Arsip Penulis: M Irsyadul Ibad

Proses perencanaan pembangunan di desa

Roadmap Penerapan Keterbukaan Informasi dan Transparansi Keuangan di Tingkat Desa Kabupaten Malang

Transparansi dan partisipasi menjadi dua kata kunci penting dalam pengelolaan pembangunan di tingkat desa. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menempatkan keduanya sebagai aspek penting dalam perubahan di tingkat desa. Transparansi terkait erat dengan kata kunci informasi yang turut diatur pada pasal 82 ayat 1. Ketersediaan informasi selanjutnya, pada pasal 2, dinilai menjadi bagian dari akses masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa.

Secara lebih spesifik, informasi publik diatur pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Desa menjadi salah satu badan publik yang turut menjadi subjek dalam UU KIP tersebut. Dengan status pendanaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintahan desa menjadi subjek yang berkewajiban dalam penyediaan dan penyelenggaraan keterbukaan informasi.

Melalui pendekatan apresiasi atas desa, Infest memandang bahwa keterbukaan informasi tidak semata kewajiban yang melekat melainkan juga bagian dari pelayanan publik kepada masyarakat. Sebagai pelayanan, keterbukaan informasi akan melekat sebagai mekanisme harian pada pemerintahan desa dan tidak terpisah dari tugas pemerintahan desa.

Pendekatan apresiasi atas desa juga menempatkan partisipasi sebagai kunci pelaksanaan pembangunan sejak perencanaan sampai pertanggungjawaban. Melalui tim Pembaharu desa yang berisikan perwakilan masyarakat dan pemerintahan desa, pengelolaan pemerintahan desa menjadi tidak eksklusif dikelola oleh desa. Masyarakat menjadi bagian langsung dari proses pembangunan dan penatausahaan pada lingkup tertentu. Keterlibatan ini diharapkan memperkuat kemungkinan masuknya agenda-agenda penting masyarakat berbasis pada data yang dibangun secara kolektif.

[Baca: Memahami pemetaan kesejahteraan di tingat desa dan Model Perencanaan Apresiatif Desa]

Sejak Maret 2015, infest bersama tim pembaharu desa di 3 desa Kabupaten Malang (Tunjungtirto, Kecamatan Singosari; Kucur Dau Kecamatan; dan Jambeharjo kecamatan Tajinan) mencoba melakukan beberapa perubahan dalam perencanaan dan pengelolaan pemerintahan desa. Upaya pertama adalah dengan merumuskan perencanaan apresiatif dengan berbasiskan aset di tingkat desa. Fokus kedua adalah keterbukaan informasi, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan.

Mengacu pada konsep data terbuka (open data) dan keterbukaan informasi publik (KIP), akses atas informasi pembangunan dan pelayanan publik didorong menjadi bagian dari pelayanan publik. Tidak ada pemisahan antara tugas pelayanan dan penyediaan informasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat desa. Kedua, pelayanan informasi menjadi bagian yang dikelola secara partisipatif. Masyarakat menjadi penterjemah informasi (translasi) yang bertujuan memudahkan pemahaman masyarakat atas informasi sekaligus memperluas keteraksesan informasi di tengah masyarakat. selain tim pembaharu desa, tim pengelola informasi desa turut dibentuk dengan keterlibatan elemen masyarakat.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan informasi dinilai menjadi nilai lebih pendekatan apresiatif dalam pelayanan di tingkat desa ini. Hal ini menjadikan informasi tidak ekslusif secara terbatas dikelola oleh desa, melainkan turut melibatkan elemen masyarakat. Pengelolaan informasi akan memanfaatkan pendekatan berbasis pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan non-TIK.

Pengelolaan keuangan menjadi salah satu jantung sorotan pendekatan yang dilakukan oleh Infest ini. Keuangan dinilai menjadi salah satu aspek paling sensitif ketika dihadapkan pada kebutuhan pemerintah untuk terbuka kepada masyarakat. Pada pengelolaan keuangan, penguatan kapasitas dilakukan untuk memastikan bahwa desa dapat mengelola keuangan dengan memenuhi prinsip akuntabilitas. Bersandingan dengan akuntabilitas, transparansi ditempatkan sebagai bagian tidak terpisahkan sekaligus sebagai bentuk pelayanan.

