Kategori
opini

Strategi Mewujudkan Catur Sakti Desa Batuampar

Seburuk apapun tempat yang kau diami, pasti akan ada potensi yang perlu kau perjuangkan untuk membuat tempat itu lebih hidup.

Ditulis oleh Saiful Hidayat*

Beberapa tahun belakangan, desa menjadi objek yang lebih diprioritaskan oleh pemerintah. Khususnya dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Keberadaan desa mulai dipandang bukan lagi sebagai objek kapitaslisasi semata. Namun lebih dari itu, desa telah diberi ruang dan kesempatan dalam bentuk desentralisasi yang bersifat swadaya dan otonom. Tentunya, dalam upaya mewujudkan desa yang berkembang dan maju dengan potensi-potensi yang dimiliki desa itu sendiri.

Dukungan pemerintah melalui Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah menumbuhkan semangat baru bagi saya. Saya membayangkan bagaimana saya mampu membangun desa saya sendiri, setidaknya akan ada perubahan berarti bagi masyarakat desa. Untuk mewujudkan hal tersebut, saya pun mulai mencoba menganalisanya, yaitu Batuampar. Langkah awal ini saya lakukan agar lebih mudah dalam memberdayakan masyarakatnya untuk menggali aset dan potensi desa baik dari Sumber Daya Alam (SDA) atau pun Sumber Daya Manusia (SDM)-nya. Sehingga tujuan utama untuk membangun desa yang kuat, adil, makmur dan sejahtera akan lebih mudah.

Sekilas tentang Desa Batuampar

Desa Batuampar adalah salah satu desa dari Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumenep (2015), Desa Batuampar memiliki luas 6,51 km2 yang terdiri 5 dusun yaitu Perengan Laok, Perengan Daya, Brumbung, Somalang, dan Semah, serta terdiri dari 5 Rukun Warga dan 12 Rukun Tetangga dengan jumlah penduduk 5.906 yang terdiri dari laki-laki: 2787 dan perempuan: 3.119.

Secara geografis, desa ini merupakan daerah paling barat (bagian tengah Pulau Madura) dari Kabupaten Sumenep yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Pamekasan. Sehingga jarak antara desa ke Kota Sumenep terbilang jauh, yaitu sekitar 45 km dan 11 km menuju ke Kecamatan Guluk-Guluk. Jarak yang jauh tersebut, membentuk tatanan sosial dan budaya yang berbeda dengan masyarakat Sumenep pada umumnya. Perbedaan yang sangat jelas bisa kita temukan pada aksen bahasanya. Namun, karena desa ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kerajaan Kota Sumenep, maka budaya khas Sumenep masih sering kita jumpai dalam berbagai aktifitas kesehariannya.

Secara umum, kedua budaya tersebut lebih didominasi oleh budaya Islam. Hal ini terjadi karena 100% masyarakat Batuampar menganut agama Islam. sehingga kegiatan setiap harinya tidak jauh dari syariat dan norma keislaman. Bahkan tempat ibadah seperti mushalla atau langghar adalah tempat yang paling sering digunakan untuk bersosial seperti menerima tamu dan acara lainnya. Maka akan sangat wajar jika kita akan jumpai mushalla hampir di depan setiap rumah masyarakat.

Politik dan Ekonomi

Kekerasan dan relijiusitas adalah kata yang cukup pantas untuk menggambarkan kultur sosial masyarakat Madura. Padahal, kata tersebut dalam maknanya sangat berbeda dan berseberangan antara satu sama lain. Relijiusitas dibangun oleh para petinggi agama seperti kiai, ustad, dan kaum santri. Sedangkan kekerasan diproduksi oleh sekelompok masyarakat yang sering melakukan aksi kriminalitas yang kemudian disebut dengan ‘bhejingan’ atau blater. Meskipun dua kelompok tersebut berseberangan, namun hubungan antar keduanya bisa dikatakan sangat erat dan harmonis. Artinya, hubungan yang terjalin bukan sebagai aktor dan musuh. Karena secara strata sosial kiai masih berada di atas blater.

Dalam konteks politik, kiai dan blater mempunyai pengaruh yang besar dengan perannya masing-masing. Sebagai contoh dalam politik kekuasaan dan kepemerintahan pengaruh kiai sangat penting dalam membentuk stigma masyarakat bahwa yang didukung kiai pasti akan baik dan mampu memimpin daerah tersebut. Sedangkan pengaruh blater dianggap penting karena blater dipercaya mampu dan sanggup menjaga keamaan desa. Perlu diketahui, bahwa salah satu tolak ukur kesuksesan pemimpin diberbagai daerah di Madura yaitu aman. Aman yang dimaksud disini yaitu aman dari pencurian dan perampokan.

Realita politik di atas, juga dianut oleh desa Batuampar. Namun, karena desa Batuampar masih mempunyai kekerabatan erat dengan Kerajaan Sumenep, maka aktor penting lainnya yang juga sangat berpengaruh, yaitu keturunan kerajaan atau sering disebut ‘Kelauarga dhalam’. Bahkan pengaruhnya lebih besar dari kiai dan blater sekalipun. Hal ini terbukti dengan Cacatan sejarah pemegang tampuk kekuasaan Desa Batuampar yang masih didominasi oleh keluarga dhalam.

Dalam konteks perekonomian, dominasi penggerak ekonomi di Madura adalah dari sektor pertanian, nelayan, peternakan, dan buruh migran. Desa Batuampar juga tak jauh beda dengan daerah lainnya. Masyarakatnya juga bertani tembakau dan padi sebagai komoditas andalan, berternak walau hanya sepasang hewan, berdagang dipasar dan toko, menjadi PNS, merantau sebagai buruh migran, dan lain-lainnya. Dan yang menarik, di salah satu dusunnya ada kecenderungan yang sangat tinggi pada masyarakatnya untuk berwirausaha. Hal ini tercermin dari dominasi masyarakatnya sebagai pedagang di berbagai pasar tradisional seperti Pasar Pakong, Pasar Ganding, Pasar Prenduan, Pasar Guluk-guluk, dan tentu saja Pasar Batuampar.

Potensi Desa

Terlepas dari banyaknya masalah yang dihadapi kebanyakan desa, dalam analisis ini saya lebih tertarik untuk melupakan sejenak masalah yang begitu komplek tersebut. Saya sendiri lebih tertarik untuk menggali potensi yang tersembunyi atau pun sudah tampak di suatu desa. Upaya ini sebagai penyemangat dalam melewati kemungkinan berbagai tantangan dan hambatan dalam membangun desa.

Berdasarkan data dan pendapat pribadi, ada suatu hal berharga yang perlu ditingkatkan untuk menjadikan Desa Batuampar sesuai Catur Sakti Desa, yaitu “bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya.

Adapun beberapa potensi Desa Batuampar berdasarkan hasil pemetaan saya adalah sebagai berikut:

  • Warisan Budaya

Dalam historis munculnya peradaban di Madura, desa Batuampar merupakan bagian dari beberapa daerah yang didiami oleh para penguasa Madura bagian timur (khusunya Sumenep dan Pamekasan). Peradaban desa Batuampar dimulai dari seorang kiai yang juga dukun K. Abdullah (Bindara Bungso). Dia adalah keturun ke-6 dari Pangeran Bukabu (Adipati ke-7 kerajaan Sumenep). Juga, bindara bungso merupakan orang tua dari Bindara Saod (Adipati Sumenep 1750-1762).

Bindara bungso sangat dikenal masyarakat Batuampar sebagai orang yang sakti dan kramat. Sehingga, semasa hidupnya dia dimuliakan dan dijadikan tetua di Desa Batuampar. Bahkan, sampai saat ini tempat peristirahan terakhirnya masih dianggap sangat kramat dan sering dikunjungi orang penting seperti Gus Dur, Megawati, Kanjeng Dimas, dll.

Selain potensi dari sosio-historis, ada warisan budaya yang berbentuk masjid. Masjid yang diberi nama Masjid K. Abdullah (karena bersebelahan dengan Makam K. Abdullah) ini, berusia sekitar 400 tahun lebih. Namun, ada sebuah cerita yang dipercaya bahwa masjid itu datang sendiri atau masyarakat setempat tidak pernah tahu siapa yang membuat.

  • Potensi Alam

Dari luas tanah desa Batuampar, hanya 1/3 luas tanahnya yang digunakan untuk pembangunan. Selain itu, digunakan untuk pertanian dan dibiarkan saja karena tanah bukit yang lumayan sulit air. Menurut teman dari Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Bangkalan, kualitas hasil pertanian seperti padi, jagung, dan tembakau di Desa Batuampar termasuk bagus dan berkualitas. Hanya saja, penilaian tersebut belum menyeluruh dan optimal.

Potensi pertanian di Desa Batuampar sangat bisa dioptimalkan dengan berbagai edukasi, baik di tingkat petaninya maupun dukungan dari pemerintah setempat. Selain itu, Batuampar juga bisa dibentuk menjadi desa wisata dengan konsep gardu pandang pada ketinggian bukitnya yang bisa melihat kota pamekasan dari atas.

  • Sumber Daya Manusia (SDM)

Dalam beberapa dekade, pemuda Batuampar sudah mulai melek akan pentingnya pendidikan. Sehingga sampai saat ini sudah banyak sarjana maupun mahasiswa dari berbagai bidang yang bisa dikoordinasikan untuk menjadikan desanya berdaya, makmur, dan bermartabat.
Beberapa potensi di atas saya rumuskan secara garis besar dan kemungkinan dampaknya sangat baik untuk seluruh stakeholder di desa Batuampar. Lingkungan masyarakat dan cara pandang yang cukup open-minded juga menjadi modal suksesnya perubahan yang dicita-citakan.

Tantangan

Saya meyakini bahwa setiap perjuangan dalam perubahan pasti akan ada tantangan, seperti penolakan dari warga yang mungkin terjadi. Kemungkinan tersebut perlu juga diidentifikasi sebagai modal antisipasi dalam meminimalisasi kegagalan dan perubahan.

Adapun identifikasi hambatan dalam analisis sosial yang saya temukan yaitu:

  • Pemuda sebagai penerus aktor desa masih sibuk akan tugasnya masing-masing. Ada yang masih kuliah dan ada yang kerja, sehingga untuk diajak kolaborasi dan fokus membangun desa masih terbatas akan waktu kumpul inten yang penting.
  • Stigma masyarakat untk mengurus desa masih sangat minim. Mereka beranggapan bahwa yang berhak mengurus desa hanyalah perangkat desa saja. Sehingga yang terjadi, masyarakat jarang sekali terlibat dalam pembangunan desa.
  • Gap trah antara keturunan kerajaan dan orang biasa-biasa saja masih terlihat jelas. Sehingga untuk melakukan aksi penting dalam perubahan seringkali canggung karena menganggap kurang berwenang mengurus daerah atau desa tersebut.
  • Kepercayaan masyarakat akan mitos yang didistribusi dari zaman dulu sampai saat ini masih menjadi penghalang dalam melakukan suatu hal. Misal, Asta K. Abdullah tidak banyak perubahan, bahkan terkesan dibiarkan. Itu karena ada cerita yang mengatakan bahwa arwah makam disana tidak senang kalo diperindah dan dirawat.
  • Dukungan dari pemerintah desa sangat minim. Contoh, pengajuan lapangan olahraga seperti bulutangkis, footsal, sepakbola, volly tidak ada yang terealisai satupun.
  • Kepercayaan generasi senior akan pemuda masih minim. Mereka menganggap pemuda kurang paham akan dan tidak perlu diikutsertakan dalam pembuatan keputusan.

Itulah beberapa hambatan yang belum tentu menjadi hambatan. Semua yang disebutkan diatas hanyalah pengalaman saya sebagai seorang yang tinggal dan merasakan langsung suasana desa Batuampar dari berbagi segi pandang yang berbeda.

Dampak Sosial

Dampak dari setiap perubahan pasti akan terjadi. Entah itu perubahan yang berdampak baik atau buruk tergantung pada cara kita mengelola perubahan tersebut. Tapi, saya yakin perubahan yang diharapkan dalam perubahan di desa Batuampar yaitu perubahan yang lebih baik. Dampak sosial yang saya harapkan yaitu sesusai dengan Catur Sakti Desa: Bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya. Atau setidaknya ada perubahan kecil yang nantinya akan sangat penting sebagai pedoman kehidupan. Seperti perubahan cara pandang, masyarakat yang open minded, berdaya infomasi luas, dll-nya.

