Arsip Penulis: Muhammad Khayat

Beasiswa Liputan Inovasi Desa

Media mempunyai peran penting dalam mengabarkan berbagai infomasi. Terkait isu desa, media masih berkutat pada urusan dana desa dan pendamping desa. Sementara, ragam inovasi dan pembelajaran untuk berdaya dan mandiri belum digarap serius apalagi mendalam. Untuk itulah, Infest Yogyakarta memberi ruang kepada jurnalis melalui beasiswa liputan seputar inovasi desa, (25/11).

Regulasi

Aturan Keuangan Desa Berubah, Desa Dipaksa Belajar Lagi

Pelaksanaan Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) sudah masuk tahun ke empat, karena efektif berjalan sejak 2015. Pemberdayaan desa menemukan beragam tantangan dan pembelajaran. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh pengelola keuangan desa dalam waktu dekat adalah penyesuaian tata kelola keuangan desa terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 20 tahun 2018 (Permendagri 20/2018) tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Permendagri 20/2018 mencabut Permendagri 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan beberapa pasal atau ayat terkait pada Permendagri 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Catatan Perubahan Mendasar Pengelolaan Keuangan Desa

  1. Pencatatan akutansi keuangan menggunakan metode Basis Kas. Artinya, transaksi keuangan baru dicatat jika sudah terjadi penerimaan atau pengeluaran. Sebelumnya menggunakan basis akrual yang mencatat semua transaksi meskipun belum ada pengeluaran atau penerimaan kas.
  2. Pengelola keuangan diharuskan berasal dari perangkat desa yang terdiri dari Kepala Urusan (Kaur) dan Kepala Seksi (Kasi). Dalam hal ini sebenarnya Kabupaten/Kota bisa mengatur (melalui Perbup) mengenai adanya unsur masyarakat yang masuk menjadi tim pelaksana kegiatan. Penatausahaan atau fungsi perbendaharaan dilakukan oleh Kaur Keuangan, sebelumnya oleh Bendahara.
  3. Terdapat perubahan struktur kodifikasi Bidang, Sub Bidang, Kegiatan, Jenis Belanja, Obyek Belanja, hingga item belanja/pengeluaran. Struktur ini termasuk penentuan kode rekening yang baku hingga item belanja dalam rancangan anggaran. Penambahan item yang dinamis (di luar kebakuan) hanya disediakan nomor kode rekening 90-99 saja. Terlihat ambisi yang tinggi untuk kepentingan agregasi secara nasional.
  4. Terdapat tambahan format dokumen penganggaran, pelaksanaan, hingga laporan realisasi dan pertanggungjawaban. Dokumen tambahan tersebut (selain yang sudah termuat dalam Permendagri 113/2014) meliputi: DPA, RKA, RKK, RAK, Buku Pembantu Panjar, Buku Pembantu Terima Swadaya, laporan perkembangan pelaksanaan kegiatan, Catatan atas Laporan Keuangan (CALK), dan laporan program sektoral.
  5. Adanya kewenangan BPD untuk menolak RAPBDesa.
  6. Kewenangan pembinaan dan pengawasan bukan hanya pada level kabupaten/kota dan provinsi, tetapi hingga level Kementerian.

Tantangan Penguatan Kapasitas dan Pemberdayaan Desa

Aturan baru akan mengakibatkan aturan turunan baru. Mekanisme baru akan mengakibatkan penyesuaian secara sosial dan teknis di lapangan. Dalam hal ini pengelola keuangan di desa juga “harus” menyesuaikan tata kelola keuangan yang sudah berjalan selama ini dengan aturan dan mekanisme yang baru. Bukan hanya desa, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi pun juga harus menyiapkan pola penguatan kapasitas dan pendampingan desa sehingga pengelolaan keuangan desa tidak menjebak desa pada aspek teknokratis dan administatif saja. Selain itu, implementasi UUDesa tidak hanya dimaknai dengan pengelolaan akutansi Dana Desa.

Refleksi

Mengutip pernyataan Sutoro Eko dalam diskusi yang digelar Institute for Research and Empowerment (IRE) pada 21/07/2018 di Yogyakarta bertajuk “Meluruskan Jalan Desa”, ada tiga poin penting reflektif yang perlu dilakukan oleh desa dalam implementasi UUDesa, yaitu:

  1. Radikalisasi Desa, dimaknai sebagai gotong royong dalam merebut kuasa pengelolaan urusan desa
  2. Dekolonialisasi, dimaknai sebagai melawan penjajahan yang menggunakan regulasi dan teknokrasi
  3. Siasat dan Negosiasi, dimaknai dengan Desa harus tetap menyiasati pemberdayaan masyarakat desa demi keutuhan karakter desa yang berdaya.

Unduh Permendagri 20/2018 dan Lampirannya

Klik tautan berikut untuk mengunduh berkas Permendagri 20/2018:

  1. Permendagri 20/2018
  2. Lampiran – Permendagri 20/2018
  3. Jadi Satu: Permendagri 20/2018 dan Lampirannya

***

Adanya regulasi tentang pengaturan desa, terutama Permendagri 20/2018 diharapkan tidak mengganjal desa untuk selalu belajar hingga mewujudkan masyarakat desa yang berdaya, mandiri, dan sejahtera.

