Arsip Penulis: Yudi Setiyadi

Urun Daya Perempuan Desa Mendorong Pemdes Responsif Kebutuhan Warga

Andri Mukti Sasongko, Kabid Pemerintahan dan Sosial Budaya Bappeda Banjarnegara mengatakan bahwa penting kader Sekolah Perempuan untuk berkolaborasi dengan pihak kabupaten untuk penanggulangan kemiskinan pada kegiatan Refleksi Sekolah Perempuan Banjarnegara (16 April 2016) di Aula KPMD Banjarnegara.

Andri Mukti Sasongko, Kabid Pemerintahan dan Sosial Budaya Bappeda Banjarnegara mengatakan bahwa penting kader Sekolah Perempuan untuk berkolaborasi dengan pihak kabupaten untuk penanggulangan kemiskinan pada kegiatan Refleksi Sekolah Perempuan Banjarnegara (16 April 2016) di Aula KPMD Banjarnegara. (Foto: Yudi/Infest)

“Dulunya ketika musyawarah desa, perempuan selalu berada di belakang. Tapi sekarang, perempuan selalu duduk paling depan dan sudah siap dengan data dan gagasan yang akan mereka usulkan untuk desa,” ungkap Arif Machbub, Kepala Desa Gumelem Kulon, Banjarnegara, pada kegiatan Refleksi Sekolah Perempuan di Banjarnegara, Sabtu (16/04).

Kegiatan yang diselenggarakan di aula kantor KPMD (Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa) Banjarnegara ini mempertemukan kader perempuan dari Desa Gumelem Kulon, Desa Gentansari, dan Desa Jatilawang bersama kepala desa dan perangkatnya. Kegiatan ini juga dihadiri oleh KPMD dan Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Kabupaten Banjarnegara. Suasana haru terlihat ketika perwakilan kader perempuan dari masing-masing desa mempresentasikan pengalaman yang mereka dapatkan melalui Sekolah Perempuan.

“Kami yang semula tidak tahu apa-apa tentang desa, yang biasanya hanya disibukkan dengan urusan dapur. Sekarang ini bisa membuktikan bahwa kami juga bisa mengambil peran untuk kemajuan desa kami,” tutur Sri Utami, kader perempuan dari Desa Gumelem Kulon.

Bukan hanya sekadar peran, kader-kader perempuan dari tiga desa di Banjarnegara ini bahkan telah melakukan pendataan aset dan potensi desanya. Memetakan tantangan dan peluang, melakukan survei kesejahteraan dengan indikator lokal yang dibuat oleh desa, dan memiliki mimpi besar untuk memajukan desanya.

Kader perempuan di Desa Jatilawang misalnya, data yang mereka buat bisa menjadi acuan pemerintah desa dalam menentukan arah kebijakan di desanya.

“Data dan gagasan yang dibuat oleh kader perempuan di desa kami telah masuk dalam RPJM Desa. Melalui data ini, pemerintah desa jadi bisa menentukan program yang tepat sasaran sesuai dengan kondisi masyarakat. Prioritas bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan Jamkesda kami berikan pada masyarakat yang memang benar-benar miskin sesuai dengan indikator lokal desa,” ungkap Supriyanto, Kepala Desa Jatilawang, menceritakan peran kader perempuan di desanya.

"Sekarang ini bisa membuktikan bahwa kami juga bisa mengambil peran untuk kemajuan desa kami," Tursiyem, kader Sekolah Perempuan

“Sekarang ini bisa membuktikan bahwa kami juga bisa mengambil peran untuk kemajuan desa kami,” Tursiyem, kader Sekolah Perempuan (Foto: Yudi/Infest)

Ungkapan-ungkapan ini hanyalah potret kecil dari sekian banyak pengalaman kader perempuan yang telah mengambil peran di desanya. Kader perempuan tidak hanya mempesona dari penampilannya saja, prestasi yang mereka tunjukan pun telah mempesona Andri Mukti Sasongko, Kabid Pemerintahan dan Sosial Budaya, Bappeda Kabupaten Banjarnegara.

“Kami sangat mengapresiasi peran para kader perempuan di tiga desa ini. Desa jadi bisa menentukan arah kebijakan yang tepat, dan bisa berkolaborasi dengan kabupaten dalam penanggulangan kemiskinan dan pembangunan di desa,” kata Andri Mukti Sasongko.

Sebelumnya, Andri Mukti Sasongko juga menyampaikan, bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Banjarnegara masih tinggi. Tahun 2015, angka kemiskinan di Banjarnegara hanya turun sekitar 0,96 persen. Karena itu butuh strategi yang lebih baik dan peran berbagai pihak dalam penanggulangan kemiskinan. Apalagi wilayah Kabupaten Banjarnegara termasuk daerah rawan bencana alam.