Tindakan Strategis

Untuk mewujudkan perubahan yang berdampak sosial baik, maka perlu direncakan berbagai tindakan strategis demi kesuksesan perubahan tersebut. Ada beberapa langkah strategis yang bersifat inklusif, pemberdayaan, maupun keamanan yang akan saya tawarkan untuk tercapainya optimalisasi potensi desa Batuampar. Di antaranya:

  • Merangkul pemuda Batuampar dari berbagai bidang konsentrasi kelimuawan untuk bekerja sama mewujudkan tujuan utama. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali organisasi pemuda ISTIMBAT (Ikatan Santri dan Pemuda Batuampar) atau sekedar membentuk perkumpulan kecil dari setiap mahasiswa Batuampar untuk membicarakan nasib desa dikemudian hari.
  • Pendekatan keislaman dirasa sangat penting untuk menarik simpati dan dukukungan dari berbagai kalangan, terutama untuk menumbuhkan kepercayaan generasi senior pada junior atau pemuda. Hal ini bisa dilakukan dengan cara membuat event keagamaan seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, Panitia Qurban, dll.
  • Pendekatan secara ekonomi juga perlu diterapkan sebagai penyemangat dan keterlibatan langsung masyarakat dalam memajukan desanya. Hal ini bisa dilakukan dengan program Simpan Pinjam, bank sampah, budidaya secara kolektif, dll.
  • Politisasi keamanan memang marak terjadi di Madura termasuk Batuampar. Untuk itu perlu adanya peran masyarakat yang mengawal langsung ketertiban dan keamanan desa. hal ini bisa dilakukan dengan mengadakan jadwal ronda bergilir yang selama ini tidak pernah ada karena masyarakat sudah menggantungkan nasib keamanan pada pemimpinnya yang mempunyai blater.
  • Mengoptimalkan potensi yang ada di Batuampar dengan cara mengelola Warisan budaya Masjid dan makam K. Abdullah sebagai tempat destinasi wisata religi. Sumber daya alam (SDA) meliputi: pertanian agar rakyat Batuampar swasembada pangan dan ekonomi meningkat, keindahan alam sebagai destinasi wisata gardu pandang di Gunong Kenek, serta potensi SDM yang tak ternilai.

Saya berharap strategi ini dapat mewujudkan Catur Sakti Desa, yaitu “bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya. Karena bagi saya, meskipun saat ini posisi saya masih di luar daerah saya, namun saya sadar bahwa seburuk apapun tempat yang saya  diami saat ini, pasti akan ada potensi yang perlu diperjuangkan untuk membuat tempat itu lebih hidup. Tempat itu adalah desa kelahiran saya sendiri.

=========

* Saiful Hidayat adalah mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Saiful Hidayat merupakan peserta Program Sekolah Sore yang diselenggarakan oleh Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta. Tulisan ini merupakan analisa atas kondisi sosial di desanya, serta tawaran strategi pembangunan di desanya. Tulisan juga sudah dipresentasikan di forum sekolah sore.

Sumber Gambar: Desa Batuampar

Kategori
opini

Prasangka Warga dan Kegagapan Pemerintah Desa

Kenapa Desa kami seperti ini saja tak ada perubahan? Kenapa kelompok perempuan di sana begitu produktif berkarya, namun kami tak memiliki karya apapun? Kenapa di desa kami pemerintah desanya tidak melakukan apapun selain ngurus administrasi? Kenapa desa kami hanya mampu jadi penonton bukan menciptakan pertunjukan kami sendiri, dan sekian kalimat lain mempertanyakan pemeritah desa (Pemdes).

Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul dari sejumlah warga dari desa yang berbeda. Mereka bertanya sejak saya sering berbagi informasi pembelajaran Sekolah Desa di sejumlah desa. Sejak itu, curhatan tentang Kades dan perangkat pemerintah desa pun terus bergulir. Tidak sedikit dari apa yang mereka sampaikan tak pernah sampai ke telinga pemerintah desa. Tidak jarang juga yang sudah berusaha menyampaikan atau melakukan kritik, namun ternyata tidak ada respon baik dan tentu saja tidak ada perubahan.

Dari sejumlah warga yang curhat tersebut, beberapa di antaranya berhasil menghubungkan saya untuk berbicara langsung ke salah satu Pemdes. Di balik prasangka warga yang terus bergulir, ternyata ada faktor kegagapan Pemdes dalam menghadapi warganya. Lebih dari itu, ada kegagapan dalam merumuskan program pembangunan baik di Bidang Penyelenggaraan Pemerintah Desa, Pembangunan, Pembinaan, maupun Pemberdayaan.

Kegagapan Pemdes kemudian menutup kemungkinan bahwa ada aset dan potensi yang dimiliki desa dan warganya. Baru-baru ini, untuk kali kedua saya berkunjung ke Dusun Karangdawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon. Sebuah dusun sunyi dengan infrastruktur yang sangat buruk. Cerita saya tidak selesai pada persoalan insfrastruktur, namun juga kondisi sosial masyarakatnya yang masih memprihatinkan.

Di dusun yang saya maksud, banyak sekali anak-anak putus sekolah. Tidak heran, saat perjalanan menuju dusun tersebut, yang paling sering saya temukan adalah segerombolan anak muda. Mereka sedang nongkrong di pinggir jalan rel kereta api, pacaran di bawah lorong jalan kereta api, nongkrong di jalan dusun, dan sudut lain dusun ini. Tidak masalah jika sekadar nongkrong, namun faktanya memang di sini banyak anak putus sekolah dan menganggur.

Menurut Farida Mahri, sebagian besar mereka yang putus sekolah membantu orang tuanya. Seperti membantu berjualan cobek. Tidak jarang anak-anak itu juga ditinggalkan orang tuanya menjadi buruh migran. Farida Mahri adalah seorang aktivis perempuan yang secara suka rela menggerakkan perempuan dan anak-anak putus sekolah di dusun ini. Salah satunya adalah melalui sekolah alam gratis.

Lalu Dimana Pemdes?

Saat desa-desa lain tengah bersemangat menyambut sekian kebijakan yang menguntungkan desa, di desa ini seakan tak ada yang berubah. Pemdes yang masih gagap dalam menjalankan program pembangunannya. Kegagapan pun kemudian menular pada kelembagaan di desa dan sejumlah kelompok yang ada di desa. Baik itu kelompok perempuan, kelompok wanita tani, pemuda, juga organisasi keagamaan yang ada di desa. Begitu kayanya sumber daya manusia dan alam, namun persoalan anak-anak miskin putus sekolah tak tersentuh. Belum lagi persoalan nikah dini dan sejumlah persoalan sosial lainnya yang menimpa kaum marjinal di desa.

Di Desa lain di Kabupaten Cirebon, saya juga sempat mendapat curhatan dari kelompok perempuannya. Namun saya berkesempatan membicarakannya dengan Pemdes, sejak pertemuan pertama dengan Pemdes, saya pun akhirnya paham bahwa Pemdes masih gagap merumuskan pembangunan di desanya. Kebodohan yang bersekutu dengan ketidakpedulian telah menutup sekian potensi yang dimiliki desa.

Memanjakan Pemdes dengan sejumlah pelatihan di hotel mewah, tidak menjamin bahwa mereka akan bergerak melakukan perubahan. Apalagi hanya sekian jam atau sekian hari dengan metode yang membosankan. Metode pembelajaran yang tidak menggugah kesadaran. Sayangnya, saat ini yang terjadi demikian.

Kan sudah ada Undang-Undang Desa? Yakin bahwa semua Pemdes saat ini paham UUDesa? Jika tidak yakin bahwa mereka semua paham, berarti pendekatan pemerintah melakukan sosialisasi UUDesa masih belum tepat. Terbukti masih banyak Pemdes yang gagap merumuskan program bersama warganya. Buktinya mereka hanya bekerja di ranah layanan adimistrasi, mereka lupa atau entah tidak paham bahwa layanan publik bukan sekadar layanan administrasi. Lebih dari itu ada layanan pengadaan barang publik dan jasa publik yang dibutuhkan warganya.

Kategori
opini

Gerakan Agar Orang Miskin Tidak Mudah Sakit

Pelayanan kesehatan dasar yang paling prinsipil berada di tengah komunitas

Awal tahun ini kembali muncul kabar duka meninggalnya seorang bayi yang baru dilahirkan seberat 2,6 kg, di RSU Aceh Singkil, Aceh. Meninggalnya dikabarkan karena perawat di RSU Aceh Singkil tidak menangani secara profesional. Salah satunya dikarenakan tidak adanya petugas medis (perawat) yang bisa pasang infus bayi. Sebelumnya, kabar kematian seorang anak balita di Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Jateng). Balita Icha Selfia diduga meninggal dunia lantaran ditolak pengobatannya di Puskesmas.

Hati siapa yang tidak perih menyaksikan kematian seorang balita, apalagi diduga karena kelalaian dari pelayanan kesehatan terdekat, atau mungkin karena orang tua yang teledor, pemerintah yang kurang responsif, atau bisa jadi karena tidak adanya kesadaran masyarakat sekitar membantu keluarga bayi. Terlepas bahwa itu sudah takdir Tuhan, seharusnya ada gerakan dari warga sekitar, sebagai upaya dini untuk menolong keluarga si bayi atau siapapun yang tengah menghadapi kondisi kritis.

Berdasarkan pengalaman pendampingan di beberapa desa baik di Jawa maupun luar Jawa, pemerintah desa dan masyarakat pada umumnya masih gagap menghadapi situasi darurat ketika ada warganya yang sakit. Masyarakat juga pada umumnya masih berpikir bahwa pelayanan itu selalu berada di rumah sakit maupun dalam Puskesmas. Padahal, sebenarnya pelayanan kesehatan dasar yang paling prinsipil berada di tengah komunitas. Tidak banyak yang berpikir bahwa pelayanan kesehatan secara tradisional misalnya, bisa diupayakan oleh masyarakat itu sendiri.

Lalu bagaimana caranya warga mampu melindungi dirinya sendiri dan juga lingkungan sekitarnya? Begitu banyak pembelajaran positif yang telah dilakukan sejumlah komunitas di desa-desa baik Jawa maupun luar Jawa. Pembelajaran ini juga bisa diterapkan di desa-desa lain.

Pengelolaan Pelayanan Kesehatan Berbasis Desa

Saat ini belum semua desa mengenal praktik pengelolaan kesehatan berbasis masyarakat. Pengelolaan kesehatan ini salah satu tujuannya adalah mencoba menemukenali kebutuhan dasar masyarakat tentang kesehatan. Selain itu, membantu masyarakat dalam mengatasi kesulitan memperoleh pelayanan kesehatan dasar, yang setiap saat dibutuhkan. Yang juga sangat penting adalah meningkatkan kepercayaan diri masyarakat dalam berpartisipasi dan mengontrol kualitas pelayanan yang diberikan. Baik oleh dokter maupun bidan, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas tetap terjamin. Artinya di sini ada upaya untuk meningkatkan posisi tawar masyarakat desa.

Meskipun kini sejumlah desa sudah mulai memiliki Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa (PKD) dan Posyandu menjadi otoritas desa, tetapi tidak sepenuhnya menjadi milik desa. Tetap ada pola “urusan bersama” antara desa dengan supra desa untuk mengelola tiga jenis institusi pelayanan kesehatan tersebut. Perencanaan, pengelolaan dan pendanaan atas Poliklinik Bersalin Desa, Pos Kesehatan Desa dan Posyandu merupakan kewenangan desa, sedangkan pembinaan teknis merupakan kewenangan dinas kesehatan.

Peningkatan kesehatan warga tentu tidak cukup hanya dilihat dari sisi kelembagaan itu. Kesehatan berbasis desa mengandung kewenangan, kebijakan, gerakan, kelembagaan, sumberdaya manusia dan pelayanan yang melibatkan aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. Kebijakan desa merupakan pintu masuk dan pengikat bersama pelayanan kesehatan. Praktik pengelolaan pelayanan kesehatan berbasis desa contohnya seperti praktik pembelajaran di desa-desa Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Kupang (Sutoro Eko, 2014).

Desa-desa di Sumba Timur telah memiliki Perdes tentang Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Perdes ini mengatur dan mewajibkan semua ibu hamil melahirkan di sarana kesehatan dan anak balita dibawa ke posyandu. Jadwal pemeriksaan rutin juga disepakati bersama masyarakat. Selain itu Perdes ini juga mengatur dan mendorong gerakan warga tentang penyediaan dana sehat ibu melahirkan (Dasolin) yang sewaktu-waktu dapat digunakan jika ada ibu yang melahirkan maupun dalam bentuk tabungan untuk ibu melahirkan (Tabulin).

Di Desa Tana Modu, Sumba Tengah, ada dua kegiatan yang digerakkan desa yaitu gerakan WC sehat, gerakan gizi anak balita, dan pengelolaan air bersih. Sejak tahun 2012 desa membuat seruan pentingnya membangun WC Sehat secara swadaya. Semua lembaga desa termasuk Karang Taruna, LPM, dan PKK, dilibatkan untuk fasilitasi dan memantau jalannya kegiatan. Peran Posandu juga bukan hanya dalam penimbagan bayi, imunisasi dan pemberian makanan tambahan, tetapi mengalani penguatan yang mengarah pada: Pelayanan kesehtan ibu dan anak (KIA), pelayanan keluarga berencana (KB), pelayanan imunisasi, pelayanan gizi, pelayanan penanggulangan diare, gerakan PHBS, pengembangan obat tradisional.

Di Desa Oleominana, Kupang, para kader perempuan melakukan gerakan membentuk jejaring siaga dusun, melakukan survei mawas diri untuk menunjukkan jejaring siaga dusun, melakukan survei mawas diri untuk menunjukkan kualitas keehatan desa, menghimpung dasoli (Dana solidaritas ibu bersalin) dan tabulin (tabungan ibu bersalin). Desa Kasetnana, menghadirkan inovasi dan revitalisasi dan revitalisasi posyandu sebagai pusat informasi dan konseling bagi anak dan perempuan.

