Satu tahun Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diimplementasikan. Dalam kurun waktu itu, banyak energi dan perhatian dicurahkan untuk urusan pengelolaan keuangan. Mulai tahun ini, sebagai bagian dari amanat UU Desa, pemerintah menyalurkan dana desa. Alokasi anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) ini sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa di 434 kabupaten/kota di Indonesia.
Namun demikian, tata kelola keuangan desa tidak berhenti pada urusan uang. Dasar dari asas subsidiaritas ialah pengakuan kewenangan desa oleh negara untuk mengelola urusannya sendiri, termasuk pengelolaan anggaran. Tentu, muara yang dituju ialah kesejahteraan rakyat.
Tata kelola keuangan desa terkait mulai dari perencanaan hingga penganggaran, ketersediaan regulasi dan kualitas sumber daya manusia. Tulisan Darwanto berjudul “Mengukur Akuntabilitas Keuangan Desa” menegaskan tiga prinsip pengelolaan keuangan desa yang tak dapat dipisahkan: transparansi-partisipasi-dan akuntabilitas. Akuntabilitas bisa dilihat secara administratif dan substantif. Administratif menunjukkan sistem pengelolaan keuangan desa sesuai dengan prosedur yang ada. Sementara, substantif menegaskan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, dan realisasi.
Akuntabilitas dapat terwujud apabila didukung oleh dua unsur, transparansi dan partisipasi. Tulisan Sinam M Sutarno berjudul “Dari Desa Wujudkan Indonesia Bersih”, menujukkan pentingnya partisipasi masyarakat. Peran aktif masyarakat dalam pengawasan menjawab keraguan desa dalam mengelola keuangan. Hal tersebut menegaskan, sebagai subjek pembangunan dan berdaulat, desa mampu mewujudkan tata kelola keuangan yang berorientasi kepada kesejahteraan.
Pentingnya pengawasan dan partisipasi masyarakat juga muncul dalam wawancara dua tokoh: Johan Budi SP dan Ahmad Erani Yustika. Keduanya bersepakat bahwa partisipasi masyarakat dan pengawasan mutlak dilakukan, selain kemampuan tata kelola. Tidak sedikit desa ataupun supradesa yang ketakutan untuk mengelola dana desa yang bersumber dari APBN. Padahal, sebagai wujud dari asas subsidiaritas, dana desa merupakan hak desa yang harus dikelola untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.
Tak lupa, kabar inovasi dari desa yang bisa menjadi pembelajaran bagi para pembaca. Desa-desa mulai bergerak untuk memahami pengelolaan keuangan desa yang transparan, akuntabel, partisipatif dan disiplin anggaran. Sehingga, optimisme untuk mewujudkan desa yang berdaya, mandiri dan berdaulat terus menggelora. Terakhir, kami berharap Merdesa mampu menjadi ruang dialog dan berbagi pengetahuan. Selamat membaca
Salam Merdesa.
2 tanggapan untuk “Merdesa Edisi II Mengeja Pengelolaan Keuangan Desa”
Izin unduh. Menarik, gerakan membangun desa akan terwujud seperti halnya gerakan Semauel Undong di Korsel, manakala ada partisipasi masyarakat. Namun seperti apa bentuk partisipasi itu dan bagaimana menggerakkan partisipasi masyarakat, sangat berkaitan dengan modal sosial ala desa yang bersangkutan. Bahwa setiap desa punya tradisi yang berbeda-beda, dan negara punya aturan. Tradisi desa dengan aturan negara perlu disinergikan. Kalau tidak, para pemangku desa khawatir disalahkan, bahkan takut dipenjara. Karena itu sejak perumusan program, pemanfaatan dana dan pertanggungjawabannya mereka perlu mendapat penguatan. Di sinilah kecerdasan sosial dari para fasilitator/pendamping desa sangat diperlukan. Para fasilitator hadir bukan menggurui, tapi menemani membangun desa. “Merdesa”, salah satu tujuannya sejalan dengan itu. Semoga, desa kita makin maju, shg kesenjangan desa-kota bisa dikurangi secara signifikan.
Tentu saja Mas Yunus, silakan diunduh dan disebarluaskan. 🙂