Infest mencoba memperkuat kapasitas pengelolaan keuangan dari dua aspek, yaitu standar akuntansi keuangan dan pemanfaatan aplikasi keuangan desa. Aspek kapasitas dan pemanfaatan aplikasi tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Aplikasi berjalan sebagai alat kerja setelah desa mampu memahami prinsip-prinsip tata kelola keuangan. Di lain sisi, pemanfaatan aplikasi berfungsi untuk mendorong penyediaan data terbuka secara cepat agar masyarakat dapat mengawasi pengelolaan keuangan desa.

Secara umum, pendekatan yang diimplementasikan di Kabupaten Malang ini dapat dipahami melalui bagan alir berikut:

roadmap KIP malang

Roadmap penguatan kapasitas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan di tingkat desa

 

Rapat Infest bersama bupati dan bagian pemerintahan Kab. Wonosobo di Kantor Sekda Wonosobo (30/07/2015)

Roadmap Perluasan Penerapan Peta Kesejahteraan Lokal Desa di Kabupaten Wonosobo

Perencanaan apresiatif desa (Appreciative rural planning) adalah pendekatan yang mengedepankan aset dan potensi desa dalam penyusunan rencana pembangunan desa. Perencanaan model ini berbeda dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Perencanaan apresiatif bertujuan untuk menggerakkan warga desa untuk mengembangkan diri berbasis pada potensi.

Berbeda dengan pendekatan penyelesaian masalah (deficit based planning), pendekatan apresiatif mencoba menemukenali jenis-jenis kekuatan dan aspek-aspek kunci yang dapat menggerakkan masyarakat di tingkat desa dan pada akhirnya turut menyelesaikan masalah yang timbul di tingkat desa.

Pendekatan ini mengedepankan beberapa prinsip, yaitu:

  1. Apresiasi atas kewenangan desa.  Dengan kelahiran UU Nomor 6 Tahun 2014 memberikan kewenangan kepada desa yang tidak bersifat residu atau sisa dari kewenangan supra desa. Pendekatan ini memandang bahwa kewenangan desa merupakan aset dan potensi yang dapat menggerakkan perkembangan desa. Desa perlu menemukenali kewenangannya sebagai dasar dari pengembangan masyarakat.
  2. Apresiasi aktor desa. Salah satu kekuatan terbesar dari desa adalah sumber daya manusia. Apresiasi aktor mengedepankan upaya menemukenali aktor-aktor penting (baik yang sudah dikenal atau masih tersembunyi) untuk diajak bersama melakukan serangkaian upaya pengembangan desa. Dengan demikian, pembangunan desa tidak semata menjadi tugas pokok pemerintahan desa, melainkan tugas masyarakat. Pada bentuk ini, Infest di beberapa desa dampingan mengembangkan Tim Pembaharu Desa yang berisi masyarakat dan pemerintahan desa. Prinsip partisipasi dan keterbukaan menjadi prinsip dasar operasionalisasi dari konsep apresiasi aktor desa.
  3. Pemahaman atas Aset Desa. Pembangunan yang baik berorientasi pada perkembangan dan bukan pada penyelesaian masalah semata. Konsep ini dapat terjadi apabila desa mengenal aset-aset yang dimiliki oleh desa. Perencanaan apresiatif salah satunya dilakukan dengan menemukenali aset di tingkat desa. Pemetaan aset dilengkapi dengan menemukenali aspek yang dapat menggerakkan atau mengembangkan aset di tingkat desa.
  4. Pemahaman atas kesejahteraan masyarakat. Setelah peta aset, status dan kesejahteraan menjadi penting untuk ditemukenali oleh desa. Peta kesejahteraan menjadi rujukan dalam proses pembangunan. Orientasinya adalah peningkatan kesejahteraan. Mempertimbangkan keberagaman, desa harus memiliki standar sendiri untuk mengklasifikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat. Klasifikasi tersebut diperinci dengan sensus kesejahteraan dan verifikasi di tingkat desa.
  5. Perencanaan berbasis data dan partisipatif. Data menjadi kata kunci dalam perencanaan apresiatif. Data yang diperoleh melalui proses pemetaan menjadi kunci dalam penyusunan perencanaan desa yang tertuang dalam RPJMDesa. Perencanaan pembangunan apresiatif mengacu pada data dan dilakukan secara partisipatif. Partisipasi menjadi elemen dasar yang sudah dilakukan sejak pada tahapan penyiapan data yang dirujuk dalam penyusunan kebijakan.