Pengembangan Aset Lokal untuk Kesehatan Warga

Di sejumlah desa, praktik pengembangan aset lokal untuk kesehatan warga sebenarnya sudah dilakukan. Biasanya dipelopori oleh kelompok perempuan terutama Kelompok Wanita Tani (KWT), salah satunya melalui program pengembangan tanaman obat keluarga (Toga). Seperti praktik di salah satu Dusun di Ende, Sulawesi Tenggara. Desa tersebut pernah mengalami tingkat gizi buruk yang tinggi.

Upaya mencukupi gizi warga dusun di Ende tersebut adalah melalui penanaman sayur-sayuran. Hasilnya, sayur-sayuran ini kemudian dibagikan ke warga. Dalam jangka waku tiga tahun, sebagian besar warga desa tersebut sudah mulai menanam sayuran. Bahkan sekarang mereka sudah menikmati kelebihan hasil panen. Sayuran dari daerah itu juga sudah mulai dikirim ke daerah-daerah lain. Persoalan gizi mulai bisa diatasi sejalan dengan peningkatan ekonomi. Melalui sebuah program pendampingan, para ibu rumah tangga dan petugas posyandu digerakkan untuk mengolah makanan lokal pengganti nasi. Ternyata mereka sangat mampu. Warga pun berhasil mengolah makanan yang bergizi, yang berasal dari lingkungan mereka sendiri (Erni, MERDESA, 2016).

Mendorong pelayanan kesehatan terutama bagi rakyat miskin harus mengembangkan aset-aset lokal yang ada. Di sinilah pentingnya mengenal potensi lokal yang ada. Masyarakat desa seharusnya dapat memanfaatkan sumber daya alam yang ada di lingkungan mereka untuk kesehatan. Misalnya melalui sektor pertanian, bukan hanya dipandang sebagai sumber pangan atau ekonomi, tetapi juga sumber kesehatan. Padangan seperti ini, akan mengubah cara masyarakat dalam memperlakukan tanaman. Dengan demikian, upaya untuk menjaga masyarakat tidak sakit akan lebih diperhatikan.

Dari pembelajaran desa-desa tersebut, tentu pengembangan kapasitas warga seperti ini jauh lebih baik daripada mengharapkan bantuan dari luar. Khususnya upaya menggerakkan partisipasi aktif warga desa untuk menyejahterakan dirinya sendiri.

===

Keterangan penulis: Alimah Fauzan adalah gender specialist Infest Yogyakarta . Tulisan ini telah dipublikasikan terlebih dahulu di GeoTimes.

 

Kategori
opini

Desa Transmigran dan Masa Depan Kaum Marjinal

Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintahan Desa (Pemdes) saat mengetahui bahwa ada warganya yang berkebutuhan khusus (difabel) dan sejumlah kelompok marjinal lain yang ada di desanya? Apalagi jika dalam perencanaan pembangunan desanya, belum ada program yang menyasar pada kelompok difabel, selain bantuan langsung tunai dan serangkaian kegiatan seremonial belaka.

Seorang Kepala Desa (Kades) di Desa transmigran pernah mengalami kondisi dimana dia harus bertindak cepat mengatasi persoalan yang menimpa warganya. Desa tersebut bernama Desa Tegal Arum, salah satu Desa transmigran Jawa di Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Tahun 2016, Pemdes Tegal Arum bersama warganya berupaya menggali usulan kelompok kelompok marjinal di desanya. Mendatangi warga dan melakukan wawancara langsung merupakan salah satu tahap dalam menggali usulan kelompok marjinal. Saat itulah, dia bersama timnya menemukan bahwa selama ini ada warganya yang berkebutuhan khusus.

Kondisi mereka beragam, termasuk mereka yang kondisinya masih bisa disembuhkan jika ditangani secara cepat dan intensif oleh dokter spesialis. Karena berasal dari keluarga miskin, maka Pemdes pun segera konsultasi ke dokter Puskesmas. Esok harinya, warga difabel tersebut segera diantar ke Dinas Sosial di Kota Jambi. Satu bulan kemudian, warga tersebut dijemput karena dinyatakan sudah sehat secara fisik dan psikis. Langkah selanjutnya, warga tersebut mempekerjakan dan memberdayakan warga tersebut sebagai upaya memastikan masa depannya cerah.

Pengalaman tersebut membuat Pemdes semakin peka memahami kondisi warganya. Bahkan bukan sekadar paham, namun juga tanggap menghadapi situasi semacam ini, serta bagaimana membangun kerjasama dengan dinas sosial dan beberapa lembaga. Termasuk saat menghadapi seorang remaja difabel dari keluarga miskin yang kembali pulih.
Perencanaan apresiatif desa

Perencanaan Apresiatif Desa

Di sejumlah desa, keberadaan warga berkebutuhan khusus mungkin tidak benar-benar diperhatikan. Kalau pun diberikan bantuan, pada umumnya hanya bantuan tunai dan pemberian alat bantu. Termasuk ketika ada warga dari keluarga miskin yang mengalami gangguan jiwa, mereka biasanya dibiarkan mengatasi persoalannya sendiri dengan cara-cara yang tak wajar.

Jarang sekali Pemdes yang benar-benar peka pada kondisi kaum difabel, memastikan kesembuhannya jika dia bisa disembuhkan, serta memberdayakan difabel untuk memastikan masa depannya. Kalaupun ada komunitas difabel di desa, biasanya mereka didukung lembaga masyarakat sipil yang peduli pada persoalan difabel. Seperti salah satu Desa Inklusi di Yogyakarta yang dijadikan percontohan desa inklusi.

Desa inklusi ini digagas oleh Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab). Desa inklusi merupakan layanan berbasis masyarakat yang ramah bagi penyandang disabilitas. Melalui desa inklusi, masyarakat desa diharapkan mulai ramah dengan penyandang disabilitas. Di Desa ini, semua disabilitas terdata.

Konsep tersebut dibin bukan hanya untuk beberapa orang, melainkan karena setiap orang kebutuhannya berbeda. Sayangnya, jarang sekali program-program semacam ini kemudian dipahami dan didukung Pemdes. Mendukung pun bukan sekadar mendukung, namun menganggarkan untuk proses pemberdayaan mereka.

Tidak banyak Pemdes yang benar-benar terbuka dan peka pada persoalan sosial di desanya sendiri. Bahkan merangkul warganya untuk berpartisipasi dalam pembangunan di desanya, pun masih menjadi tantangan. Ini baru persoalan pembangunan yang adil bagi semua golongan. Belum lagi persoalan sensitif seperti kekerasan terhadap perempuan, pernikahan anak, dan persoalan sosial lainnya.

Dalam rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM Desa), Tegal Arum bukan hanya menganggarkan sejumlah program inovasi, namun juga program-program yang menyasar kelompok marjinal, perempuan dan pemuda, kelompok adat, serta menganggarkan biaya hidup seluruh kaum Lansia miskin di desanya. Pertengahan tahun 2017, Desa Tegal Arum mendapat juara pada “Lomba Desa” se-Provinsi Jambi.

Banyak hal penting dan inspiratif dari pembelajaran dari sejumlah desa yang tidak sekadar sejahtera, namun juga peka pada persoalan sosial-kemanusiaan di desanya. Apa yang dilakukan Pemdes Tegal Arum juga tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada serangkaian proses penguatan perspektif keberpihakan dan penguatan kapasitas pada Pemdes dan warganya.

Perencanaan apresiatif desa (PAD) merupakan salah satu upaya meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan di desanya. Hal paling mendasar dari proses perencanaan apresiatif desa ini adalah bagaimana warga dan Pemdes mengenal desanya sendiri, terlibat dalam pembangunan desa, menggerakkan dan merangkul masyarakat, serta mengkaji kondisi desanya dari sisi kewenangan, aset dan potensi desa, kesejahteraan desa, penggalian gagasan kelompok marginal, dan perbaikan pelayanan publik.

Semua proses tersebut dilakukan secara partisipatif. Data-data partisipatif yang dihasilkan warga benar-benar dimanfaatkan oleh desa dalam proses perumusan RPJM Desa, RKP Desa, dan APB Desa berbasis aset dan data usulan kelompok marjinal. Setiap tahapan perencanaan apresiatif desa telah mendorong pemerintah desa semakin partisipatif, transparan, dan akuntabel.

=========

Keterangan Penulis: Alimah Fauzan adalah staf gender Infest Yogyakarta . Artikel ini telah dipublikasikan di GeoTime.

Kategori
opini

Dana Desa dalam Cengkeram “Buto Ijo”

“Buto Ijo” beraksi secara sistematis, terstruktur, dan masif. Tidak heran dana desa yang berhasil dipungli pun, antara 7-30 juta per Kades.

Pagi ini, beranda salah satu akun sosial media (Sosmed) saya mulai diramaikan lagi dengan isu dana desa. Tentang temuan KPK hingga sikap presiden untuk mengawal dana desa. Saya jadi teringat curahan hati (Curhat) seorang kepala desa (Kades) di salah satu desa di Jawa Tengah (Jateng). Juga sekian curhatan pemerintah desa (Pemdes) dan Pemkab di daerah Jawa maupun di luar Jawa yang pernah saya kunjungi. Nah, salah satu curhat Kades di Jateng adalah tentang keinginannya untuk mundur dari jabatannya, serta tak ingin lagi dicalonkan sebagai Kades. Tentu saja, pernyataannya tersebut sempat membuat saya heran.

Selama saya mengenalnya dan terlibat dalam pembelajaran di desa, dia adalah sosok Kades yang jujur dan berani. Prihal keberaniannya ini tak diragukan lagi, contohnya ketika dia berhasil melakukan perlawanan pada salah satu oknum wartawan abal-abal di daerahnya. Dengan gagah berani dia melabrak wartawan tersebut di rumahnya. Dia tidak melakukannya demi kepentingan sendiri, namun demi solidaritasnya terhadap sesama Kades yang jujur dan baik. Benar, dia berusaha membantu temannya sesama Kades atas fitnah yang dilakukan oleh si wartawan. Dia bersaksi bahwa temannya tersebut adalah Kades yang baik dan jujur, namun tidak berdaya menghadapi serbuan oknum-oknum yang menekan para Kades. Apalagi setelah beredar kabar tentang adanya dana desa yang bernilai milyaran.

Perlawanan sang Kades pada oknum wartawan pun membuahkan hasil, si wartawan meminta maaf dan mengaku memberikan informasi yang tidak benar tentang si Kades. Namun, berani pada satu oknum, apakah kemudian si Kades juga tetap berani melawan sejumlah oknum lainnya. Seakan beraksi secara sistematis, terstruktur dan masif, mereka sulit tersentuh pihak berwajib. Oknum-oknum tersebut bahkan membentuk semacam asosiasi laiknya “gerombolan siberat”, yaitu sekumpulan orang yang konon berada di dalam sistem pemerintahan dan secara rutin melakukan Pungli dengan cara memaksa, menakut-takuti, dan mengancam si Kades. Lalu, siapa sebenarnya gerombolan siberat ini? Menurut Kades yang tidak mungkin saya sebutkan namanya di tulisan ini, menyebut gerombolan siberat dengan istilah “buto ijo”, sebuah istilah yang hanya dipahami maksudnya oleh sesama Kades di daerahnya.

Dalam konteks cerita sang Kades, buto ijo adalah semacam kode untuk menyebut sejumlah oknum yang melakukan Pungli. Oknum tersebut terdiri dari orang-orang yang berada di ring pemerintahan supradesa, mereka biasanya menggandeng pihak lain seperti dari kejaksaan, polisi, dan media. Dalam posisi terancam, para Kades pun terpaksa harus menganggarkan dari dana desa minimal 7-30 juta untuk diberikan kepada si buto ijo. Aksi buto ijo ini nyaris mirip dengan aksi oknum wartawan abal-abal atau wartawan bodrek maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) abal-abal. Apa bedanya mereka dengan buto ijo? buto ijo menetapkan nilai pungli yang tidak sedikit, seakan bersifat wajib, dilakukan setiap tahun, dan ancamannya tidak main-main. Para Kades pun tidak bisa berkutik. Dana desa yang seharusnya diperuntukan sepenuhnya untuk kebutuhan pembangunan desa, terpaksa diselewengkan untuk nafsu koruptif para buto ijo.

Data Terbuka Keuangan Desa

Sejumah oknum yang melakukan pemerasan dan ancaman kepada Kades terus menjadi momok. Ditambah lagi munculnya buto ijo yang membuat para Kades tak berkutik. Modus mereka dengan mengumpulkan data-data masalah di desa bukanlah hal baru. Di salah satu daerah di luar Jawa misalnya, pernah saya temukan modus serupa. Bagi oknum tersebut, Pemdes juga memiliki istilah tersendiri, yaitu “masyarakat super tau”, demikian mereka menyebut kumpulan oknum yang memeras dan mengancam. Aksi mereka ini pernah saya sakasikan langsung beberapa kali, bahkan salah satu teman saya pernah menantang mereka.

