Arsip Penulis: Sofwan Hadi

Jatilawang

Peta Desa dan Pembangunan Desa

Batas wilayah seringkali menjadi pemicu konflik wilayah di kawasan perdesaan. Kondisi tersebut bermula dari tumpang tindihnya peta kawasan. Berdasarkan data BPS 2009, dari 70.429 desa sekitar 37 persennya memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Konflik terjadi karena bersinggungan dengan ruang hidup. Juga, tentang kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan atas tanah (kawasan) serta sumber daya.

Seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, negara mengakui hak rekognisi dan subsidiaritas. Kedua asas ini mendasari kewenangan desa untuk mengatur rumah tangganya sendiri, merencanakan arah pembangunan yang bertujuan untuk kesejahteraan warga.

Baru-baru ini, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) akan membuat Peta Desa. Rencananya, peta desa ini akan dibuat dengan skala yang lebih besar, 1:5.000. Selain itu, peta ini juga menampilkan informasi desa, infrastruktur, sarana dan prasarana, serta sumber daya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 pasal 6 ayat 2 menunjukkan kewenangan desa dalam penyelenggaraan pemerintahan, diantaranya:

  • penetapan dan penegasan batas desa
  • pendataan desa
  • penyusunan tata ruang desa

Untuk itu, tentang Peta Desa, kita perlu mempertimbangkan sekaligus mencatat beberapa hal:

1. Untuk siapa peta desa?

Ini pertanyaan mendasar, untuk siapa peta desa itu? Artinya, siapa yang bisa memanfaatkan peta desa? Apakah pemerintah, unsur swasta, atau desa? Bisa jadi, ketiga-tiganya bisa memanfaatkan. Tetapi, siapa yang paling penting dan berkepentingan atas pemanfaatan peta desa? Tentu saja desa! Untuk itu, peta desa harus dibuat dan disepakati bersama. Melibatkan warga dalam proses pembuatan hingga penyepakatan sangat penting. Dan, hasilnya, bisa diakses dengan mudah oleh desa dan warga. Menjadi lucu, apabila, warga desa tidak bisa mengakses peta kawasannya sendiri, apalagi memanfaatkannya.

2. Membentuk tim untuk melakukan pembacaan kondisi kawasan desa

Bentuk tim yang terdiri dari unsur pemerintahan dan masyarakat. Semakin banyak unsur masyarakat yang terlibat, tentu akan semakin baik. Tim inilah yang akan melakukan kajian terhadap kondisi wilayah desa, misalnya penentuan batas wilayah desa, kondisi sumber daya, kondisi aset desa, kondisi sosial, hingga melacak sejarah desa serta membaca penanda perubahan di desa. Untuk itulah, semakin banyak orang yang terlibat semakin baik. Mereka yang mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap kondisi desa.

Hasil dari kajian tersebut kemudian dibahas dan disepakati dalam forum musyawarah desa. Tidak berhenti disitu saja, hasil kajian tersebut juga menjadi masukan penting dalam rencana pembangunan di desa.

3. Dalam kondisi apa konsep ruang dan batas wilayah itu penting?

Penentuan batas wilayah desa dan pembuatan peta desa tidak cukup menjadi persoalan administratif. Peta desa dan batas wilayah berarti bicara tentang ruang hidup dan layanan dasar warga. Untuk itu, melakukan pembacaan bersama menjadi penting, misalnya bicara tentang sejarah batasan-batasan kampung, sumber air bersih, sumber kehidupan, pengelolaan sumber daya, mata pencaharian.

4. Menjalin kerjasama antar desa

Kondisi sosial dan wilayah perdesaan di Indonesia mempunyai karakter yang khas. Garis imajiner tentang batas wilayah ditandai melalui ruang hidup bersama, seperti sungai, gunung, dan lembah. Seiring dengan perkembangan desa, batas-batas administratif di satu sisi menjadi batasan ruang hidup bagi komunitas masyarakat. Untuk itu, penting bagi desa untuk menjalin kerjasama antar desa. Kerja sama ini untuk menyepakati soal akses terhadap sumber daya hingga pengembangan kawasan antar desa.

