Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mendorong banyak lembaga organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia saat ini, baik yang memiliki relasi dengan jaringan donor di luar negeri ataupun yang mengklaim dirinya mandiri, yang biasanya terkesan anti terhadap regulasi negara mendadak menjadi tidak anti regulasi. Alasannya, UU Desa dianggap memiliki poin-poin penting yang dapat mendorong desa menjadi “subjek” melalui beberapa kekuatan yang terdapat di dalamnya. Dan selanjutnya diyakini telah menghadirkan peluang dan ruang baru bagi desa untuk menjadi lebih mandiri dan berkeadilan.
Kondisi ini membawa tidak sedikit OMS atau yang disebut dengan istilah lainnya, yang pada mulanya jarang bersentuhan dengan isu-isu desa berubah haluan menjadi ahli-ahli pedesaan baru. Proposal-proposal untuk pendampingan desa dalam rangka implementasi UU Desa pastinya terus semakin menumpuk di meja donor. Isu pendampingan desa yang semakin semarak ini ibarat cendawan yang tumbuh subur kala musim penghujan datang. Dan semacam menjadi berkah baru bagi sebagian kelas menengah yang tidak terserap di dunia industri, ataupun seperti “rejeki” bagi sebagian OMS yang terancam kolaps karena sumber keuangan dari isu sebelumnya yang dikelola tidak di perpanjang oleh lembaga donor.
Diskursus kritis apakah UU Desa tersebut pada suatu saat akan menjadi alat legitimasi baru yang ampuh untuk mengintegrasikan sistem kapitalisme global ke dalam desa dengan ekonomi uang ataupun sebagai geografi pasar baru dengan ideologi pembangunan, sepertinya untuk sementara tidak mendapat “tempat” bagi sebagian OMS saat ini.
Persoalan lain bagaimana desa juga sebagai sebuah arena politik yang kompleks, di mana di dalamnya terdapat kelas-kelas sosial yang saling berseberangan karena runtuhnya kehidupan subsistensi, akibat terus meluasnya ekonomi uang, sekali lagi bagi sebagian OMS juga tidak terlalu menarik untuk diperdebatkan. Karena bisa saja, yang terpenting saat ini adalah mendorong lahirnya kelas menengah baru di desa.
Hal ini sesekali menghantarkan pada suatu pertanyaan bagi OMS pegiat desa, baik yang sudah kawakan ataupun yang baru muncul pasca terbitnya UU Desa: apakah isu pendampingan desa berawal dari suatu kesadaran kritis untuk menghalau laju kapitalisme yang selama ini telah memporak-porandakan dan memicu krisis sosial ekologis desa dengan memanfaatkan celah regulasi UU Desa atau memang hanya sekedar mengerjakan proyek yang bersifat sementara mumpung isu tersebut dapat mendatangkan gelontoran dana besar? Pertanyaan ini tentunya tidak harus dijawab sekarang, melainkan lebih baik diserahkan langsung kepada para pegiat desa yang masih tertarik untuk merefleksikan apa yang sedang dilakukan.
Namun jika melihat perkembangan terkini berupa terus meningkatnya jumlah konflik agraria di seluruh wilayah pedesaan Nusantara, tidak ada salahnya mengingat kembali beberapa kritik yang dilontarkan oleh beberapa ahli agraria-pedesaan terkait dengan lahirnya UU Desa tersebut. Salah satunya adalah kritik yang dilontarkan oleh Gunawan Wiradi dalam sebuah workshop di Jakarta. Ia mengatakan bahwa isi dari UU Desa tidak ada yang menyinggung tentang reforma agraria. Padahal reforma agraria adalah salah satu jalan untuk menekan ketimpangan kekayaan dan konflik ruang hidup yang terus meluas di pedesaan.
Di pihak lain, bagi para pegiat desa yang memiliki “iman” bahwa UU Desa tersebut dapat menghadirkan peluang dan ruang baru bagi keadilan berdesa, mau tidak mau kini harus memikirkan bagaimana menemukan metode perencanaan yang baik untuk menuju desa ideal. Untuk menjawab pertanyaan ini, lahirlah sebuah metode perencanaan yang disebut sebagai “perencanaan apresiatif-partisipatif desa”. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya menumbuh kembangkan nilai-nilai partisipatif dan apresiatif di desa dalam rangka implementasi UU Desa.
Dalam praktiknya, kelas sosial marjinal, seperti kelompok rumah tangga miskin, perempuan dan lainnya harus dilibatkan dalam perencanaan pembangunan desa. Selain itu, berawal dari kritik terhadap ketidakakuratan data desa akibat metode perencanaan yang bersifat top-down dan teknokratis, pendekatan ini juga mengajak desa untuk melahirkan dokumen yang berpijak pada nilai-nilai partisipatif dan apresiatif. Secara ringkas, dokumen tersebut disebut dokumen Pemetaan Apresiaf Desa (PAD), yang terdiri dari dokumen kesejahteraan lokal, aset-potensi dan kewenangan. Dokumen PAD ini selanjutnya akan menjadi basis perencanaan pembangunan yang diklaim telah pro kelompok marjinal.