Dalam aksinya, mereka biasanya datang satu tim sekitar 3-4 orang yang mengatasnamakan diri dari LSM, media, kejaksaan, dan kepolisian. Biasanya mereka datang dengan membawa dokumen berisi masalah untuk menjerat Kades. Mereka tidak akan keluar dari ruangan Kades tanpa uang. Karena tujuan mereka adalah uang, maka tawar menawar nilai uang yang mereka minta pun seakan sudah biasa. Misalnya, tujuan awal mereka berharap bisa memeras Kades senilai 1 juta, karena Kades tidak merasa punya masalah dan berkelit, maka mereka menurunkan nilainya dari 500 ribu, 300ribu, atau setidaknya per kepala mendapat 50 ribu. Begitu pun, aksi yang dilakukan oleh buto ijo, mereka bahkan lebih mengerikan karena seakan mereka adalah pelindung dari segala proyek pembangunan di desa. Jika tidak membayar uang senilai 7-30 juta, maka siap-siap Kades tersebut mendapatkan masalah atau proyek pembangunan di desanya tidak lancar.

Terkait pemerasan dan ancaman, mau tidak mau Kades terpaksa mengikuti permainan kotor para buto ijo. Padahal, bisa jadi Kades tersebut telah bekerja keras dengan baik dan jujur. Namun karena mereka harus menghadapi ancaman buto ijo dan sejumlah oknum lain yang mengancam mereka, mereka pun tak berdaya. Mereka tidak mau direpotkan dengan sejumlah masalah yang ditimbulkan para buto ijo, mereka tidak mau ribet mengurus tetek bengek terkait persoalan hukum yang sangat melelahkan, serta menghabiskan waktu dan energi. Apalagi masyarakat yang harus dikorbankan karena pembangunan tidak akan berjalan lancar.

Sejumlah Kades yang telah berhasil menghadapi para oknum yang melakukan Pungli, biasanya mereka sudah cukup terbuka (transparan) dan akuntabel terhadap data-data desa, khususnya keuangan desa. Terkait open data ini, kita bisa belajar dari Kabupaten Wonosobo yang telah menerapkan data terbuka atau open data keuangan desa sebagai salah satu prinsip penting dalam tata kelola keuangan desanya. Sejak Agustus 2017, seluruh desa di kabupaten tersebut telah menerapkan open data keuangan desa. Open data juga dinilai mampu mengurangi Pungli yang dilakukan oleh oknum tertentu. Definisi terbuka tidak sebatas pada penyediaan informasi kepada masyarakat, tetapi juga membuka partisipasi masyarakat untuk menentukan, membantu dan menjadi bagian dari proses pembangunan yang dikelola oleh pemerintah desa. Sayangnya, belum semua Pemdes menerapkan open data keuangan desa ini. Jangankan transparan dan akuntabel, proses partisipasi pun sampai saat ini masih menjadi tantangan bagi desa.

Perlindungan Hukum Bagi Pemdes

Keberadaan atau jabatan Kades dianggap rawan didiskriminalisasi. Menurut data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2017, ada 110 kasus penyelewengan dana desa dan alokasi dana desa sepanjang 2016-10 Agustus 2017. Dari 110 kasus, pelakunya rata-rata dilakukan oleh Kades. Di Indonesia ini ada 74.954 Kades, namun dari semua itu tidak ada satu pun yang mendapatkan advokasi. UU No. 6/2014 telah melarang Kades, perangkat desa, dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) korupsi. Sanki korupsi hanya muncul pada Peraturan Mendagri No. 82/2015 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Tak ada sanksi bagi perangkat desa dan anggota BPD.

Sayangnya keberadaan oknum seperti buto ijo ini masih luput dari perhatian KPK maupun pemerintah, baik Kemendagri, Kemendesa PDTT, Kemenkeu, BKPKP, kepolisian, dan kejaksaan. Di beberapa daerah, Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mengusulkan dibentuknya lembaga bantuan advokasi hukum bagi kepala desa, sayangnya belum semua daerah menginisiasi lembaga bantuan hukum.

Harapannya, dengan adanya perlindungan hukum dapat membantu Pemdesmensukseskan penggunaan dana bantuan mulai dari Dana Desa (DD), banprov, Alokasi Dana Desa (ADD), serta bantuan lainnya. Penggunaan dana bantuan dari pihak pemerintah sendiri harus dikawal dan didampingi dengan ketat. Sehingga, Pemdes dapat bekerja dengan tenang dalam mempercepat pertumbuhan dan pembangunan desa, dalam rangka mengatasi berbagai persoalan yang selama ini ada dapat tercapai dengan sukses.

Bersamaan dengan proses advokasi bagi Pemdes, upaya mendorong proses partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas juga ha penting untuk terus dilakukan sebagai salah satu upaya mengurangi tindak koruptif terhadap penyelewenangn dana desa. Pasal 26 ayat (4) UU Desa menyebutkan, Kades berkewajiban melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Namun fakta adanya oknum-oknum yang memaksa dan mengancam Kades terpaksa koruptif, juga sangat mendesak untuk segera ditindak tegas. Apalagi jika oknum tersebut ada di lingkaran pemerintah supradesa sepertihalnya fenomena buto ijo yang masih menjadi momok bagi para Kades.

===

Keterangan Penulis: Alimah Fauzan adalah gender specialist di Institute of Education Development, Social, Religion, and Cultural Studies (Infest Yogyakarta). Tulisan telah dipublikasikan di Geotimes dengan penambahan data.

Kategori
opini

Rangkul Pemuda, Desa Perlu Ciptakan Beragam Program Inovatif

“Mereka bukan pemuda, mereka itu bapak-bapak yang sudah pada punya anak.”

Di balik sebuah desa yang kaya akan aset sumber daya alam (SDA), ternyata menyimpan sejumlah persoalan sosial. Bukan hanya SDA, di beberapa aset lain seperti pabrik di desa ini juga turut memanjakan warganya. Namun siapa sangka, tingkat pendidikan di desa ini masih sangat rendah. Saya pernah kesulitan menemukan warga yang lulusan SMA, bahkan ada juga yang hanya lulus SD. Tapi di perkebunan dan pabrik-pabriknya, kita bisa menemukan anak muda kepala keluarga serta buruh anak.

Pernyataan seorang ibu yang mendampingi saya berkeliling di sebuah dusun cukup mengagetkan, karena saya pikir para pemuda itu masih sekolah. Ternyata saya keliru, mereka adalah para pemuda kepala keluarga alias pemuda yang sudah menikah muda dan memiliki anak. Kondisi ini juga sering saya temukan di beberapa desa lainnya dalam satu kabupaten. Karena sudah terbebani oleh tanggungjawab sebagai kepala keluarga, maka mereka tak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Bukan hanya melanjutkan pendidikan, pilihan berkarya dan bekerja yang lebih beragam juga semakin berkurang atau bahkan tidak ada selain bertani. Bertani pun, sekadar menggarap lahan milik orang tua. Desa yang warganya kaya akan lahan tersebut, pada akhirnya harus membagi lahannya untuk anak dan cucu. Lahan kian sempit, penduduk makin padat, satu per satu lahan terlepas, namun kapasitas sumber daya manusia (SDM) belum mampu mengimbangi perubahan tersebut.

Rendahnya tingkat pendidikan di desa tersebut, membuat cara bertani mereka pun tidak sesuai standar. Fakta ketergantungan mereka pada pestisida sangat tinggi. Sering sekali saya melihat seorang bapak melakukan penyemprotan pestisida sambil merokok, pakaian pun tidak sesuai standar seperti harus menggunakan masker dan sebagainya. Bukan hanya itu, tidak jauh dari si bapak, ada isteri dan anak balitanya yang sedang asyik bermain. Secara kasat mata, desa ini indah, namun siapa sangka bahwa air, tanah, dan udara mereka telah tercemar. Jangan tanya pengaruhnya pada tubuh manusia, sangat banyak dampak negatifnya, bukan hanya pada tubuh bagian luar, namun juga bagian dalam yang tidak dapat terdeteksi secara langsung.

Rendahnya tingkat pendidikan juga membuat mereka tak peduli atau membiarkan persoalan sosial di desanya terus terjadi. Seperti sebuah siklus, akan selalu terulang, dianggap biasa, dan membudaya. Begitupun praktik nikah dini serta sejumlah persoalan sosial ditimbulkannya. Bukan hanya terjadi pada perempuan, namun juga anak laki-laki. Usai menikah dan punya anak, perceraian sudah menjadi hal biasa. Yang lebih parah dari sebuah perceraian adalah ketidakjelasan status. Mereka tidak bercerai secara sah, namun mereka berpisah, masing-masing ke rumah orang tuanya. Sementara anak mereka diurus orang tua dari pihak perempuan. Dalam situasi seperti ini, perempuan dan anak memang menjadi korban. Hal ini terjadi karena pasangan belum memahami makna pernikahan dengan konsekuensi hak dan kewajiban sebagai suami dan isteri. Sehingga sering terjadi salah paham dan tidak mampu mengelola emosi, persoalan relasi kuasa yang menyebabkan sejumlah perilaku dimana perempuan dan anak sebagai korban. Alhasil, tidak sedikit pernikahan usia dini berujung pada perceraian.

Perlunya Program Pembangunan Beragam dan Inovatif

Dari sekian persoalan sosial di desa khususnya di kalangan pemuda, bisa jadi ada yang keliru dengan cara kita membangun desa kita. Pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan belum mampu menggali tantangan dan peluang pembangunan di desanya. Program-program pembangunan yang menyasar desa juga masih sangat monoton, kurang beragam dan inovatif.

Pernah juga saya berada di satu desa yang program pembangunan di desanya dipenuhi dengan kegiatan seremonial keagamaan. Begitu banyak dana dikeluarkan untuk kegiatan keagamaan, namun tidak berbanding lurus dengan kondisi masyarakatnya. Di desa tersebut, bukan hanya persoalan pendidikan, namun juga persoalan sosial dimana pemuda-pemudinya terjebak obat-obatan terlarang. Memang bukan jenis narkoba yang populer diberitakan, namun sangat murah dan mudah didapatkan. Bahkan pernah dijual di warung-warung terdekat. Bahkan pemudi tergolong sebagai pemakai yang banyak. Seakan, semua kegiatan keagamaan hanya sekadar uforia dan seremonial agar desanya disebut agamis.

Tentu saja, tidak semua Desa berhasil menghadapi kompleksnya persoalan sosial di desanya. Ada juga Desa yang berhasil memberdayakan kelompok pemudanya. Berdasarkan pengalaman dan pembelajaran di beberapa desa, ada dua kelompok di desa yang memiliki peran penting dalam proses pemberdayaan di desa. Kelompok tersebut bagian dari aset SDM dan Kelembagaan yang ada di desa, terutama kelompok perempuan dan pemuda. Kedua kelompok tersebut adalah adalah aktor kunci keberhasilan sebuah program pemberdayaan. Khususnya yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Perempuan dengan sifatnya yang ulet, mau belajar, bekerja keras, serta mampu digerakkan kelompoknya. Sementara kelompok pemuda dengan kapasitas dan akses mereka terhadap sumber daya, khususnya akses informasi dan teknologi.

Semoga dengan munculnya kebijakan baru yang menguntungkan desa, pemerintah dan masyarakatnya mau belajar dan mau mengubah dirinya menjadi lebih baik. Karena kondisi berlawanan pun terjadi di desa-desa yang mampu menangkap kebijakan tersebut sebagai peluang. Desa di mana para pemudanya tidak hanya berpendidikan tinggi, namun mereka juga tetap bersedia bertani dan mengabdi untuk pembangunan desanya.

Tantangan dan Strategi Pendamping Desa 

Untuk merangkul warga di desa, khususnya kelompok perempuan dan pemuda, tentu saja membutuhkan strategi yang tidak sekadar mengajak dalam bentuk sosialisasi lalu selesai. Jadi setelah muncul perspektif bahwa kelompok perempuan dan pemuda adalah bagian dari kekuatan SDM dan Kelembagaan yang dimiliki desa, selanjutnya adalah bagaimana merangkul mereka sehingga memiliki pandangan yang sama dan mau terlibat menggerakkan komunitasnya dan seluruh warga secara umum. Pada tahap ini, kerja-kerja pendamping desa yang selama ini telah direkrut oleh Kemendesa, seharusnya tertantang untuk melakukan kerja-kerja pengorganisasian komunitas. Sayangnya, para pendamping desa pada umumnya masih terjebak sekadar membantu Pemerintah Desa (Pemdes) yang sifatnya administratif.

Saya belum benar-benar menemukan pendamping desa yang melakukan pengorganisasian di masyarakat. Pendamping desa yang hadir di desa, berbaur dengan masyarakat dan sama-sama bergerak bersama masyarakat di desa. Yang saya temukan baru pendamping desa yang sibuk membantu perangkat pemerintah desa menyelesaikan pekerjaan yang bersifat administratif. Pendamping Desa yang saya maksud di sini adalah pendamping desa yang telah direkrut oleh Kemendesa, yang diharapkan mampu mendampingi desa dalam proses pemberdayaan masyarakat. Meskipun, lagi-lagi mereka terkendala terkait jumlah mereka sangat terbatas.  Saya jadi ingat pernyataan Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri RI, Nata Irawan, saat menjadi salah satu pembicara kunci dalam acara peluncuran Open Data Keuangan Desa di Pendopo Kabupaten Wonosobo, Jateng, pada Selasa (18 Agustus 2017). Beliau menyatakan bahwa, tugas pendamping desa yang direkrut oleh Kemendesa adalah melakukan pemberdayaan masyarakat di desa. Sementara pendamping desa yang direkrut oleh Kemendagri adalah untuk membantu Pemdes terkait tata kelola pemerintahan desa. Namun faktanya, pendamping desa saat ini masih terjebak sebagai konsultan administrasi desa.

