Pembaharu Desa Takalar belajar SMS Gateway

Meretas Sengkarut Masalah Pedesaan

TAKALAR, FAJAR–Langit tampak gelap oleh awan yang menebal sejak siang. Memasuki sore, hujan tumpah. Di dalam Kantor Desa Soreang, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, warga berkumpul. Mereka terlihat aktif berdiskusi menghadap ke whiteboard. Duduk berjejer di atas kursi plastik, mereka antusias. Bertanya, menyanggah, menjelaskan, menggambarkan, hingga menulis langsung di whiteboard. Tak ada kesan lelah dari wajah mereka.

Raut muka menujukkan keseriusan. Sesekali suara tawa mereka berhamburan. Pekat langit di luar sana, tak lagi dipedulikan. Belajar lebih penting. Menyusun anggaran secara bersama-sama, jauh lebih berarti. Ini demi kepentingan bersama. Demikian mereka berkeyakinan.

Di antara peserta diskusi, banyak kaum perempuan yang ikut. Bahkan mereka lebih antusias dibandingkan kaum laki-laki. Mereka bertanya, memberi saran, menceritakan pengalaman selama ini. Penjelasannya teknis. Hambatan yang dihadapi selama ini, hingga besaran anggaran yang dibutuhkan untuk suatu program. Diskusi hidup.

Salah seorang peserta lainnya adalah Kepala Dusun Soreang, Bidollah Daeng Nai’. Ia pensiunan PNS. Ia pensiun sejak 2010 lalu. Sebelum pensiun, dia bekerja di Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Pemerintah Kabupaten Takalar. Jabatan yang disandangnya sekarang, relevan dengan tugasnya dahulu di BPMD. Intinya mengelola dan memberdayakan pemerintahan dan masyarakat desa. Namun kondisi tak idealnya dihadapinya saat awal menjadi kepala dusun. Angggaran disusun dan dipakai berdasarkan keinginan dari atas. Soal teknis penyusunan anggaran, termasuk jenis-jenis program yang relevan di dusun, selama ini sangat jarang melibatkan partisipasi masyarakat.

Kini, ia merasa benar-benar menjadi masyarakat yang sesungguhnya. Ia dilibatkan dalam menyusun program dan mengalkulasi anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan di kampungnya. Perubahan itu benar-benar dirasakannya sejak Desa Soreang menerapkan sistem keterbukaan dan partisipasi dalam hal anggaran.

“Ini bagus sekali. Kita diajari menyusun program dan anggaran. Kita juga, kepala dusun, menilai ini sangat cocok,” ujar Bidollah saat FAJAR mengunjunginya, Sabtu, 5 Desember 2015.

Duduk bersama membahas kepentingan pembangunan desa, bersama-sama menyiapkan alokasi anggaran, dinilainya lebih demokratis. Bukan cuma pembangunan desa secara keseluruhan yang dipikirkan, namun juga hingga dusun. Dusun pun merasa diberi ruang partisipasif yang sangat diapresiasi. Dusun menjadi penyangga program desa. “Kita programkan yang tidak ada di dusun,” imbuhnya.

Anggaran Diumumkan

Safrina, salah seorang perempuan yang menjadi peserta, terlihat berargumen. Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Soreang ini dinilai lebih kritis dalam mengawasi keuangan desa. Bahkan kerap ia menyampaikan langsung kepada kepala desa jika ada sesuatu yang dinilainya janggal.

Desa Soreang memiliki penduduk sebanyak 1.432 jiwa. Ini terdiri atas 410 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 693 jiwa dan perempuan 739 jiwa. Desa ini terdiri atas‎ empat dusun yang meliputi Dusun Taipa, Soreang, Lempong, dan Lampang. Pola penganggaran desa sudah lebih maju. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) dibuat setransparan mungkin. Mereka bahkan membuat spanduk khusus untuk mengumumkan APBDesa beserta nominal anggarannya. Spanduk itu dipasang di kantor desa. Tujuannya agar semua warga bisa melihat langsung besaran anggaran yang masuk ke kampung mereka.