Praktik PAD di Tiga Desa, Kabupaten Wonosobo
Selama delapan bulan, tiga desa di kabupaten Wonosobo, yaitu Gondang, Wulungsari dan Tracap telah mempraktikkan pendekatan PAD. Praktik ini menghantarkan pada satu jalan panjang bagi tiga desa tersebut untuk melewati beberapa tahapan. Diantaranya melakukan pemetaan kesejahteraan warga dengan indikator lokal melalui beberapa tahapan: membentuk Tim Pembaharu Desa (TPD), melakukan penguatan kapasitas terhadap TPD, menyelenggarakan Musdes untuk menggali indikator lokal, sensus kejahteraan, verifikasi data, entri data, pra Musdes penggalian usulan kelas sosial marjinal, dan Musdes review Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa).
Pemetaan dengan indikator lokal ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran kelas-kelas sosial yang ada di desa dengan melibatkan secara langsung seluruh warga. Sekaligus juga menjadi ruang-ruang dialog baru agar praktik berdesa dengan nilai-nilai partisipatif semakin tumbuh subur. Selain melakukan pemetaan kesejahteraan lokal, TPD juga melakukan kegiatan pemetaan aset-potensi dan kewenangan. Pemetaan aset-potensi diharapkan dapat menghasilkan suatu dokumen dan analisis strategis terhadap potensi aset yang dimiliki untuk selanjutnya dapat dimobilisasi menjadi kekuatan yang dapat mendorong pengurangan angka ketimpangan kekayaan. Jalan panjang ini, diantaranya memiliki keluaran berupa lahirnya dokumen RPJM Desa, meningkatnya peran kelas sosial marjinal, dan praktik-praktik partisipasi.
Sabtu (5/12/2015), dalam rangka merefleksikan praktik PAD yang telah dilakukan selama lebih dari 8 bulan, TPD Gondang, Wulungsari dan Tracap bersepakat untuk saling bertemu. Pertemuan ini pada hari pelaksanaannya dihadiri oleh 58 orang anggota TPD.
Di awal sesi pertemuan, tim fasilitator yang berasal dari Infest Yogyakarta, mengajak seluruh anggota TPD yang hadir untuk melihat kembali apa arti “PAD” bagi tiap-tiap anggota TPD. Dari beberapa pernyataan yang dilontarkan oleh beberapa anggota TPD, didapatkan sebuah gambaran tentang PAD:
Toni (Gondang): PAD adalah pemetaan aset-potensi dan kesejahteraan lokal;
Muntiah (Tracap): PAD adalah pemetaan kesejahteraan dan aset;
Sekdes Wulungsari: PAD adalah pemberdayaan masyarakat berbasis aset.
Pernyataan pendek dari anggota-anggota TPD di atas memberikan gambaran awal bahwa beberapa orang anggota TPD memang mulai memahami apa yang dimaksud dengan PAD. Walaupun masih sebatas pengertian dasar tetapi praktik PAD di 3 desa ini menurut mereka telah membawa perubahan baik. Sofia, anggota TPD Wulungsari, misalnya, mengatakan bahwa “dulu sebelum ada Sekolah Pembaharu Desa dan TPD, kami cuma tahu bahwa UU Desa hanya akan memberikan dana desa yang lebih besar. Namun dengan terbentuknya TPD dan mengenal PAD, kami menjadi tahu tentang aset-potensi desa, dan sedikit demi sedikit pemahaman kami tentang UU Desa semakin bertambah. Selain itu, dengan adanya TPD peran perempuan di desa kami juga semakin meningkat”.
Pengalaman di desa Tracap juga cukup menarik. Muntiah, anggota TPD Tracap, mengatakan, “Dengan adanya implementasi PAD dan lahirnya TPD, masyarakat desa Tracap yang dahulunya susah untuk berkumpul membahas isu-isu tentang desa sekarang menjadi lebih mudah.” Walaupun ia menambahkan dalam praktiknya kegiatan TPD masih kurang mendapatkan dukungan dari Pemerintah Desa secara nyata.
Selanjutnya, terkait dengan pemahaman para anggota TPD terhadap isi UU Desa, fasilitator mengajak kembali seluruh anggota TPD untuk memberikan jawaban sejauh mana mereka telah membaca atau memahami UU Desa. Dari jawaban yang diberikan lewat wawancara dan kuisioner, dapat ditarik sebuah kesimpulan awal bahwa hampir 70 persen seluruh anggota TPD tidak memahami dan tidak pernah membaca UU Desa. Kondisi ini menghantarkan pada satu catatan bahwa diperlukan satu “kursus” secara mendalam tentang UU Desa bagi TPD. Kursus yang dimaksud bukan ditujukan untuk menghafal isi dari UU Desa, melainkan untuk melihat secara mendalam, bab per bab, isi yang terkandung di dalamnya, dan sekaligus berupaya untuk mengenali terkait dengan apa yang tidak terkandung di dalamnya. Proses belajar yang demikian, diharapkan dapat menjadi eksperimen metode belajar yang reflektif bagi TPD dan para pegiat desa.