===

*Penulis adalah gender specialist Infest Yogyakarta. Artikel ini sudah dipublikasikan di TheGeotimes dengan judul “Pemuda Desa: Bertani, Mengabdi, dan Menikah Dini?”

Kategori
Kliping opini

Pancasila dan Desa

Oleh Ahmad Erani Yustika

Desa telah menjadi altar baru dalam gempita pembangunan nasional. Seusai aneka percobaan pembangunan dijalankan dengan hasil yang sebagian mengecewakan, muncul hasrat baru dengan meletakkan desa sebagai sumbu pembangunan. Namun, di sini muncul pertanyaan kritis: jika desa ditunjuk sebagai titik tumpu pembangunan, apakah desa menjadi sekadar lokus pembangunan ataukah filosofi dan kerangka dasar pembangunan juga berubah?

Pertanyaan ini bukan cuma penting, tetapi sekaligus penanda ke mana arah pembangunan desa mesti digerakkan. Warta bagusnya, kita punya stok dasar negara yang amat kukuh meski selama ini nyaris tak dijadikan sebagai kompas. Hari ini, saat Pancasila dirayakan di seluruh penjuru negeri, kodratnya sebagai fondasi bernegara menggema kembali. Oleh karena itu, misi suci pembangunan desa seharusnya bertolak dari titik ini: menjadikannya satu tarikan napas dalam merawat roh dasar negara.

Gugusan baru pembangunan

Pada 28 Agustus 1959, Soekarno menyampaikan Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana kepada Depernas (Dewan Perantjang Nasional): ”..tudjuan dan maksud pembangunan semesta ialah membangun masjarakat jang adil dan makmur; adil dan makmur jaitu menurut tindjauan adjaran Pantjasila…” (Departemen Penerangan RI, 1959).

Setelah hampir 71 tahun merdeka, amanat ini menjadi agenda pokok yang mesti dijawab: apakah pembangunan sudah bersendikan ajaran Pancasila? Sulit menampik, pembangunan yang diselenggarakan selama ini telah banyak memproduksi keberhasilan, baik yang dirasakan khalayak domestik maupun publik negara lain. Namun, ukuran keberhasilan itu lebih berdasarkan norma yang diterima umum sehingga parameter yang bersumber dari dasar negara tak banyak mendapatkan ruang. Implikasinya, jarak antara pencapaian pembangunan dan ajaran Pancasila bisa berpunggungan.

Di sinilah noktah terpenting untuk menjaga dan membela Pancasila dalam konteks pembangunan desa. Afirmasi terhadap pembangunan mesti diletakkan sebagai usaha menegakkan Pancasila sampai ke akarnya, yang kemudian tumbuh menjadi batang dan ranting yang kokoh pada setiap lini pembangunan nasional.

Desa menjadi pangkal harapan karena dua pertimbangan. Pertama, saat perumusan Pancasila kondisi sosio-ekonomi-politik nasional bisa merujuk kepada situasi desa hari ini meski tentu saja tak sama persis. Perikehidupan manusia dan alam pada masa kemerdekaan adalah pantulan derap nadi desa masa kini. Dengan demikian, menempatkan desa sebagai alas penegakan isi dasar negara merupakan persinggungan yang layak digelar.

Kedua, persentuhan desa dengan modernisasi (pembangunan) masih belum begitu jauh sehingga eksperimen membentuk gugusan baru pembangunan dengan nilai dasar negara tersebut masih mudah dijalankan.

Sila pertama ”Ketuhanan yang Maha Esa” adalah akar tunjang pembangunan yang tak meletakkan materialitas sebagai usaha pencapaian puncak tujuan. Prinsip ini meyakini sumber pembangunan adalah spiritualitas. Agama sebagai mata air spiritualitas dan moralitas menjadi daya dorong manusia berpikir, berucap, dan bertindak. Tuhan bersemayam dalam kalbu dan menjadi pandu atas setiap niat dan perbuatan yang bakal dikerjakan. Sungguh pun begitu, agama tak perlu menjadi asas kenegaraan formal karena kondisi sosio-politik nasional yang beraneka ragam, yang terangkum dalam frasa ”Bhinneka Tunggal Ika”.

Dalam banyak segi, desa dihidupi oleh kekuatan spiritualitas tersebut. Ritual keagamaan menjadi tradisi, bahkan kemudian menjadi budaya, dan menghidupi gerak masyarakat. Modal itulah yang membuat desa tak tercerabut dalam kemalangan penyakit materialitas karena dijaga oleh moralitas agama. Pembangunan merupakan pendalaman ritual keagamaan itu sendiri. Refleksi pembangunan yang paling konkret selalu terkait dengan manusia dan hubungan antarmanusia. Dengan demikian, sila kedua ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” merupakan tangkai terpenting berhubungan dengan pembangunan. Moda produksi sebagai mata rantai pembangunan (ekonomi) berurusan dengan modal, tanah, dan tenaga kerja (manusia). Hanya pada faktor produksi tenaga kerja tersebut terdapat dimensi sosial, budaya, politik, dan seterusnya.

Maknanya, hubungan antarmanusia dalam pembangunan tak boleh mereduksi kemanusiaan. Di desa, hubungan antarmanusia (dalam bingkai ekonomi sekalipun) selalu menganggap persaudaraan sebagai penanda sikap. Persaudaraan merupakan inti kemanusiaan sehingga relasi pembangunan tidak menjadi isolasi antarkelas dan menjadi basis pertarungan. Oleh karena itu, sila ini menjadi pengingat bahwa pembangunan mesti menjadi pengungkit nilai kemanusiaan dan bukan malah menggerusnya.

Hasil pembangunan yang kerap dicemaskan adalah: pertumbuhan menghasilkan peminggiran. Pelaku ekonomi yang satu tumbuh, lainnya mati. Pembangunan bukan merangkul, melainkan memisahkan. Itulah deskripsi yang terjadi selama ini. Agenda persatuan menjadi jauh panggang dari api. Di desa, kosakata gotong royong menggaung hingga kini meski mulai terkikis oleh sistem persaingan individu yang kian bengis. Sekurangnya, gotong royong masih menjadi bahasa relasi antarmanusia di desa. Nilai ini yang harus diselamatkan karena modal sosial ini adalah sumber keabadian bangsa. Bahkan, ketika Soekarno diminta memeras Pancasila menjadi Ekasila, yang dia sampaikan adalah kata ”gotong royong”. Jadi, titik tolak sila ”Persatuan Indonesia” berhulu dari gotong royong tersebut. Demikian pula pasal 33 ayat 1 yang berbunyi ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” juga amat dinapasi oleh sila ketiga ini, seperti diungkapkan oleh Mohammad Hatta.

Persatuan itu masih terbungkus jejaknya pada saat mengonstruksi kedaulatan rakyat dalam panggung politik dengan sila yang memiliki bobot dahsyat: ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Persatuan akan solid apabila keputusan berporos kepada permusyawaratan. Keputusan yang hanya berlatar kepada kuantitas suara kerap tak berpijak kepada pengetahuan sehingga memungkinkan terjadinya dikte mayoritas.

Sebaliknya, permusyawaratan mesti berbasis pengetahuan. Itulah sebabnya frasa ”hikmat kebijaksanaan” muncul sebagai muara dari pengetahuan. Di desa, praktik semacam itu terus terjaga, misalnya di desa adat, sehingga setiap pikiran warga terserap dalam sistem sosial yang dibangun. Musyawarah desa menjadi salah satu perwujudan sila keempat dan langgeng hingga kini. Nilai dan kecerdasan lokal yang bersumber dari agama, budaya, dan lain-lain menjadi dasar lahirnya hikmat kebijaksanaan.

Perayaan Pancasila

Akumulasi dari Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan Permusyawaratan bisa terpantul dari hasil keseluruhan pembangunan. Terma ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” adalah keagungan dari empat dasar tersebut. Keadilan sosial memiliki makna yang amat mendalam, yakni kesejahteraan yang tak kehilangan spiritualitas, manusia tidak dianggap sebagai semata faktor produksi, penguatan relasi dan distribusi sosial, dan pengejawantahan konsensus (kedaulatan). Perasaan kehidupan yang makin kering, meskipun kesejahteraan meningkat, tak menggambarkan adanya spiritualitas, kemanusiaan, persatuan, dan permusyawaratan tersebut. Tentu saja keadilan sosial menjadi tak bisa digapai. Oleh karena itu, puncak pembangunan yang dimaknai sebagai adil dan makmur, seperti diucapkan oleh pendiri negara di atas, sebetulnya merupakan agregasi dari praktik perikehidupan atas implementasi empat sila sebelumnya.

Bara api Pancasila itu harus menjadi penyala pembangunan dan pemberdayaan (warga) desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang diberi mandat memanggul misi ini meletakkan fondasi negara sebagai ajaran yang harus berdiri tegak. Tiga pilar/matra pembangunan desa yang dikonseptualisasikan Direktorat Jenderal PPMD (Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa), yaitu Lingkar Budaya Desa (Karya Desa), Jaring Komunitas Wiradesa (Jamu Desa), dan Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa), diabdikan untuk memberi jejak dasar negara ini.

Budaya yang bersumber dari agama dan spiritualitas menjadi dasar gerak pembangunan desa (Karya Desa). Pengabaian terhadapnya membuat pembangunan kehilangan panggung dan upacara. Pembangunan adalah kerja budaya itu sendiri, di mana keseluruhan nilai-nilai menjelma menjadi tata cara dan pilihan program yang diambil warga. ”Jamu Desa” adalah ikhtiar meningkatkan kapabilitas warga (desa) sebagai esensi pembangunan. Prinsip ini dibangun berangkat dari kesadaran untuk memuliakan manusia (kemanusiaan), penguatan komunitas (sebagai basis persatuan), dan pendalaman konsensus (permusyawaratan). ”Balai Rakyat” adalah agenda yang didorong sebagai pembelajaran mandiri komunitas untuk menambah bobot stok pengetahuan warga.

Demikian pula Musdes (musyawarah desa) menjadi napas partisipasi warga dan tidak hanya menjadi ritual proses perencanaan ketika desa membuat APBDes ataupun RPJMDes sehingga kedaulatan rakyat terjaga sebagaimana mestinya. Terakhir, ”Bumi Desa” diturunkan sebagai upaya penguasaan sumber daya (ekonomi) oleh desa dan warga desa sehingga keadilan sosial dapat dimaklumatkan. Institusi koperasi dan BUMDes terus dipromosikan untuk memastikan kegotongroyongan menjadi sumbu ekonomi bagi pencapaian keadilan sosial. Singkatnya, pembangunan desa adalah perayaan Pancasila.

Ahmad Erani Yustika, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD)—Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Juni 2016, di halaman 6 dengan judul “Pancasila dan Desa”. Tulisan ini dikutip ulang di laman sekolahdesa.or.id untuk kepentingan sosial dan pembelajaran.

Kategori
opini

Smart Kampung Pemkab Banyuwangi dan Perlindungan TKI dari Desa

Oleh: Wawan Kuswanto, Ketua SBMI Banyuwangi

Salah satu program yang dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi saat ini adalah Smart Kampung. Karena Kabupaten Banyuwangi ini sangat luas, untuk menghubungkan satu desa dengan kota saja itu butuh waktu sekitar 4,5 jam, maka pelayanan kepada warga harus didekatkatkan melalui teknologi.

“Maka kami pilih smart kampung. Kalau di kota orang sudah terbiasa dengan smart city, tapi Banyuwangi membuat konsep smart kampung, yang bisa melipat jarak pelayanan menjadi lebih dekat,” ujar Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas di beberapa media massa.

Perencanaan Usaha Komunitas SBMI BanyuwangiSebagai sebuah gagasan, Smart Kampung idealnya tidak hanya berkutat pada implementasi atau penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk desa, namun harus masuk pada ruang-ruang yang lebih substantif, dari bagaimana perencanaan pembangunan desa yang partisipatif, perbaikan pelayanan publik, penguatan pengetahuan SDM pemerintahan desa, keterbukaan informasi, tata kelola dana desa yang transparan dan akuntabel, hingga pembangunan desa yang inklusif atau memperhatikan kelompok yang selama ini terpinggirkan perannya dalam perencanaan pembangunan di desa seperti; perempuan, kelompok miskin, difabel, TKI atau buruh migran, dan lain-lain.

Cita-cita mendekatkan pelayanan melalui program Smart Kampung diharapkan juga melihat ragam kebutuhan pelayanan masyarakat di tingkat desa, dari pelayanan pokok terkait pendidikan, kesehatan, dan kependudukan, hingga pelayanan yang bersifat spesifik, misal pelayanan perlindungan buruh migran di desa-desa basis TKI di Banyuwangi. Sebagai informasi, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menempatkan Kabupaten Banyuwangi dalam daftar 15 Kabupaten dengan angka penempatan TKI terbesar di Indonesia, yakni rata-rata sekitar 7.000 warga Banyuwangi bekerja ke luar negeri setiap tahunnya.