Slogan Open Data Keuangan Desa di Wonosobo

Tahapan Penyiapan Open Data Keuangan Desa

Sejak November 2016, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo tengah serius mendampingi 236 desa dalam pengelolaan keuangan desa. Penguatan tersebut meliputi pengetahuan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan desa hingga penggunaan aplikasi sistem informasi keuangan desa (Mitra Desa). Beberapa tahapan tersebut merupakan perluasan pembelajaran dari 4 desa yang didampingi INFEST sejak Maret 2016.

Berikut adalah gambaran tahapan menuju open data keuangan desa di Wonosobo:

  1. Pendampingan 4 desa model oleh Infest tentang keterbukaan informasi publik dan pengelolaan keuangan desa. Dalam tahapan ini, desa menyusun Daftar Informasi Publik (DIP) dan Standar Operasi dan Prosedur (SOP) Pengelolaan Keuangan Desa;
  2. INFEST mengembangkan aplikasi sistem informasi keuangan desa yang menekankan partisipasi lintas peran Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD) dan masyarakat. Sistem yang disusun berdasar diskusi INFEST dan Pemkab ini dipilih sebagai platform pengelolaan keuangan desa yang partisipatif.
  3. INFEST melatih desa dampingan dalam menggunakan aplikasi keuangan desa.
  4. Pemkab menyelenggarakan pelatihan aplikasi keuangan desa untuk 15 kecamatan dan 236 desa.
  5. Pemkab siapkan tenaga helpdesk di setiap kecamatan dengan memperkuat Kepala Seksi Pemerintahan (Kasi Pemer) dan staff tentang prinsip-prinsip pengelolaan keuangan desa, instalasi aplikasi, penggunaan dan pengatasan masalah aplikasi.
  6. Pemkab melakukan penguatan kembali (pendalaman) kepada setiap desa yang dikumpulkan di setiap kecamatan. Pada tahapan ini, Pemkab menekankan pentingnya adanya SOP Pengelolaan Keuangan Desa di setiap desa.

Selain lima tahapan yang sudah dilakukan di atas, masih ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan akses open data keuangan desa lebih luas, di antaranya:

1.  Publikasi informasi publik kepada masyarakat.

Pemkab Wonosobo mewajibkan desa mempublikasikan penggunaan anggaran desa kepada masyarakat melalui infografis dan dipasang di beberapa tempat strategis di desa.

“Pemerintah desa wajib menyampaikan rincian kegiatan yang didanai oleh Dana Transfer ke Desa tahun berjalan dalam bentuk media visual atau infografis yang dipasang pada lokasi strategis dan dapat diakses oleh masyarakat luas. Sudah gak jamannya lagi publikasi informasi dana transfer hanya ditempel pada kertas HVS di depan kantor desa,” tegas Aldhiana Kusumawati, Kepala Sub Bagian Keuangan, Tata Pemerintahan Kabupaten Wonosobo kepada semua peserta dari desa.

2. Penerapan SOP Pengelolaan Keuangan Desa.

Penerapan SOP sangat penting karena dengan pembagian peran yang jelas antar aktor PTPKD menjadi faktor penting pengelolaan keuangan desa yang partisipatif dan akuntabel. Di samping itu, pada aplikasi sistem informasi keuangan desa juga menerapkan pembagian peran, alur, dan akses sistem menurut SOP pengelolaan keuangan desa.

3. Integrasi data keuangan desa dengan pusat data di Kabupaten yang juga bisa diakses masyarakat secara langsung.

Integrasi data ini merupakan upaya pemantauan bersama oleh pemerintah desa, masyarakat, SKPD urusan desa, Inspektorat Kabupaten. Semua aktor bisa memantau data pengelolaan keuangan desa mulai dari perencanaan, penganggaran, penataausahaan, hingga pertanggungjawaban. Ke depan, integrasi data ini bukan hanya seputar keuangan desa, tetapi bisa lebih luas menggunakan data bersama lintas aktor sesuai kewenangannya.

 

Salah satu proses pelatihan aplikasi keuangan desa di Desa Kapencar, kecamatan Kertek

Pentingnya SOP dalam Pemanfaatan Aplikasi Keuangan Desa

Pada 17-26 Januari 2016 INFEST menyelenggarakan pelatihan pengelolaan keuangan desa menggunakan aplikasi Mitra Desa untuk desa-desa dampingan di kabupaten Wonosobo untuk model open data keuangan desa. Desa-desa yang dilatih dalam 2 pekan tersebut di antaranya:

  1. Desa Kapencar, Kertek
  2. Desa Ngadikerso, Sapuran
  3. Desa Talunombo, Sapuran (Tambahan)
  4. Desa Ngalian, Wadaslintang
  5. Desa Parikesit, Kejajar (Tambahan)
  6. Desa Igirmranak, Kejajar

Kegiatan ini dilaksanakan di masing-masing desa dengan melibatkan semua aktor Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa (PTPKD). Selain itu, perangkat desa dari desa-desa tetangga yang satu wilayah kecamatan juga mengikuti pelatihan ini. Seperti wilayah kecamatan kejajar, semua desa dilibatkan dalam proses pelatihan aplikasi Mitra Desa yang dibagi dua tempat, yaitu di Desa Parikesit dan Igirmranak.

“Saya meminta setiap desa di kecamatan Kejajar mengikuti pelatihan yang diselenggarakan INFEST supaya mereka tidak bingung lagi menggunakan aplikasi, ” terang Iwan Widayanto, camat Kejajar.

Hal serupa juga terjadi di wilayah kecamatan Sapuran, Kertek, dan Wadaslintang. Desa-desa tetangga diikutkan dalam pelatihan aplikasi keuangan desa. Pelatihan tersebut difasilitasi oleh Muhammad Khayat dan Pandu Setyoaji dari INFEST, dibantu Astin Meiningsih Program Officer INFEST untuk wilayah Wonosobo.

Pentingnya SOP dan Berbagi Peran

Pelatihan Aplikasi Mitra Desa merupakan kegiatan lanjutan setelah desa dilatih tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Masing-masing desa dampingan sudah mempunyai Standard Operasional Baku (SOP) sebagai mekanisme/sistem pengelolaan keuangan desa. Pembagian peran PTPKD yang berisi Kepala Desa, Sekretaris Desa, Bendahara, dan  Pelaksana Kegiatan dirincikan dalam dokumen SOP pengelolaan keuangan desa mulai dari urusan dokumen yang dipegang/dikuasai, ukuran waktu (tenggat) sirkulasi dokumen, dan masing-masing tanggung jawab pelaporan juga terdistribusi kepada masing-masing peran.

Setelah desa paham bagaimana cara mengelola keuangan desa dengan pembagian tugas dan wewenang yang diatur dalam SOP Pengelolaan Keuangan Desa, maka mekanisme SOP bisa diimplementasikan menggunakan aplikasi sistem informasi keuangan desa. Dalam aplikasi tersebut, desa dapat mendigitalisasikan dokumen perencanaan (RPJMDesa, RKPDesa), penganggaran (APBDesa), penatausahaan (Buku Kas Umum, Buku Bantu Pajak, Buku Bantu Bank), dan mengelola dokumen pelaporan. Aplikasi ini dikembangkan berpedoman pada Permendagri 113/2015 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Perbup Wonosobo 75/2015 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, dan Permenkeu 49/2016 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa.

Simulasi SOP dalam Aplikasi Keuangan Desa

Dalam rangkaian pelatihan aplikasi keuangan desa ini, peserta lebih banyak diajak praktik langsung mengisikan dokumen perencanaan hingga penganggaran ke dalam aplikasi. Di tengah pelatihan juga disisipkan pengetahuan dan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan desa.

Setelah peserta mengisi dokumen perencanaan hingga penganggaran, peserta diajak praktik simulasi pengajuan pendanaan hingga pertanggungjawaban dalam aplikasi. Peserta dibagi menjadi empat peran, yaitu Kepala Desa, Sekretaris, Bendahara, dan Pelaksana Kegiatan. Berikut gambaran kronologi simulasi SOP dalam aplikasi:

  1. Masing-masing aktor login/masuk ke aplikasi sesuai peran yang dibagikan;
  2. Pelaksana kegiatan atau Tim Pengelola Kegiatan (TPK) mengajukan Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang disesuaikan dengan kebutuhan;
  3. Sekretaris memeriksa (verifikasi) dokumen pengajuan, disesuaikan dengan dokumen penganggaran (APBDesa) yang sudah disahkan. Sekretaris dapat membubuhkan catatan hasil verifikasi dalam sistem.
  4. Kepala Desa menyetujui atau menolak pengajuan pendanaan. Terdapat dua tombol sakti untuk Kepala Desa, yaitu Setuju atau Tolak.
  5. Jika sudah disetujui Kepala Desa, Bendahara selanjutnya mencairkan dana sejumlah yang diajukan dan dipotong pajak sekaligus. Pada tahapan ini, sistem akan otomatis mencatat pengeluaran dan penerimaan pajak pada Buku Kas Umum dan Buku Bantu Pajak.
  6. TPK mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatan (belanja) dengan mengumpulkan bukti-bukti kegiatan/transaksi belanja dan dicatat dalam aplikasi sesuai pelaksanaan kegiatan di lapangan.
  7. Sekretaris atau Kepala Desa menyetujui laporan pertanggungjawaban yang dikirimkan TPK. Sampai tahap ini, serapan anggaran untuk kegiatan yang diajukan tercatat sudah terealisasi.

Hingga akhir proses pelatihan, beberapa peserta menyadari bahwa dokumen perencanaan hingga penganggaran masih banyak yang belum konsisten. Seringkali dokumen RKPDesa dan APBDesa cukup jauh lepas dari apa yang sudah direncanakan dalam RPJMDesa. Selain itu peran pengelolaan keuangan desa selama ini bertumpu pada satu aktor saja, yaitu Sekretaris atau Bendahara. Untuk itu, aplikasi keuangan desa membantu konsistensi perencanaan dan SOP keuangan desa untuk meningkatkan proses akuntabilitas pengelolaan keuangan desa.

 

Obsesi Macang Sakti untuk Perbaikan Data Kesejahteraan dan Layanan Publik

Tatanan regulasi tentang desa sebelum lahirnya Undang-Undang Desa memang memaksa desa untuk menjadi objek pembangunan. Karenanya, kemandirian desa menjadi suatu mimpi yang mustahil untuk tercapai.

Demikian pula yang terjadi pada ranah kemandirian data. Desa yang hanya berposisi sebagai kepanjangan pemerintah kabupaten selalu bermasalah dalam manajemen datanya. Pemerintah Desa sebagai pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat tak pernah memiliki data yang valid sebagai landasan perencanaan program pembangunan. Desa hanya dijadikan sebagai alat untuk mengumpulkan data yang kemudian masuk ke kabupaten, provinsi atau pemerintah pusat.

Yarmadi, Kepala Dusun 4 Desa Macang Sakti, Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin juga mengeluhkan mengenai masalah pendataan kesejahteraan. Ia menyatakan bahwa beberapa saat yang lalu, desa melaksanakan pendataan dari BKKBN. Pendataan tersebut dilakukan oleh desa tapi desa tak memiliki rekap atau arsipnya.

“Pendataan itu prosesnya lama dan susah. Memang ada honornya tapi maksud kami waktu itu, tak usah lah kami ini digaji. Uang honor gunakan saja sebagai biaya fotokopi untuk arsip kami di desa. Ternyata sampai sekarang arsip atau fotokopi buat kami tak dapat, honor pun tak dapat,” Ungkap Yar, sapaan akrabnya.

Indikator kesejahteraan yang ditetapkan dalam skala nasional menjadi acuan dalam pengumpulan data yang dilakukan oleh desa. Data dengan atribut indikator skala nasional tersebut akhirnya menjadi acuan bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk merumuskan program pembangunan dan berbagai bantuan kepada masyarakat desa. Hasilnya, tentu bisa dipastikan menimbulkan banyak masalah. Pemerintah desa -yang hanya sebatas melakukan pendataan dan menyalurkan bantuan yang dimandatkan pemerintah supra desa- menjadi buah bibir masyarakat.

“Si kaya mendapatkan bantuan sedangkan si miskin tak mendapat apa-apa,” itulah yang sering terlontar dari masyarakat.

1 Obsesi Macang Sakti

3 Obsesi Macang Sakti

Warga Macang Sakti belajar bersama memetakan obsesi dan mimpi desanya

Indikator kesejahteraan nasional tentu tak dapat memotret kondisi kesejahteraan masyarakat yang tinggal di lebih dari 74.000 desa di Indonesia. Inilah salah satu latar belakang lahirnya Undang-Undang Desa. Spirit untuk mengembalikan kemandirian desa juga tertuang dalam berbagai aturan turunan Undang-Undang ini. Permendesa Nomor 1 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa misalnya. Pada pasal 14 huruf g menyebutkan bahwa “desa berwenang untuk melakukan analisis kemiskinan secara partisipatif”. Hal ini tentu bisa menjadi peluang bagi desa untuk mulai menata basis data termasuk data kesejahteraan masyarakat.

Desa Macang Sakti optimis bisa memperbaiki basis data yang mereka miliki. Keberadaan Undang-Undang Desa dan Sekolah Pembaharuan Desa menjadi kekuatan yang diyakini mampu menguatkan kemandirian desa.

“Kami berharap program Sekolah Pembaharuan Desa ini dapat mendorong kami untuk merumuskan indikator kesejahteraan masyarakat yang khas, yang sesuai kondisi desa kami. Kami yakin kami bisa,” lanjutnya.

Di sisi lain, pelayanan publik di desa Macang Sakti juga dirasa masih perlu banyak perbaikan. Kantor desa yang semestinya menjadi pusat pelayanan nampak kosong tak terawat. Sejauh ini, kantor desa Macang Sakti hanya dipakai untuk menyimpan kursi. Setiap harinya, kantor terkunci dan tak ada perangkat desa yang bertugas di sana. Jika mengurus sesuatu, masyarakat harus pergi ke rumah perangkat desa.

Perlunya perbaikan layanan publik desa juga diakui oleh oleh Yarmadi. Tidak adanya perangkat desa yang siap sedia di kantor pada jam kerja menyebabkan ketidakpastian pelayanan. Di sisi lain, juga tidak ada informasi pelayanan yang disosialisasikan kepada masyarakat.

“Kalau soal pelayanan publik istilahnya masih minim (kurang baik) lah. Baik di tingkat desa , kecamatan, maupun di kabupaten. Masyarakat tidak tahu kepastian syarat maupun waktu pelayanan. Pengurusan dokumen kependudukan bisa sampai 3 bulan belum jadi. Ndak tahu entah karena tidak dikerjakan atau karena syarat yang kami bawa kurang lengkap. Pokoknya setiap kami tanya kenapa belum jadi, jawabannya selalu ada saja kurang syarat ini kurang syarat itu” tukasnya.

Ia berharap bahwa survei pelayanan publik sebagai salah satu bagian dari proses belajar pada program Sekolah Pembaharuan desa nantinya tidak hanya memperbaiki layanan di tingkat desa saja. Pelayanan dari pemerintah kabupaten juga perlu dijangkau dan dikritisi. [nasrun]

Lubuk Bintialo Mulai Memikirkan Pengembangan Aset

Baru satu bulan program sekolah pembaharuan desa dilaksanakan di desa Lubuk Bintialo, Kecamatan Batang Hari Leko, Kabupaten Musi Banyuasin, mampu membangkitkan semangat Sunarto, kepala desa tersebut untuk berpikir positif dalam memanfaatkan aset desa. Ia hendak membawa desanya menuju desa swasembada sayur dan lauk pauk.

“Masyarakat akan kami ajak mengurus perkebunan sayur,” ungkapnya saat ditemui di rumahnya pada kamis petang (7/4/2016).

Sejauh ini, masyarakat Desa Lubuk Bintialo memang kurang mengkonsumsi sayuran. Jarak dengan pusat kota yang terlalu jauh menyebabkan masyarakat di desa ini tak bisa mendapatkan sayuran. Pasar desa yang buka pada hari kamis saja dirasa masih belum mencukupi kebutuhan sayuran bagi masyarakat desa ini.

“Ada sayuran di kalangan (pasar), tapi jenisnya tidak banyak. Harganya juga mahal,” ungkap salah seorang warga yang sedang di rumah Kades Lubuk Bintialo saat itu.

Rencana kepala desa untuk mengembangkan skill masyarakat di bidang perkebunan sayur itu akan diterapkan baik di pekarangan warga maupun di lahan perkebunan secara khusus.
“Lahan ada, bisa di pekarangan atau di lahan khusus. Nanti ada masyarakat yang menanam sayur mayur, beternak ikan, kambing, bebek, ayam dan sebagainya,” lanjut Sunarto. Kondisi geografis di desa Lubuk Bintialo yang berdekatan dengan Sungai juga menyimpan potensi air yang begitu besar. Masyarakat yang memiliki lubuk atau genangan-genangan air bisa memanfaatkannya untuk memelihara ikan. Genangan air yang ada di lahan masyarakat bisa digali lebih dalam kemudian dimanfaatkan untuk kolam ikan.

“Bisa juga potensi sungai kita ini dimanfaatkan untuk budidaya ikan keramba. Tidak seperti di Jawa, sungai kita ini relatif masih alami, belum tercemar. Saya sempat melihat di daerah lain ada budidaya ikan keramba. Nampaknya itu cocok juga untuk di sini,” Papar Sunarto.
Tak hanya kesadaran mengenai aset sumberdaya alam saja, Sunarto juga menyatakan bahwa banyak potensi bantuan dari perusahaan yang masuk ke desanya. Jika selama ini bantuan CSR dari perusahaan hanya berupa bangunan atau berbentuk pemberian uang, ke depan, ia berharap perusahaan dapat memberikan CSR yang mampu meningkatkan skill masyarakat. Dengan demikian, perusahaan dapat memberikan sumbangsih pada kemandirian masyarakat desa.

“Selain program yang sudah berjalan selama ini (bantuan pembangunan infrastruktur), nantinya perusahaan di desa ini akan kami minta untuk memberikan pelatihan-pelatihan yang cocok dengan potensi yang dimiliki desa,” lanjutnya.

Mengenai aset sumber daya manusia, kepala desa yang yang baru menjabat selama satu tahun ini mengeluhkan mengenai tingkat pengangguran. Banyak anak muda desa Lubuk Bintialo yang tak diterima oleh perusahaan di desanya sendiri.

“Kami mendorong perusahaan-perusahaan itu untuk merekrut pemuda lokal tapi banyak sekali alasannnya. Katanya tak punya skill lah, tak punya pendidikan lah,” ungkapnya dengan nada prihatin.

Menanggapi hal tersebut, Widodo, Program Officer Sekolah Pembaharuan Desa di Kabupaten Musi Banyuasin mencoba mengajak desa untuk melakukan introspeksi. Dengan alasan hutang budi terhadap desa yang ditempatinya, desa sering kali menuntut perusahaan untuk menuruti permintaannya, termasuk menerima orang lokal sebagai tenaga kerja. Bisa jadi penolakan perusahaan atas tenaga kerja lokal terjadi karena spesifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan tidak cocok dengan apa yang dimiliki oleh SDM lokal.

Melalui pemetaan aset desa, nantinya akan dilakukan pendataan dan analisa seluruh aset dan potensi desa. Dilakukan analisa tantangan pengembangan aset tersebut, kemudian dilakukan perencanakan langkah-langkah strategis pengembangan aset-aset tersebut.
“Misalnya soal kekayaan aset SDM pemuda desa tadi, ada tantangan bahwa pemuda desa tidak bisa bekerja di perusahaan. Alasan atau sebabnya adalah tidak memiliki skill. Maka akan kita diskusikan bagaimana strategi atau cara agar pemuda desa bisa diterima perusahaan. Salah satu contoh hasil perumusan strateginya adalah desa merencanakan program pelatihan skill pemuda desa, memfasilitasi kursus atau memberikan beasiswa pendidikan bagi pemuda desa yang potensial. Desa berwenang dalam hal itu,” ungkap Widodo.4. Lubuk Bintialo Memikirkan aset

Salah satu strategi pengembangan aset Desa Lubuk Bintialo adalah dengan membangun BUMDesa

Salah satu strategi pengembangan aset Desa Lubuk Bintialo adalah dengan membangun BUMDesa

Dengan cara semacam ini, rencana pembangunan desa tentu akan lebih sistematis dan benar-benar berbasis pada kebutuhan bukan sekadar keinginan. Widodo juga menambahkan bahwa program program pembangunan desa yang baik adalah program yang dibutuhkan, bukan sekadar yang diinginkan. Sebuah program, jika dibutuhkan sudah tentu menjadi keinginan. Sebaliknya, jika sekadar diinginkan, seringkali tidak dibutuhkan.