[Baca: Dokumen Lengkap UU Desa]

Roadmap Perluasan Implementasi Perencanaan Apresiatif Desa di Wonosobo

Kabupaten Wonosobo menjadi salah satu mitra strategis Infest Yogyakarta dalam upaya menciptakan model implementasi UU Desa. Perencanaan apresiatif menjadi salah satu piranti lunak yang dibangun bersama dengan pemerintahan Kabupaten Wonosobo. Mengacu pada pembelajaran yang didapatkan pada 3 desa percontohan di Kabupaten Wonosobo (Desa Gondang, Desa Wulungsari dan Desa Tracap), pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Infest Yogyakarta mencoba memperluas cakupan pelaksana perencanaan apresiatif.

Melalui rapat koordinasi terbatas antara pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Infest Yogyakarta pada tanggal 30 Juli 2015, Kabupaten dan Infest menyepakati perluasan implementasi perencanaan apresiatif di Wonosobo. Guna Kepentingan tersebut, pemerintah Wonosobo menyiapkan 147 anggota task force tim pendamping desa yang akan mendapatkan mandat pendampingan perencanaan apreasiatif di tingkat desa.  Upaya ini dilakukan sebagai bagian dari refleksi atas adanya dampak positif beberapa bagian dari perencanaan apresiatif di desa percontohan. Perluasan ini akan dilakukan di 15 kecamatan dengan 1 desa sebagai percontohan. Aktivitas ini akan dilakukan dengan pembiayaan mandiri dari Kabupaten Wonosobo.

Fokus pada perluasan ini adalah peningkatan kapasitas desa dalam partisipasi masyarakat dan identifikasi kesejahteraan sosial. Melalui pendekatan ini, diharapkan desa-desa di Wonosobo pada akhirnya dapat menerapkan dua aspek dalam pemerintahan, yaitu perencanaan apresiatif desa dan open data keuangan desa. Kedua elemen tersebut akan tercermin dalam kebijakan di tingkat Kabupaten yang saat ini sedang disusun.

[Baca Juga: Wonosobo Siap Menjadi Pelopor Open Data Keuangan Desa]

Secara umum, roadmap perluasan perencanaan apresiatif pada aspek pemetaan kesejahteraan lokal terpapar sebagai berikut:

Roadmap Peta Kesejahteraan Wonosobo

Roadmap Peta Kesejahteraan Wonosobo

Open Data Keuangan Desa

Kabupaten Wonosobo Siap menjadi Pelopor Open Data Keuangan Desa

Wonosobo — Kabupaten Wonosobo siap menjadi model dalam implementasi open data keuangan desa. Hal tersebut disampaikan oleh Abdul Kholiq Arif, Bupati Wonosobo, pada rapat koordinasi antara Infest Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Wonosobo di Kantor Sekretaris Daerah Wonosobo (30/07/2015).

Kabupaten Wonosobo menargetkan akan melakukan penguatan kapasitas dan keterbukaan pengelolaan keuangan di tingkat desa. Upaya ini dimulai dari penyusunan peraturan-peraturan pendukung di tingkat Kabupaten yang menjadi rujukan dalam dalam pengelolaan keuangan desa. Komitmen keterbukaan dan penerapan prinsip data terbuka menjadi bagian dari kebijakan yang akan disiapkan oleh Kabupaten Wonosobo.

APBDes Wonosobo

Tampilan Portal Pengawasan APBDesa Kabupaten Wonosobo

Implementasi data terbuka pengelolaan dana desa akan dimulai dari penguatan kapasitas pengelolaan keuangan di tingkat desa. Penguatan kapasitas ini akan dilakukan bertahap di Kabupaten Wonsobo. Pada tahapan ujicoba ini, Desa Keseneng dan Lengkong akan menjadi dua desa percontohan. Percontohan ini akan dijadikan rujukan perluasan dan penerapan kebijakan di tingkat Kabupaten Wonosobo.

Kabupaten Wonosobo telah menyiapkan portal pengawasan keuangan desa yang beralamat di www.apbdes.wonosobokab.go.id. Desa di Kabupaten Wonosobo akan menggunakan aplikasi pengelolaan keuangan Lumbung Keuangan Desa yang dikembangkan oleh Infest. Aplikasi ini dalam jangka panjang akan terhubung dengan portal pemantauan keuangan desa yang disiapkan oleh Pemerintah Kabupaten. Melalui portal keuangan tersebut, pengelolaan keuangan di tingkat desa akan dapat dipantau secara cepat.