Masih tingginya minat warga Banyuwangi untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI juga diikuti dengan masih maraknya percaloan, penipuan, dan ragam kasus serta pelanggaran hak yang dialami para calon TKI. Situasi ini seharusnya menjadi perhatian khusus Kabupaten Banyuwangi dalam mengimplementasikan program “Smart Kampung”.

“Sederhana saja, sekarang apakah pemerintah desa mengetahui kebijakan penempatan TKI?, apakah data lowongan kerja luar negeri yang ada di dinas tenaga kerja sampai dan terinformasikan hingga desa?, tentu tidak, saluran informasi ini putus, dinas tidak terhubung dengan desa, demikian pula sebaliknya, maka yang terjadi peran calo dan para pihak yang hanya mengambil keuntungan dari para TKI ini menjadi lebih dominan di desa, nah di konteks inilah gagasan Smart Kampung harus mampu menjadi solusi atas persoalan pelayanan TKI di desa.” tegas Agung Subastian, Koordinator Komunitas Bumi Blambangan SBMI Banyuwangi.

Di saat gaung progam Smart Kampung ramai menjadi berita media massa, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Banyuwangi mencatat beberapa fakta terkait pelayanan di pemerintahan desa:

  1. Pemahaman pelayanan masih terlalu sempit sebatas pelayanan administrasi kependudukan, Pertanahan, Perkawinan
  2. Sarana prasarana dan kapasitas SDM yang kurang memadai, tidak semua desa memiliki akses internet dan kapasitas pengetahuan TIK yang memadai.
  3. Tidak semua staf mampu mengerakan sarana prasarana yang ada untuk melayani masyarakatnya
  4. Pengetahuan seputar UU Desa beserta regulasi turunannya belum merata.
  5. Masih banyak pemerintahan desa di Banyuwangi yang tidak melibatkan komunitas atau kelompok masyarakat dalam perencanaan pembangunan dan implementasi pelayanan (partisipasi masyarakat).

Persoalan di atas harus menjadi prioritas untuk dibenahi sebagai bagian dari tahapan implementasi program Smart Kampung. Fakta di atas juga menunjukkan bahwa skema pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam program Smart Kampung harus didudukkan sebagai alat, bukan tujuan. Apabila teknologinya sudah smart, tapi kesadaran, prilaku, dan kebijakan pemerintahan desa tidak smart, ya sama saja, pelayanan publik yang baik susah terwujud.

Lebih rinci terkait perlindungan TKI atau buruh migran dari hulu (desa), program Smart Kampung ala Kabupaten Banyuwangi sejatinya selaras dengan program nasional Desa Peduli Buruh Migran, yaitu bagaimana dengan pelayanan desa yang baik alias “smart”, kebutuhan buruh migran bisa terpenuhi. Idealnya ada beberapa layanan yang harus di lakukan oleh pemerintah desa dalam hal pelayanan kepada TKI, antara lain:

1. Layanan penyediaan informasi migrasi TKI. Dari tata cara atau proses penempatan, tata cara penyelesaian kasus, perencanaan usaha, pengelolaan keuangan, hingga reintegrasi dan rehabilitasi TKI yang mengalami kasus. Dalam hal pelayanan informasi, pemerintah desa harus terhubung dengan Dinas Tenaga Kerja serta dapat bekerja sama dengan kelompok Buruh Migran di tingkat desa dalam hal produksi serta pendistribusian informasi agar lebih mudah dan murah.

2. Layanan pendampingan kasus, tidak semua anggota keluarga Buruh Migran tahu cara melaporkan kasus, mengajukan bantuan hukum, dan membuat surat laporan. Sudah semestinya pemerintah desa dalam hal ini menghadirkan pelayanan pengaduan dan monitoring kasus.

Sebagaimana amanat Pasal 14 huruf f, Peraturan Menteri Desa Nomor 1 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa, pemerintahan desa berwenang membentuk dan memfasilitasi paralegal. Dalam hal ini fungsi paralegal desa dapat dijalankan dengan melibatkan komunitas keluarga dan mantan TKI guna membantu desa dalam hal pelayanan pendampingan kasus.

3. Layanan reintegrasi dan rehabilitasi. Mayoritas TKI di Banyuwangi mengalami migrasi berulang, purna TKI kesulitan beradaptasi dengan kondisi di desa, terlebih saat mereka pulang dalam kondisi berkasus atau menjadi korban perdagangan manusia, sehingga memaksa mereka kembali berangkat ke luar negeri. Layanan ini dalam rangka menyiapkan purna TKI agar dapat berdaya di desa dan turut berperan dalam pembangunan ekonomi di desa.

Program Smart Kampung yang mulai digulirkan oleh Bupati Banyuwangi mesti direspon dengan tepat. Respon tersebut bertujuan untuk memperbaiki pelayanan pemerintah kepada kelompok buruh migran yang ada di desa-desa basis TKI.

Smart Kampung harus digerakkan ke wilayah yang lebih substantif, tidak sekadar implementasi program berbasis TIK di desa, melainkan menjadi upaya menumbuhkan pemahaman dan partisipasi semua elemen di desa termasuk kelompok atau komunitas TKI. Sudah saatnya Kabupaten Banyuwangi yang menjadi basis TKI menjadi contoh bagi kabupaten lain di Indonesia dalam mewujudkan perlindungan dan pemberdayaan TKI dari hulu (desa).

Kategori
Kliping opini

Desa, Tanah, dan Pasar

Oleh: Ahmad Erani Yustika

Harian Kompas telah mengoyak empat isu strategis terkait desa dalam sebulan terakhir. Pertama, penguasaan lahan di desa sudah tidak dalam genggaman warga desa, tetapi dikuasai pemodal kakap di luar desa (kota). Kedua, desa telah menjadi pasar barang/jasa yang mengalir dari kota (juga komoditas impor) sehingga mekanisme pengisapan ekonomi terus terjadi. Ketiga, rantai distribusi/logistik yang amat panjang dianggap pemicu tingginya harga pangan, sehingga koperasi dan/atau badan usaha milik desa (BUMDes) diharapkan punya daya memperpendek rantai tersebut agar inflasi pangan bisa dikendalikan. Keempat, rasio gini di desa turun drastis setahun terakhir ini dari 0,32 (September 2014) menjadi 0,27 (September 2015).

Sebagian menduga penurunan ini karena terjadi pemiskinan massal sehingga yang berlangsung di desa adalah “pemerataan kemiskinan”. Sebetulnya keempat isu itu saling bertautan dan punya daya pukul mematikan jika tak diurus sejak sekarang.

Penguasaan sumber daya

Belakangan ini teori ekonomi yang mengupas soal faktor produksi digeser pemaknaannya dengan menyatakan tak penting siapa yang memilikinya. Bahkan, bila dikuasai pelaku ekonomi asing pun juga tak masalah, sepanjang bisa menciptakan lapangan kerja, memproduksi barang/jasa, dan seterusnya.

Faktanya, penguasaan faktor produksi tersebut, khususnya lahan dan modal, menjadi jangkar paling dalam bagi penciptaan ketimpangan (pendapatan) yang akut. Ragam kebijakan yang diluncurkan untuk mengatasi ketimpangan tak bertenaga karena tak menyentuh perkara penguasaan sumber daya itu. Bahkan, ketimpangan dalam 10 tahun terakhir melaju cepat seiring dengan pemburukan pemerataan distribusi sumber daya ekonomi.

Oleh karena itu, penguasaan sumber daya di tangan kaum tunalahan atau tunamodal merupakan agenda serius yang mesti diperjuangkan. Kenyataan inilah yang enggan dijangkau sehingga dengan kepastian yang tinggi tanah di desa sudah berpindah tangan dan dikuasai sekelompok tuan tanah (baru).

Jika kemudian penguasaan lahan di desa (juga sumber daya ekonomi lainnya) tak lagi di tangan warga desa (petani), maka hal itu tidaklah mengejutkan karena prosesnya dibiarkan terus terjadi, bahkan difasilitasi. Ini berbeda sekali dengan konstruksi para pendiri bangsa yang mendesain Pasal 33 UUD 1945, di mana perekonomian diwujudkan dalam semangat kolektivitas dan tidak dibiarkan sumber daya dikuasai oleh orang per orang dalam jumlah yang sangat besar.

Hal itu dipertegas dengan hadirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 5 Tahun 1960, yang memberi makna “sosial” terhadap sumber daya tanah. Oleh karena itu, distribusi penguasaan tanah tak boleh dibiarkan semata karena kalkulasi ekonomi dengan menumpang mekanisme pasar, tetapi harus lebih banyak menafkahi aspek sosial (keadilan). Problem inilah yang terjadi saat ini, di mana Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA tak lagi dijadikan sandaran dalam mendesain konsepsi hak kepemilikan dan alokasi penguasaan lahan (tanah).

Harapan kembali mengalir ketika program reforma agraria yang digelindingkan saat ini hendak dijadikan satu paket dengan pembangunan desa. Penguasaan lahan di desa harus dihentikan dan didistribusikan demi menyemai daya hidup warga desa. Politik fiskal yang memberikan desa anggaran dalam jumlah memadai dan terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan syarat perlu, akan tetapi tak mencukupi.

Pada posisi ini, reforma agraria adalah bagian dari syarat cukup (di luar kebijakan keuangan, pertanian, perdagangan, industri, dan lain-lain). Pilihan reforma agraria bukan hanya mendistribusikan lahan yang menganggur atau dikuasai oleh negara (seperti Perhutani), tetapi juga memangkas korporasi swasta yang telah membekap gurita lahan dan sumber daya alam lainnya. Pada level tertentu, dengan bekal UU Desa (UU No 6/2014), desa bahkan memiliki otoritas melakukan reforma agraria skala lokal dan penguasaan lahan bagi kemaslahatan bersama.

Desa dan pasar

Desa sebagai pasar tentu saja realitas yang tak bisa ditolak. Dalam pengertian tertentu, desa adalah pasar yang besar karena sebagian besar penduduk saat ini masih tinggal di desa, meski dengan proporsi jumlah yang kian mengecil dengan daya beli yang rendah. Meski demikian, nasib paling nahas yang dihadapi desa sekarang adalah tertikam oleh pasar yang dinyatakan dalam abstraksi: “produsen barang primer dan konsumen barang sekunder/tersier”.

Jadi, produsen komoditas primer bukanlah hal buruk karena hal itu bagian dari matra aktivitas ekonomi yang penting. Menjadi persoalan bila komoditas primer itu dijual keluar (kota) untuk diolah kembali dengan nilai tambah yang besar dan dijual balik ke desa. Situasi yang mudah ditebak dari kisah itu adalah penyedotan ekonomi secara sistematis, sehingga hasil penjualan tak cukup untuk mengongkosi kebutuhan hidup. Bahkan, pada produk primer sekalipun banyak petani sudah menjadi konsumen.

Dua isu berikut telah digelindingkan dan hendak dikonversi jadi kebijakan. Pertama, penguasaan dan kepemilikan sumber daya di desa mesti digandakan jadi kegiatan yang mempunyai nilai tambah, yang sering disebut “industrialisasi desa”.

Istilah ini tidak salah, tetapi imajinasi atas model industrialisasi perlu dipetakan dengan baik. Industrialisasi yang memiliki arti transformasi ke aktivitas ekonomi modern dengan induksi modal, teknologi, dan inovasi tak boleh dibiarkan berlalu di atas hamparan kepadatan modal yang berlebih ataupun injeksi teknologi yang asing bagi warga desa.

Perlu dipahami, industrialisasi di sini dimaknai sebagai ikhtiar memuliakan sumber daya ekonomi di desa lewat modal yang ditanggung secara kolektif, memasukkan sebagian besar pelaku ke tengah arena, dan mengerjakan secara bersama. Bila ini yang dijalankan, tidak akan terjadi sebagian (kecil) pelaku ekonomi membajak hasil pembangunan untuk kaumnya sendiri.

Kedua, pasar tak boleh dilepaskan dari aturan main yang dikendalikan oleh desa. Komoditas yang sudah memiliki nilai tambah tersebut selain berfungsi memproteksi sumber daya agar tidak keluar dari desa terlebih dulu, juga memastikan komoditas yang diproduksi dalam kendali mereka dalam distribusinya. Bahkan, distribusi tersebut juga termasuk dalam komoditas yang hendak masuk ke desa.

Banjir komoditas ke desa harus dimaknai sebagai penetrasi barang/jasa yang bukan merupakan kebutuhan, tetapi sebagian besar daftar “keinginan” yang dilesakkan lewat media iklan secara masif. Demikian pula pelaku distribusi itu tidak dalam cengkeraman warga desa sehingga nilai tambah mata rantai tata niaga juga lepas dari mereka. Aturan main ini mesti dibuat secara mikro (level desa/komunitas) dan makro (pemerintah pusat/daerah), khususnya kebijakan perdagangan. Kementerian atau dinas perdagangan jadi titik tumpu regulasi pada level makro.

