Semangat kemandirian dan kedaulatan desa sebagaimana semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, belum banyak dipahami sebagai kewenangan desa untuk mengurus rumahtangganya sendiri. Mentalitas sebagai obyek pembangunan menjadikan desa lebih banyak menunggu kebijakan dan instruksi dari supradesa. Alih-alih untuk bermimpi besar, desa masih takut salah ketika hendak menjalankan kewenangannya. Selain pemahaman yang masih kurang pada level desa, penghargaan terhadap kedaulatan desa belum sepenuhnya dipahami oleh pemerintah supradesa, baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Beberapa hal menarik muncul dalam Pelatihan Tata Kelola Keuangan Desa yang dilaksanakan di Kabupaten Malang pada 3 – 6 september 2015. Pelatihan yang bertempat di Desa Tunjungtirto ini melibatkan tiga desa di Kabupaten Malang, yaitu Desa Kucur, Jambearjo, dan Tunjungtirto. Para kader Pembaharu Desa mengungkapkan perbedaan pemahaman tentang regulasi yang ada. Kondisi tersebut menimbulkan pro dan kontra dari beberapa pihak berkaitan dengan implementasi UU Desa. Bahkan, pembelajaran yang mereka dapatkan sangat berbeda dengan pelaksanaannya di lapangan yang setiap hari mereka hadapi.
Dalam penatausahaan keuangan desa, perangkat desa mengaku masih kebingungan dengan regulasi yang ada, baik dari Peraturan Menteri (Permen) maupun Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Malang. Pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa belum bisa dipahami sepenuhnya oleh pemerintah desa, bahkan membingungkan. Salah satu poin yang membingungkan adalah tentang sumber penerimaan desa yang berasal dari swadaya masyarakat yang harus dinilai dengan jumlah uang dan masuk dalam pencatatan Pendapatan Asli Desa (PADesa).
Ketidakjelasan aturan ini menjadikan pemerintah desa tidak memiliki pedoman dan takut salah ketika hendak melaksanakan kegiatan pembangunan di desa.
Pada pasal lain disebutkan bahwa semua pendapatan dan belanja desa harus tercatat dalam buku rekening bank yang dimiliki desa. Aturan ini tidak bisa dilaksanakan oleh pemerintah desa karena swadaya masyarakat tidak semuanya dalam bentuk uang. Tenaga kerja misalnya, yang dilakukan dengan cara gotong-royong oleh masyarakat tidak bisa tercatat dalam buku rekening bank yang dimiliki oleh desa. Kebingungan tersebut diungkapkan oleh Abdul Karim, Kepala Desa Kucur.
Selain Permendagri 113, Perbup Kabupaten Malang Nomor 17 yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa tidak mengatur secara spesifik pelaksanaan kegiatan di desa. Padahal, pelaksanaan kegiatan di desa ada yang dilakukan dengan swakelola. Ada pula yang dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga melalui tender. Selain Perbup, dalam aturan yang lain pun tidak ada yang mengatur tentang batasan nilai berapa boleh melaksanakan kegiatan dengan swakelola dan pada batasan nilai kegiatan berapa harus dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga. Ketidakjelasan aturan ini menjadikan pemerintah desa tidak memiliki pedoman dan takut salah ketika hendak melaksanakan kegiatan pembangunan di desa.
Bukan hanya kabupaten
Selain tidak jelasnya beberapa aturan dalam penatausahaan keuangan desa, para Kader Pembaharu Desa mengeluhkan kebiasaan lama yang masih dilakukan oleh pemerintah kecamatan terkait evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Mereka menganggap pemerintah kecamatan masih menggunakan cara-cara lama yang saat ini sudah tidak relevan untuk digunakan.
Kewenangan evaluasi APB Desa sebagai pelimpahan kewenangan dari pihak kabupaten kepada kecamatan hingga saat ini masih dilakukan dengan asal-asalan. Dokumen APB Desa masih dianggap sebagai dokumen formalitas yang hanya digunakan sebagai syarat pencairan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Bahkan, masih banyak terjadi dokumen APBDesa dihasilkan dari menyalin dokumen APB Desa desa lain atau contoh APB Desa yang sudah ada. Hal seperti itu justru dianjurkan oleh pemerintah kecamatan kepada desa dengan alasan “yang penting cair”.
