“AKI (Angka Kematian Ibu) di desa ini masih tinggi.” (Kader Posyandu, di salah satu desa di kabupaten Banjarnegara)
“Kebiasaan membuang air besar di sembarang tempat masih banyak dilakukan warga. Di setiap rumah tidak memiliki toilet lebih dari 50% KK. Program jambanisasi belum terlaksana.” (Pernyataan satu-satunya bidan desa, di salah satu desa di kabupaten Banjarnegara)
“Di desa ini masih banyak orang tua yang masih kurang sadar untuk menyekolahkan anaknya. Bagi mereka, tanpa sekolah pun bisa kaya hanya dengan bertani dan mendapatkan keuntungan yang cukup.” (Kelompok perempuan tani, di salah satu desa di kabupaten Banjarnegara)
Satu per satu, para perempuan itu berebut untuk bersuara. Apa yang mereka sampaikan cukup beragam berdasarkan pengalamannya masing-masing. Suara mereka tidak semata bentuk kegelisahan akan kondisi kaumnya, namun lebih jauh mempertimbangkan sisi kesehatan dan pendidikan anak-anak mereka sebagai generasi penerus bangsa. Kendati demikian, tidak jarang suara mereka tertahan dalam forum musyawarah perencanaan dan pengembangan desa (Musrenbangdes). Kehadiran mereka seakan hanya memenuhi kuota. Kendati demikian, para perempuan ini sejatinya tidak ingin dituduh hanya duduk manis. Nyatanya, mereka mampu memunculkan gagasan serta merespon kebutuhan-kebutuhan strategis. Di salah satu desa, bahkan para perempuannya memiliki karakter yang dinamis, pandai dan aktif mengambil peluang dan cukup responsif.
Para perempuan itu adalah perwakilan dari kelompok perempuan di desa baik dari sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi komunitas, pertanian, organisasi keagamaan, serta pengurus PKK. Mereka datang memenuhi undangan peneraan yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Sosial, Agama, dan Kebudayaan (Infest) Yogyakarta pada Rabu-Jumat (25-27/2/2015) di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, dan Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara. Dengan metode Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam, peneraan ini bertujuan mengetahui kebutuhan perempuan dan sejauhmana peran serta partisipasi mereka dalam forum musyawarah desa.

Sosialisasi Sekolah Perempuan di Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara. (Foto: Nurmansali)
Selama tiga hari, Infest Yogyakarta juga melakukan sosialisasi terkait rencana pengembangan “Sekolah Perempuan”. Pelaksanaan “Sekolah Perempuan” adalah bagian dari tahapan prototipe “Perempuan dan Reformasi Desa” yang digagas Infest dengan dukungan Pemerintah Australia melalui skema program Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU).
Di awal diskusi, para perempuan itu tidak mampu membendung rasa ingin tahunya tentang gambaran “Sekolah Perempuan”. Tidak heran jika di antara mereka mulai bercerita pengalaman pelatihan dari program pemberdayaan yang pernah dilakukan di desanya. Dari tiga desa tersebut, jawaban mereka seragam, bahwa selama ini mereka hanya mendapatkan pelatihan ketrampilan (Skill Based Training) seperti pelatihan menjahit, membuat makanan tertentu, menggunakan mesin, dan lain-lain. Seperti diungkapkan salah satu peserta FGD dari pengurus PKK di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara berikut ini:
“Selama ini hanya ada pelatihan menjahit, berlatih membuat makanan ringan, pangsit, kacang telor, dan roti membuat keripik dari hasil pertanian.”

Sosialisasi dan dialog di salah satu desa di Desa Gumelem Kulon, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara tentang “Sekolah Perempuan”. (foto: Nurmansali)
Selain di Gumelem Kulon, kelompok perempuan di Desa Gentansari dan Jatilawang juga mengungkapkan hal serupa. Jika selama ini ada pemahaman tentang bagaimana perempuan acapkali dinomorduakan, maka saat ini masih banyak perempuan yang mengalami perlakuan serupa. Hal ini terwujud dalam aktivitasnya yang tidak lebih dari pada perkumpulan PKK, mengurus posyandu, dan mengurus anak-anak serta suami.
Perempuan Miskin Makin Terjerat Hutang
Sejumlah pelatihan yang menyasar ke perempuan di desa ternyata belum mampu mengubah kondisi mereka menjadi lebih baik. Bahkan, sejumlah perempuan mengaku masih bergantung pada pinjaman dari bank harian serta dari Simpan Pinjam Perempuan (SPP) di desa. Para perempuan miskin di desa ini menghadapi serbuan iming-iming hutang terutama dari bank harian. Mereka terjerat hutang tanpa mampu segera melunasinya. Mereka sering mengambil kesempatan yang ditawarkan dengan berhutang untuk keperluan harian yang tidak produktif. Mereka juga membuat kesepakatan-kesepakatan yang hanya semakin menjerat mereka. Para tukang tagih hutang pun semakin mengancam mereka. Banyaknya pinjaman macet, hanya menjerat perempuan miskin dan semakin ketergantungan.
