Mana dulu yang harus diutamakan? Melakukan upaya pencegahan terhadap anak putus sekolah terlebih dahulu atau mencegah praktik pernikahan dini?
Untuk kali ke sekian, pertanyaan tersebut muncul saat para ibu di desa tengah berkumpul. Kendati demikian mereka tidak sekadar berkumpul, namun menyengaja berkumpul dan merencanakan sesuatu. Mereka berkumpul dalam rangka berbagi gagasan dan pengalaman masing-masing. Salah satunya berbagi gagasan dalam merumuskan strategi isu penting di desanya. Ada para perempuan yang tergabung dalam organisasi perempuan “Raga Jambangan” dari desa Jatilawang, juga para perempuan dari organisasi perempuan “Sidaluhur Sejati” dari desa Gumelem Kulon, serta para perempuan dari organisasi perempuan “Giri Tampomas” dari desa Gentansari.
Ketiga desa yang sudah disebutkan tadi adalah desa-desa yang ada di wilayah kabupaten Banjarnegara. Masing-masing organisasi perempuan ini baru berdiri di tahun 2015. Desa Gumelem Kulon ada di Kecamatan Susukan. Desa Jatilawang, ada di Kecamatan Wanayasa. Desa Gentansari, ada di Kecamatan Pagedongan. Para perempuan ini juga bukan kumpulan ibu-ibu yang tidak memiliki kesibukan, karena pada dasarnya tidak ada perempuan (khususnya yang perempuan berumah tangga) yang tidak memiliki kesibukan. Selalu saja ada kesibukan, bahkan bisa jadi kesibukan mereka melebihi jam kerja para suaminya. Apalagi jika ibu rumah tangga sekaligus aktifis sosial di desanya.
Isu jaminan kesehatan hingga perkawinan pada usia anak
Kembali lagi ke para ibu yang tengah resah dengan sejumlah persoalan di desanya. Merumuskan jalan keluar atas permasalahan yang tejadi di desanya, seharusnya menjadi hal yang mudah ketika dirumuskan bersama-sama. Namun tidak demikian dengan para ibu ini. Karena di titik tertentu, mereka sendiri merasa heran bahkan “greget” kenapa masalah tersebut sulit sekali dicegah. Jangankan mereka yang hanya sebuah komunitas kecil dan baru lahir, pemerintah desa yang mengaku “telah berupaya semaksimal mungkin”, pun tetap belum berhasil setidaknya mengurangi angka pernikahan dini.
Yah, sebenarnya kegelisahan para ibu ini tidak sebatas isu pernikahan usia anak atau yang lebih dikenal pernikahan dini. Namun juga isu jaminan kesehatan nasional (JKN) bagi warga miskin di desanya, isu pendidikan, isu kenakalan remaja, isu pernikahan dini dan sejumlah isu lainnya. Namun, mereka juga dengan sangat menyadari kapasitas dirinya. Dengan segala keterbatasan kapasitas dan waktu yang telah terbagi dengan kesibukan lain di luar organisasi. Hingga pada akhirnya mereka menyepakati ada dua isu penting yang akan mereka kawal selama tahun 2016.
Isu pertama adalah isu pelaksanaan pembangunan di desanya. Mereka sepakat untuk mengawal pembangunan di desanya, bukan hanya pada tahap perencanaan namun juga penganggaran, pelaksanaan, evaluasi, hingga pertanggungjawaban program pembangunan desa. Sementara isu kedua yang akan dikawal organisasi perempuan ini adalah isu penting yang selama ini berdampak pada kelompok marginal (terpinggirkan), baik kaum perempuan, difabel, lansia, maupun keluarga miskin lainnya sebagai korban atau pihak yang dirugikan.
Selain mengawal pembangunan di desanya, organisasi perempuan di desa Gumelem Kulon telah sepakat mengawal isu jaminan kesehatan bagi kelompok marginal. Mereka bahkan telah bergerak melakukan advokasi jaminan kesehatan, salah satunya bagi para petani penderes di desanya. Informasi perkembangan advokasi mereka dapat dilihat dalam laman Sekolah Desa. Sementara organisasi perempuan di desa Jatilawang dan Gentansari sepakat mengawal isu pernikahan dini. Di desa Jatilawang, sebenarnya persoalan yang juga sangat penting dikawal adalah persoalan anak putus sekolah. Karena tingkat pendidikan warga di desanya masih sangat rendah.
Menurut Tursiyah, salah satu pengurus organisasi Raga Jambangan, minat orangtua untuk menyekolahkan anaknya masih sangat rendah. Pada umumnya, orangtua di desa Jatilawang sudah cukup puas menyekolahkan anaknya sampai sekolah dasar (SD). Alasannya beragam, namun yang paling kuat adalah soal pola pikir tentang korelasi pendidikan dengan kesejahteraan. Seperti yang paling sering dilontarkan para orangtua di antaranya seperti: “percuma menyekolahkan anak tinggi-tinggi, toh akhirnya menikah/toh akhirnya menjadi petani”. Kebanyakan orangtua tidak berminat menyekolahkan anaknya pada tingkat SLTP. Cukup dengan lulusan SD, karena ijazah tidak digunakan untuk pendaftaran kerja sebagai buruh tani.
Tursiyah pernah menyaksikan ketika ada seorang bapak yang datang ke rumah untuk mendaftarkan nikah putrinya yang kelahirannya tahun 2001, lulus SD didaftarkan nikah. Banyak hal yang sudah saya sampaikan berharap agar membatalkan rencana menikahkan anaknya di usia dini, tetapi hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri, dan mengatakan bahwa pendidikan tidak penting. Banyak keluarga yang bahkan rela hanya dinikahsirikan karena belum cukup usia secara Undang-Undang pernihakan. Mereka seringkali mengangkat mitos “Perawan Tua” untuk anaknya usia 15 tahun ke atas yang belum menikah.
Sampai saat ini, menurutnya banyak sekali terjadi kecurangan dengan memalsukan usia agar mereka dapat menikah secara resmi. Meski usia mereka belum sesuai dengan ketentuan undang-undang, namun perubahan data usia tetap dilakukan baik dari tingkat desa atau pun kecamatan dengan menambahkan umur pada syarat dan prasyarat pernikahan.
Pemahaman orangtua di Jatilawang, pendidikan ya untuk mencari kerja. Sementara yang dimaksud mereka dengan pekerjaan adalah pekerjaan nenek moyang, yaitu bertani. Bagi mereka, bekerja sebagai petani tidak membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi. Cukup lulus sekolah dasar dan tak perlu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi anak laki-laki akan menjadi petani. Sementara bagi anak perempuan, akan segera dinikahkan dan membantu suami mengurus rumah tangga sekaligus membantu bertani. Sehingga tidak heran jika di desa Jatilawang banyak sekali pasangan suami isteri yang telah memiliki anak di usia yang masih sangat muda. Bahkan pernah ada satu anak perempuan yang belum genap 14 tahun, dinikahkan dengan lelaki dari luar desa Jatilawang. Tidak sampai satu minggu setelah pernikahan mereka, suaminya diketahui telah beristeri. Akhirnya si anak perempuan yang telah menjadi isteri ini menuntut cerai dan kini statusnya menjadi janda di usia yang belum genap 14 tahun.
Pada tahap menentukan isu penting yang akan dikawal, para ibu di organisasi perempuan ini pada dasarnya faham dan sadar isu pendidikan dan pernikahan dini sama pentingnya. Namun, mana dulu yang akan dikawal? Mulai mengawal isu pendidikan dengan mengurangi angka anak putus sekolah? Atau dimulai dengan mengawal isu pernikahan dini terlebih dahulu? Jangan tanya tentang dampak negatif dari pernikahan dini khususnya bagi perempuan, sejatinya mereka sudah faham. Mereka mendengar dampak pernikahan dini dari bidan desa, sosialisasi yang pernah dilakukan di desa, serta media. Hanya saja, para ibu ini masih membutuhkan strategi yang tepat untuk mencegah praktik pernikahan dini di desanya. Karena sampai saat ini, mereka menilai bahwa sejumlah upaya yang sudah dilakukan ternyata belum berdampak apapun. Ya, pernikahan di usia anak tetap terjadi dan tingkat pendidikan anak-anak di desanya masih tetap rendah.
Strategi pencegahan: melibatkan banyak pihak, termasuk remaja
“Pendidikan Yes! Pernikahan Dini No!”,
“Tunjukin Prestasi Dini, Bukan Nikah Dini!”,
“Katresnan Iku Ngajeni”, dll.
Jargon-jargon tersebut dirangkai secara khusus oleh para remaja dalam rangka kampanye untuk mencegah pernikahan dini. Melalui media-media kreatif, para remaja tersebut merangkai jargon dengan istilah yang mereka rangkai sendiri. Para remaja ini bukan hanya terlibat sebagai objek kampanye, namun juga subjek kampanye. Mereka sendiri yang menciptakan bagaiman bentuk kampanye yang akan dilakukan. Sebelumnya, puluhan remaja tersebut dilatih sebagai pendidik sebaya dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan pernikahan dini yang diselenggarakan oleh Rifka Anisa.
Pelatihan bagi pendidik sebaya tersebut merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Rifka Annisa sebagai upaya pencegahan pernikahan dini. Kegiatan ini merupakan salah satu cara untuk edukasi pendampingan rekan-rekan secara komunitas. Dengan cara seperti inilah dipandang mampu untuk menekan timbulnya remaja yang salah dalam pergaulannya. Hal tersebut diungkapkan oleh Manajer Divisi Pengorganisasian Masyarakat dan Advokasi Rifka Annisa, Thanthowi, saat berbagi pembelajaran dan pengalaman pendampingan mengawal isu “pernikahan dini” di kantor Infest Yogyakarta pada Senin (6 Juni 2016).
Menurut Thanthowi, kekerasan terhadap anak dan meningkatnya praktik pernikahan dini bersumber pada latar belakang remaja yang kurang perhatian dari keluarga, dan pendampingan pribadi. Meningkatnya angka pernikahan dini dikarenakan maraknya kasus sex bebas di kalangan remaja. Kondisi seperti ini dipicu karena pergaulan yang salah. Maka LSM Rifka Annisa dalam kesempatan ini melaksanakan kegiatan life in bersama remaja lainnya dari provinsi Daerah Istimewa Aceh, Makasar, serta DIY dan di Dusun Nglegi, Patuk, Gunungkidul sebagai tuan rumahnya. Harapannya upaya tersebut ke depan akan menekan angka pernikahan dini yang dipicu oleh pergaulan remaja yang salah.
Upaya pencegahan pernikahan dini yang dilakukan Rifka Annisa menggunakan pendekatan ekologi (ecological framework). Sehingga dalam proses pencegahannya, intervensi yang dilakukan bukan hanya pada pihak orangtua dan pemangku kebijakan, namun juga anak-anak. Mulai dari level individu, keluarga, komunitas, instansi dan kebijakan pemerintah. Pengalaman Rifka Annisa di Kabupaten Gunung Kidul, diawali dengan adanya MoU di level kecamatan. Berbekal MoU tersebut, Rifka Annisa kemudian mulai bergerak melibatkan masyarakat dari berbagai instansi baik di tingkat desa/pedukuhan, KUA, Puskesmas/PLKB, PKK, Ormas, Penyuluh Agama, Rifka Annisa sendiri, Muspika, Polsek, dan pihak sekolah. Masing-masing instansi tersebut saling berbagi peran sesuai dengan kapasitasnya.
Adapun rangkaian kegiatan yang telah ditentukan sesuai dengan kapasitas masing-masing instansi, di antaranya seperti di tingkat desa/pedukuhan, kepala dukuh membuat “DEKLARASI DUKUH” untuk menyepakati bersama melakukan pencegahan pernikahan usia anak. Selain itu juga melakukan penyadaran ke warga, screening administrasi perkawinan, melakukan kegiatan konseling bagi keluarga, serta anak yang mau menikah. Di tingakat KUA, dilakukan pendidikan pra nikah dan kursus calon manten, konseling bagi keluarga, anak yang mau menikah, dan penyadaran ke warga. Di tingkat Puskesmas/PLKB, dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi (Kespro), TT Caten, serta konseling perencanaan keluarga. Di tingkat komunitas seperti PKK, organisasi masyarakat (Ormas), dan penyuluh agama, dilakukan pendidikan ke masyarakat terkait dampak pernikahan usia dini. Sementara peran Rifka Annisa sendiri menyelenggarakan pendidikan ke masyarakat, dan membangun komunitas-komunitas community based organization (CBO). Di tingkat Muspika, dilakuakan koordinasi, monitoring dan penyediaan kebijakan. Di tingkat Polsek, dilakukan sosialisasi UUPKDRT, layanan hukum perempuan dan anak korban kekerasan. Sedangkan tingkat sekolah, dilakukan penyuluhan dan pembinaan melalui berbagai kegiatan di sekolah.
Rangkaian kegiatan yang diinisiasi oleh Rifka Annisa dan digerakkan oleh banyak stakeholder, kini telah berhasil mengurangi praktik pernikahan dini. Bahkan kecamatan Gedangsari, salah satu kecamatan di Gunung Kidul kemudian memberi penghargaan pada desa yang telah berhasil mengurangi angka pernikahan dini melalui penghargaan atau award “Nikah Dininya NOL”. Tentunya bagi para RT- RW dan Dukuh atau Lurah ini merupakan kebanggaan tersendiri dalam memimpin masyarakatnya.
Belajar dari apa yang sudah dilakukan oleh Rifka Annisa, bahwa kunci keberhasilan mencegah praktik pernikahan dini di antaranya komitmen dari semua stakeholder, dukungan anggaran dari masing-masing sektor, danya koordinasi, monitoring dan evaluasi, apresiasi yang diberikan ke Dukuh yang berhasil menurunkan angka pernikahan dini. Kendati demikian, dalam proses pelaksanaannya ada saja tantangan. Tantangan tersebut di antaranya adalah pencitraan desa, solusi pernikahan bagi korban Kelahiran Tidak Dikehendaki (KTD), memastikan konseling bagi anak yang mengajukan dispensasi kawin, serta mutasi pemerintah.
Dari proses tersebut, semoga informasi ini menjadi pembelajaran penting bagi para perempuan di desa yang tergabung dalam sebuah komunitas yang peduli pada isu penting di desanya, khususnya upaya mencegah pernikahan di usia anak. Dari rangkaian kegiatan yang dilakukan sejumlah stakeholder, yang juga jarang dilakukan adalah adanya “Deklarasi Dukuh”. Adanya “Deklarasi Dukuh” kemudian memunculkan kesadaran baru di masyarakat tentang dampak perkawinan pada usia anak, serta kesadaran orang tua akan pentingnya pengasuhan dan pendidikan anak, upaya pencegahan dari masyarakat dan stakeholder semakin intens, sehingga berhasil menurunkan angka perkawinan pada usia anak.
[Alimah]
Ping-balik: Perempuan Desa dan Keresahannya pada Praktik Pernikahan Dini | PEREMPUAN BERKISAH