SMS Gateway

Di Desa Soreang, penerapan short message service (SMS) gateway juga mulai diperkenalkan. Perangkat untuk memasukkan data penduduk sehingga ada pengklasifikasian sesuai kesamaan warga yang satu dengan yang lainnya ini dibuat untuk mempermudah identifikasi. Misalnya ketika ada undangan rapat khusus untuk para kepala dusun, maka dengan sekali kirim SMS, semua kepala dusun akan menerima pesan pendek.

Demikian halnya jika ada undangan khusus untuk anggota PKK, karang taruna, petani, pedagang, dan sebagainya, bisa diklasifikasi oleh sistem. Bahkan ketika ada seorang warga yang urgen membutuhkan golongan darah tertentu, maka cukup dengan SMS gateway, semua warga yang memiliki kesamaan golongan darah dengan yang membutuhkan itu, akan menerima SMS sejenis.

Pentingnya Data

Lain lagi pengakuan Nursalam Said, Kades Pa’rapunganta, Kecamatan Polongbangkeng Utara. Sebelum proses penyusunan program dan pembahasan anggaran desa, pendataan dilakukan oleh KPM. Mereka turun melakukan pendataan, mendekati masyarakat, menanyakan banyak hal terkait dengan kondisi dan kehidupan mereka. Termasuk kebutuhan dan potensi ekonomi mereka.

Pa’rapunganta terdiri atas enam dusun, meliputi Dusun Bontosunggu, Batunipa, Lerekang, Massalongko, Massalongko Tinggi, dan Pa’bulaengang. Terdapat 784 KK dengan jumlah penduduk 2.665, terdiri atas 1.321 penduduk laki-laki dan 1.344 penduduk perempuan. Luas wilayahnya mencapai 4,9 kilometer. Dari ibukota Takalar, jaraknya kira-kira 10 kilometer.

Desa ini juga sudah menerapkan prinsip transparansi anggaran. Di Kantor Desa Pa’rapunganta, ada spanduk yang dipasang, tepat di tembok kantor. Di samping kiri aula pertemuan. Statistik anggaran desa terlihat di situ. Bahkan sebelum disahkan, RAPBDes sudah diumumkan. “Begitu ada ada pagu, kita langsung umumkan. Kita masukkan kegiatan, walaupun besaran nilai belum ada,” kata mantan Ketua LPM Desa Pa’rapunganta ini.

Dahulu, sistem penganggaran belum seterbuka sekarang. Setelah bekerja sama dengan Infest, barulah kesadaran pentingnya menyampaikan informasi anggaran kepada publik, dilakukan. Makanya, Nursalam sangat mengapresiasi perubahan yang terjadi di desanya. “Jika tidak didampingi, susah berbuat,” akunya.

Jadi Contoh

Nursalam berharap, desa lainnya juga bisa mencontoh. Sebab, dengan cara seperti itu, kecurigaan masyarakat bisa berkurang. Jumlah, sasaran, dan pelaksana program jelas. Selama ini, ada kesan kepala desa tertutup dalam mengelola anggaran desa. Paradigma ini yang mesti dibenahi.

Mereka akan berpikir panjang ketika masyarakat mengetahui anggarannya. Padahal bisa saja, ada potensi pendapatan asli desa yang justru akan dikembangkan karena melibatkan masyarakat. Cara pandang bahwa kades memiliki kewenangan untuk menujuk siapa yang layak dilibatkan dan mengelola program yang cenderung nepotis, sudah saat diubah.

“Saya pribadi juga semakin terbuka wawasan untuk memulai membangun. Jika tanpa melibatkan masyarakat dan kader pemderdayaan masyarakat, saya tidak bisa mengukur untuk memulai pembangunan,” papar Nursalam.

Saat turun melakukan pendataan, selain memvalidasi jumlah penduduk, juga untuk mengetahui kemampuan ekonomi warga. Juga untuk mengidentifikasi jumlah masyarakat miskin, warga yang tidak punya kartu keluarga, KTP, akte kelahiran, serta mengetahui masyarakat yang masih tinggal di rumah yang tidak layak huni.

“Akhirnya masalah bisa dipetakan. Bersama-sama kita bisa membuat skala prioritas. Pertanian kendalanya apa. Kebutuhan mereka diketahui,” urainya.

Pendataan juga sangat signifikan untuk mengetahui jumlah kelahiran dan yang meninggal. Jika tidak di-update maka jumlahnya tidak akan diketahui. Sebab kelahiran dan kematian merupakan dua hal yang bersifat dinamis. Artinya, jumlahnya tidak pernah benar-benar statis.