Bagi masyarakat miskin, bantuan tersebut menjadi “berkah” di tengah desakan kebutuhan hidup serta himpitan kemiskinan yang terus melilit. Namun, di saat bersamaan, pinjaman dapat berubah menjadi beban, khususnya bagi mereka yang berutang karena menggunakan dana bergulir sebagai modal usaha. Mereka terpaksa memikul beban dengan kewajiban membayar hutang serta sanksi moral di antara sesama warga masyarakat.
Sementara itu, pada beberapa kasus, melalui usaha pengelolaan bidang pertanian seperti pengelolaan jenis-jenis tanaman jangka pendek, hasil produksi tidak memberi perubahan signifikan terhadap tingkat kesejahteraan mereka. Sebaliknya, demi melunasi utang yang harus dibayar setiap bulan, padahal masa panen belum tiba, mereka terpaksa menjual tanah miliknya guna melunasi beban hutang. Ibarat bebas dari mulut buaya kemudian masuk ke dalam mulut harimau. Dalam kasus seperti ini, harapan keluar dari lingkaran kemiskinan seakan tidak mencapai tujuan sesungguhnya dari program tersebut.
Saatnya Perempuan Mengawal Reformasi Desa
Selama ini, perempuan menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang menjadi penerima manfaat langsung dari implementasi Undang-undang (UU) nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Selaku penerima manfaat, idealnya kelompok perempuan turut mengetahui adanya regulasi pembangunan dari UU Desa di tingkat desa. Sementara itu, kondisi perempuan saat ini belum mengetahui secara umum tentang aspek-aspek yang akan diimplementasikan melalui UU Desa. Apalagi terkait kemungkinan manfaat yang dapat diterima oleh kelompok perempuan di desa.
Minimnya sosialisasi terkait implementasi UU Desa dan implikasinya bagi masyarakat, menjadi salah satu faktor penyebab ketidaksiapan masyarakat untuk mengawasi dan terlibat dalam pembangunan di desa berbasis UU ini. Terutama sosialisasi kepada kelompok perempuan di desa. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh beberapa kabupaten hanya menyasar kelompok elit, sehingga masyarakat tidak mengetahui nilai manfaat implementasi UU Desa bagi masyarakat secara lebih luas. Perempuan juga belum memiliki kapasitas dan pengetahuan memadai untuk terlibat dalam perencanaan dan pengawasan implementasi pembangunan di desa. Di sisi lain, pemerintah desa masih tertutup kepada masyarakat terkait informasi penting pembangunan. Hal ini pada umumnya ditimbulkan oleh situasi tidak demokratis di desa-desa tertentu yang dikuasai oleh elit.
Jangan heran jika banyak perempuan desa mengeluhkan tentang usulan-usulan mereka banyak yang tidak terealisasi. Seperti yang diungkapkan salah satu kelompok perempuan di Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara berikut:
“Kelompok wanita selama ini belum mendapatkan prioritas untuk program di desa, karena usulannya kalah dengan program yang diajukan dari kelompok bapak-bapak (program pembangunan infrastruktur). Jadi kami hanya menunggu mandat dari desa.”
Begitupun dari sektor pendidikan, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD) serta sektor lainnya. Minimnya sumber informasi tepat tentang pembangunan di desa, juga membuat perempuan desa tidak dapat terlibat mengembangkan diri dalam proses pembangunan di tingkat desa. Padahal, komitmen Pemerintah RI terhadap kesetaraan gender telah ditetapkan sejak tahun 2000. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, pemerintah menginstruksikan kepada semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melaksanakan PUG, kemudian diintegrasikannyaperspektif gender ke dalam perencanaan pembangunan.
Berdasarkan wawancara mendalam, sejumlah kelompok perempuan bahkan masih belum mengetahui perkembangan terbaru tentang UU Desa karena minimnya sosialisasi kepada kelompok masyarakat dan perempuan di desa. UU Desa dapat meningkatkan tingkat partisipasi perempuan guna lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan perempuan di pedesaan. Persoalan perempuan yang akan dihadapi oleh UU Desa adalah kurangnya partisipasi perempuan dalam berbagai forum pertemuan musyawarah desa.
Dari beragam studi terungkap bahwa prosentase perempuan di dalam musyawarah perencanaan dan pengembangan desa tidak pernah lebih dari 20 persen. Situasi problematis ini dihadapi oleh UU Desa yang mewajibkan masyarakat desa untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan desa dan musyawarah yang tertuang dalam pasal 68. Partisipasi mengandung konten kesetaraan, dimana suara dalam pertemuan dinilai sebagai keterlibatan warga negara tidak melihat dari jenis kelamin.
Namun, di sisi lain, kendala dari perempuan yang telah hadir dalam forum adalah kapasitas pengambilan keputusan dan kontribusi perempuan dalam forum yang seharusnya lebih ditingkatkan, sehingga perempuan mampu merespon kebutuhan-kebutuhan strategis di dalam forum. Tingginya AKI di pedesaan lebih tinggi di perkotaan akibat tingginya disparitas pelayanan kesehatan antara perkotaan dan pedesaan khususnya dalam persalinan dan pascapersalinan.