Pengelolaan data terbuka ini terhubung dengan inisiatif non-teknologi yaitu Perencanaan Apresiatif di tingkat desa. Perencanaan berbasis aset ini mengandalkan partisipasi masyaratkat dan apresiasi atas kewenangan serta aset desa. Partisipasi ini akan menjadi kekuatan tersendiri bagi desa. Keterbukaan sudah tidak lagi semata terkait dengan teknologi tetapi partisipasi dalam penentuan kebijakan pembangunan di tingkat desa.

 

Memahami Sistem Informasi dalam Konteks UU Desa

Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa) memberikan harapan baru  pada pembangunan di tingkat Desa. UU Desa memberikan ruang bagi desa untuk menjadi aktor pembangunan dengan mengedepankan adanya prinsip subsidiaritas dan rekognisi atas keberadaan desa sebagai entitas kultural sekaligus pemerintahan. Melalui UU ini, secara filosofis, negara mengakui adanya desa sebagai salah satu entitas sosio-kultural yang secara historis ada sebelum negara Indonesia dideklarasikan. UU ini mengakui desa sebagai bagian dari yuridiksi dalam ketatanegaraan formal negara.

Pengakuan Atas Desa

Pengakuan atau rekognisi dan subsidiaritas menjadi salah satu jantung penting UU Desa. Rekognisi adalah prinsip penting yang terdapat pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 huruf b. Negara mengakui dan menghormati adanya kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Indonesia sebagai sebuah negara yang diatur melalui Undang-Undang.

Pengakuan atau rekognisi merupakan pengakuan atas hak asal usul yang melekat, berkembang dan terejawantah dalam kehidupan masyarakat di tingkat desa. Subsidiaritas merupakan penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan bersakala lokal untuk kepentingan masyarakat desa. Asas subsidiaritas merupakan kebalikan dari asas residualitas yang sebelumnya berlaku atas desa. Asas residualitas yang berlaku sebelumnya menempatkan desa sebagai pelaksana kewenangan dari tingkat di atasnya (supra desa). Desa sebelum UU Desa lebih memiliki kewajiban dibandingkan dengan kewenangan yang melekat sebagai entitas pemerintahan sekaligus entitas kultural.

UU Desa memperjelas posisi desa sebagai salah satu bagian integeral dari negara yang diatur secara spesifik mengingat keunikan unit sosio-kulturalnya. Otonomi Desa kini bukan lagi bagian dari otonomi daerah yang diserahkan ke desa, melainkan pemberian atas hak asal-usul yang melekat pada desa sebagai bagian dari hak bawaan. Kedudukan desa tidak lagi berada di bawah dan di dalam pemerintahan daerah; melainkan berkedudukan di Kabupaten atau kota (Pasal 5).

Pasal 4 UU Desa menjabarkan tujuan dari proses yang disebut sebagai pengaturan desa. Tujuan pokok dari “pengaturan desa” dalam UU Desa mencakup:

  1. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya, sebelum dan sesudah NKRI;
  2. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan RI;
  3. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
  4. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
  5. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;
  6. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat desa;
  7. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa;
  8. Memajukan perekonomian desa dan mengatasi kesenjangan pembangunan;
  9. Memperkuat desa sebagai subjek pembangunan.

Rekognisi atas keberadaan dan wewenang desa harus dilakukan oleh semua pihak. Konsep mengakui menghilangkan atau mengurangi intervensi atau campur tangan terhadap desa yang berpotensi menghilangkan tatanan, pranata dan tata kelola yang sudah berkembang di desa. Upaya-upaya seperti pelaksanaan proyek di tingkat desa dengan tidak melibatkan atau melalui persetujuan desa adalah salah satu bentuk pelanggaran atas asas rekognisi yang dibangun melalui UU Desa.

Prinsip Subsidiaritas  memberikan ruang pada desa untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks di desa. Urusan lokal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat lokal baiknya dikelola oleh desa. Prinsip ini berbeda dengan prinsin penyerahan kewenangan pada konteks desentralisasi. UU Desa mengutur bahwa penetapan kewenangan lokal  berskala desa menjadi kewenangan desa itu sendiri. UU memberikan kewenangan, batasan dan lingkup secara jelas atas kewenangan lokal berskala desa.