Dalam sesi lanjutan, pertemuan refleksi TPD ini juga menemukan beberapa catatan penting. Diantaranya adalah TPD mulai menyadari bahwa terdapat beberapa aset yang berada di desa akan terancam punah keberadaannya. Kesadaran tersebut lahir pasca mereka menggunakan pendekatan PAD di dalam membaca dan menganalisis tata ruang desa masing-masing. Dalam satu contoh kasus yang menarik, di desa Wulungsari, misalnya. Di desa ini terdapat beberapa titik mata air yang oleh satu dusun telah dikelola secara turun temurun untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan pertanian. Namun setelah ditelusuri lebih mendalam, praktik di dusun tersebut tidak terjadi di dusun lainnya. Salah satu faktor penyebabnya, mata air di dusun lainnya telah terancam rusak akibat pembabatan pohon di sekitar mata air berada.
Dengan pembacaan tersebut, kini penduduk dusun lainnya, mulai terinspirasi untuk melindungi titik-titik mata air yang tersisa. Dan untuk menguatkannya menjadi aset yang terlindungi, TPD dan pemerintah desa Wulungsari menerbitkan sebuah Peraturan Desa terkait perlindungan mata air dan tata ruang desa yang berkelanjutan. Cerita tata kelola mata air di Wulungsari ini, juga mendorong TPD Gondang untuk mempraktikkan hal yang serupa, mengingat di desa Gondang juga terdapat kawasan pertanian yang cukup luas.
Di penghujung kegiatan refleksi, seluruh TPD bersepakat bahwa di dalam penyelenggaraan Musdes, seluruh kelas sosial marjinal akan dilibatkan secara aktif. Agar perencanaan pembangunan yang tertuang dalam RPJM Desa dengan periode waktu 6 tahun ke depan benar-benar memiliki “ruh” baru dan berdampak secara langsung terhadap kelas sosial marjinal.
Namun terlepas dari cerita sukses dari praktik PAD di 3 desa ini, juga masih muncul beberapa tantangan-tantangan serius. Salah satunya adalah posisi TPD di dalam struktur pemerintah desa. Posisi ini sebenarnya berusaha untuk menjawab persoalan yang telah diajukan oleh Muntiah, salah seorang anggota TPD Tracap. Ia mengeluhkan “ketidakpastian” proses yang terbangun dalam praktik PAD akan diterima baik oleh Pemdes. Dengan demikian, sepertinya posisi TPD dalam struktur pemerintahan desa juga perlu mendapat legalitas, agar pemerintah desa tidak lagi bisa mengelak dengan usulan dan program kerja pembaharuan yang ditawarkan oleh TPD. Selain persoalan legalitas, komposisi dari anggota TPD juga perlu mendapatkan perhatian yang lebih khusus. Misalnya, komposisi ideal dari anggota TPD adalah terdiri dari perwakilan-perwakilan kelas sosial marjinal dengan angka mencapai 75 persen dari total keseluruhan jumlah anggota TPD. Dengan demikian, praktik dominasi dan intervensi pemerintah desa terhadap TPD memungkinkan untuk tidak terjadi.
Catatan lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana peran TPD dapat membawa nafas baru untuk mendorong desa mendistribusikan sarana produksi kepada kelas-kelas sosial yang tak berpunya. Misalnya kelompok buruh tani, ataupun kelompok rentan lainnya yang masih menggantungkan hidupnya dari menjual tenaga kepada kelas yang berpunya. Dengan cara ini, ketimpangan kekayaan yang terus meluas terjadi di desa dapat berkurang, dan di sisi lain juga dapat meminimalisasi pengalihan sarana produksi (tanah) desa kepada pihak-pihak lain di luar desa yang secara khusus berpengaruh langsung terhadap perubahan tata ruang dan kawasan pedesaan.
Catatan Tambahan
Situasi di atas, kadang-kadang menghantarkan pada sebuah imajinasi bahwa kita mesti harus berani keluar dari teks regulasi UU Desa. Imajinasi ini muncul saat terlintas sebuah bayangan bahwa tanpa regulasi tersebut, pada dasarnya desa memang harus memiliki perencanaan yang baik dengan bersandarkan pada nilai-nilai partisipatif dan pro terhadap kepentingan kelas sosial marjinal. Sikap harus berani keluar dari teks ini juga didasari oleh suatu “bayangan” bahwa jika ke depan terjadi sebuah revisi terhadap UU Desa, yang menggeser semangat awal untuk kemandirian desa menjadi pro modal, maka sedari awal desa sudah memiliki persiapan dan senjatanya sendiri untuk mengelola desa menjadi lebih baik, minimal dari segi perencanaan dan semangat kesadaran kritis dalam mengelola ruang hidupnya. Dengan demikian, ketergantungan desa terhadap regulasi dan para pendamping yang terkadang masih bekerja pada basis proyek dapat terkikis, sehingga makna “desa menjadi subjek” benar-benar menjadi bukan jargon, melainkan sudah menjadi praktik.