Informasi data kesejahteraan desa

Ragam Media Informasi di Desa

Informasi telah menjadi kebutuhan dasar masyarakat. informasi yang tepat menjadi dasar pengambilan keputusan yang tepat pula. Informasi publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak  wajib dikabarkan. Apa saja informasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak? Di desa informasi mengenai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan, penganggaran keuangan desa, pelayanan kesehatan dan pendidikan dapat menjadi contohnya.  Oleh karena itu, keterbukaan informasi menjadi penting sebagai pintu masuk partisipasi warga untuk mewujdukan desa yang berintegritas. Di sisi lain, keterbukaan informasi juga mendorong kepercayaan warga kepada aparat pemerintahan.

[baca juga: Pelayanan Informasi di Desa]

Kunci dari penyampaian informasi kepada warga ialah efektifitas. Wujudnya berupa pemilihan media dan isi pesan. Artinya, semakin mudah dipahami dan diakses oleh masyarakat, penyampaian informasi dapat dikatakan berhasil. Media informasi apa saja yang bisa dimanfaatkan?

1. Forum warga

Musyawarah, rembug, atau pertemuan-pertemuan warga menjadi wujud kearifan lokal desa-desa di Indonesia. Hampir di setiap desa mempunyai cara masing-masing dalam menggelar forum warga, baik yang formal maupun informasi. Forum formal misalnya pertemuan musyawarah desa dalam menyusun perencanaan dan pertanggungjawaban pembangunan desa.

Forum informal juga bisa digunakan sebagai media penyampaian informasi, misalnya kenduri desa, pertemuan adat, dan pengajian. Biasanya, dalam pertemuan informal suasana yang terbangun begitu hangat dan cair. Sehingga, penyampaian informasi tidak terlalu kaku dan mudah dipahami.

[baca juga: Desa Tunjungtirto Berhasil Terapkan Transparansi Anggaran]

2. Papan pengumuman

Papan pengumuman bisa menjadi salah satu alternatif media informasi desa yang efektif. Semua informasi tertulis dapat ditempelkan melalui papan ini. Usahakan, titik strategis yang bisa diakses oleh seluruh warga, misalnya di depan kantor desa, balai desa, masjid, balai pedukuhan, dan titik-titik biasa warga berkumpul. Informasi pun dapat disampaikan secara berkala.

[baca juga: Pasang Pengumuman APBDesa]

 

3.  Portal Informasi Desa

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi turut menunjang keterbukaan informasi di desa. Portal informasi menjadi salah satu mediumnya. Informasi-informasi penting seputar perkembangan pembangunan desa, dinamika pedesaan, tata kelola keuangan, praktik perekonomian menjadi topik-topik menarik dan penting. Dengan portal informasi, semakin memperluas jangkauan informasi. Misalnya, warga yang sedang merantau dapat terus mengikuti perkembangan dan dinamika di desanya. Yang terpenting pula, apabila warga yang sedang merantau juga bisa mengakses berbagai pelayanan melalui portal informasi desa.

[baca juga: Pemuda Desa Kucur Kabarkan Desanya]

4. Radio komunitas

Radio komunitas bisa menjadi media penyebaran informasi di desa. Karakter radio dengan sistem pemancar cocok untuk diterapkan di wilayah dengan karakter pegunungan atau pemukiman menyebar. Selain sebagai media penyebaran informasi, radio bisa juga dimanfaatkan sebagai media hiburan warga, seperti musik dan drama.

Tentu masih banyak lagi media warga yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana penyampaian informasi.

80 persen dana desa-Sumber Kompas

Pencairan Dana Desa Tahap III Tidak Logis

Penyaluran dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah memasuki tahap ke III. Total alokasi dana desa 2015 sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa di 434 kabupaten/kota. Teknis pencairan dana desa dilakukan dalam tiga tahap, April (40 persen), Agustus (40 persen) dan Oktober (20 persen).

Seharusnya, dana desa tahap III sudah dicairkan pada pekan kedua Oktober. Namun, hingga memasuki pekan kedua Desember, banyak desa yang belum Keterlambatan pencairan di tahap I dan II menyebabkan keterlambatan pencairan tahap III. Menurut Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Boediarso Teguh Widodo realisasi dana desa per tanggal 21 Oktober 2015 sudah mencapai Rp 16,61 triliun atau 80% dari total dana desa. Menurutnya, alasan penundaan pencairan dana desa tahap ketiga karena masih banyak daerah yang belum melaporkan realisasi dana desa tahap I dan II.

Dampak dari keterlambatan-keterlambatan itu ditanggung oleh desa. Menurut Yulianti, Sekretaris Desa Tunjungtirto, Kabupaten Malang hingga memasuki minggu pertama bulan Desember, dana desa tahap III belum juga cair. Hal tersebut menyulitkan desa untuk meralisasikan perencanaan pembangunan di desa.

Hal yang sama diungkapkan Sutriyah, staf pemerintah Desa Jatilawang, Kabupaten Banjarnegara. Hingga minggu kedua Desember, belum ada kepastian pencairan dana desa. Untuk menyelesaikan pembangunan di desa, pemerintah Desa Jatilawang harus berhutang di toko material. “Pembangunan jadi terhambat sementara kita dituntut harus selesai Desember. Bisa dibayangkan betapa sulitnya,” terangnya.

Menurut Frisca Arita Nilawati, Manajer Program Desa Infest Yogyakarta menilai pencairan dana desa tahap III yang terlambat hingga bulan Desembet tidak masuk akal. Menurutnya, menjadi kesulitan bagi desa untuk memanfaatkan dana dalam waktu kurang dari satu bulan. Selain itu, desa juga akan mengalami kesulitan dalam merealisasikan perencanaan desa yang telah disusun.

Hal senada juga diungkapkan oleh Roy Salam, peneliti di Indonesia Budget Center. Menurutnya, pencairan dana desa yang terlambat hingga bulan Desember sudah tidak logis. Sebab, akhir Desember desa sudah tutup buku. Artinya, desa sudah tidak bisa melakukan transaksi keuangan.

“Sudah tidak logis karena harus menghabiskan dana kurang dari waktu satu bulan. Hal tersebut akan memicu terjadinya praktik pemborosan dan korupsi,” terangnya.

Beasiswa Jurnalis Inovasi Desa

Beasiswa Jurnalis: Liputan Mendalam Inovasi Desa

Media mempunyai peran penting dalam mengabarkan berbagai infomasi. Terkait isu desa, media masih berkutat pada urusan dana desa dan pendamping desa. Sementara, ragam inovasi dan pembelajaran untuk berdaya dan mandiri belum digarap serius apalagi mendalam. Untuk itulah, Infest Yogyakarta memberi ruang kepada jurnalis melalui beasiswa liputan seputar inovasi desa, (25/11).

Beasiswa Jurnalis Inovasi Desa

Beasiswa Jurnalis Inovasi Desa. Diskusi tentang UU Desa, (25/11).

Upaya dokumentatif ini bermaksud juga mendorong perspektif baru bahwa desa adalah subjek pembangunan. Maka misi membangun Indonesia melalui kemandirian desa perlu disematkan. Pesannya bahwa desa mandiri, transparan, akuntabel, dan partisipatif bukanlah angan-angan belaka. Wartawan senior sekaligus kontributor Jakarta Post, Bambang Muryanto menekankan dalam merekam inovasi desa yang terpenting ialah menujukkan fakta sosiologis. Untuk itu, seorang jurnalis dituntut untuk mengabarkan informasi yang benar dan nyata.

Menurut Muhammad Irsyadul Ibad, perlu ada pemahaman baru bahwa desa mempunyai peran lebih besar dari sekedar urusan administrasi. Partisipasi menjadi ruh dalam pembangunan desa. Masyarakat harus diposisikan sebagai subjek pembangunan. Pemberdayaan dan pendidikan berdesa menjadi kunci partisipasi.

Lima perubahan pokok dalam kepengaturan desa membuka peluang desa untuk merencanakan dan mengembangkan dirinya. Lima perubahan tersebut antara lain adanya pengakuan keberagaman, pengakuan kewenangan desa, konsolidasi keuangan dan aset, pembangunan yang terintegrasi, serta demoratisasi di desa.

“Kalau dulu, di UU 32/2004 prinsip yang berlaku itu residualitas. Desa hanya mendapatkan kewenangan sisa dari kabupaten. Dan ini tantangan, belum bisa menggeser perspektif di pemerintahan supra desa,” terang Ibad.

[baca juga: Mengenal Jenis Kewenangan Desa]

Ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan yakni mengenali kewenangan asal usul desa, kewenangan yang dibagi antara pemerintah kabupaten dan desa, serta mengenali kekuatan sendiri melalui pengenalan aset yang ada di desa, baik fisik maupun non fisik. Pemahaman tentang aspek non fisik perlu dilihat sebagai strategi pembangunan yang tidak melulu seputar fisik.

[baca juga: Mengenal Ragam Aset Desa]

Desa Wulungsari misalnya, desa di Kabupaten Wonosobo telah melakukan praktik kemandirian desa demi mewujudkan kesejahteraan. Di salah satu Dusun, Dusun Blindeng, warga telah melakukan praktik mandiri air sejak 1950. mata air yang disebut Tuk Angger ini memenuhi kebutuhan air bersih bagi 75 kepala keluarga di Dusun Blindeng. Tidak hanya itu, dengan pemanfaatan air bersih dengan bijak, mereka bisa mewujudan kemandirian pangan.

Potret inovasi desa

Praktik inovasi yang dilakukan desa tidak melulu soal fisik. Menurut Frisca Arita Nilawati, Manajer Program Desa Infest Yogyakarta perhatian pada uang ternyata mematikan partisipasi di desa. Anggapan ini muncul karena tidak ada proses yang transparan dan partisipatif. Hal tersebut diperoleh dari proses belajar yang dilakukan Infest Yogyakarta bersama desa di empat kabupaten, Banjarnegara, Wonosobo, Malang, dan Takalar.

Misalnya tentang keterbatasan akses perempuan dan pembangunan desa. Sehingga, perencanaan pembangunan desa belum mampu menjawab pelayanan dasar kepada warga. Proses belajar di Kabupaten Banjarnegara menujukkan bahwa kelompok perempuan mulai mengorganisir diri melalui Sekolah Perempuan.

Melalui pengorganisasian ini, kelompok perempuan mulai dilibatkan dalam proses perencanan pembangunan di desa. Tidak hanya sekedar hadi tetapi juga memberikan masukan terhadap perencanaan pembangunan berbekal data.

Selama proses Sekolah Perempuan, kelompok perempuan di Desa Jatilawang, Gumelem Kulon, dan Gentansari melakukan pemetaan aset dan potensi. Dilanjutkan dengan kolaborasi dengan pemerintah desa untuk pemetaan kesejahteraan lokal dan mendorong perbaikan pelayanan dasar di desa. []

Persebaran Desa menurut Indeks Desa Membangun

Indeks Desa Membangun dan Pembangunan Desa

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) meluncurkan Indeks Desa Membangun (IDM) pada Oktober lalu. Menurut Marwan Jafar, IDM bisa dijadikan rujukan untuk pengentasan jumlah desa tertinggal dan meningkatkan jumlah desa mandiri di Indonesia. Penentuan IDM dengan meletakkan prakarsa dan kuatnya kapasitas masyarakat sebagai basis utama proses kemajuan dan pemberdayaan desa. IDM menggunaan pendekatan yang bertumpu pada kekuatan sosial, ekonomi dan ekologi tanpa melupakan kekuatan politik, budaya, sejarah, dan kearifan lokal.

IDM ini sendiri dibuat untuk memperkuat pencapaian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. IDM dipakai sebagai acuan dalam melakukan afirmasi, integrasi, dan sinergi pembangunan. Harapannya untuk mewujudkan kondisi masyarakat desa yang sejahtera, adil dan mandiri.

Desa Membangun Indonesia tetap dihadapkan pada kenyataan kemiskinan di Desa. Maka, ketersediaan data dan pengukuran sangat dibutuhkan. Khususnya dalam pengembangan intervensi kebijakan yang mampu menjawab persoalan dasar pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Pencapaian pemerataan keadilan merupakan isu penting dalam pembangunan nasional, dan tentu juga dalam pembangunan Desa. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah pertumbuhan yang inklusif, di mana pengelolaan potensi ekonomi Desa dan Kawasan Perdesaan tidak hanya mampu menyertakan sebanyak-banyaknya angkatan kerja lulusan SD/SMP, tetapi juga ramah keluarga miskin, mampu memperbaiki pemerataan dan mengurangi kesenjangan. Perhatian khusus terhadap usaha mikro di Desa haruslah dikedepankan yang memang nyata perlu dukungan dalam hal penguatan teknologi yang ramah lingkungan, pemasaran, permodalan dan akses pasar.

Klasifikasi dan status desa

Indeks Desa Membangun mengklasifikasi Desa menjadi lima status yakni Desa sangat tertinggal, Tertinggal, Berkembang, Maju, dan Mandiri. Klasifikasi dalam lima status itu untuk mempertajam penetapan status perkembangan desa sekaligus sebagai rujukan intervensi kebijakan. Status Desa Tertinggal misalnya dibadi menjadi dua status yakni Desa Sangat Tertinggal dan Desa Tertinggal. Asumsi yang ingin dibangun, afirmasi kebijakan untuk Desa Sangat Tertinggal tentu berbeda dengan Desa Tertinggal.

Dimensi Indeks Desa Membangun

Dimensi Indeks Desa Membangun

Desa berkembang terkait dengan situasi dan kondisi dalam status Desa Tertinggal dan Desa Sangat Tertinggal dijelaskan dengan faktor kerentanan. Apabila ada tekanan faktor kerentanan seperti goncangan ekonomi, bencana alam, atau konflik sosial maka dapat memengaruhi status Desa Berkembang turun menjadi Desa Tertinggal. Sementara, apabila Desa Berkembang mempunyai kemampuan dalam mengelola potensi, informasi / nilai, inovasi / prakarsa, dan kewirausahaan akan mendukung gerak kemajuan Desa Berkembang menjadi Desa Maju. Indeks Desa Membangun merupakan komposit dari ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi.

Indeks Pembangunan Desa oleh Bappenas

Indeks Pembangunan Desa oleh Bappenas

Status IDM berbeda dengan Indeks Pembangunan Desa (IPD) yang dikeluarkan oleh Bappenas. Bappenas membagi perkembangan status desa dalam tiga klasifikasi yakni Desa Tertinggal, Berkembang, dan Mandiri. Masing-masing status terbagi lagi menjadi tiga perkembangan, mula, madya dan lanjut. Terdapat lima dimensi dalam IPD antara lain: pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, aksesibilitas / transportasi, pelayanan publik, dan penyelenggaraan pemerintahan.

Dengan menggunakan data sensus Potensi Desa (Posdes) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir pada April 2014, kita lihat perbandingan antara Indeks Desa Membangun dengan Indeks Pembangunan Desa.

perbandingan IDM dan IPD

Menuliskan indikator kesejahteraan lokal

Pentingnya Data untuk Perencanaan Pembangunan Desa

Salah satu sumber perencanaan ialah data. Belum banyak desa yang memanfaatkan berbagai data sebagai dasar perencanaan. Data dan pendataan justru banyak dimanfaatkan oleh pemerintah supradesa yang seringkali sektoral. Berikut cuplikan diskusi di Desa Gentansari, Kecamatan Pagedongan, Kabupaten Banjarnegara (16/11/2015) tentang pentingnya pemanfaatan data untuk perencanaan pembangunan desa. Diskusi ini diikuti oleh kelompok perempuan dan perangkat desa. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari proses Sekolah Perempuan dan awalan untuk proses pendataan kesejahteraan lokal di Desa Gentansari.

Belajar Aplikasi Mitra Desa

Pemanfaatan Aplikasi Keuangan dan Mitra Desa oleh Desa Keseneng

Pelatihan bertajuk “Penguatan Kapasitas Penggunaan Aplikasi Mitra Desa dan Keuangan Desa” ini mulai dilakukan secara simultan pada 31 Oktober dan 7 November 2015 di Kantor Desa Keseneng. Pelatihan pemanfaatan aplikasi Mitra Desa diikuti oleh perangkat Desa Keseneng dan Lengkong. Berikut potret perangkat Desa Keseneng dan Lengkong belajar tentang aplikasi Keuangan dan Mitra Desa bersama Infest Yogyakarta.

Praktik Input Data Desa

Aplikasi Keuangan dan Mitra Desa di Desa Tunjungtirto

Tim Informasi dan Teknologi Komunikasi (ICT) INFEST Yogyakarta belajar bersama perangkat Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang tentang Aplikasi Mitra Desa dan Keuangan Desa, (13-14/11). Kedua aplikasi ini merupakan sistem yang dikembangkan Tim ICT INFEST Yogyakarta untuk mendukung tata kelola pemerintahan dan keuangan desa yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Langkah-langkah Perbaikan Pelayanan Dasar Publik di Desa

Layanan dasar publik dapat dipahami sebagai kewajiban pemerintah pusat hingga desa dan swasta untuk menjamin hak dan kebutuhan warga negara. Kata kuncinya ialah publik. Artinya, pelayan dasar publik diberikan oleh badan publik dan bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Ada tiga jenis bentuk pelayanan dasar publik di desa yakni barang publik, jasa publik dan layanan administratif. Ketiganya didasarkan pada prinsip terbuka, dapat dipertanggungjawabkan, dan melibatkan masyarakat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan kewajiban negara untuk melayani setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Pelayanan dasar publik dilakukan secara efektif untuk memperkuat demokrasi, hak asasi manusia, meningkatkan kemakmuran ekonomi, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam dan menguatkan kepercayaan pada pemerintahan desa.

Upaya perbaikan harus mencakup tiga hal yakni regulasi, anggaran publik, dan gotong royong. Sebagai upaya untuk mempertegas hak dan kewajiban setiap warga negara perbaikan layanan dasar harus dilakukan. Berikut langkah-langkah yang dilakukan untuk mendorong perbaikan layanan dasar publik di desa:

1. Membentuk tim perbaikan pelayanan dasar publik

Tim perbaikan pelayanan dasar publik terdiri dari unsur pemerintahan dan masyarakat. Tim inilah yang akan bertugas untuk melakukan kerja-kerja menyerap aspirasi masyarakat dalam usaha mendorong perbaikan pelayanan publik. Selain melihat unsur kelompok, tim juga harus berisi kelompok perempuan. Di desa, kelompok perempuan mempunyai peran penting dalam pelayanan dasar publik, seperti kesehatan dan pendidikan.

2. Temu warga untuk menentukan peringkat prioritas perbaikan dan penyelenggaran layanan dasar publik

Musyawarah ini bertujuan untuk menetukan jenis-jenis layanan dasar publik di desa sekaligus menentukan prioritas perbaikan dan penyelenggaraan layanan publik. Pastikan seluruh kelompok dan kelas sosial terlibat dalam proses ini. Sehingga, dapat ditemukan kondisi layanan dasar publik di desa. Jenis-jenis layanan dasar publik di desa misalnya: pendidikan, kesehatan, saluran air bersih, pengurusan layanan surat menyurat, posyandu, dan lain-lain.

Prioritas perbaikan pelayanan dasar di Jatilawang

Prioritas perbaikan pelayanan dasar di Desa Jatilawang

Setelah mengidentifikasi jenis-jenis layanan yang menjadi kebutuhan dan penting bagi masyarakat, musyawarah ini juga menentukan jenis-jenis layanan dasar yang paling dibutuhkan.

3. Menyepakati instrumen survei layanan dasar publik

Hasil kesepakatan jenis-jenis layanan dasar publik kemudian diturunkan dalam bentuk pertanyaan. Proses ini untuk menentukan kuesioner sebagai instrumen survei. Pilihlah kata-kata kunci dari setiap bentuk dan jenis layanan publik dan susun kalimat pertanyaan yang mudah dipahami. Buatlah jenis pertanyaan tertutup dan terbuka. Pertanyaan terbuka untuk mendapatkan informasi yang lebih utuh dari sekedar jawaban “ya” atau “tidak”.

Contoh pertanyaan tertutup:

  • “Menurut Anda, apakah layanan air bersih di Desa Gumelem Kulon sudah baik?”
  • “Apakah anda mengetahui proses pengurusan kartu keluarga?”
  • “Apakah proses pengurusan kartu keluarga dapat dilakukan dengan cepat?”

Contoh pertanyaan terbuka:

  • “Bagaimana proses pengurusan surat miskin di kantor desa?”
  • “Bagaimana pendapat Anda tentang pelayanan administrasi di kantor desa?”

Coba ujicoba kuesioner yang telah dibuat.

4. Survei layanan publik

Setelah kuesioner selesai dan disepakati, saatnya survei dilakukan. Sepakati anggota tim yang akan melakukan survei. Tim survei bisa dibagi per wilayah. Pilih komposisi warga yang beragam untuk diwawancarai, misalnya jenis kelamin, wilayah dusun dan kelas sosial. Sebelum proses tanya jawab dilakukan, perlu diterangkan maksud dan tujuan survei. Sehingga, narasumber atau warga yang ditanyai dapat memahami maksud dan tujuan survei. Dalam proses tanya jawab dapat menggunakan bahasa lokal sehingga, pesan pertanyaan dapat mudah dipahami.

5. Temu warga untuk memverifikasi hasil survei layanan publik.

Setelah data terkumpul dan dirapikan, perlu dibawa dalam forum warga. Forum ini bertujuan untuk memverifikasi hasil data yang telah dikumpulkan oleh tim survei. Melalui forum ini, data hasl survei disepakati bersama.

6. Menyusun rekomendasi berdasarkan hasil verifikasi hasil survei perbaikan layanan publik dasar desa

Hasil verifikasi kemudian diolah untuk disusun menjadi rekomendasi perbaikan pelayanan dasar publik di desa. Rancangan disusun oleh tim pelayanan dasar publik di desa. Rancangan ini yang akan diajukan Musyawarah Desa untuk penyusunan perencanaan pembangunan.

7. Pengawalan oleh kelompok perempuan dan pemerintahan desa

Pengawalan usulan penting untuk dilakukan. Hal tersebut untuk memastikan rekomendasi hasil survei untuk perbaikan pelayanan publik masuk dalam musyawarah desa. Disinilah pentingnya kolaborasi antara kelompok perempuan dan pemerintah desa dalam tim perbaikan pelayanan dasar publik. Dengan demikian, pemerintah desa mempunyai kapasitas pengetahuan dan semangat perbaikan pelayanan.

8. Rekomendasi perbaikan layanan publik sebagai dasar kebijakan penyelenggaraan pemerintahan desa (RPJMDesa RKPDesa, dan APBDesa)

Musyawarah desa menjadi ruang rencana pembangunan dan anggaran desa didialogkan dan disepakati. Data hasil survei perbaikan pelayanan publik bisa menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan desa. Dengan demikian, proses perencanaan pembangunan berbasis data dan sesuai kebutuhan masyarakat.

Alur Mendorong Perbaikan Pelayanan Dasar di Desa

Perbaikan Pelayanan Dasar Publik

Perbaikan Pelayanan Dasar Publik

Diskusi Dana Desa Kompas-Infest

Silang Sengkarut Pengelolaan Keuangan Desa

Secara filosofis, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) berbeda dengan ketentuan tentang desa pada tahun sebelumnya, 1965, 1979, 1999, dan 2004. UU Desa menekankan desa sebagai subjek pembangunan dan mempunyai otoritas dalam pengelolaan keuangan desa. Nilai prakarsa, rekognitif dan subsidiaritas menjadi ruh kedaulatan desa.

Sebagai bagian dari pengakuan asas subsidiaritas dan amanat UU Desa, pemerintah menyalurkan dana desa tahun ini. Dana desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Total alokasi dana desa pada 2015 sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa di 434 kabupaten/kota di Indonesia.

Tahun pertama implementasi UU Desa, peyaluran dana desa mendapat porsi perhatian yang besar. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kendala yang menyertai penyaluran dana desa. Ahmad Erani, Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menyebut banyak energi terbuang untuk penyaluran dana desa.

Diskusi Dana Desa Kompas-Infest

Diskusi Perencanaan dan Keuangan Desa Berorientasi Kesejahteraan, (2/11). Dari kiro: Ahmad Erani Yustika, Syaiful Huda, Ahmad Muqowwam, Johan Budi.

Dalam diskusi tentang Perencanaan Berbasis Data dan Pengelolaan Keuangan, kerjasama Infest Yogakarta dan Harian Kompas, (2/11) Erani menyebutkan berdasarkan data yang dikumpulkan dari 403 kabupaten/kota, dana desa yang telah disalurkan ke desa per tanggal 31 Oktober 2015 sebesar Rp 10,13 triliun atau 48,93 persen dari total anggaran dana desa tahun 2015.

Tumpang tindih kewenangan

Mantan Ketua Panitian Khusus Rancangan UU Desa DPR, Akhmad Muqowwam mengatakan regulasi tentang desa dari beberapa kementerian sering tidak sinkron. Hal ini menyebabkan pemerintah desa bingung dan terhambatnya penyaluran dana desa. Tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri ditengarai turut menghambat penyaluran dana desa.

Ahmad Muqowwam, menerangkan, sesuai dalam UU Desa pasal 1 ayat 16 hanya menyebut kementerian yang mengurusi persoalan desa. Hanya saja, menurutnya, dalam Peraturan Presiden Nomor 11 dan 12 Tahun 2014 mengamanatkan bahwa terkait pelaksanaan UU Desa dapat dilakukan oleh dua kementerian, yakni Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri. Tumpang tindih kewenangan dua kementerian turut membingunkan pemerintah kabupaten. Aldhiana Kusumawati, dari Kabupaten Wonosobo mengaku kerap kebingungan ketika berkonsultasi ke Kementerian Desa dan Kementerian Dalam Negeri tentang pembuatan regulasi di tingkat kabupaten.

Hal senada diungkapkan Syaiful Huda, Staf Khusus Menteri Desa. Ia mengakui bahwa ada perdebatan tentang kewenangan dua kementerian. Regulasi yang mengatur tentang kementerian tersebut menimbulkan masalah karena masih menggunakan paradigma kontrol, menganggap desa masih menjadi sub pemerintah kabupaten. Di sisi lain, UU Desa mempunyai semangat yang berbeda.

“Efek dari ini dalah akhirnya panjang, beberapa peraturan menteri yang semestinya bisa dilahirkan di satu kementrian. Sempat ada Permen yang double. Kemendesa dan Kemendagri membuat peraturan yang substansinya sama tentang pembangunan desa,” terang Huda.

Salah satu dampak dari tumpang tindih kewenangan juga menjadi penyebab terhambatnya penyaluran dana desa. Sebagai titik tengah, tiga kementerian, yakni Kementerian Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Keuangan menyepakati Surat Keputusan Bersama tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.

Kendala penyaluran dana desa

Di level desa salah satu tantangannya terkait dengan kualitas perangkat desa. Kondisi tersebut menurut Erani, menyebabkan kurang lengkapnya dokumen perencanan sebagai syarat penyaluran dana desa. “Kadang, program yang disusun pun tidak sesuai dengan mandat UU Desa,” terangnya.

Dalam tahap perencanaan di desa, salah satu tantangannya karena ketiadaan dasar hukum. Kepala Desa Tunjungtirto, Kabupaten Malang, Hanik Martya mengungkapkan, ketiadaan payung hukum membuat program tidak dapat dilakukan.

Komioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi SP menyatakan bahwa setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda, antara lain kualitas sumber daya manusia, geografis, dan demograsi. Salah satu masalah serius ialah kualitas perangkat desa, khususnya di wilayah minim akses. “Di Nusa Tenggara Timur, saya ketemu kepala desa yang tidak mengerti penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Itu yang kadang tidak dipikirkan orang pusat,” ujarnya.

Beberapa kendala minimnya pencairan dana desa di tingkat kabupaten salah satunya disebabkan karena kesalahan prosedur dalam transfer Dana Desa dan konteks politik lokal. Erani mencontohkan beberapa kasus, di mana Dana Desa diterima dan dikelola oleh Dinas Pemakaman, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, atau pada dinas lain yang tidak ada kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah. [Sofwan]