Nilai Data dan Informasi untuk Pembangunan Desa

UU Desa memperkenalkan dua model pembangunan di tingkat desa, yaitu (1) Desa Membangun, dan; (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan. Konsep Desa membangun menunjukkan jenis-jenis pendekatan pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat masyarakat di lokal desa. Bentuk kedua menunjukkan persilangan pembangunan satu desa dengan desa lain (kawasan) yang saling beririsan. Model kedua dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan Kabupaten dengan pelibatan dan persetujuan pemerintah dan masyarakat desa.  UU Desa mewajibkan pembangunan kawasan yang berskala desa dilakukan oleh desa dan atau antar desa (pasal 85). Proses membangun desa (kawasan) dan “desa membangun” keduanya harus terintegerasi dengan baik.

Informasi dan data desa menjadi dua kata kunci dalam kedua model pembangunan di tingkat desa tersebut. Desa membutuhkan data-data penting di tingkat lokal untuk menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa. Desa harus memiliki kedaulatan data untuk dapat membuat perencanaan pembangunan yang baik dan sesuai dengan konteks dan kebutuhan di tingkat lokal. Sementara, pemerintah Daerah (provinsi dan Kabupaten) memiliki kebutuhan adanya data yang terkait dengan dengan kawasan untuk dapat melakukan pembangunan desa dalam skala yang beririsan dengan desa lainnya.

Informasi menjadi kunci lain dalam pengawasan pembangunan di tingkat desa. Masyarakat harus mendapatkan informasi yang memadai dan benar terkait dengan pembangunan di tingkat desa. Hal ini sejalan dengan prinsip perubahan di tingkat pemerintahan desa yang menjadi amanat UU desa, yaitu mewujudkan pemerintahan desa yang efisien, efektif, profesional, terbuka dan bertanggungjawab. Kedua kata kunci tersebut (data dan informasi) difasilitasi oleh satu pendekatan alat yang disebut sebagai sistem informasi desa (Pasal 86).

Sistem Informasi Desa

Mengacu pada Pasal 86 UU Desa, Sistem Informasi Desa dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendekatan dalam skala yang lebih kecil ini –dibandingkan dengan nasional– bertujuan untuk memperkecil hilangnya kewenangan lokal berskala desa akibat penyeragaman di tingkat nasional. Tujuan dari pengaturan skala kewajiban penyediaan Sistem Informasi Desa dalam lingkup Kabupaten juga bertujuan untuk menjaga prinsip rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi prinsip UU Desa.

Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) berkewajiban untuk mengembangkan Sistem Informasi Desa dan Pembangunan Kawasan (pasal 86 ayat 3). Kewajiban ini melekat pada Kabupaten/Kota, bukan pada pemerintah di tingkat nasional (pusat). Sistem informasi desa juga mengandung maksud bukan sebatas aplikasi, melainkan perangkat keras, perangkat lunak (aplikasi), jaringan dan sumber daya manusia. Sistem informasi desa mengandaikan adanya bisnis proses yang jelas, tanpa mengenyampingkan jenis-jenis data dan informasi yang bersifat atau mengandung kewenangan lokal berskala desa. Penegasan pentingnya sumber daya manusia sebagai bagian dari Sistem Informasi Desa menunjukkan kewajiban pada pihak Kabupaten/Kota untuk memberikan pendampingan dan penguatan atas tata kelola informasi dan data pembangunan di tingkat desa.

Sistem informasi desa mengandung data desa, data pembangunan desa, kawasan desa dan informasi lain yang berkaitan dengan pembangunan desa. Informasi berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan juga wajib disediakan oleh pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota. Informasi-informasi ini dibuka menjadi data atau informasi publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Belajar dari pembelajaran penerapan Profil Desa yang berskala nasional, penerapan sistem informasi desa yang dikontrol dan diseragamkan oleh pemerintah pusat tidak lagi relevan. Penerapan secara nasional dengan menerapkan standar baku yang mengabaikan kewenangan lokal berskala desa melanggar prinsip penerapan sistem informasi yang diatur oleh UU Desa.

Akses data menjadi salah satu tantangan lain. Pengalaman profil desa menunjukkan bahwa desa hanya sebagai “pengumpul data” atau petugas dari pemerintah pusat. Implikasinya,  desa tidak memiliki data yang memadai karena sudah “disetorkan” kepada pemerintah pusat. Hal ini berimplikasi kepada perencanaan pembangunan di tingkat desa. Penerapan profil desa juga tidak mempertimbangkan keragaman kebutuhan akan jenis data sesuai dengan konteks lokal. Hal ini justeru menghambat desa dalam menemukenali jenis-jenis kebutuhan data yang kontekstual dengan kebutuhan pembangunan desa dan kewenangan lokal berskala desa.

