sebagian besar mereka yang putus sekolah membantu orang tuanya. Seperti membantu berjualan cobek. Tidak jarang anak-anak itu juga ditinggalkan orang tuanya menjadi buruh migran. Farida Mahri adalah seorang aktivis perempuan yang secara suka rela menggerakkan perempuan dan anak-anak putus sekolah di dusun ini. Salah satunya adalah melalui sekolah alam gratis.

Lalu Dimana Pemdes?

Saat desa-desa lain tengah bersemangat menyambut sekian kebijakan yang menguntungkan desa, di desa ini seakan tak ada yang berubah. Pemdes yang masih gagap dalam menjalankan program pembangunannya. Kegagapan pun kemudian menular pada kelembagaan di desa dan sejumlah kelompok yang ada di desa. Baik itu kelompok perempuan, kelompok wanita tani, pemuda, juga organisasi keagamaan yang ada di desa. Begitu kayanya sumber daya manusia dan alam, namun persoalan anak-anak miskin putus sekolah tak tersentuh. Belum lagi persoalan nikah dini dan sejumlah persoalan sosial lainnya yang menimpa kaum marjinal di desa.

Di Desa lain di Kabupaten Cirebon, saya juga sempat mendapat curhatan dari kelompok perempuannya. Namun saya berkesempatan membicarakannya dengan Pemdes, sejak pertemuan pertama dengan Pemdes, saya pun akhirnya paham bahwa Pemdes masih gagap merumuskan pembangunan di desanya. Kebodohan yang bersekutu dengan ketidakpedulian telah menutup sekian potensi yang dimiliki desa.

Memanjakan Pemdes dengan sejumlah pelatihan di hotel mewah, tidak menjamin bahwa mereka akan bergerak melakukan perubahan. Apalagi hanya sekian jam atau sekian hari dengan metode yang membosankan. Metode pembelajaran yang tidak menggugah kesadaran. Sayangnya, saat ini yang terjadi demikian.

Kan sudah ada Undang-Undang Desa? Yakin bahwa semua Pemdes saat ini paham UUDesa? Jika tidak yakin bahwa mereka semua paham, berarti pendekatan pemerintah melakukan sosialisasi UUDesa masih belum tepat. Terbukti masih banyak Pemdes yang gagap merumuskan program bersama warganya. Buktinya mereka hanya bekerja di ranah layanan adimistrasi, mereka lupa atau entah tidak paham bahwa layanan publik bukan sekadar layanan administrasi. Lebih dari itu ada layanan pengadaan barang publik dan jasa publik yang dibutuhkan warganya.

Satu tanggapan untuk “Prasangka Warga dan Kegagapan Pemerintah Desa”

inilah efek samping yang sangat mengecewakan dari sistem birokrasi di indonesia yang terbilang bobrok, mungkin kebanyakan pemerintah desa di indonesia hanya ingin mendapatkan kemewahan saja.

Harusnya selama kampanye warga sekitar harus di edukasi oleh pihak yang netral dalam menemukan calon kepala desa yang benar-benar ingin mengembangkan desanya. jadi bukan karena si kepala desa menang karena dana kampanye yang tidak terbatas dan memberikan sogokan ke instansi terkait.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *