Arsip Penulis: Pambudi

Pemerintah Pangkas Birokrasi Dana Desa

Sanksi Bagi Daerah Yang Lamban

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat akan menerbitkan surat keputusan bersama untuk memangkas birokrasi pencairan dana desa. Langkah ini diambil untuk memacu penyaluran dan penyerapan dana sebesar Rp 20,7 triliun untuk 74.093 desa tahun 2015.

Pemerintah pusat sudah mentransfer Rp 16,61 triliun ke kabupaten/kota, tetapi baru sekitar 38.000 desa yang menerima dana tersebut. Padahal, dana tersebut dapat menggairahkan sektor riil di pedesaan yang diprediksi menumbuhkan perekonomian nasional 0,5 persen dan menurunkan tingkat ketimpangan kesejahteraan (rasio gini) sebesar 0,01.

Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) segera menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tersebut. Mendagri Tjahjo Kumolo, di Jakarta, Senin (7/9), mengatakan, ada dua SKB yang akan diterbitkan. “Kedua surat keputusan sudah selesai. Besok (Selasa) kami laporkan kepada Wakil Presiden,” ujar Tjahjo.

Menteri Desa PDTT Marwan Jafar seusai menghadap Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan mengatakan, SKB tiga menteri bertujuan memangkas birokrasi penggunaan dana desa. “Hanya butuh satu lembar dokumen saja untuk mencantumkan rencana pembangunan desa serta anggaran pembangunan dan belanja desa. Tidak perlu berlembar-lembar dokumen untuk mencairkan dana itu,” kata Marwan.

Inti dari kedua surat itu, penyederhanaan syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah desa agar dana desa disalurkan. Selain itu, ketiga menteri tersebut akan segera merevisi sejumlah aturan terkait dana desa dari ketiga kementerian yang tumpang tindih atau memicu salah tafsir dalam pelaksanaan di lapangan.

Aturan yang multitafsir tersebut, antara lain, Peraturan Menteri Desa Nomor 5 Tahun 2015 yang menyatakan dana desa diprioritaskan untuk belanja pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Ini berbeda dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 yang menyebutkan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Ada juga regulasi yang memberatkan aparatur pemerintah desa, seperti, Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 meminta desa menyusun laporan realisasi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), sedangkan Menkeu mengatur agar laporan realisasi penggunaan dana desa diajukan setiap akhir semester sehingga aparatur desa harus menyusun dua laporan keuangan terpisah.

“Semua regulasi yang menimbulkan multitafsir dan memberatkan aparat pemerintah kabupaten/kota dan desa akan direvisi,” kata Tjahjo.

Terkait penyederhanaan syarat, salah satu yang akan diatur mengenai fokus penggunaan dana desa. Supaya pemerintah desa tidak bingung saat menyusun APBDes, penggunaan dana desa difokuskan pada infrastruktur, irigasi, dan sosial kemasyarakatan.

Direktur Evaluasi Perkembangan Desa Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Eko Prasetyanto menambahkan, untuk pencairan dana desa, pemerintah desa cukup menyerahkan dokumen APBDes kepada pemerintah kabupaten/kota. Adapun dua dokumen lain, yakni rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes) dan rencana kerja pemerintah desa, bisa menyusul setelah dokumen APBDes diajukan.

Semula, pemerintah desa wajib menyerahkan ketiga dokumen tersebut sekaligus untuk mencairkan dana desa sehingga pencairan dana desa masih sangat rendah, selain keterlambatan pemerintah kabupaten/kota membuat peraturan daerah landasan penyusunan APBDes. Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri Nata Irawan menambahkan, dokumen APBDes pun akan disederhanakan sehingga pemerintah desa tidak kesulitan membuatnya.

Pengurangan DAK

Dalam SKB tersebut, kata Tjahjo, akan disertai pula sanksi terhadap kabupaten/kota yang lamban menyalurkan dana desa. Sanksinya, dana alokasi khusus (DAK) tahun depan dikurangi.

Artinya, kata Tjahjo, kini tidak ada lagi alasan bagi pemda menghambat penyaluran dana desa ke desa. Setiap pemerintah desa pun diharapkan segera memenuhi dokumen yang dibutuhkan agar dana desa cepat disalurkan.

Terkait sikap Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, yang menolak dana desa, Tjahjo mengatakan, pihaknya telah menyurati Wali Kota Batu. Pemkot Batu menolak dana desa karena takut terjerat masalah hukum.

“Dana desa itu hak masyarakat desa, harus disalurkan kepada mereka. Tidak bisa pemerintah daerah menolak menyalurkannya. Itu melanggar undang-undang,” katanya.

Marwan mengatakan, Presiden Jokowi meminta agar pencairan dana desa diakselerasi. Jika dalam dua pekan ke depan masih ada bupati yang belum membantu proses pencairan,

KOMPAS: Problema Dana Desa

Sumber: KOMPAS

pemerintah menyiapkan sanksi. Sanksi itu, antara lain, pengurangan dana alokasi umum dan DAK tahun berikutnya.

Marwan juga mengingatkan agar tidak ada yang bermain-main dengan dana desa. Dana tersebut menyangkut peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang jadi prioritas pemerintah.

Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika mengakui pengucuran dana desa terhambat. Menurut Erani, sampai akhir pekan lalu, dana desa baru dicairkan di 38.000 desa. Menurut Erani, ia menerima informasi baru 56 kepala daerah menerbitkan peraturan daerah untuk acuan pencairan dana desa. Jumlah ini sangat sedikit karena ada 433 kabupaten/kota yang menerima dana desa.

Per 21 Agustus, 146 daerah telah menyampaikan laporan. Sebanyak 37 persen daerah telah menyalurkan 100 persen dana desa ke rekening kas desa. Sebanyak 43 persen telah menyalurkan sebagian dana desa ke rekening kas desa. Selebihnya, sebanyak 20 persen, sama sekali belum menyalurkan dana desa ke rekening kas desa.

Erani mengatakan, pengelolaan dana desa cukup rumit karena termasuk program baru. “Ini proyek yang luar biasa besar. Melibatkan sekitar 74.000 desa dan perlu suatu sistem yang luar biasa besar,” ujarnya.

————————————-

**Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di Kompas cetak, Selasa, 8 September 2015. Tulisan ini dimuat kembali untuk tujuan pembelajaran.

Diskusi Kawan Dana Desa

#kawalDanaDesa untuk Penggunaan Dana Desa yang Akuntabel

Berikut adalah rekam jejak media sosial Dialog “Mengawal Dana Hingga Ke Desa” pada Rabu (12/8/2015) di Kepatihan Yogyakarta. Acara ini menggagas pengelolaan keuangan desa dan pengawasan dana desa untuk ciptakan desa yang transparan dan akuntabel. Dialog yang disiarkan langsung live streaming dan didengarkan di seluruh wilayah dan desa di Indonesia ini juga dihadiri Gubernur DIY, Sultan HB X, hingga rampungnya acara.

Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo, dan Menteri Desa, Marwan Ja’far yang mulanya berencana hadir mendadak urung dan digantikan oleh Dirjen Bina Pemeritahan Desa, Nata Irawan, dan Sekjen Kemendesa, Anwar Santoso.

Berikut petikannya:

12/8/15 13.00-17.00 dialog #KawalDanaDesa w/ @KPK_RI di kepatihan pic.twitter.com/CYAoyZBW9g

— Pembaharuan Desa (@sekolahdesa) August 12, 2015

Diskusi Kawan Dana Desa

Desa Transparan dan Akuntabel dengan #KawalDanaDesa

Yogyakarta, Rabu (12/8/2015) bertempat di Bangsal Kepatihan Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta warga desa dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul dan berbagi dalam dialog “Mengawal Dana Hingga Ke Desa”. Dialog ini diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi RI (KPK-RI) bekerjasama dengan Jaringan Radio Radio Komunitas Indonesia (JRKI) dan Forum Desa Nusantara (FDN), jaringan gerakan pembaharuan desa terdiri organisasi masyarakat sipil di Indonesia, akademisi, pegiat informasi dan media, serta warga desa di seluruh Indonesia.

Dialog yang dihadiri lebih dari 300 peserta ini dipandu oleh Budhi Hermanto (SC FDN). Hadir sebagai pembicara Arifin Nata, Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri dan Anwar Sanusi, Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, dan Johan Budi, Komisioner KPK RI.

Diskusi Kawan Dana Desa

Diskusi Mengawal Dana Desa di Bangsal Kepatihan, Daerah Istimewa Yogyakarta. (ki-ka) Arifin Nata, (Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri), Johan Budi SP (Komisioner KPK RI), dan Moderator, Budhi Hermanto.

“Dialog ini sengaja dilaksanakan di Jogja karena Jogja adalah wilayah yang telah lebih siap dalam implementasi UU desa,” kata Johan Budi Sapto Pribowo, membuka dialog. Selain itu, Johan juga mengungkap beberapa potensi persoalan korupsi dari kajian KPK terhadap UU Desa. “Salah satunya adalah tentang pengawasan, tidak optimalnya sarana pengaduan masyarakat,” kata Johan.

“Masih sedikit pengelolaan pengaduan masyarakat, bahkan di tingkat Kabupaten,” tambahnya.

Dalam diskusi ini mengemuka aspirasi warga desa yang mengeluhkan belum jelasnya kemana arah warga harus mengacu, “Ke Kementerian Desa atau Kementerian Dalam Negeri?” kata Imam Purwadi, Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Banjarnegara.

Menurut Johan Budi, tantangan tata kelola di tingkat nasional ialah belum padunya antara dua kementerian. “Masih belum sinkron juga itu antara Kemendagri dan Kemendesa itu juga jadi masalah,” tambah Johan.

Pada gilirannya setiap pihak di desa dan supradesa harus mengawasi dan mengawal dana desa agar digunakan secara optimal.

“KPK merekomendasikan agar ada penguatan kapasitas SDM di desa, menyampaikan audit daerah ke desa, dan efektifkan sistem pengaduan masyarakat,” kata Johan.

ikuti keseluruhan jalannya diskusi di rekaman acara Dialog ini di unduhan di sini

 

Melihat perubahan dan merumuskan strategi

Merancang Strategi Perubahan

Yogyakarta- Program Penguatan Kapasitas Pemerintahan Desa dan Kelompok Perempuan untuk Pembangunan di Desa yang dilakukan Infest Yogyakarta telah berjalan satu semester. Program yang dilakukan di lima kabupaten yakni Banjarnegara, Wonosobo, Malang, Takalar dan Poso ini untuk mendukung implementasi Undang-undang Desa. Selama enam bulan berjalan, dibutuhkan refleksi dari masing-masing pengelola program untuk melihat perubahan dan pembelajaran yang sudah terjadi di setiap lokasi program. Juga, untuk merumuskan strategi yang bisa digunakan dalam perjalanan selanjutnya.

Melihat perubahan dan merumuskan strategi

Melihat perubahan dan merumuskan strategi

Untuk itu, selama dua hari (6-7/7/2015), Infest menggelar lokakarya untuk merumuskan perubahan dan strategi program di Yogyakarta. Acara ini diikuti oleh masing-masing penanggungjawab serta pengelola program. Menurut Frisca Arina Nilawati, selaku Manajer Program, refleksi ini diperlukan sebagai bentuk evaluasi atas pencapaian dari inti perubahan yang ingin dicapai dari masing-masing program yakni Kepemimpinan Perempuan dan Reformasi Pemerintahan Desa; Perencanaan Apresiatif Desa; serta Pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Manajemen Keuangan dan Informasi Desa.

Selain melihat perubahan, kegiatan ini juga berfungsi untuk meningkatkan kapasitas dalam pengelolaan pengetahuan pada masing-masing unit program. Peta pengetahuan dasar tentang desa juga disusun guna memudahkan tim infest dan kader pembaharu desa dalam melakukan pembaharuan desa.

Manajemen pengetahuan

Selama dua hari, forum dipandu oleh Idaman Andarmosoko. Masing-masing pengelola program diminta untuk merefleksikan kegiatan dan perubahan yang terjadi. Untuk merinci kedua hal tersebut, diperlukan kejelian serta pencatatan yang rinci. Sehingga, manajemen pengetahuan digunakan sebagai sebuah pendekatan.

Kegiatan dimulai dengan melakukan peneraan atau pemetaan kondisi kelas. Idaman memberikan kata-kata kunci yang berkaitan dengan program dan peserta menjelaskan definisi kata tersebut. Meski sering menggeluti kata-kata kunci tersebut, beberapa orang masih kesulitan untuk menyampaikan dan menjelaskan setiap definisi kata untuk mudah dipahami.

Idaman juga menegaskan bahwa evaluasi dan monitoring adalah alat mengontrol laju program dalam organisasi. Monitoring, menurut Idaman, adalah cara untuk mengoreksi arah perjalanan program dan dilaksanakan secara berkala. Sementara, evaluasi untuk melihat perjalanan program dan kesesuaian dengan rencana awal. Biasanya, evaluasi dilaksanakan secara bertahap di tengah ataupun akhir program.

“Seringnya dicampur aduk, monitoring digabung evaluasi, biasanya disebut monev, jadinya tidak jelas apa yang dilakukan,” kata Idaman.