Lumbung ekonomi desa

Sampai titik ini, agenda penguatan organisasi ekonomi yang kukuh di desa menjadi amat vital. Koperasi merupakan tulang punggung untuk menyulut energi atas kelemahan pelaku ekonomi di desa. Spirit kebersamaan, persaudaraan, dan gotong royong menjadi akar dari gerakan ekonomi ini.

Di masa lalu, sebelum digerus oleh aneka penyimpangan nilai, koperasi jadi penyangga harkat hidup warga desa. Sekarangpun masih banyak koperasi yang berjalan sesuai khitah, sehingga fungsinya berjalan dengan rapi di masyarakat. Di luar itu, UU Desa juga memberikan mandat membentuk BUMDes sebagai penyangga perekonomian desa. BUMDes digagas untuk mengelola sumber daya ekonomi, sekaligus memperkuat watak kolektivitas yang berakar kuat di desa. Sungguhpun begitu, operasi BUMDes tak boleh bertubrukan dengan aktivitas ekonomi yang sudah dijalankan rakyat selama puluhan tahun. Keberadaannya justru harus berpadu dan memperkuat ekonomi rakyat.

Pada konteks desa, dua jalur yang relevan dimasuki oleh BUMDes. Pertama, jadi perekat atas titik kegiatan ekonomi yang telah dijalankan rakyat secara mandiri. Mereka biasanya dikendalai dengan permodalan, bahan baku yang murah, dan distribusi yang lemah. BUMDes memasuki wilayah tersebut, sehingga posisi tawar dan efisiensi aktivitas ekonomi rakyat menjadi lebih bagus. Ini sekaligus menjadi jawaban atas inefisiensi rantai distribusi yang membuat desa selalu memperoleh nisbah ekonomi yang kecil dan konsumen harus membeli dengan harga mahal.

Kedua, BUMDes beroperasi menerjemahkan Pasal 33 UUD 1945 sehingga hanya masuk ke cabang produksi penting dan atau terkait sumber daya alam. Beberapa BUMDes sudah berjalan dengan, misalnya, mengelola sumber daya air yang dikonversi untuk tujuan ekonomi, sebagian lagi murni kepentingan pelayanan publik (menyalurkan air bersih untuk warga desa).

Jika cara-cara semacam itu hidup dan langgeng di desa, maka tak usah cemas dengan paradoks pertumbuhan dan ketimpangan, seperti yang terjadi di kota saat ini. Pola dominasi penguasaan dan kepemilikan (juga ekonomi yang sangat padat modal dan teknologi) di kota telah menjadi sumber peningkatan ketimpangan (pendapatan). Desa harus dijadikan pulau yang kalis dari praktik tersebut.

Jika saat ini ketimpangan pendapatan di desa telah menurun sangat drastis, maka itu harus disambut dengan sukacita, sambil memeriksa kemungkinan terjadinya pemerataan kemiskinan. Jika kemungkinan terburuk itu yang terjadi, tetap saja peluang terbuka lebih lebar untuk memperbaiki di masa depan karena telah tumbuh politik fiskal yang berpihak pada desa (dana desa dan alokasi dana desa). Jika itu diperkaya dengan penguatan ekonomi yang bernilai tambah, pasar yang dikontrol secara efektif, penguasaan sumber daya, dan organisasi/lembaga ekonomi yang mapan, maka lumbung ekonomi desa akan terbangun dan kesejahteraan warga desa akan segera turun dari langit.

AHMAD ERANI YUSTIKA, Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi


**Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di Kompas cetak, 18 Februari 2016. Tulisan dimuat kembali untuk tujuan pembelajaran.

Kategori
opini

Perempuan Paling Rentan Terpapar Racun Pestisida

Oleh: Alimah Fauzan*

“Mengerikan”, setidaknya demikian istilah yang dapat menggambarkan ekspresi para ibu di desa saat mendengar cerita tentang dampak penggunaan pestisida bagi perempuan. Cerita tersebut bukan sekadar karangan atau pun mengada-ada, namun hasil penelitian dan pengalaman pendampingan yang telah dilakukan oleh ibu Rosana Dewi. Rosana Dewi atau yang akrab disapa ibu Dewi merupakan Direktur Badan Usaha Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gita Pertiwi. LSM Gita Pertiwi adalah LSM yang memfokuskan diri pada kegiatan pelestarian lingkungan dan pengembangan masyarakat.

2013315petani bawang (radarcirebon com) b

Pada Kamis (7/1/16), para perempuan yang tergabung dalam kelompok perempuan “Raga Jambangan”di desa Jatilawang berkumpul mendiskusikan beberapa hal. Salah satu tema diskusi yang cukup menarik perhatian ibu-ibu adalah tentang dampak pestisida terhadap kesehatan terutama kesehatan reproduksi (Kespro) Perempuan. Tentu saja, informasi tersebut cukup menarik perhatian karena para perempuan ini juga setiap harinya ada yang membantu suami di ladang. Ketergantungan petani di Jatilawang terhadap penggunaan pestisida kimia sebenarnya menjadi kegelisahan tersendiri. Termasuk bagi perempuan, salah satunya adalah yang pernah ditulis oleh ibu Rahayu dalam tulisannya yang berjudul Ketergantungan Petani Pada Pestisida, lalu ada juga ibu Lindawati yang menulis tentang Ladang. Kedua tulisan perempuan asal Jatilawang ini menggambarkan bagaimana ketergantungan petani di desanya pada penggunaan pestisida.

Desa Jatilawang memang kaya akan sumber daya alamnya. Salah satunya adalah di bidang pertaniannya. Desa Jatilawang terletak di dataran tinggi pegunungan dengan hawa dan udara dingin yang sejuk. Luas ± 799 Ha dengan jumlah penduduk tahun 2015 sekitar 5136 orang dengan KK 1155. Kekayaan alamnya begitu melimpah, bahkan menurut hasil identifikasi aset dan potensi yang telah dilakukan kelompok perempuan Jatilawang, di desa ini tidak ada pengangguran.

Semua warga baik laki-laki perempuan tidak hanya bekerja mengolah lahannya, namun juga sebagai buruh pabrik di desanya, selebihnya para perempuan yang tidak bekerja di luar rumah disibukkan dengan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga dan membantu suami mengolah lahan. Sadar akan kondisi masyarakat yang sebagian besar mengolah lahannya, maka para perempuan Raga Jambangan pun sangat antusias berdiskusi tentang dampak pestisida.

Selama proses diskusi, rasa ingin tahu para ibu di desa ini begitu besar terutama bagi kesehatan resproduksi (Kespro) mereka. Respon dari para ibu ini setidaknya menunjukkan bahwa perempuan masih minim informasi tentang dampak pestisida terutama terhadap Kespro perempuan belum semuanya diketahui oleh perempuan itu sendiri. Sehingga tulisan ini mencoba menghimpun informasi dan pengetahuan terkait dampak pestisida terhadap Kespro perempuan.

Peran perempuan di sektor pertanian

Sebagai negara agraris, jumlah perempuan usia di atas 10 tahun dalam sektor pertanian mencapai 40 persen. Berbagai penelitian dalam sektor pertanian menunjukkkan bahwa peran perempuan pada kegiatan pertanian sangat substansial. Kesemuanya menyebut adanya pembagian kerja seksual dimana perempuan melakukan kerja selama proses produksi yang meliputi penanaman, penyiangan, pemeliharaan, panen, pasca panen, pemasaran, baik yang bersifat manajerial tenaga buruh, pada komoditi tanaman pangan ataupun tanaman industri yang diekspor. Beberapa pekerjaan malah dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti halnya menanam bibit, menabur benih dan menyiang.

Tahun 2012, Kementerian Pertanian memperkirakan ada sekitar 50% perempuan Indonesia yang terlibat dalam pembangunan sektor ini (2012). Dari 23 juta kepala keluarga petani, sebagian besar dari mereka adalah perempuan, isteri atau ibu yang juga terlibat. Jumlah perempuan itu sendiri sebanyak 49,66 % (118 juta lebih), hampir separuh dari jumlah penduduk nasional 237,6 juta, atau hampir seimbang dengan jumlah penduduk laki-laki 50,34% (119 juta lebih).

Bahaya pestisida terhadap Kespro perempuan

Informasi yang membahas tentang dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan sudah banyak bertebaran dari berbagai sumber dan media. Bahkan para petani sudah sering mendengar informasi tersebut. Namun dampak pestisida bagi Kespro tidak semua mengetahui dan memahaminya, bahkan oleh perempuan itu sendiri.

Kespro adalah singkatan dari kesehatan resproduksi. Kespro menurut WHO adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya atau suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu menjalankan fungsi dan proses reproduksinya secara sehat dan aman. Pengertian lain kesehatan reproduksi dalam Konferensi International Kependudukan dan Pembangunan, yaitu kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran dan sistem reproduksi.

3Peran perempuan di sektor pertanian yang sangat besar membuat perempuan juga dominan dan paling beresiko terhadap dampak pestisida. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pangan Dunia di perserikatan bangsa-Bangsa (FAO), jumlah perempuan yang terlibat di sektor pertanian meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah tenaga kerja perempuan dalam sektor pertanian mengalami peningkatan hampir empat kali lipat dari tahun 1960 sebanyak 7,43 juta menjadi 20,82 juta orang pada tahun 2000 (Data FAO, 2000). Meskipun FAO belum pernah mengeluarkan data jumlah petani terutama petani perempuan yang terkena dampak pestisida, namun ada beberapa studi terhadap kasus – kasus yang berkaitan dnegan dampak pestisida tersebut.

Di beberapa Negara Asia ditegaskan bahwa perempuan adalah pekerja utama di pertanian dan perkebunan, yang berhubungan langsung dengan penggunaan pestisida dalam pekerjaannya sehari-hari. Seperti di Malaysia, perempuan terlibat di hampir 80 persen dari 50,000 dari pekerjaan umum dan terpaksa menjadi pekerja di perkebunan, dengan sebanyak 30,000 orang yang aktif sebagai penyemprot pestisida di sektor perkebunan sendiri. Para pekerja di Malaysia sangat beresiko terpapar pestisida karena hampir sehari-hari menggunakan pestisida seperti Paraquat, Methamidophos dan Monocrotophos. Akibatnya, petani perempuan dan perempuan buruh perkebunan banyak yang menderita penyakit dan mengalami gangguan kesehatan yang kronis dan akut. Seperti kuku jari tangan yang membusuk, gatal-gatal, perut mual dan nyeri, sakit punggung, pusing, nafas sesak, mata kabur/rabun, mudah marah, sakit kepala, sesak di dada, bengkak, nyeri otot, rasa gatal kulit dan infeksi kulit , bahkan timbulnya kanker.

Pada umumnya adalah gangguan terhadap sistem reproduksi perempuan, seperti kanker rahim dan kanker payudara. Ditemukan fakta anak-anak yang dilahirkan mengalami cacat fisik, keterlambatan mental, serta kekebalan tubuh rendah. Selain gangguan terhadap kesehatan, tidak kurang kerusakan yang terjadi pada lingkungan yang berhasil dicatat adalah ditemukan ikan, lebah madu, kodok, dan ternak unggas ayam yang mati. Sebuah penelitian lain di India memperkirakan bahwa lebih dari 1000 orang pekerja di perkebunan ini telah terpapar pestisida dalam kurun waktu antara agustus hingga desember 2001 dan lebih dari 500 orang berakibat kematian, ternyata lebih dari setengah dari pekerja tersebut adalah perem

3

Di Indonesia sendiri, menurut data pertanian tahun 2000 menyatakan 50,28% dari total jumlah tenaga kerja di sector pertanian atau sebesar 49,60 juta adalah perempuan, kenyataannya masih sedikit penelitian terhadap tingkat pencemaran yang ditimbulkan oleh pestisida baik itu pada proses pertanian maupun pada produk makanan. Sehingga hanya beberapa kasus keracunan pestisida maupun gangguan yang dialami yang disebabkan dampak pestisida yang terungkap.

Beberapa dari kasus gangguan terpapar pestisida yang ditemukan ternyata sebagian besar penderitanya adalah petani perempuan. Kasus keguguran kehamilan yang dialami oleh salah seorang petani dari Sumatera Barat akibat penggunaan pestisida Dursban yang dicampur dengan Atracol (Terompet No.5,1993), menunjukkan fakta bahwa pestisida sangat berbahaya bagi perempuan terutama bagi kesehatan reproduksinya. Pestisida dapat meracuni embrio bayi dalam kandungan yang sama berbahaya seperti meracuni ibunya, bahkan yang belih buruk lagi kerusakan dapat terjadi sebelum masa kehamilan. Perempuan yang terkena pestisida masa awal kehamilan dapat mengakibatkan cacat pada bayi.

Dalam kurun waktu yang cukup lama ternyata pestisida ibarat tombak yang bermata dua. Di satu sisi pestisida mampu membantu meningkatkan kesejahteraan manusia, akan tetapi disisi lain pestisida adalah racun yang merusak manusia dan lingkungan. Peningkatan penggunaan pestisida untuk pertanian terjadi karena dalam keadaan tertentu ternyata pestisida lebih efektif, praktis, dan lebih cepat mengendalikan jasad penganggu sedangkan cara-cara lain tidak selalu mudah dilakukan.