Tanpa pendataan, akan sulit mendapatkan informasi aktual mengenai itu. Secara periodik, kader pemberdayaan masyarakat turun melakukan pendataan. Mereka merupakan orang-orang lokal yang sudah saling kenal denan masyarakat. “Yang tahu adalah mereka sendiri. Jika orang dari luar, akan kesulitan. Terlalu lama mengidentifikasi. Kalau kader sendiri, setidaknya mereka sudah ada data awal,” sambungnya.

Pendekatan Kultural

Bahkan Nursalam mencontohkan, jika dalam pendataan ada warga yang pintu rumahnya tertutup, maka KPM sudah tahu benarkah tidak ada orang di dalam atau ada. Jika pendatanya dari luar, begitu melihat pintu terutup, maka selanjutnya akan beralih ke rumah berikutnya.

Untuk KPM ini, jumlahnya memang masih terbatas di Desa Pa’rapunganta. Setiap dusun baru ada satu KPM. Namun dengan melibatkan mereka, pendataan akan lebih akurat. Secara sosial dan kultural, mereka lebih memahami status sosial dan ekonomi warga.

Biasanya, poin pendataan menyangkut kependudukan, pekerjaan, keadaan ekonomi, tingkat kesehatan, kelengkapan sanitasi, punya jamban atau belum, bahkan riwayat penyakit dalam keluarga. Juga mendata jumlah anggota keluarga yang meninggal, kelahiran baru, hingga tingkat pendidikan semua anggota keluarga dalam satu rumah tangga.

“Misalnya jika putus sekolah, akan diketahui tidak sekolah pada saat usia sekolah, karena apa. Selanjutnya, itu yang akan diintervensi,” imbuh Nursalam.

Intervensi Program

Untuk sektor pertanian, setiap kelompok tani harus menunjukkan lahannya sebelum mendapatkan program bantuan. Jika ada kelompok yang tidak punya lahan, maka mereka dilebur. Sebab selama ini, kelompok tani yang betul-betul bertani, seringkali tidak dapat bagian lantaran aparat hanya memprioritaskan siapa yang dekat.

Saat ini di Pa’rapuganta, awalnya hanya ada 30 kelompok tani. Setelah dilebur menjadi 16 kelompok. Mereka betul-betul petani yang digabung. Sementara untuk usaha kecil menengah, KPM juga akan melakukan identifikasi untuk mengetahui hambatan yang mereka hadapi. Kajian dan pembahasan bersama dilakukan untuk memastikan bantuan benar-benar dimanfaatkan efektif.

UKM yang dibantu, hanya mereka yang punya usaha awal. Sebab, kerap ada warga yang dibantu permodalan UKM, namun justru tak tahu mengelolanya lantaran memang tak memiliki usaha rintisan.

Kemiskinan

Hanya saja, masih ada kendala yang dihadapi oleh Desa Pa’rapunganta. Belum semua warga bisa diberikan jalan keluar terhadap persoalan yang mereka hadapi. Daeng Lalla, 60 tahun, misalnya. Kini rumah panggung miliknya sudah reyot, namun belum mendapatkan bantuan berupa bahan atau program bedah rumah.

Pun demikian terjadi dengan Daeng Te’ne, 38 tahun, juga warga Desa Pa’rapunganta. Perempuan kelahiran 1978 dan kini memiliki satu anak ini, juga masih tinggal di rumah yang mirip gubuk. Atapnya masih terbuat dari anyaman rumbia.

Kanopi depan rumah menggunakan terpal usang yang sebagian besar telah bolong. Rumahnya bukan tipe panggung. Lantainya dari tembok kasar dan di bagian belakang masih beralaskan tanah. Pilar penyanggah, menggunakan kayu yang dipotong seadanya. Masih bulat tak teratur, beda dengan kayu lazimnya yang berbentuk balok.

“Belum pernah ada bantuan, Pak,” ujar istri Jafar Daeng Tompo ini. Namun kini, untuk membantu perekonomian keluarganya, Daeng Te’ne memelihara itik petelur. Suaminya, Daeng Tompo, 40 tahun, dengan pekerjaan hanya sebagai buruh distributor pupuk, sangat tidak cukup untuk merenovasi rumah.