Imam Purwadi, Kepala KPMD Kabupaten Banjarnegara, berharap kegiatan sekolah perempuan bisa berlanjut di Banjarnegara. Sehingga kader perempuan di Desa Gumelem Kulon, Desa Gentansari dan Desa Jatilawang, bisa menjadi contoh positif bagi desa-desa lainnya.

“Kami berharap kegiatan sekolah perempuan di Banjarnegara bisa terus berlanjut, agar bisa menjadi contoh bagi desa-desa lainnya. Jika desa merasakan kontribusi positif yang diberikan melalui kegiatan ini, desa pun bisa menganggarkannya sendiri untuk kegiatan pendataan dan penggalian gagasan di tingkat desa,” ungkap Imam Purwadi. [Yudi Setiyadi]

Mengulas APBDesa

Berjibaku dengan Kebiasaan Lama

Semangat kemandirian dan kedaulatan desa sebagaimana semangat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, belum banyak dipahami sebagai kewenangan desa untuk mengurus rumahtangganya sendiri. Mentalitas sebagai obyek pembangunan menjadikan desa lebih banyak menunggu kebijakan dan instruksi dari supradesa. Alih-alih untuk bermimpi besar, desa masih takut salah ketika hendak menjalankan kewenangannya. Selain pemahaman yang masih kurang pada level desa, penghargaan terhadap kedaulatan desa belum sepenuhnya dipahami oleh pemerintah supradesa, baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten.

Pelatihan Pengelolaan Keuangan Desa di Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang

Pelatihan Pengelolaan Keuangan Desa di Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang.

Beberapa hal menarik muncul dalam Pelatihan Tata Kelola Keuangan Desa yang dilaksanakan di Kabupaten Malang pada 3 – 6 september 2015. Pelatihan yang bertempat di Desa Tunjungtirto ini melibatkan tiga desa di Kabupaten Malang, yaitu Desa Kucur, Jambearjo, dan Tunjungtirto. Para kader Pembaharu Desa mengungkapkan perbedaan pemahaman tentang regulasi yang ada. Kondisi tersebut menimbulkan pro dan kontra dari beberapa pihak berkaitan dengan implementasi UU Desa. Bahkan, pembelajaran yang mereka dapatkan sangat berbeda dengan pelaksanaannya di lapangan yang setiap hari mereka hadapi.

Dalam penatausahaan keuangan desa, perangkat desa mengaku masih kebingungan dengan regulasi yang ada, baik dari Peraturan Menteri (Permen) maupun Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Malang. Pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa belum bisa dipahami sepenuhnya oleh pemerintah desa, bahkan membingungkan. Salah satu poin yang membingungkan adalah tentang sumber penerimaan desa yang berasal dari swadaya masyarakat yang harus dinilai dengan jumlah uang dan masuk dalam pencatatan Pendapatan Asli Desa (PADesa).

Ketidakjelasan aturan ini menjadikan pemerintah desa tidak memiliki pedoman dan takut salah ketika hendak melaksanakan kegiatan pembangunan di desa.

Pada pasal lain disebutkan bahwa semua pendapatan dan belanja desa harus tercatat dalam buku rekening bank yang dimiliki desa. Aturan ini tidak bisa dilaksanakan oleh pemerintah desa karena swadaya masyarakat tidak semuanya dalam bentuk uang. Tenaga kerja misalnya, yang dilakukan dengan cara gotong-royong oleh masyarakat tidak bisa tercatat dalam buku rekening bank yang dimiliki oleh desa. Kebingungan tersebut diungkapkan oleh Abdul Karim, Kepala Desa Kucur.

Selain Permendagri 113, Perbup Kabupaten Malang Nomor 17 yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa tidak mengatur secara spesifik pelaksanaan kegiatan di desa. Padahal, pelaksanaan kegiatan di desa ada yang dilakukan dengan swakelola. Ada pula yang dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga melalui tender. Selain Perbup, dalam aturan yang lain pun tidak ada yang mengatur tentang batasan nilai berapa boleh melaksanakan kegiatan dengan swakelola dan pada batasan nilai kegiatan berapa harus dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga. Ketidakjelasan aturan ini menjadikan pemerintah desa tidak memiliki pedoman dan takut salah ketika hendak melaksanakan kegiatan pembangunan di desa.

Bukan hanya kabupaten

Selain tidak jelasnya beberapa aturan dalam penatausahaan keuangan desa, para Kader Pembaharu Desa mengeluhkan kebiasaan lama yang masih dilakukan oleh pemerintah kecamatan terkait evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa). Mereka menganggap pemerintah kecamatan masih menggunakan cara-cara lama yang saat ini sudah tidak relevan untuk digunakan.