4

Salah satu daerah yang tingkat pemakaian pestisidanya cukup tinggi adalah di kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Salah satu kejadian akibat keracunan pestisida pernah terjadi pada isteri petani bawang merah di desa Kedunguter, Kecamatan Breses, Kabupaten Brebes. (Muamilatul Mahmudah, dkk dalam Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 11 / No. 1, April 2012)

Menurut hasil penelitian Muamilatul Mahmudah dan kawan-kawan, data pemeriksaan sampel kolinestrase menunjukkan bahwa tingkat pencemaran pestisida di Kabupaten Brebes sudah mengkhawatirkan, terlihat dari banyaknya petani yang tercemar pestisida dalam kandungan darahnya, dari 11 kecamatan dengan jumlah petani yang diperiksa sebanyak 457 orang, menunjukkan 19,25% mengalami keracunan ringan dan 4,08% mengalami keracunan sedang.

Desa Kedunguter merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Brebes yang memiliki lahan pertanian sebesar 255 Ha dengan jumlah kelompok tani sebanyak 5 kelompok dengan komoditi bawang merah. Hasil wawancara dengan beberapa istri petani menunjukan bahwa tingkat penggunaan pestisida di daerah tersebut sangat tinggi dan intensif. Mereka pada umumnya campuran 3-5 jenis pestisida dengan frekuensi menyemprot hampir setiap hari, terutama pada musim penghujan, karena mereka beranggapan semakin sering tanaman disemprot maka akan mendapatkan hasil yang memuaskan, selain itu tanaman juga terhindar dari hama tanaman bawang.

Hasil penelitiannya menyatakan bahwa ada hubungan antara keikutsertaan istri dalam kegiatan pertanian dengan kejadian keracunan pada istri petani bawang merah di Desa Kedunguter Kecamatan Brebes Kabupaten Brebes. Hal ini dibuktikan dengan menggunakan uji Chi-Square yang menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,042, akan tetapi tidak ditemukan nilai RP untuk yang mengikuti kegiatan pertanian. Nilai RP (95% CI) sebesar 2,163 (1,038-4,509) merupakan nilai untuk yang tidak mengikuti kegiatan pertanian.

Dari nilai RP tersebut, isteri yang tidak mengikuti kegiatan pertanian menjadi faktor protektif untuk isteri yang ikut dalam kegiatan pertanian. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang menyiapkan perlengkapan untuk menyemprot, termasuk mencampur pestisida, mencuci peralatan/pakaian yang dipakai saat menyemprot, mernbuang rumput dari tanaman, mencari hama, menyiram tanaman, dan memanen merupakan efek negatif dari pajanan pestisida sehingga dapat menyebabkan keracunan dan gangguan kesehatan.

Keikutsertaan isteri dalam kegiatan pertanian menyebabkan mereka terpapar dengan pestisida misalnya ketika suami menyemprot di sawah dan isteri sedang mencari hama atau mencabut rumput dari tanaman, ketika isteri mencuci pakaian suami yang dipakai sewaktu menyemprot memungkinkan isteri terpapar dengan pestisida yang menempel pada pakaian tersebut.

Demikian halnya pada waktu panen, melepaskan bawang dari tangkainya isteri akan terpapar dengan pestisida yang menempel pada kulit bawang yang dipanen, hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan kadar kollinesterase darah sehingga menyebabkan keracunan pada isteri petani. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama bekerja dalam bidang pertanian maka semakin sering kontak dengan pestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.

Masa kerja dalam kegiatan pertanian yang lama memungkinkan istri mengalami  lebih lama terpapar pestisida, sehingga berpotensi untuk terjadi bioakumulasi residu pestisida di dalam tubuhnya, yang pada akhimya akan terjadi penurunan kadar kolinesterase sehingga menyebabkan keracunan. Pada isteri pemakai pestisida yang lama pemakaiannya berkisar 6-10 tahun, menunjukkan kadar kolinesterase darah yang tinggi berarti telah mengalami keracunan tingkat berat.

Berdasarkan berbagai faktor yang diteliti, hanya terdapat dua faktor yang menunjukkan adanya hubungan. Yang perlu diperhatikan dalam penelitian ini adalah tingginya kadar kolinesterase dalam darah. Kadar kolinesterase dalam darah dapat dijadikan indikator bahwa petani tersebut mengalami keracunan. Dengan demikian dapat dinyatakan pula bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan juga merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya aktifitas kolinesterase darah.

images

Hal tersebut sesuai dengan tujuan penelitian ini, dengan rendahnya kadar kolinesterase dalam darah maka dapat diketahui pula faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keracunan tersebut. Faktor-faktor ekstemal yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida pada istri petani bawang merah dalam penelitian ini adalah keikutsertaan istri dalam kegiatan pertanian dan tingkat risiko paparan.

Keracunan yang menimpa istri petani bawang adalah salah satu dari sekian banyak dampak dari bahaya pestisida. World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terjadi 1-5 juta kasus keracunan pestisida pada pekerja pertanian yang sebagian besar (80%) terjadi di negara-negara berkernbang.(1) Data WHO menunjukkan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat keracunan pestisida dapat sangat fatal seperti kanker, cacat, kemandulan dan gangguan hepar.

Bahaya bagi perempuan saat hamil, ketika pestisida yang tidak sengaja termakan oleh ibu hamil dapat menyebabkan bayi cacat lahir. Cacat lahir seperti spina bifida, bibir sumbing, kaki pengkor, dan sindrom down bisa diakibatkan paparan pestisida. Untuk memperkecil resiko, ibu hamil harus selektif dalam mengkonsumsi makanan dan minuman.

Bahaya pestisida juga berpengaruh terhadap perubahan hormon, jangka panjang dari paparan pestisida secara terus menerus dalam waktu sekitar 20-30 tahun akan terjadi perubahan hormonal dan sistem reproduksi. Pada anak laki-laki diistilahkan dengan demasculinisation, yaitu hilangnya sifat-sifat maskulin. Sementara pada anak perempuan disitilahkan dengan defeminisasion. Jadi anak mengalami perubahan orientasi seksualnya.

Pestisida menyebabkan diabetes. Bertahun-tahun ilmuwan percaya ada hubungan antara diabetes dengan pestisida. Menurut jurnal yang diterbitkan di Diabetes Care, orang yang mengalami kelebihan berat badan dan dalam tubuhnya terdapat pestisida golongan organoklorin berisiko tinggi terkena diabetes. Untuk menghindarinya, konsumsi makanan organic dan hindari penyegar udara kimia dan produk-produk artifisial yang beraroma.

Pestisida menyebabkan kanker. Pestisida cukup erat hubungannya dengan kanker. Lebih dari 260 pestisida berkaitan dengan beragam jenis kanker seperti limfoma, leukemia, sarcoma, jaringan lunak, otak, kanker hati, dan kanker paru-paru.

Pestisida menyebabkan autisme. Perpaduan antara gen dan polutan yang masuk ketika ibu hamil dipercaya para peneliti sebagai penyebab autisme. Kebanyakan insektisida membunuh hama dengan mengganggu fungsi saraf. Mekanisme yang sama terjadi pada janin yang terpapar insektisida. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 oleh Universitas Harvard menunjukkan urin yang mengandung pestisida berbahan aktif organofosfat pada anak-anak lebih mungkin mengalami ADHD dan hiperaktif dibanding urin pada anak-anak yang tidak tercemar pestisida.

Pestisida menyebabkan obesitas. Kadang pestisida bertindak sebagai hormon palsu dalam tubuh. Hormon ini mengganggu kemampuan tubuh untuk mengatur pengeluaran hormon yang sehat. Menurut penelitian yang dimuat jurnal Environmental Health Perspectives, lebih dari 50 jenis pestisida diklasifikasikan sebagai pengganggu hormon, di antaranya dapat memicu sindrom metabolik dan obesitas.

Pestisida menyebabkan parkinson. Penyakit gangguan degeneratif sistem saraf pusat atau yang sering mengganggu penderita keterampilan motorik, pidato, dan fungsi-fungsi lainnya atau Parkinson sangat berhubungan dengan paparan pestisida. Penelitian yang dilakukan menunjukkan penyakit ini berkaitan erat dengan paparan insektisida dan herbisida dalam jangka waktu yang panjang.

Dengan bertambah pengetahuan kita mengenal berbagai macam bahaya dari pestisida ini maka sudah sewajarnya kalau kita memang harus berhati-hati terhadap pengaruh negatif dari pestisida apalagi bila penggunaannya berlebihan.

Peneliti Kesehatan Masyarakat dari Universitas Gajah Mada, Nurul Kodriati, M.Med Sc., mengatakan bahwa saat ini banyak petani menggunakan berbagai bahan kimia untuk menjaga tanaman dari serangan hama. Tak cukup satu macam, kata Nurul, satu jenis buah atau sayuran bisa menggunakan 17 – 55 macam bahan kimia yang berbeda.

Menurut Nurul, buah yang paling banyak terpapar pestisida sehingga banyak residu yang menempel di kulitnya adalah apel, pir, serta anggur. Pada sayuran, jenis yang paling banyak terpapar pestisida adalah seledri, bayam, paprika, dan wortel.

Ambil contoh buah apel. Meski terlihat segar dan menggoda, kata Nurul, setidaknya ada tiga kandungan pestisida yang paling sering ditemui pada apel, yakni thiabendazole, diphenylamine, dan acetamiprid. Dampak bahan kimia tersebut bisa bermacam-macam, tergantung pada jenis bahan kimianya dan seberapa banyak kita terpapar. Apa saja efeknya? Sedikitnya ada empat efek, yakni efek karsinogen (bisa menimbulkan kanker), hormone disruptor (mengganggu sistem hormonal), neurotoxin (mempengaruhi sistem saraf), dan mengganggu pertumbuhan serta fungsi reproduksi.

Berikut ini contoh bahaya bahan aktif pestisida terhadap kesehatan: Asefat beresiko menyebabkan kanker, mutasi gen, kelainan alat reproduksi; Aldikard sangat beracun pada dosis rendah; BHC beresiko menyebabkan kanker, beracun pada alat reproduksi; Kaptan beresiko menyebabkan kanker, mutasi gen; Karbiral beresiko menyebabkan mutasi gen, kerusakan ginjal; Klorobensilat beresiko menyebabkan kanker, mutasi gen, keracunan alat reproduksi; Klorotalonil beresiko menyebabkan kanker, keracunan alat reproduksi; Klorprofam beresiko menyebabkan kanker, mutasi gen, pengaruh kronis; Siheksatin beresiko menyebabkan Karsinogen; DDT beresiko menyebabkan Cacat lahir, pengaruh kronis.

Upaya Pencegahan

Perempuan yang bekerja di sektor pertanian akan rawan terkena gangguan pada sistem reproduksi hal ini dapat membahayakan kondisi kesehatan bagi para wanita tersebut. Untuk itu sebaiknya kepada para petani untuk lebih waspada dalam penggunaan pestisida, sebaiknya para petani memperhatikan dosis penyemprotan pestisida yang akan dilakukan dan memakai alat perlindungan diri yang lengkap, tidak melakukan penyemprotan pada saat angin kencang dan tidak melawan arah angin pada saat penyempotan dan mengganti pakaian serta mandi dengan sabun setelah melakukan penyemprotan. Dan sebaiknya pemerintah menghimbau kepada para petani untuk mengurangi penggunaan pestisida dan dianjurkan untuk menggunakan pupuk organik, agar dapat mengurangi dampak penyakit yang ditimbulkan oleh pestisida itu sendiri.

Pengetahuan tentang pestisida yang disertai dengan praktek penyemprotan akan dapat menghindari petani/penyemprot dari keracunan.Ada beberapa cara untuk menghindari atau mencegah terjadinya penyakit yang disebabkan oleh penggunaan pestisida antara lain:

Pertama, pembelian pestisida. Dalam pembelian pestisida hendaknya selalu dalam kemasan yang asli, masih utuh dan ada label petunjuknya.Perlakuan sisa kemasan, Bekas kemasan sebaiknya dikubur atau dibakar yang jauh dari sumber mata air untuk mengindai pencemaran ke badan air dan juga jangan sekali-kali bekas kemasan pestisida untuk tempat makanan dan minuman.

Kedua, penyimpanan. Setelah menggunakan pestisida apabila berlebih hendaknya di simpan yang aman seperti jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur dengan bahan makanan dan sediakan tempat khusus yang terkunci dan terhindar dari sinar matahari langsung.

Ketiga, penatalaksanaan penyemprotan. Pada pelaksanaan penyemprotan ini banyak menyebabkan keracunan dan penyakit lainnya oleh sebab itu petani di wajibkan memakai alat pelindung diri yang lengkap setiap melakukan penyemprotan, tidak melawan arah angin atau tidak melakukan penyemprotan sewaktu angin kencang, hindari kebiasaan makan-minum serta merokok di waktu sedang menyemprot, setiap selesai menyemprot dianjurkan untuk mandi pakai sabun dan berganti pakaian serta pemakain alat semprot yang baik akan menghindari terjadinya penyakit.

 

sumber gambar : klik disini

 

*Alimah Fauzan adalah staf gender Infest Yogyakarta.