“Ilustrasinya mudah, ada di sekitar kita. Misalnya keberadaan lapangan futsal yang nampak tak terawat. Menandakan bahwa lapangan itu tak terpakai. Kenapa tak terpakai? Karena dulu masyarakat usul dengan bermotif keinginan. Saya juga menemukan di forum sebelumnya, bahwa masyarakat menginginkan adanya Mall di desa ini. Lantas kalau ada Mall di sini, siapa yang mau jualan dan siapa yang mau beli. Ini pola pikir berbasi keinginan. Pelan-pelan nanti akan kita rubah cara berpikir masyarakat kita,” pungkas Widodo. [nasrun]

asas pengelolaan keuangan desa

Pengelolaan Keuangan Desa

Kepercayaan pemerintah pusat atau kabupaten terhadap desa dalam mengelola keuangan yang masih rendah tidak didukung penguatan kapasitas yang memadai bagi desa. Kepercayaan tersebut diartikan sebagai sulitnya pemerintah pusat mengawasi dan memantau penggunaan dana desa oleh pemerintah desa. Jika dilihat dari unsur budaya, desa mempunyai mekanisme pengawasannya sendiri.

Secara luasan wilayah, desa lebih sempit dari wilayah kabupaten atau provinsi. Masyarakat desa tinggal berdampingan dengan pemerintahan desa, setiap program pembangunan desa bisa secara langsung diawasi oleh masyarakat, di lain sisi masyarakat bisa terlibat langsung dalam proses pembangunan desa dengan unsur gotong-royong. Kearifan lokal desa akan menilai secara alami proses akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Jika ada temuan penyimpangan pengelolaan keuangan desa yang tidak sesuai dengan hasil musyawarah desa, maka akan ada penghakiman secara budaya terhadap penyelenggara pembangunan. Penghakiman tersebut bisa berbentuk pengucilan dalam kehidupan bermasyarakat.

asas pengelolaan keuangan desa

Unsur pengawasan pembangunan desa perlu didorong dengan keterbukaan dan transparansi pembangunan desa kepada masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan pengawasan masyarakat. Informasi pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban harus diketahui dan mudah diakses oleh masyarakat desa.

Keuangan Desa

Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pengelolaan keuangan desa harus transparan, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Aspek Swadaya
Segala bentuk bantuan barang atau tenaga (bukan berbentuk uang dan bisa dinilai dengan uang) atau swadaya masyarakat adalah termasuk pendapatan desa. Hal tersebut (baca: swadaya masyarakat) dicatat dalam dokumen APBDesa pada rekening pendapatan desa lainya yang sah, kemudian dimasukkan nilai uang atas barang atau tenaga tersebut dengan nomenklatur yang rinci, tidak boleh ada nomenklatur yang sama yang menyebabkan double budget.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa)
Pembentukan BUMDesa tidak menjadi belanja desa, tetapi sebagai pengeluaran pembiayaan (rekening pembiayaan dalam APBDesa) sebagai penyertaan modal desa. Selanjutnya hasil atau keuntungan dari BUMDesa masuk sebagai Pendapatan Asli Desa (PAD). Sedangkan jika aset BUMDesa dijual, maka masuk sebagai penerimaan pembiayaan.

  1. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan keuangan desa
    Memahami peran dan wewenang setiap aktor dalam pengelolaan keuangan desa menjadi sangat penting untuk mewujudkan partisipasi dan akuntabilitas. Jika masing-masing peran berfungsi dengan baik berdasarkan kewenangannya berikut dokumen-dokumen penyertanya, maka akan menjadi pendukung utama akuntabilitas pengelolaan keuangan desa.
  2. Pelaksanaan setiap kegiatan dan penatausahaan berjalan secara simultan bersamaan. Pencatatan transaksi ke dalam dokumen-dokumen penatausahaan harus secara langsung dicatat setiap kali ada kegiatan atau transaksi dalam proses pelaksanaan kegiatan. Bendahara mempunyai peran penting dalam penatausahaan.
  3. Pencairan dana setiap kegiatan harus menggunakan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), selama ini tidak terimplementasikan dengan baik di desa. Pelaksana kegiatan harus merencanakan keuangan atau pembelanjaan sesuai dengan Rencana Anggaran dan Belanja (RAB) dalam APBDesa untuk kemudian diverifikasi oleh sekretaris desa dan disahkan oleh kepala desa. Selanjutnya, pelaksana kegiatan menyusun SPP dengan melampirkan RAB yang disusun. SPP untuk satu kegiatan bisa lebih dari satu kali menyesuaikan kebutuhan. Di samping itu, pencairan Dana Desa (DD) juga dilakukan secara bertahap, yaitu tiga tahap (April 40%, Agustus 40%, November 20%), sehingga mengasumsikan SPP dilakukan menyesuaikan anggaran yang direncanakan dan ketersediaan dana yang tersimpan di rekening desa.
  4. Penarikan dana dalam rekening desa di bank harus bersumber dari perencanaan kegiatan/belanja yang akan dilakukan berdasar SPP yang masuk.
  5. Pelaporan keuangan dilakukan secara partisipatif oleh PTPKD, mulai dari pelaksana kegiatan sampai bendahara.
  6. Laporan realisasi APBDesa dilakukan sebanyak dua kali (per semester).
  7. Laporan pengelolaan keuangan desa diprioritaskan untuk masyarakat desa, selanjutnya kepada pemerintah kabupaten.
  8. Peran pemerintah kabupaten sangat penting dalam mengatur pengadaan barang dan jasa, karena setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda, mulai dari standar harga, penarikan pajak, sampai alur pencairan dana.
  9. Pemerintah desa dapat menyusun Standard Operational Procedure (SOP) pengelolaan keuangan desa untuk mempermudah proses-proses pelaksanaan dan penatausahaan keuangan desa.
  10. Meskipun kepala desa sebagai penguasa pengelolaan keuangan desa, tetapi kepala desa tidak berwenang memegang uang. Buku rekening bank desa dipegang oleh bendahara. Bendahara bisa menyetorkan dan menarik dana atas persetujuan kepala desa didukung dengan spesimen tanda tangan bendahara dan kepala desa.
Infografis berita keuangan Wonosobo

Setelah Pelatihan, Kader Desa di Wonosobo Usulkan Rekomendasi Perbup

Dua desa di Kabupaten Wonosobo mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan desa yang diselenggarakan oleh Infest Yogyakarta di Kantor Bupati pada 29 September – 2 Oktober 2015. Kedua desa tersebut ialah Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah dan Desa Lengkong, Kecamatan Garung. Kedua desa ini akan menjadi model desa yang mengimplementasikan pengelolaan keuangan desa yang baik, sehingga bisa menjadi contoh dan teman belajar bagi desa lainnya di Kabupaten Wonosobo.

Proses Pelatihan - Simulasi tata cara pengadaan barang dan jasa yang melibatkan penyedia dari pihak ketiga

Proses Pelatihan – Simulasi tata cara pengadaan barang dan jasa yang melibatkan penyedia dari pihak ketiga

Senada dengan pelatihan di Malang dan Takalar, pelatihan di Wonosobo juga mendorong desa mampu mengelola keuangan desa mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban secara transparan, partisipatif, akuntabel, serta disiplin anggaran. Selain itu, pelatihan selama empat hari ini menjadi bahan rekomendasi penyusunan Peraturan Bupati (Perbup) Wonosobo tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

“Kami sedang berproses menyusun draft Perbup Pengelolaan Keuangan Desa, hasil dari empat hari ini justru akan menjadi rekomendasi bagi kami di bagian Pemerintahan,” tutur Aldhiana Kusumawati (Dina), dari bagian Pemerintahan, Pemkab Wonosobo.

Dokumen APBDesa desa-desa di Wonosobo masih menggunakan format lama, artinya belum secara penuh mengimplementasikan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Hal ini diakui Sukardi, Sekretaris Desa Keseneng. Menurut Sukardi, dalam pelatihan ini banyak hal baru yang diketahui, diantaranya adanya 4 kelompok utama dalam belanja yaitu kelompok penyelenggaraan pemerintah desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan desa. Sedangkan dokumen APBDesa tahun 2014 Desa Keseneng masih menggunakan format lama yang terdiri dari 2 kelompok utama dalam belanja yaitu kelompok biaya operasional dan pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya menurut Dina, Pemkab Wonosobo menyadari bahwa perlu adanya tahun transisi bagi desa karena banyak hal baru dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Proses transisi tersebut termasuk penguatan kapasitas desa seperti yang dilakukan empat hari ini untuk mendorong kesiapan desa. Pemkab Wonosobo sudah terlebih dahulu mengeluarkan surat edaran supaya desa segera menyusun APBDesa 2016 tanpa harus menunggu peraturan menteri tentang pengelolaan keuangan desa disahkan.

Draft Perbup Wonosobo tentang Pengelolaan Keuangan Desa diulas bersama peserta dalam pelatihan yang difasilitasi oleh Darwanto, pegiat advokasi anggaran dari Indonesia Budget Center (IBC), Jakarta. Beberapa masukan diantaranya tentang kurang sesuainya kelompok belanja pegawai dan belanja barang/jasa yang mengacu pada Permendagri Nomor 113 Tahun 2014; kurang rincinya tata cara penggunaan dana Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SilPA); dan pengaturan jumlah uang kas di desa. Selanjutnya beberapa masukan dan temuan-temuan dari pemerintahan desa saat pelatihan diserahkan kepada bagian pemerintahan Pemkab Wonosobo sebagai rekomendasi penyusunan Perbup pengelolaan keuangan desa.

Infografis berita keuangan WNSB

Setelah pelatihan ini, peserta berkomitmen untuk mempelajari lagi pengetahuan tentang pengelolaan keuangan desa, mempraktikan pengetahuan yang didapat saat pelatihan. Selain itu, Pemkab Wonosobo akan menyelenggarakan rapat penyusunan Perbup Pengelolaan Keuangan Desa pada 5 Oktober 2015 dengan memasukkan hasil pelatihan ini sebagai rekomendasi. [khay]

Pelatihan Keuangan Desa Malang

Praktik Mengulas dan Simulasi Pelaksanaan APBDesa

Kader Pembaharu Desa dari tiga desa di Malang mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan desa yang diselenggarakan di Kantor Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang (3-6/09/2015). Pelatihan tersebut melibatkan aktor-aktor kunci pengelolaan keuangan desa yang terdiri dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Bendahara Desa, Kepala Urusan Pembangunan Desa/Kesejahteraan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok PKK, Karang Taruna, Kepala Dusun, Perwakilan Masyarakat, Perwakilan Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten. Pelatihan yang diikuti oleh Desa Tunjungtirto, Kucur dan  Jambearjo ini difasilitasi oleh Darwanto dari Indonesia Budget Center (IBC), Jakarta.

Pelatihan Keuangan Desa Malang

Kader Pembaharu dati tiga desa di Kabupaten Malang, mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan desa di Desa Tunjungtirto, Kecamatan Singosari.

Pada pelatihan ini, peserta tidak hanya diajak untuk memahami teknis tata cara pengisian dokumen-dokumen keuangan desa, tetapi juga memahami esensi serta keberpihakan pengelolaan keuangan desa yang terbuka, partisipatif, akuntabel, dan tertib/disiplin anggaran sebagai asas utama pengelolaan keuangan desa. Proses pelatihan ini dilakukan dengan metode paparan materi, diskusi, hingga praktek dan simulasi.

Menurut Muhammad Makhfudz, Sekretaris Desa Jambearjo, selama ini tata kelola keuangan desa yang sudah berjalan dirasa sudah maksimal. Setelah adanya penguatan kapasitas pengelolaan keuangan desa, Ia mengaku semakin tahu kekurangan dalam pelaksanaan keuangan desa.

“Apa yang selama ini kita kerjakan menurut kami sudah maksimal, mungkin karena kurangnya pengetahuan kami tentang pengelolaan keuangan desa. Setelah kami mengikuti pelatihan ini, kami semakin tahu apa yang selama ini keliru kami lakukan,” ungkap Muhammad Makhfudz.

Mengulas dokumen APBDesa
Peserta dibagi dalam tiga kelompok untuk mengulas dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) 2015 dengan cara mempertukarkan dokumen-dokumen APBDesa masing-masing desa yang sudah dicetak. Masing-masing kelompok berperan sebagai pemerintah kabupaten yang mengevaluasi dokumen APBDesa. Beberapa hasil evaluasi APBDesa tersebut, meski masih banyak kesalahan dalam penyusunan dokumen APBDesa, Pemerintah Kabupaten Malang telah memutuskan dokumen tersebut lolos verifikasi. Pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini adalah pemerintah kabupaten perlu banyak belajar lagi tentang struktur APBDesa, supaya tidak terjadi kesalahan pada dokumen perencanaan desa sehingga pembangunan desa lebih terukur dan tepat sasaran. Beberapa kesalahan yang sering terjadi adalah seringnya salah penempatan pos anggaran, kekeliruan atau tertukarnya jenis belanja modal dan belanja barang/jasa.

Simulasi pengajuan dan pembayaran kegiatan
Ketiga kelompok masing-masing diminta memilih salah satu kegiatan yang tercantum dalam dokumen APBDesa. Dalam setiap kelompok ada yang berperan sebagai pelaksana kegiatan, sekretaris desa, kepala desa, bendahara desa, penyedia barang/jasa, dan BPD. Setiap kelompok dibagikan dokumen-dokumen pelaksanaan dan penatausahaan, seperti dokumen Rencana Anggaran dan Biaya (RAB), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Buku Kas Umum, Buku Bantu Pajak, Buku Bantu Bank, Buku Kas Pembantu Kegiatan dan format laporan pelaksana kegiatan (pernyataan tanggung jawab belanja).

Setiap kelompok diberi waktu berdiskusi tentang pemetaan peran dan dokumen yang harus dipegang setiap peran tersebut, sehingga pada simulasi bisa terpetakan/dipahami mengenai siapa melakukan apa, apa saja dokumen yang harus dipegang, cara mengisinya dan sirkulasi setiap dokumen tersebut. Fasilitator mendampinmgi diskusi tersebut dambil mengulas sedikit materi-materi yang sudah disampaikan yang terkait dengan proses simulasi ini.

Setelah proses simulasi tersebut, peserta semakin paham mengenai apa saja tugas dan wewenangnya, dan dokumen-dokumen yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti yang diungkapkan oleh Winarsih, Bendahara Desa Tunjungtirto.

“Saya semakin paham justru setelah simulasi tadi. Saya jadi tahu dokumen apa saja yang harus saya isi, apa saja tugas dan wewenang saya,” ungkap Winarsih.

Hasil pelatihan ini merekomendasikan pemerintah desa mempunyai Standard Operating Procedure (SOP) tentang Pengelolaan Keuangan Desa untuk mempermudah dan menertibkan penatausahaan keuangan desa. [khay]