Batas wilayah seringkali menjadi pemicu konflik wilayah di kawasan perdesaan. Kondisi tersebut bermula dari tumpang tindihnya peta kawasan. Berdasarkan data BPS 2009, dari 70.429 desa sekitar 37 persennya memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Konflik terjadi karena bersinggungan dengan ruang hidup. Juga, tentang kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan atas tanah (kawasan) serta sumber daya.
Seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, negara mengakui hak rekognisi dan subsidiaritas. Kedua asas ini mendasari kewenangan desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri, merencanakan arah pembangunan yang bertujuan untuk kesejahteraan warga.
Baru-baru ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) akan membuat Peta Desa. Rencananya, peta desa ini akan dibuat dengan skala yang lebih besar, 1:5.000. Selain itu, peta ini juga menampilkan informasi desa, infrastruktur, sarana dan prasarana, serta sumber daya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 pasal 6 ayat 2 menunjukkan kewenangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan, diantaranya:
- penetapan dan penegasan batas desa
- pendataan desa
- penyusunan tata ruang desa
Untuk itu, tentang Peta Desa, kita perlu mempertimbangkan sekaligus mencatat beberapa hal:
1. Untuk siapa peta desa?
Ini pertanyaan mendasar, untuk siapa peta desa itu? Artinya, siapa yang bisa memanfaatkan peta desa? Apakah pemerintah, unsur swasta, atau desa? Bisa jadi, ketiga-tiganya bisa memanfaatkan. Tetapi, siapa yang paling penting dan berkepentingan atas pemanfaatan peta desa? Tentu saja desa! Untuk itu, peta desa harus dibuat dan disepakati bersama. Melibatkan warga dalam proses pembuatan hingga penyepakatan sangat penting. Dan, hasilnya, bisa diakses dengan mudah oleh desa dan warga. Menjadi lucu, apabila, warga desa tidak bisa mengakses peta kawasannya sendiri, apalagi memanfaatkannya.
2. Membentuk tim untuk melakukan pembacaan kondisi kawasan desa
Bentuk tim yang terdiri dari unsur pemerintahan dan masyarakat. Semakin banyak unsur masyarakat yang terlibat, tentu akan semakin baik. Tim inilah yang akan melakukan kajian terhadap kondisi wilayah desa, misalnya penentuan batas wilayah desa, kondisi sumber daya, kondisi aset desa, kondisi sosial, hingga melacak sejarah desa serta membaca penanda perubahan di desa. Untuk itulah, semakin banyak orang yang terlibat semakin baik. Mereka yang mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap kondisi desa.
Hasil dari kajian tersebut kemudian dibahas dan disepakati dalam forum musyawarah desa. Tidak berhenti disitu saja, hasil kajian tersebut juga menjadi masukan penting dalam rencana pembangunan di desa.
3. Dalam kondisi apa konsep ruang dan batas wilayah itu penting?
Penentuan batas wilayah desa dan pembuatan peta desa tidak cukup menjadi persoalan administratif. Peta desa dan batas wilayah berarti bicara tentang ruang hidup dan layanan dasar warga. Untuk itu, melakukan pembacaan bersama menjadi penting, misalnya bicara tentang sejarah batasan-batasan kampung, sumber air bersih, sumber kehidupan, pengelolaan sumber daya, mata pencaharian.
4. Menjalin kerjasama antar desa
Kondisi sosial dan wilayah perdesaan di Indonesia mempunyai karakter yang khas. Garis imajiner tentang batas wilayah ditandai melalui ruang hidup bersama, seperti sungai, gunung, dan lembah. Seiring dengan perkembangan desa, batas-batas administratif di satu sisi menjadi batasan ruang hidup bagi komunitas masyarakat. Untuk itu, penting bagi desa untuk menjalin kerjasama antar desa. Kerja sama ini untuk menyepakati soal akses terhadap sumber daya hingga pengembangan kawasan antar desa.