Penerapan Sistem Informasi Desa, mengacu pada semangat UU Desa, harus dikembalikan ke tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini sejalan dengan penetapan kewenangan lokal berskala desa yang turut diatur dalam Peraturan Daerah. Sistem informasi desa perlu mengakomodir keragaman di tingkat desa. Keragaman, dalam konteks terdekat, dapat diakomodir oleh pemerintah di tingkat Kab/Kota.

Pada konteks teknologi, pemerintah nasional lebih penting menetapkan standar platform teknologi agar satu jenis aplikasi (teknologi) dapat berkomunikasi dengan teknologi lainnya. Perkembangan dunia teknologi informasi sudah memungkinkan adanya komunikasi data melalui Application Programming Interface (API). Standardisasi data –apabila dilakukan– tidak boleh menghilangkan peluang desa untuk tetap dapat memasukkan data-data yang terkait dengan kewenangan lokal berskala desa.

Di lain sisi, penerapan teknologi perlu mengedepankan pertimbangan ketersediaan akses masyarakat atas teknologi. Teknologi yang terlalu dipaksakan pada konteks wilayah tertentu, justeru akan menjadi hambatan tersendiri bagi pemerintah desa dan masyarakat dalam pemanfaatan data tersebut. Ketersediaan data yang tidak dibarengi dengan akses masyarakat atas data pembangunan juga menghambat partisipasi masyarakat. Penerapan Sistem Informasi harus mempertimbangkan bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan informasi yang termuat dalam sistem informasi. Akses atas informasi menjadi prasyarat dasar untuk memastikannya.

Prinsip Penerapan Sistem Informasi Desa

Penerapan sistem informasi desa idealnya dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip penting, antara lain:

  1. sistem Informasi desa adalah kewenangan dan kewajiban pemerintah daerah di tingkat Kabupaten/Kota;
  2. Data yang dikelola melalui sistem informasi desa perlu ditetapkan sebagai data terbuka (open data);
  3. Sistem Informasi Desa bukan semata teknologi, melainkan sumber daya manusia.
  4. Penerapan Sistem informasi desa tidak boleh menghilangkan peluang, kesempatan dan upaya desa untuk membangun data yang relevan dengan kewenangan lokal berskala desa;
  5. Penerapan Sistem Informasi Desa harus mengakomodir kebutuhan desa untuk tetap memiliki, mengembangkan dan menggunakan data sebagai bagian tidak terpisahkan dari perencanaan di tingkat desa;
  6. Standardisasi Data dalam informasi desa tidak boleh menghilangkan kesempatan pemeratah desa untuk mengembangkan data yang relevan terkait dengan kewenangan lokal berskala desa;
  7. Penerapan teknologi tidak boleh ditunggalkan dengan mempertimbangkan akses masyarakat atas informasi pembangunan yang berbeda-beda di setiap lokasi.
Sekolah Perempuan Poso

Rekam Media Sosial untuk Sekolah Perempuan Poso

Infest Yogyakarta memulai program Sekolah Perempuan untuk Pembangunan Desa berlangsung di Poso (4-5 Maret 2015). Kegiatan ini dilaksanakan berama dengan Institute Mosintuwu sebagai salah satu mitra lokal Infest. Bertempat di Kantor Mosintuwu, Poso kegiatan ini diikuti oleh Kader Sekolah Perempuan dari 3 desa percontohan. Kegiatan ini difasilitasi oleh Farid Hadi Rahman (penasihat senior Infest) dan Alimah (staff gender).

Berikut adalah rekam percakapan di mesia sosial terkait dengan kegiatan ini:

 

Mengenal Inovasi Desa MAMPU

Undang-undang Nomor 06 Tahun 2014 tentang Desa menjadi kunci perubahan pembangunan di tingkat desa. Desa kini bukan lagi semata sebagai objek pengambangunan, melainkan subjek. Kewenangan desa diperluas yang dapat menjadi kunci bagi desa untuk mensejahterakan masyarakatnya.  Transparansi, partisipasi dan perencanaan yang baik menjadi kunci keberhasilan implementasi UU ini.

Infest dengan dukungan Pemerintah Australia (DFAT) melalui skema Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan (MAMPU) pada tahun 2015 akan mengelola program yang memadukan pendekatan perencanaan apresiatif, transparansi dan pelibatan kelompok perempuan dalam pembangunan di tingkat desa.

Berikut adalah gambaran umum program tersebut:

Innov Fund - INFEST