Kewenangan evaluasi APB Desa sebagai pelimpahan kewenangan dari pihak kabupaten kepada kecamatan hingga saat ini masih dilakukan dengan asal-asalan. Dokumen APB Desa masih dianggap sebagai dokumen formalitas yang hanya digunakan sebagai syarat pencairan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD). Bahkan, masih banyak terjadi dokumen APBDesa dihasilkan dari menyalin dokumen APB Desa desa lain atau contoh APB Desa yang sudah ada. Hal seperti itu justru dianjurkan oleh pemerintah kecamatan kepada desa dengan alasan “yang penting cair”.

Di Kecamatan Tajinan, alasan yang digunakan oleh pemerintah kecamatan ialah adanya “kesepakatan” yang telah dibuat oleh para kepala desa. Pemahaman yang keliru pada pemerintah kecamatan dan intervensi yang dilakukan kepada desa, diperparah lemahnya pemahaman kepala desa terhadap regulasi. Karena itulah, “kesepakatan” yang telah dibuat oleh pihak kecamatan dan para kepala desa sampai saat ini masih menjadi acuan dalam pembuatan dokumen APB Desa dan pembuatan laporan kegiatan dan SPJ yang asal jadi.

Dokumen APB Desa yang dibuat dengan cara asal-asalan, memunculkan pertanyaan besar tentang proses perencanaan dan penyusunannya di level desa yang seharusnya dilakukan melalui musyawarah desa.

Mengulas APBDesa

Kader Pembaharu Desa di kabupaten Malang mengulas APBDesa

Pengalaman dalam membuat APB Desa diungkapkan pula oleh Mohamad Mahfud, Sekretaris Desa Jambearjo, Kecamatan Tajinan. Adanya “kesepakatan” yang dibuat oleh pihak kecamatan dengan para kepala desa bukan hanya dalam hal pembuatan dokumen APBDesa dan segala bentuk laporannya. Kesepakatan ini juga dipakai oleh pihak kecamatan untuk melakukan pemotongan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) dari desa. Pemotongan SILPA yang dilakukan oleh pihak kecamatan tidak jelas untuk apa dan untuk siapa. Bahkan tidak ada bukti sah yang diterima oleh desa setiap kali pihak kecamatan melakukan pemotongan.

Pemotongan SILPA yang dilakukan oleh pihak kecamatan berimbas pada proses pembuatan laporan kegiatan di tingkat desa. Pemerintah desa berpotensi membuat laporan yang tidak sesuai dengan pelaksanaan kegiatan yang sebenarnya.

Di Kecamatan Singosari, kewenangan evaluasi dari pemerintah kecamatan juga belum dilakukan sebagaimana mestinya. Intervensi pihak kecamatan kepada desa dengan argumentasi “yang penting cair” masih dilakukan dalam proses evaluasi APB Desa. Yuli, Sekretaris Desa Tunjungtirto mengeluhkan bahwa hal tersebut menjadikan pemerintah desa tidak tahu mana yang salah dan mana yang benar dalam pembuatan APB Desa. Bahkan, ketika dalam dokumen APB Desa terdapat jenis kegiatan yang salah pos anggaran, pemerintah kecamatan tidak melakukan evaluasi yang semestinya. Sehingga APB Desa terkesan dibuat buru-buru dan hanya digunakan sebagai syarat pencairan dana.

“Pemotongan SILPA yang dilakukan oleh pihak kecamatan tidak jelas untuk apa dan untuk siapa, bahkan tidak ada bukti sah yang diterima oleh desa setiap kali pihak kecamatan melakukan pemotongan.”

Penatausahaan keuangan desa yang partisipatif, transparan, akuntabel dan tertib administrasi, bukan hanya menjadi tantangan bagi pemerintah desa. Ketika desa telah bergerak untuk memperbaiki diri dan membuat inisiatif-inisiatif baru yang selama ini bukan menjadi kebiasaan mereka. Pemerintah dan kader pembaharu desa sangat berharap respon dari pemerintah supradesa yang tepat sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan.

“Jika dokumen APBDesa telah dibuat oleh desa dan sudah siap pada akhir tahun, adakah jaminan desa bisa mencairkan anggaran setiap awal tahun pada bulan januari?” pertanyaan kritis dari Abdul Karim, Kepala Desa Kucur.

Ketika perbaikan yang telah dilakukan oleh desa tidak mendapatkan respon seperti yang diharapkan, atau bahkan pemerintah supradesa tetap menggunakan cara lama, dengan intervensi dan argumentasi “yang penting cair”, maka bukan tidak mungkin, pengetahuan dan proses pembelajaran bagi para Kader Pembaharu Desa hanya akan menjadi milik mereka pribadi, tanpa ada implementasi yang berarti. Keinginan dan gagasan untuk memperbaharui desa menjadi lebih baik akan berhadapan dengan kenyataan dan kebiasaan dari pemerintah supradesa yang masih menggunakan cara-cara lama. Karena itu, pemerintah kecamatan dan pemerintah kabupaten juga harus didorong untuk memperbaiki diri, memahami dan menjalankan kewenangannya sebagaimana mestinya. [Yudi]