Di Kecamatan Tajinan, alasan yang digunakan oleh pemerintah kecamatan ialah adanya “kesepakatan” yang telah dibuat oleh para kepala desa. Pemahaman yang keliru pada pemerintah kecamatan dan intervensi yang dilakukan kepada desa, diperparah lemahnya pemahaman kepala desa terhadap regulasi. Karena itulah, “kesepakatan” yang telah dibuat oleh pihak kecamatan dan para kepala desa sampai saat ini masih menjadi acuan dalam pembuatan dokumen APB Desa dan pembuatan laporan kegiatan dan SPJ yang asal jadi.
Dokumen APB Desa yang dibuat dengan cara asal-asalan, memunculkan pertanyaan besar tentang proses perencanaan dan penyusunannya di level desa yang seharusnya dilakukan melalui musyawarah desa.
Pengalaman dalam membuat APB Desa diungkapkan pula oleh Mohamad Mahfud, Sekretaris Desa Jambearjo, Kecamatan Tajinan. Adanya “kesepakatan” yang dibuat oleh pihak kecamatan dengan para kepala desa bukan hanya dalam hal pembuatan dokumen APBDesa dan segala bentuk laporannya. Kesepakatan ini juga dipakai oleh pihak kecamatan untuk melakukan pemotongan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) dari desa. Pemotongan SILPA yang dilakukan oleh pihak kecamatan tidak jelas untuk apa dan untuk siapa. Bahkan tidak ada bukti sah yang diterima oleh desa setiap kali pihak kecamatan melakukan pemotongan.
Pemotongan SILPA yang dilakukan oleh pihak kecamatan berimbas pada proses pembuatan laporan kegiatan di tingkat desa. Pemerintah desa berpotensi membuat laporan yang tidak sesuai dengan pelaksanaan kegiatan yang sebenarnya.
Di Kecamatan Singosari, kewenangan evaluasi dari pemerintah kecamatan juga belum dilakukan sebagaimana mestinya. Intervensi pihak kecamatan kepada desa dengan argumentasi “yang penting cair” masih dilakukan dalam proses evaluasi APB Desa. Yuli, Sekretaris Desa Tunjungtirto mengeluhkan bahwa hal tersebut menjadikan pemerintah desa tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar dalam pembuatan APB Desa. Bahkan, ketika dalam dokumen APB Desa terdapat jenis kegiatan yang salah pos anggaran, pemerintah kecamatan tidak melakukan evaluasi yang semestinya. Sehingga APB Desa terkesan dibuat buru-buru dan hanya digunakan sebagai syarat pencairan dana.
“Pemotongan SILPA yang dilakukan oleh pihak kecamatan tidak jelas untuk apa dan untuk siapa, bahkan tidak ada bukti sah yang diterima oleh desa setiap kali pihak kecamatan melakukan pemotongan.”
Penatausahaan keuangan desa yang partisipatif, transparan, akuntabel dan tertib administrasi, bukan hanya menjadi tantangan bagi pemerintah desa. Ketika desa telah bergerak untuk memperbaiki diri dan membuat inisiatif-inisiatif baru yang selama ini bukan menjadi kebiasaan mereka. Pemerintah dan kader pembaharu desa sangat berharap respon dari pemerintah supradesa yang tepat sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan.
“Jika dokumen APBDesa telah dibuat oleh desa dan sudah siap pada akhir tahun, adakah jaminan desa bisa mencairkan anggaran setiap awal tahun pada bulan januari?” pertanyaan kritis dari Abdul Karim, Kepala Desa Kucur.
Ketika perbaikan yang telah dilakukan oleh desa tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkan, atau bahkan pemerintah supradesa tetap menggunakan cara lama, dengan intervensi dan argumentasi “yang penting cair”, maka bukan tidak mungkin, pengetahuan dan proses pembelajaran bagi para Kader Pembaharu Desa hanya akan menjadi milik mereka pribadi, tanpa ada implementasi yang berarti. Keinginan dan gagasan untuk memperbaharui desa menjadi lebih baik akan berhadapan dengan kenyataan dan kebiasaan dari pemerintah supradesa yang masih menggunakan cara-cara lama. Karena itu, pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten juga harus didorong untuk memperbaiki diri, memahami dan menjalankan kewenangannya sebagaimana mestinya. [Yudi]