Dengan adanya UU Desa, pemerintahan desa wajib berpartisipasi dalam pencegahan kematian ibu dan bayi, seperti ikut membantu dalam pengadaan fasilitas-fasilitas kesehatan dan infrastruktur pedesaan sebagai upaya pelayanan. Lahirnya UU Desa sangat berdampak kepada pola pembangunan sehingga harus dipikirkan benar-benar kesiapan kelengkapan perangkat dan pengawasan masyarakat.
Pendidikan Kritis Melalui Sekolah Perempuan Desa
Dari sekian persoalan perempuan, penting sekali membangun kesadaran kritis masyarakat khususnya perempuan terutama untuk mengawal reformasi desa. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengembangkan Sekolah Perempuan di desa. Cara ini juga telah banyak diterapkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik di Indonesia maupun dunia. Melalui sekolah perempuan, dimana adanya penguatan kapasitas bagi perempuan miskin agar terbangun kesadaran kritisnya. Kesadaran kritis perempuan dibangun dengan pendidikan adil gender dan kepemimpinan perempuan. Harapannya perempuan miskin semakin kritis, berdaya dan mandiri dalam memperjuangkan nasibnya mencapai kesejahteraan dan keadilan juga bisa berpartisipasi dalam pembangunan.
Tahun ini, Sekolah Perempuan di desa juga akan dilakukan oleh Infest Yogyakarta. Sebagai salah satu LSM yang mengawal implementasi UU Desa, Infest menggagas program “Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa ” yang menyasar perempuan di desa. Program ini terbagi dalam beberapa kegiatan, yaitu Sekolah Perempuan, kolaborasi alumni Sekolah Perempuan dengan rencana pembangunan desa, serta pengadaan layanan dasar di tingkat desa. Melalui Sekolah Perempuan yang dikembangkan Infest Yogyakarta, para perempuan desa akan dibekali strategi dan pengetahuan terkait dengan pentingnya terlibat aktif dalam perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan desa.

Kandidat Peserta Sekolah Perempuan di Desa Jatilawang, Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara. (Foto: Nurmansali)
Pada Sekolah Perempuan, perempuan desa akan diarahkan pada penguatan paradigma perempuan melalui materi pendidikan kritis perempuan. Selain itu juga diberikan ketrampilan berupa strategi pengelolaan dan pendataan potensi desa. Kemampuan berkomunikasi, teknik advokasi dan negosiasi juga menjadi bahasan yang penting pada Sekolah Perempuan ini. Politik anggaran juga harus dikuasai oleh perempuan desa guna melakukan pembacaan atas anggaran desa dan kemanfaatannya bagi masyarakat. Sementara itu, untuk “Kolaborasi Alumni Sekolah Perempuan dengan Rencana Pembangunan Desa”, kegiatan ini mengarah pada hasil nyata dari Sekolah Desa. Dimana kelompok perempuan akan mampu membuat peta sosial desa yang bisa dijadikan acuan dalam Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes).
Kelompok perempuan yang telah memiliki peta sosial dan berbagai usulan pembangunan pro terhadap perempuan, akan duduk bersama dengan perangkat desa. Mereka melakukan lokakarya penyusunan RKPDes dan membentuk kelompok kerja perempuan. Nantinya, mereka akan menjadi penyeimbang pemerintah desa dalam melakukan kajian-kajian perencanaan pembangunan di desa. Kegiatan ini akan menghasilkan RKPDes yang pro terhadap kepentingan perempuan di desa dan keluarnya program-program desa yang menyasar pada kelompok perempuan. Adapun dengan “Pengadaaan Layanan Dasar di Desa”, kegiatan ini dilakukan untuk membantu pemerintah desa dalam menggali potensi desa yang bisa digunakan untuk memberikan layanan dasar kepada masyarakat desa. Pendidikan, kesehatan, air bersih dan lain-lain, diupayakan menjadi program pemerintah desa. Dengan menggali potensi yang ada di desa, layanan dasar masayarakat ini diharapkan bisa terlayani dengan baik. Harapan dari kegiatan ini adalah tersedianya layanan dasar masyarakat yang bisa dikelola oleh kelompok perempuan.
Oleh: Alimah Fauzan
(Penulis adalah Gender Specialist Officer (GSO) Infest Yogyakarta)
Ping-balik: Lokakarya Perempuan dan Pembaharuan Desa di Banjarnegara | Sekolah Desa
Ping-balik: Menemukenali Aset dan Potensi Desa Jatilawang | Sekolah Desa
Ping-balik: Perempuan Pembaharu Desa Bicara Kesetaraan Gender hingga BUMDesa | Sekolah Desa
Ping-balik: Perempuan Desa Bicara Kesetaraan Gender hingga BUMDesa | Perempuan Berkisah
Ping-balik: Darurat Pendidikan Kritis Bagi Perempuan di Desa | Perempuan Berkisah