Peserta Sekolah Perempuan bekerjasama membuat peta Aset dan potensi Desa Gentansari, Banjarnegara pada Kamis (30/7) (foto oleh Alimah Fauzan)
Oleh Alimah Fauzan / Staf Gender INFEST
“Dukuh iki langka pohon, umah kabeh lan padet penduduke”
(Dukuh ini tidak ada pohonnya, rumah semua dan padet penduduknya)
Demikian lontaran Sariyah, salah satu peserta Sekolah Perempuan di Desa Gentansari, Kec. Pagedongan, Banjarnegara, saat meminta saya untuk tidak menempelkan kertas origami yang sudah dibentuk pepohonannya. Menurutnya, di dukuh satu itu memang lebih banyak dipadati rumah-rumah warga dari pada pepohonan. Bahkan di rumahnya pun untuk menanam pohon harus di pot bunga. Tetapi dukuh dengan padat rumah warga hanya ada di satu dukuh. Sementara dukuh-dukuh lainnya, lebih banyak pohon-pohonnya. Ada juga perkebunan salak, pisang, singkong, serta pohon pinus di hutan yang selama ini dikelola Perhutani.
Tidak hanya saya yang jelas-jelas tidak begitu paham sudut-sudut di Desa Gentansari, namun pernyataan Sekdes Gentansari yang saat itu membantu membuat peta, pun dibantahnya. Contohnya, ketika Sekdes mengatakan bahwa masjid di desa tersebut hanya ada empat, Sariyah mengatakan ada delapan. Pernyataannya pun di-iya-kan oleh ibu-ibu dan bapak-bapak yang lain. “Ini baru masjid, belum musala-musala yang lebih banyak dari masjid,” jelasnya.
Saat ini peserta Sekolah Perempuan di desa memang tengah menyelesaikan pemetaan aset dan potensi desanya. Selain membuat peta, sebelumnya mereka telah melakukan identifikasi tujuh kategori aset dan potensi di desanya, seperti sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), infrastruktural, kelembagaan, keuangan, sosial, dan spiritual-budaya. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga akan menarasikan apa yang sudah mereka identifikasi dengan lebih detail. Selanjutnya, mereka akan memasuki tahap pemetaan kesejahteraan yang merupakan salah satu tahapan pemetaan apresiatif sosial desa.
Bagi Sariyah dan beberapa teman di Sekolah Perempuan, berkeliling desa sudah menjadi kebiasaannya. “Jalan-jalan,” demikian istilahnya. Sariyah sungguh sangat jeli dan sensitif pada hal-hal yang bahkan perangkat desa laki-laki pun belum tentu sejeli dia. Dalam proses pembuatan peta, tidak sekadar teknik dan seni membuatnya agar indah. Yang lebih penting adalah saat prosesnya terjadi diskusi, klarifikasi, bahkan bagaimana kelompok perempuan sendiri mampu mengatasi konflik internal seperti perbedaan pendapat dalam proses pembuatannya.
Harapannya, pemetaan sosial yang dilakukan kelompok perempuan tidak hanya aspek infrastruktural, namun juga memperhatikan aspek yang dibutuhkan perempuan-perempuan di desa dan kelompok marginal lainnya. Kelompok-kelompok tersebut yang selama ini tertinggal dalam proses pembangunan desa, terutama bagaimana pelayanan dasar di desa yang menyasar mereka; seperti pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Proses ini diharapkan mampu memberi masukan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP Desa) yang responsif gender dan inklusi sosial dapat terwujud.
Ping-balik: Perempuan Bicara Aset Desanya | Perempuan Berkisah