Usaha itik petelurnya diharapkan bisa membantu. Namun sayang, sejauh ini, itik-itiknya belum pernah menghasilkan telur. Selain faktor pengetahuan yang minim tentang beternak itik, ia juga tak punya cukup modal untuk membeli pakan. Daeng Te’ne berharap ada bantuan dari pemerintah.

“Pernah ada pendataan. Ditanyakan usahaku. Jadi kujawab itik,” katanya. Memelihara itik petelur baru dijalaninya satu tahun belakangan ini. Jumlahnya 13 ekor. Ia sudah membangun kandang sederhan di belakang rumahnya. Namun belum tertutup sehingga tidak maksimal untuk melindungi itik-itiknya dari terik dan hujan.

Beda lagi yang dialami Daeng Baji, 41 tahun. Ia relatif lebih beruntung dibandingkan Daeng Te’ne. Dahulu, rumahnya sangat reyot. Namun tahun lalu ia mendapatkan program bedah rumah. Awalnya rumah yang ditinggali hanya berlantai tanah, sekarang sudah ubin tembok.

“Dulu sering bocor karena masih atap rumbia,” ujar wanita tiga anak kelahiran 1974 ini. Namun beruntung, ada program bedah rumah dan rumahnya yang terpilih untuk mendapatkannya. Kini rumahnya sudah beratap seng. Hanya saja, untuk kehidupan sehari-hari, Daeng Baji masih kesulitan.

Suaminya, Daeng Liwang, 60 tahun, hanya bekerja sebagai buruh tani. Ia tak punya lahan sendiri untuk digarap. Makanya, untuk membantu ekonomi keluarga, kerap Daeng Baji kerja serabutan, salah satunya membantu warga menjemur padi. Ia berharap ada program yang bisa dikerjakan di rumah untuk mengangkat taraf ekonomi sekaligus membantu suaminya.

Perempuan Terlibat

Program Officer Infest, Syahribulan‎ Palemmai, sedang mereso di halaman Kantor Desa Soreang saat FAJAR menyambanginya. Kebetulan, ia sedang bertugas memberikan Pelatihan Aplikasi Pengelolaan Keuangan Desa.

Materi yang diberikan kepada warga, di luar ekpektasi. Mereka jauh lebih antusias ingin tahu. Semangat mereka sangat tinggi untuk belajar. Ia mengapresiasi dan bersyukur, di tiga desa yang jadi pilot project, perempuan sudah mulai dilibatkan, mulai pendataan, perencanaan, hingga implementasi program.

Termasuk dilibatkan dalam membahas anggaran yang akan dipakai selama setahun. Infest datang untuk mendorong penguatan kapasitas pemerintah desa dalam mengimplementasikan UU Desa. Salah satunya adalah keterbukaan informasi tentang desa, yang di dalamnya termasuk anggaran desa. “Di antara tiga desa, Pa’rapunganta yang paling banyak kelompok perempuan terlibat,” puji Syahribulan.

Kaum hawa ini diibatkan dalam perencanaan desa, pembahasan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes), revisi program, rencana kerja pembangunan desa (RKPDes), hingga penyusunan APBDes‎. “Warga dilibatkan sehingga pemerintahan desa terbuka terhadap dokumen dan anggaran desa. Ini memberikan ruang bagi warga berbicara,” katanya.

Website Desa

Bahkan bentuk transparansi desa itu salah satunya terlihat dengan adanya website desa yang dibuat. Sejauh ini Desa Soreang dan Kalukubodo, sudah yang sudah memiliki website. Bisa diakses di www.kalukubodo.desa.id‎ dan www.soreang.desa.id. Untuk Desa Pa’rapunganta sementara dalam proses dan segera akan diaktifkan juga website-nya.

Jika ada proyek yang dikerjakan, maka warga juga akan memasang papan informasi proyek. Demikian halnya tentang anggaran desa, dibuatkan spanduk yang bisa diakses oleh semua warga. Hanya saja, masih ada kendala terkait kebijakan teknis yang berhubungan dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. “Tanggung jawab pemda membuat 7 perbup dan 1 perda,” katanya. (Ridwan Marzuki)


Sumber: fajaronline.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *